Jumat, 10 Februari 2017

Mahkamah Keadilan Tuhan



Mahkamah Keadlilan Tuhan
(Seri Khutbah Jum’at)

Khutbah Jum’at di Masjid al-Hikmah Tunggulsari Kedungwaru Tulungagung hari ini mengambil tema Mahkamah Peradilan Tuhan. Sebagaimana biasa khutbah diawali dengan pesan agar setiap jamaah senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Hanya dengan iman dan taqwa seorang mukmin akan menuai kebahagiaan baik di dunia lebih – lebih di akhirat.

Diawal khutbahnya khatib mengingatkan kepada seluruh jamaah bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik – baik bentuk. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam al-Qur’an Surat al-Tin; 4:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)

Artinya: “Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam sebaik – baik bentuk” (al-Tin; 4)

Melalui ayat di atas Allah mengingatkan bahwa Ia menciptakan manusia dalam sebaik – baik bentuk. Secara fisik manusia memiliki bentuk yang lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Oleh karenanya manusia harus bersyukur dan memanfaatkan semua potensi fisiknya untuk semata mengabdikan diri kepada Allah SWT. Selanjutnya Allah juga mengingatkan manusia bahwa apabila manusia tidak mau menggunakan semua nikmat yang telah diberikan kepadanya sesuai dengan kehendak Allah, maka Allah akan mengembalikannya pada kedudukan yang paling rendah, bahkan lebih rendah dari makhluk Allah yang lain. Masih dalam Surat al-Tin Allah berfirman dalam ayat ke-5:

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5)

Artinya: “Kemudian Kami kembalikan manusia itu ke tempat yang serendah – rendahnya.” (al-Tin; 5)

Manusia yang tidak memnfaatkan nikmat dan karunia yang Allah berikan kepadanya untuk mengabdikan diri kepada Allah maka Allah akan mengembalikan dia pada tempat yang hina. Ia lebih rendah daripada makhluk Allah yang hina sekalipun. Kecuali orang – orang yang beriman kepada Allah dan berbuat kebaikan/amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada terputus. Firman Allah dalam Surat al-Tin; 6:

إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)

Artinya: “Kecuali orang – orang yang beriman kepada Allah dan berbuat kebaikan/amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada terputus.” (Q.S. al-Tin; 6)

Selanjutnya khatib menerangkan bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Hal itu sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an Surat al-Dzariyat; 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)

Artinya: “Dan tiadalah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (al-Dzariyat; 56)

Allah menciptaan manusia dan jin semata – mata hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Tidak ada perintah lain selain beribadah kepadda-Nya.

Namun nyatanya, banyak sekali manusia yang tidak mampu menjalankan perintah Allah dengan baik. Mereka diberi karunia mata, tetapi mata itu seringkali digunakan untuk hal – hal yang tidak dibenarkan oleh Allah, melanggar syariat, berbuat maksiat. Mata seringkali digunakan untuk melihat hal – hal yang dilarang oleh Allah SWT. Demikian halnya dengan telinga. Telinga yang semestinya digunakan untuk mendengar hal – hal baik, semisal bacaan al-Qur’an, pengajian dan lain sebagainya, namun nyatanya banyak diantara manusia yang menggunakan telinga untuk mendengar hal – hal yang dilarang oleh Allah SWT.  Demikian halnya dengan mulut, tangan, kaki dan sebagainya. Padahal semua perbuatan kita akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak dihadapan Allah SWT.

Pada saat hari kiamat umat manusia akan dikumpulkan di satu tempat lapang yang bernama mahsyar. Disinilah umat manusia menunggu mahkamah peradilan Allah SWT. Semasa di dunia mungkin kita bisa memberikan kesaksian palsu dihadapan hakim yang menjadi juru hakim dikala kita berselisih dengan orang lain. Mungkin saja kesalahan kita akan berubah menjadi kebenaran dan kemenangan sehingga kita lepas dari jeratan hukum dunia. Akan tetapi beda halnya dengan mahkamah peradilan Allah SWT ketika kita sudah berada di akhirat.

