Ta’aruf Mahasantri Mukim
Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung
Foto bersama Pengelola Ma'had dan KH. Muhshan Hamdani |
Postingan ini telah kadaluwarsa, semestinya penulis menulis dan
mempostingnya sesaat setelah acara selesai. Akan tetapi, menurut hemat penulis,
tidak ada salahnya tulisan ini terlambat, toh insya Allah masih tetap saja ada
manfaat yang bisa dipetik.
Selasa, 28 Agustus 2018, Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung
mengadakan pekan ta’aruf yang diperuntukkan bagi mahasantri baru yang mukim di
asrama ma’had. Hadir dalam kesempatan ini, Dr. K.H. Teguh, M.Ag., selaku Mudir
Ma’had al-Jami’ah, K.H. Muhshan Hamdani, M.Pd.I selaku muballigh, segenap
murabbi ma’had al-Jami’ah dan dewan mu’allim.
Acara dibuka dengan tampilan dan kreasi mahasantri, mulai lantunan
shalawat dan beberapa lagu serta karya puisi dari mahasantri asal Patani
Thailand. Seremonial acara dimulai pada kisaran pukul 08.30 WIB dan berakhir
pada pukul 22.15 WIB.
Sebagai ketua pelaksana dalam kegiatan ini adalah ustadz Rohmat,
M.Pd.I, satu di antara murabbi ma’had. Dalam sambutannya beliau mengucapkan
selamat datang kepada mahasantri baru yang saat ini telah menjadi keluarga
besar dari ma’had al-jami’ah. Beliau berharap agar mereka semua bisa belajar
dengan giat dan rajin sehingga bisa memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Sementara dalam sambutannya Mudir Ma’had al-Jami’ah mewanti-wanti
agar mahasantri senantiasa memegang tiga pesan pokok yang selalu beliau
sampaikan. Beliau menyebutnya sebagai ‘Trilogi’ pesan dari mudir. Dawuh beliau,
“Saya harap semua mahasantri memegang tiga pesan dari saya. Saya menyebutnya
trilogy pesan mudir. Bukan hanya mahasantri, tetapi murabby sebisa mungkin juga
menerapkannya.”
Trilogy yang menjadi pesan mudir adalah lakukan sebab tanpa
berpikir akibat, sukses bangun tidur dan mau berbagi. Lakukan sebab, artinya
laksanakan kewajiban tanpa memikirkan apa yang anda dapatkan. Ini penting untuk
dipahami dan dilaksanakan semua santri. Tidak perlu kita berpikir apa yang kita
dapatkan atau menuntut hak. Yakinlah bahwa ikhtiar tidak akan mengkhianati
proses.
Pesan kedua adalah sukses bangun tidur. Hal ini penting sekali bagi
semua mahasantri, bahkan untuk semua orang. Usahakan untuk bangun paling tidak,
15 menit sebelum masuk waktu shubuh. Lakukan shalat malam, membaca al-Qur’an
dan ibadah yang lain. Ini penting untuk membekali diri agar kita menjadi
pribadi yang shalih, pribadi yang senantiasa menjaga hak-hak Allah Swt. Selain
itu siapa yang mau bangun di tengah malam, melaksanakan shalat tahajud, dan mau
membaca al-Qur’an, maka Allah Swt akan memberikan kepadanya “Qaulan
Tsaqila”.
Pesan ketiga, mau berbagi. Seyogyanya mahasantri peduli dengan
sesamanya. Peduli kepada nasib orang lain. Saat ada teman sedang membutuhkan
bantuan, maka diharapkan mahasantri segera tanggap dan mau membantu. Jangan
sampai menjadi orang yang acuh dan tidak peduli kepada yang lain. Orang yang
tidak mau peduli kepada orang lain, maka Allah Swt tidak akan membantunya saat
dia berada dalam kesulitan. Sebaliknya, orang yang mau menolong orang lain,
maka Allah Swt akan membantunya saat ia sedang membutuhkan bantuan.
Adapun puncak acara pada malam ta’aruf tersebut adalah tausiyah
yang disampaikan oleh K.H. Muhshan Hamdani, M.Pd.I yang juga pengasuh pondok
pesantren Sunan Kalijogo Kaliwungu Ngunut Tulungagung. Mengawali tausiyahnya
beliau menyitir qaul dari Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin:
ليس
العلم بكثرة الروايات ولكن العلم نور يوضع فى قلب عبده
Artinya: “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, tetapi
ilmu itu adalah nur yang diletakkan Allah di hati hamba-Nya.”
Melalui qaul ini, beliau mengingatkan mahasantri bahwa ilmu tidak
hanya tentang banyaknya teori yang dikuasai. Ilmu tidak hanya sekedar banyaknya
hafalan dan pemahaman yang diperoleh saat seseorang sedang belajar di bangku
kuliah. Tetapi ilmu, adalah nur (cahaya) yang diletakkan Allah dalam diri hamba-Nya,
sehingga dengan nur tersebut seorang bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Seseorang menjadi terang jalan fikirannya karena adanya nur yang
menerangi hati dan pikirannya.
