Pesantren dan Ta’zir
Pesantren merupakan salah satu model sistem pendidikan tradisional
tua yang ada di Indonesia. Model pendidikan ini konon merupakan adaptasi model
pendidikan ala hindu budha yang kala itu mereka tinggal di dekat tempat ibadah
untuk mendalami kitab suci.
Pada perkembangan berikutnya, model pendidikan tersebut diadopsi
dan dikembangkan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam di bumi
nusantara. Dalam model pembelajaran ini, biasanya para santri tinggal di dekat
surau/masjid yang di kompleks tersebut kyai sebagai tokoh sentralnya, tinggal
dan memberikan pendidikan pada para santrinya.
Waktu kyai selama dua puluh empat jam dicurahkan untuk mendidik
para santri. Tidak jarang di tengah malam, ada santri yang membutuhkan bantuan
dan bimbingannya. Di saat itu pula, seorang kyai dengan penuh keikhlasan dan
ketulusan memberikan pengarahan, bimbingan dan arahan kepada para santri
tersebut.
Di dunia pesantren, tentu tidak asing lagi istilah ‘ta’zir’. Ta’zir
secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘hukuman, menjerakan’. Istilah ini
sesungguhnya digunakan sebagai cara untuk mendidik para santri yang suka
melakukan pelanggaran, baik pelanggaran terhadap aturan pesantren, maupun yang
lainnya agar mereka merasa jera dan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama di
kemudian hari.
Ada beragam bentuk ta’zir yang biasa diterapkan oleh pesantren. Tentu
semua pesantren punya cara tersendiri dalam rangka menertibkan para santrinya. Ada
yang terlihat kejam dengan menggunakan cara fisik, seperti dicambuk dengan
rotan, -seperti beberapa waktu lalu yang sempat viral di salah satu pesantren
di Jawa Timur. Ada yang berupa hukuman yang berupa ketrampilan, dan lain
sebagainya. Tentunya, semua itu disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang
dilakukan oleh para santri.
Yang menarik adalah meski beragam jenis ta’zir diterapkan, jarang
sekali ada santri yang merasa benci pada kyainya, dendam dengan asatidznya dan
seterusnya. Terkadang di pesantren, saat kyai mengajar, santri yang tidak bisa
membaca dimarahai atau bahkan ada yang dipukul dengan surban dan sebagainya. Namun
anehnya, mereka, ‘santri’ justru merasa senang dengan perlakuan kyai. Bahkan hal
tersebut justru menambah semangat belajar mereka.
Sebagai contoh adalah teman sekelas saya, yang saat ini, menurut
adik iparnya sudah banyak dibutuhkan tenaga dan bantuannya di masyarakatnya. Padahal
saat ‘ngaji’ dia tidak bisa apa-apa. Bahkan seringkali saat mengaji dia ‘mendapat
ta’zir pukulan surban’ karena ketidakbisaannya membaca. Namun selalu saja,
selesai ‘ngaji’ dia bilang, ‘alhamdulillah aku oleh tsawabe guse tambah
pinter’.
Ini adalah kisah nyata yang pernah terjadi. Apa rahasianya hingga
santri tidak merasa tersakiti oleh pukulan kyai, ta’zir yang diberikan kyai? Rahasianya
adalah ketulusan niat, cinta, dan kasih sayang pada santrinya. Kerasnya lahiriyah
kyai tidak diikuti oleh kebencian hatinya, sehingga hal itu berdampak positif
pada santrinya. Hal inilah yang kira-kira mulai terkikis,-atau bahkan, hilang
dari para pendidik hari ini. Kalau dia marah, hatinya benar-benar marah pada
santrinya, hingga hal tersebut menutup hidayah bagi para santri atau murid
didiknya.
Kyai meski lahirnya keras, tapi hatinya lembut. Bahkan di tengah
malam saat santrinya terlelap dadlam tidurnya, ia terbangun dan mendo’akan
santri-santrinya agar kelak mereka menjadi manusia yang berguna. Semoga jika
kita menjadi pendidik kita bisa memiliki rasa cinta, ketulusan pada proses
pendidikan mereka, hingga Allah membukakan hidayah bagi mereka dan kita semua. Aamiin...
Komentar
Posting Komentar