Di akhirat yang akan menjadi saksi bagi kita adalah seluruh anggota tubuh kita. Lisan yang biasanya kita pakai untuk mencari pembenaran terhadap apa yang kita lakukan tidak lagi mampu berbuat apapun untuk kita. Harta dan kekuasaan yang kita miliki tidak lagi ada artinya di hadapan Allah SWT. 

Adapun yang akan menjadi saksi bagi kita di akhirat atas semua perbuatan yang telah kita lakukan selam di dunia ini adalah seluruh anggota tubuh kita. Lisan akan dikunci oleh Allah, sementara tangan dan kaki akan berbicara dan memberikan kesaksian yang sebenar – benarnya atas apa yang kita perbuat selama di dunia. Dalam Surat Yasin;  65:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (65)

Artinya: “Pada hari ini (kiamat), Kami mengunci mulut – mulut mereka, tangan – tangan mereka akan berbicara kepada Kami, dan kaki – kaki mereka akan menjadi saksi atas apa yang mereka usahakan”. (Q.S. Yasin; 65)

Demikian itulah gambaran Mahkamah Peradilan yang digelar Allah SWT besok di hari kiamat. Mulut manusia yang pandai bersilat lidah tak lagi mampu menolong mereka untuk lari dari peradilan Allah SWT. Kelak tangan – tangan manusialah yang akan berbicara memberikan kesaksiaan atas apa yang diperbuatnya selama di dunia. Kaki yang biasa digunakan untuk melangkah juga akan memberikan kesaksian kepada Allah kemana ia melangkahkan kaki tersebut.

Sungguh, di hari itu peradilan Allah adalah peradilan yang seadil – adilnya. Allah tidak pernah berbuat dzalim kepada siapapun. Allah memberikan petunjuk kepada yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa saja yang Ia kehendaki. Oleh karenanya dalam hidup ini penting bagi kita untuk senantiasa meminta hidayah, dan petunjuk Allah. Semoga sewaktu – waktu Allah memanggil kita, kita bisa kembali ke hadirat-Nya dengan husnul khatimah. Amin…

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…


Tradisi Baru di Ma'had al-Jami'ah



Tradisi Baru di Ma’had al-Jami’ah

Hari ini, Jum’at 10 Februari 2017, keluarga besar pengelola UPT Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung meciptakan tradisi baru yang sebelumnya belum ada semasa pengelola sebelumnya. Tradisi baru ini berbentuk khatmil Qur’an yang rencananya akan diadakan pada setiap Jum’at legi.

Mengapa dilaksanakan pada hari Jum’at legi? Bagi pengelola Ma’had al-Jami’ah Jum’at legi memiliki makna tersendiri bila dibandingkan dengan hari jum’at yang lain. Menurut perhitungan Jawa, Jum’at itu neptunya 6 sedang legi itu 5 yang bila dijumlahkan ditemukan angka 11. Angka ini sesuai dengan jumlah pengelola Ma’had al-Jami’ah yang berjumlah 11 orang. Satu orang Mudir, Dr. KH. Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag. dan 10 orang murabbi yang terdiri dari 9 orang dostap non PNS (dosen tetap non PNS) dan 1 orang DLB, K. Ahmad Marzuqi, S.Th.I, M.Pd.I. Inilah yang mungkin ikut melatarbelakangi dipilihnya hari Jum’at legi sebagai hari pelaksanaan khatmil Qur’an.

Khatmil Qur’an hari ini diawali dengan sekedar siraman ruhani yang disampaikan oleh Mudir Ma’had al-Jami’ah. Dalam sambutannya Mudir Ma’had al-Jami’ah mengingatkan bahwa pada dasarnya semua amal perbuatan yang selama ini kita lakukan belumlah atau bahkan tidak bisa dibanggakan dan diandalkan sama sekali. Shalat dan ibadah – ibadah lain yang kita kerjakan seringkali kosong tanpa makna. Saat shalat misalnya antara ingat kita kepada Allah dengan lupa kita jauh lebih banyak lupa kita. Hal inilah yang sebenarnya menyebabkan amal kita sesungguhnya lebih banyak negatifnya daripada positifnya.