Banyak orang yang memiliki hafalan kuat, bahkan hafal al-Qur’an 30
juz, akan tetapi hafalannya tidak mampu menuntun orang tersebut untuk menjadi
seorang yang taat kepada Allah. Banyaknya teori dan pengetahuan yang dimiliki,
bukannya menjadikan dirinya sebagai pribadi yang tunduk patuh pada
perintah-Nya, sebaliknya justru menjadi seorang yang gemar melanggar aturan-Nya
dan meremehkan syari’at agama-Nya.
Agar ilmu bisa menjadi nur setidaknya ada empat hal yang harus
dilakukan seorang santri, yakni menjalankan kewajiban, halal bekalnya, mau
untuk riyadhah, dan mencari ridha guru. Pertama, menjalankan kewajiban.
Seorang santri hendaknya dia menjaga hak-hak Allah, jangan sampai dia
mengesampingkan hak-Nya. Hak Allah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan
seorang hamba kepada-Nya. Salah satu di antaranya adalah shalat lima waktu.
Beliau menceritakan hal ihwal dari K.H. Abdul Hamid Pasuruan. Beliau pernah ngendikan,
“Aku bangga lamun duwe anak tukang becak neng shalat”. Sederhana, ukurannya
adalah ketaatan kepada Allah Swt. Tidak penting punya jabatan dunia yang
tinggi, harta banyak, dan sebagainya. Jika kekayaan dan jabatan tidak diiringi
ketaatan kepada Allah Swt., maka itu sama sekali tidak ada artinya.
Kedua, halal
bekalnya. Seorang santri hendaknya senantiasa menjaga makanan yang masuk ke
dalam perutnya. Hal ini penting karena setiap makanan yang masuk ke dalam perut
akan menjadi darah dan daging. Setiap makanan yang tidak halal yang masuk ke
dalam perut akan menuntut haknya masing-masinng. Orang yang dipenuhi dengan
makanan yang tdiak halal akan lebih banyak berlaku maksiat dan menyimpang.
Beliau menceritakan rahasia dari K.H. Shadiq Umman, pendiri dari pondok
Hidayatul Mubtadiin. Beliau sukses dalam belajar karena ibunya selalu menjaga
uang kiriman yang diberikan kepada anaknya sewaktu mondok di Pondok Pesantren
Lirboyo.
Ketiga, mau untuk
riyadhah. Santri hendaknya menempa dirinya dengan riyadhah. Ilmu jangan hanya
sebatas lisan yang mampu bercerita. Hendaknya hatinya, bisa menjadi sumber dari
ilmu pengetahuan itu sendiri. Santri yang mau menempa dirinya dengan riyadhah,
memperbanyak puasa, bangun di malam hari untuk qiyam al-lail,
memperbanyak munajat kepada Allah akan dijadikan hatinya sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Jangan sampai ilmu hanya sebatas pengetahuan tentang riwayat
semata, tetapi bagaimana ilmu itu mampu memancarkan sinar yang mampu membawa
orang lain untuk semakin sadar kepada Allah Swt.
Keempat, mencari ridha
guru. Bagi santri ridha guru mutlak diperlukan bagi siapa saja yang ingin
ilmunya menjadi ilmu yang barakah dan manfaat. Barakah dan manfaat ilmu digantungkan
pada ridha guru, sebagaimana ridha Allah digantungkan atas ridha orang tua.
Santri yang memperoleh ridha guru, ilmunya akan menjadi ilmu yang bermanfaat
dan barakah. Sebaliknya, santri yang menyakiti hati seorang guru, akan
terhalang dari manfaat dan barakah ilmunya.
Beliau mencontohkan dengan teladan K.H. Abdul Manab pendiri
pesantren Lirboyo. Mengapa pesantren ini bisa menjadi pesantren besar dan terus
menerus dibanjiri para santri? Rahasianya karena ridha gurunya Mbah Yahi Khalil
Bangkalan. Saat mondok di dalamnya, beliau bekerja pada para petani (derep)
untuk memenuhi kehidupannya. Saat sudah terkumpul berasnya, Mbah Khalil dawuh, “Nab
awakmu santri ndak pantes mangan sego beras. Pantese awakmu mangan who bentis
ngarep omah. Neng, ora oleh disunggek. Entenono cebloke. Gabahmu gowonen neng
dalem, gen dimasak bu nyahi.”
Mbah Manab dengan keikhalasan hatinya melaksanakan dawuh sang guru.
Pada akhirnya Allah membuka barakah dan manfaat ilmu beliau sehingga beliau
mampu mendirikan pesantren Lirboyo dan sampai sekarang santrinya berjumlah
ribuan, karena barakah dari ilmu yang dimiliki sebab ridha sang guru.
Karena itu, bagi mahasantri seyogyanya semua hal tersebut
dilaksanakan. Jangan sampai ilmu yang diperoleh tidak barakah dan manfaat.
Semoga ilmu yang diperoleh bisa menjadi nur yang menerangi hati hingga menjadi
seorang yang sadar betul kepada Allah Swt.
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar