Jagalah Kewajiban


Jagalah Kewajiban
(Seri Khutbah Jum’at)



Di awal khutbahnya khatib, Dr. K.H. Teguh, M.Ag. di Masjid al-Hikmah Tunggulsari, mengajak seluruh jama’ah Jum’at untuk senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt dengan berusaha sekuat mungkin melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan bekal iman dan taqwa kebahagiaan hidup baik di dunia lebih-lebih di akhirat akan diraih oleh seorang hamba.

Allah Swt menciptakan jin dan manusia tiada lain supaya mereka beribadah kepada-Nya dengan penuh ikhlas tanpa pamrih apapun. Allah Swt berfirman dalam Surat al-Bayyinah (98); 5:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah (98); 5)

Berdasar pada ayat di atas, tugas pokok bagi manusia hanyalah mengabdi dan menyembah kepada-Nya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. Tugas tersebut merupakan kewajiban yang mesti dijalankan oleh seorang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya.

Pengakuan iman dan taqwa seseorang tidaklah cukup hanya dengan pengakuan secara lisan belaka. Pengakuan tersebut mesti dibarengi dengan bukti yakni sekuat mungkin menjalankan segala bentuk kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya, serta berusaha menjauhi semua larangan-Nya.

Seorang yang beriman dan bertaqwa betul kepada-Nya tentu tidak akan mudah untuk meninggalkan kewajiban yang diamanatkan di pundaknya, pun pula ia tidak akan gampang-gampang melakukan perbuatan yang dikecam-Nya. Sebaliknya seorang yang palsu pengakuan iman dan taqwanya dengan mudah dia melakukan hal-hal yang dilarang-Nya dan meninggalkan kewajiban yang diperintahkan kepadanya.

Pada kenyataannya di tengah kehidupan ini, banyak sekali kejadian yang tidak sepantasnya dikerjakan oleh mereka yang mengaku beriman kepada-Nya. Banyak umat yang –secara lisan dan KTP, beragama Islam namun mereka seringkali meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Banyak juga di antara mereka yang lebih mengutamakan nawafil/sunnah untuk dikerjakan sementara yang wajib mereka tinggalkan.

Saat bulan Ramadlan tiba misalnya, banyak kita saksikan di awal Ramadlan, masjid, mushalla penuh sesak dengan jama’ah shalat tarawih yang hukumnya sunnah. Pun pula saat malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan. Banyak orang muslim yang rela untuk tidak tidur demi mengikuti jama’ah shalat lail yang digelar di masjid dan mushalla. Apalagi saat lebaran tiba, masjid dan mushalla tidak muat menampung tumpahan para jama’ahnya. Namun, bagaimana saat semua itu berlalau? Jama’ah shalat lima waktu? Inilah hal yang semestinya menjadi bahan renungan bagi semua umat Islam, utamanya para tokoh ulama sebagai pemimpin umat.

Dalam satu hadits riwayat Imam Bukhari disebutkan:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ كَرَامَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ حَدَّثَنِي شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ

Artinya: (BUKHARI - 6021) : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin 'Utsman bin Karamah telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepadaku Syarik bin Abdullah bin Abi Namir dari 'Atho` dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya." (HR. Bukhari)

Di awal hadits di atas Allah Swt melalui lisan Rasul pilihan-Nya, Muhammad Saw menegaskan bahwa seseorang tidak bisa mendekatkan diri kepada-Nya dengan menjalankan berbagai ibadah sunnah dan meninggalkan kewajiban yang diwajibkan. Kewajiban adalah ibadah yang tidak boleh ditawar lagi oleh seseorang, siapapun orangnya. Jika sunnah ditingkatkan, namun kewajiban ditinggalkan sama saja, pelakunya bukan semakin bertambah dekat kepada Allah melainkan semakin jauh.

Oleh karenya kewajiban mesti dinomor satukan, didulukan daripada sunnah. Jika seseorang telah mengerjakan kewajiban dengan baik dan menambahkan dengan amalan-amalan sunnah yang dicintai Allah, maka ketika ia mencintai Allah dan Allahpun mencintainya, jadilah Allah penglihatannya saat ia melihat, pendengarannya saat ia mendengar dan tangannya saat ia memukul dan kakinya saat ia berjalan.

Seorang yang senantiasa menjaga segala bentuk kewajiban yang dibebankan kepadanya dan menjauhi semua larangan yang ditetapkan-Nya untuknya, akan dicukupi kehidupannya. Tiada keresahan dalam hatinya dan dia dijauhkan dari segala bentuk marabahaya. Allah akan senantiasa menjaganya dalam setiap kesempatan, dimana pun dan kapanpun ia berada.

Sebaliknya, seorang yang senantiasa melanggar perintah-Nya, memperbanyak maksiat kepada-Nya dan semakin menjauh dari-Nya, maka Ia akan memberikan kehidupan yang buruk. Kehidupannya akan terasa sempit dan hidupnya tidak karu-karuan. Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an Surat Thaha (20); 124:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Artinya: Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha (20); 124)

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah, dengan melanggar larangan-larangan-Nya, maka mereka akan diberikan penghidupan yang sempit selama di dunia. Kehidupan ekonominya semakin semrawut, keluarganya berantakan dan seluruh urusannya tidak memiliki jalan keluar. Lebih dari itu, besok di hari kiamat, mereka akan dihimpun dalam keadaan buta.

Karenanya jangan pernah meremehkan kewajiban yang telah diperintahkan Allah Swt. Berusahalah untuk senantiasa menjaganya dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai ibadah sunah. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya, hingga kita kembali kepada-Nya dengan husnul khatimah.

Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...

Komentar