Lebih lanjut beliau menyampaikan, oleh karena amal kita yang cenderung negatif maka kita membutuhkan syafaat agar dihari pembalasan kelak kita ditolong sehingga bisa menikmati kehidupan di surga yang penuh dengan nikmat dan karunia Allah SWT. Beliau menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang bisa memberikan syafaat kepada kita di hari kiamat. Tiga hal itu adalah membaca al-Qur’an, puasa, dan shalawat kepada Rasulullah SAW.

Pertama, membaca al-Qur’an. Membaca al-Qur’an termasuk ibadah yang bisa kita harapkan syafaatnya besok di hari kiamat. Dengan senantiasa istiqamah membaca al-Qur’an, penuh dengan keikhlasan, maka al-Qur’an yang kit abaca akan memberikan syafaat kepada kita. Tidak hanya satu surat, satu ayat bahkan setiap huruf dalam al-Qur’an bisa kita harapkan syafaatnya. Tentunya tidak hanya sekedar membaca, tetapi dengan memenuhi semua ketentuan yang ada dalam adab membaca al-Qur’an, bersungguh – sungguh dalam memahaminya dan berusaha menerapkannya dalam setiap kehidupan sehari – hari. Dengan demikian in sya’a Allah kita bisa mendapatkan syafaat al-Qur’an di hari kiamat.

Kedua, puasa. Menurut Mudir Ma’had al-Jami’ah puasa juga termasuk amal ibadah yang dapat diharapkan syafaatnya. Puasa ini termasuk hal yang berat, apalagi dengan melihat kesibukan masing – masing orang dalam kesehariannya. Puasa sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Setidaknya dalam satu bulan kita disunnahkan puasa 3 hari yang dikenal dengan puasa ayyamil bidh, yang dikerjakan pada tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan. Menurut beliau puasa 3 hari itu sama nilainya dengan puasa satu bulan. Satu hari dilipatgandakan pahalanya sebanyak 10 kali, sehingga sepadan dengan 30 hari. Dengan demikian siapa saja yang melaksanakan puasa ayyamil bidh rutin tiap bulannya sama dengan melaksanakan puasa selama satu tahun. Apabila kita tidak bisa melaksanakan hal itu Allah memberikan solusi lagi dengan melaksanakan puasa Ramadlan sebulan penuh ditambah dengan 6 hari di bulan syawwal. Dengan melaksanakan puasa Ramadlan dan disambung dengan 6 hari di bulan Syawwal maka menurut Rasulullah SAW nilainya sama dengan puasa satu tahun.
Ketiga, shalawat kepada Rasulullah SAW. Membaca al-Qur’an dan puasa memiliki syarat – syarat khusus yang harus dipenuhi agar bisa diterima Allah SWT. Shalawat kepada Rasulullah SAW termasuk amalan yang paling mudah diantara yang lain, yang tidak ada syarat – syarat khusus di dalamnya. Oleh karena itu seyogyanya kita senantiasa memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah SAW agar mendapatkan syafaat dari beliau khususnya di hari kiamat. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda; “Paling utama – utamanya manusia besok di hari Kiamat adalah mereka yang paling banyak membaca Shalawat kepadaku”. Oleh karena itu apabila ada orang yang berbeda pendapat dan mengatakan membaca shalawat kepada Rasulullah SAW sebagai bid’ah maka tidak perlu kita hiraukan. Kita tetap mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah SAW dengan memperbanyak membaca shalawat untuk meraih syafaatnya.

Selain itu beliau juga mengingatkan agar kita senantiasa bersifat toleran kepada sesame makhluk termasuk diantaranya mungkin yang berada dalam dimensi yang berbeda dengan kita. Semua makhluk itu memiliki tugas yang sama dengan kita yaitu untuk mengesakan Allah dan beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tidak dibenarkan apabila dengan bacaan – bacaan al-Qur’an kita berniat untuk mengusir, tetapi lebih diniatkan agar semuanya mendapat hidayah dan petunjuk Allah SWT. Bersama – sama berlomba – lomba dalam kebaikan untuk menggapai ridla Allah SWT.

Ma’had al-Jami’ah sebagai salah satu lembaga yang mengelola keislaman di lembaga IAIN Tulungagung selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik untuk mahasantri terutama dalam bidang keislaman. Semoga dengan adanya tradisi baru berupa khatmil Qur’an, Ma’had al-Jami’ah dan para pengelolanya diberikan kekuatan dlahir dan bathin terutama dalam menjalankan semua program – programnya sesuai dengan harapan meneguhkan IAIN Tulungagung sebagai kampus dakwah dan peradaban. 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Kamis, 09 Februari 2017

Meniti Prestasi Bersama Ayah dan Ibu



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

نَيْلُ الْإِنْجَازِ  بِأَبِيْ وَأُمِّيْ

اَيُّهَاالْإِخْوَةْ أَسْعَدَكُمُ اللهِ

لِكُلِّ إِنْسَانٍ هِمَّةٌ فِى حَيَاتِهِ، وَلِكُلِّ إِنْسَانٍ عَمَلِيَّةٌ فِى نَيْلِ هِمَّتِهِ. فَمِنْهُمْ مَنْ يَناَلُ مَايَهْتَمُّ مِنْ هِمَّتِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَنَالُ مَا مِنْ هِمَّتِهِ إِلَّا شَيْئًاقَلِيْلًا. 

أَيُّهَالْإِخْوَةْ أَسْعَدَكُمُ اللهِ

لِمَاذَا يَنَالُ بَعْضُ النَّاسِ مَا يَهْتَمُّهُ مِنْ هِمَّتِهِ وَلَا يَنَالُ بَعْضُهُمْ مَايَهْتَمُّهُ مِنْ هِمِّتِهِ؟ فَالْجَوَابُ مِنْ هَذَالسُّؤَالِ يَرْجِعُ إِلَيْهِ نَفْسِهِ. كَيْفَ عَمَلِيَّتُهُ فِى نَيْلِ وَاتِّخَاذِ هِمَّتِهِ. فَمِنْهُمْ مَنْ يَجْتَهِدُ فِى نَيْلِ هِمَّتِهِ بِبَذْلِ جُهْدِهِ لَيْلًا وَنَهَارًا. فِى النَّهَارِ هُمْ يَجْتَهِدُوْنَ فِى نَيْلِ هِمَّتِهِ بِالْعَمَلِيَّةِ الظَّاهِرَةِ. إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ بِالتَّعَلُّمِ الْمُسْتَمِرِّ الْعَمِيْقِ فِى فَصْلٍ مِنَ الْفُصُوْلِ، وَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ بِعَمَلٍ مِنَ الْأَعْمَالِ الَّتِى تَغْتَصِبُ الْعَرَقَ وَمَا إِلَى ذَلِكَ مِنَ الْعَمَلِيَّا تِ. وَأَمَّافِى الَّيْلِ فَهُمْ يَجْتَهِدُوْنَ عَمَلِيَّتَهُمْ بِالسَّهَرِ مَعَ قِرَاءَةِ الْكُتُبِ وَالصَّلَاةِ التَّطَوُّعِ مِثْلَ التَّهَجُّدِ وَالْحَاجَاتِ وَالدُّعَاءِ إِلَى اللهِ تَعَالَى جَلَّ جَلَالُهُ. لِهَذَاالنَّوْعِ مِنَ النَّاسِ كَثِيْرٌ لَهُ مُمْكِنَتُهُ لِنَيْلِ اْلإِنْجَازِ مِنْ هِمَّتِهِ. فَقَدْ قَالَ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: 

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (69) اَلْعَنْكَبُوْتَ: 69

أَيُّهَاالزُّمَلَاءَ أَسْعَدَكُمُ اللهْ

هَذِهِ الْأُمُوْرُ الْمُنْتَظَرُ حُصُوْلُهَا،بِخِلَافِ مَنْ لَا يَجْتَهِدُ فِى نَيْلِ هِمَّتِهِ، وَهُمْ يُرِيْدُوْنَ النَّجَاحَ وَلَكِنَّهُمْ لَايَسْلُكُوْنَ أَنْفُسَهُمْ فِى طَرِيْقِهِ، هُمْ يُرِيْدُوْنَ فِى نَيْلِ الْإِنْجَازِ وَلَكِنَّهُمْ يَتَكَاسَلُوْنَ فِى حَيَاتِهِ، فِى النَّهَارِ هُمْ يَسْتَعْمَلُوْنَ أَوْقَاتَهُمْ فِى أَمْرٍ لَافَائِدَةَ لَهُ، وَفِى الَّيْلِ هُمْ يَسْتَغْرِقُوْنَ أَوْقَاتَهُمْ لِلَّهْوِ وَالنِّيَامِ فَحَسْبُ، فَكَيْفَ هُوَ سَيَنَالُ هِمَّتَهُ وَالْإِنْجَازَ؟ لَا يُمْكِنُ لَهُ أَنْ يَنَالَ الْإِنْجَازَ، لَا يُمْكِنُ، لَا يُمْكِنُ، وَلَا يُمْكِنُ

أَيُّهَاالْإِخْوَةَ أَسْعَدَكُمُ الله

فَلِذَالِكَ، حَيَّ نَجْتَهِدُ فِى نَيْلِ هِمَّتِنَا والْإِنْجَازَ بِبَذْلِ جُهْدِنَا كُلَّ الْبَذْلِ، وَلَا تَنْسَوْا أَيُّهَاالْإِخْوَةِ إِلَى أَبِيْنَا وَأُمِّنَا، فَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

رِضَااللهِ فِى رِضَاالْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللهِ فِى سُخْطِهِمَا .... اَلْحَدِيْثْ

وَمَعْنَى هَذَاالْحَدِيْثِ أَنَّهُ لَابُدَّ لِكُلِّ أَحَدٍ اَلَّذِى يُرِيْدُ فِى نَيْلِ النَّجَاحِ والْإِنْجَازِ مِنْ رِضَا وَالِدَيْهِ، لِأَنَّ رِضَاالْوَالِدَيْنِ رِضَااللهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَإِذَا رَضِىَ اللهُ فَتَيَسَّرَ الْعُسْرُ،  هَذَاهُوَ مِفْتَاحُهَا.
إِذَنْ، مَنْ أَرَادَالنَّجَاحَ وَالْإِنْجَازَ فَلَايُؤْذِيْ وَالِدَيْهِ، لَاسِيَّمَا الْأُمُّ، فَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ..... اَلْحَدِيْثُ

إِذَاأَرَدْتَ النَّجَاحَ وَالْإِنْجَازَ فَلَا يُؤْذِي أُمَّكَ، فَلَا يُؤْذِيْ أُمَّكَ، فَلَا يُؤْذِيْ أُمَّكَ، لِأَنَّهَا وَرِضَاهَا مِفْتَاحَ النَّجَاحِ، وَالْإِنْجَازِ ، وَالرَّحْمَةِ

أَيُهَاالْإِخْوَةْ أَسْعَدَكُمُ اللهِ،

 اَلْأَخِيْرُ، حَيَّ نُبَذِّلُ جُهْدَنَا بِالتَّعَلُّمِ الْمُسْتَمِرِّ وَالطَّاعَةِ لِلْوَالِدَيْنِ، اَلْأَبِ وَالْأُمِّ، عَسَى اللهُ أَنْ يُسَهِّلَنَا فِى نَيْلِ الْهِمَّةِ وَالنَّجَاحِ فِى الْحَيَاةِ. أَمِيْن 3* يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ

هَذِهِ هِيَ الْخُطْبَةُ مِنِّي إِنْ وَجَدْتُمْ مِنِّي الْخَطِيْئَاتِ وَالْغَلَظَاتِ أَرْجُوْ مِنْكُمُ الْعَفْوَ الْكَثِيْرَ. ,َوَأَخِيْرًامِنِّي

بِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَالْهِدَايَةُ وَمِنَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَشَّفَاعَةُ

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Selasa, 07 Februari 2017

Menjauhkan Diri dari Perbuatan Syirik


 
Syirik merupakan dosa terbesar diantara dosa – dosa besar yang lain. Syirik diartikan sebagai perbuatan menyekutukan Allah. Setiap umat Islam harus berusaha dengan segenap kemampuannya agar terhindar dari perbuatan syirik ini. Apabila seseorang tidak bisa menghindarkan diri dari perbuatan ini maka ia telah terjerumus ke dalam dosa besar yang tidak akan diampuni dosanya oleh Allah SWT. Firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa’; 116:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (116)

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh – jauhnya.” (Q.S. al-Nisa’; 16)

Secara tegas ayat ini menjelaskan ancaman bagi pelaku dosa syirik. Allah SWT masih bisa mengampuni dosa selain dosa syirik bagi siapa saja yang Ia kehendaki, baik dosa itu termasuk ke dalam dosa besar maupun dosa kecil. Berbeda dengan dosa syirik, dosa ini tidak akan diampuni oleh Allah. Orang yang telah berbuat syirik sama halnya dengan orang yang tersesat sejauh – jauhnya.

Selain dosa syirik mendapat ancaman tidak akan diampuni oleh Allah, dosa syirik juga digolongkan kedalam dosa yang paling besar diantara yang lain. Rasulullah SAW menerangkan hal itu melalui haditsnya yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud, beliau bersabda:

حديث عبد الله ابن مسعود قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الذنب أعظم عند الله؟ قال: أن تجعل لله ندا وهو خلقك، قلت إن ذلك لعظيم، قلت ثم أي؟ قال: وأن تقتل ولدك تخاف أن يطعم معك، قلت ثم أي؟ قال: أن تزاني حليلة جارك. اخرجه البخاري فى : 65 كتاب التفسير، تفسير سورة البقرة : 3- باب قوله تعالى فلا تجعلوا لله أندادا

Artinya: “Hadits Abdullah bin Mas’ud dimana ia berkata: “Saya bertanya kepada Nabi SAW: “Apakah dosa yang paling besar menurut Allah?”. Beliau menjawab: “Kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia yang menciptakan kamu”. Saya berkata: “Perbuatan itu sungguh dosa yang sangat besar”. Saya bertanya: “Kemudian apa?”. Beliau menjawab: “Kamu membunuh anakmu karena khawatir ia akan makan bersama kamu”. Saya bertanya lagi: “Kemudian apa?”. Beliau menjawab: “Kamu berzina dengan istri tetanggamu”. (al-Bukhari mentakhrij hadits ini dalam “Kitab Tafsir” tentang tafsir Surat al-Baqarah, yaitu tafsir firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Maka janganlah kamu menjadikan sekutu – sekutu bagi Allah)

Perbuatan syirik termasuk perbuatan dosa paling besar diantara yang lain yang terancam dengan tidak adanya ampunan dari Allah SWT. Oleh karena itu menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam dosa syirik adalah satu keharusan bagi setiap muslim. Agar terhindar dari perbuatan syirik ini maka seorang mukmin harus senantiasa berusaha untuk mengagumi setiap ciptaan Allah dan mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Allah. Dalam hal urusan duniawi hendaklah seorang muslim berusaha untuk melihat seseorang yang ada di bawahnya sehingga yang keluar dari lisannya dan yang terbesit dalam hatinya adalah ungkapan syukur. Sebaliknya dalam urusan ubudiyah hendaknya ia selalu melihat kepada orang yang berada diatasnya sehingga ia akan semakin giat dalam beribadah kepada-Nya. Jangan sampai sebaliknya, urusan dunia melihat ke atas, urusan ubudiyah melihat ke bawah, ini terbalik.

Secara garis besar para ulama membagi syirik menjadi dua macam, syirik khafi dan syirik jali. Syirik khafi adalah perbuatan menyekutukan Allah yang itu tidak tampak oleh pandangan mata. Tidak tampak disini dikarenakan syirik khafi ini berupa sesuatu yang terbesit dalam hati saja, tidak terlahir dalam bentuk perbuatan ataupun bahasa yang diucapkan dengan lisan. Syirik khafi inilah yang semestinya lebih mendapatkan perhatian serius oleh karena sifatnya yang sangat lembut. Tanpa disadari syirik khafi seringkali dilakukan oleh seorang muslim. Termasuk kategori syirik khafi meurut para ulama adalah munculnya rasa ke-aku – akuan (ananiyah) dalam diri seseorang. Rasa ke-aku – akuan ini nampaknya seringkali muncul dalam diri seseorang yang diberi kelebihan baik berupa ilmu, harta ataupun jabatan. Jika dibiarkan maka rasa ini akan meningkat menjadi ujub, riya’ dan kemudian puncaknya adalah munculnya sifat takabbur. Takabbur adalah bagian dari syirik khafi yang menggerogoti diri karena merasa bahwa dia memiliki kemampuan dan kelebihan disbanding yang lain, padahal semua itu hanyalah milik Allah semata yang dititipkan kepada manusia. Syirik model ini jarang dipahami dan dikenali oleh pelakunya karena secara lahiriyah ibadahnya masih tetap berjalan sebagaimana biasa. Hanya semuanya diaku sebagai miliknya sendiri.

Berbeda dengan syirik jali. Syirik model ini mudah dikenali dan diantisipasi oleh banyak orang karena memang secara lahir tampak dan bisa dilihat. Termasuk diantara syirik jali adalah menyembahh kayu, batu, bulan, bintang, matahari, api dan sebagainya. Syirik model ini mudah dikenali. Oleh karena itu antisipasinya juga relatif lebih mudah. Beda halnya dengan ujub, siapa yang tahu? Yang tahu hanya pelakunya dan Allah, selain itu hanya menerka dan mengira. Itulah mengapa ada peribahasa yang mengatakan, “Sedalam – dalamnya lautan masih bisa diterka tetapi sedalam – dalamnya hati manusia siapa yang tahu”.

Perbuatan syirik memang perbuatan yang tercela dan harus dihindarkan oleh setiap mukmin. Oleh karenanya tidak cukup hanya dengan belajar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan semakin banyak yang kita kumpulkan boleh jadi malah membawa seseorang jatuh pada perbuatan syirik karena munculnya rasa bangga dan ta’jub pada ilmu yang dimiliki. Boleh jadi karena kehebatannya dalam ilmu pengetahuan maka seseorang lupa bahwa masih ada Dzat Yang Lebih Tahu daripada Dia yaitu Allah SWT.

Oleh karena ilmu saja tidak cukup, maka dibutuhkan olah hati dengan memperbanyak riyadlah dan mujahadah. Riyadlah dengan semakin meningkatkan “Nglempit Usus Meres Motho”, memperbanyak puasa dan tidak tidur diwaktu malam. Selain itu juga dengan senantiasa mengingat Allah dalam setiap waktu dan kesempatan. Dengan demikian Insyaallah seseorang akan terhindar dari perbuatan mensekutukan Allah.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Senin, 06 Februari 2017

Konsep Ijtihad dalam Islam




Ijtihad adalah salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dan al-Hadits. Secara bahasa ijtihad berasal dari kata jahada yang dengan segala variasinya menunjukkan arti pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Ahmad bin Ahmad binAli al-Muqri al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa memiliki pengertian:

بذل وسعه وطاقته فى طلبه ليبلغ مجهوده ويصل إلى نهايته

Artinya: “Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.”

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...