Derajat Pemilik Ilmu
(Seri Ihya’ Ulum Al-Din)
Keutamaan pemilik ilmu atas yang lainnya, sudah tidak diragukan
lagi. Ada banyak keterangan yang menjelaskan keutamaan ‘alim atas
orang-orang jahil. Bahkan, Al-Qur’an membandingkan keduanya sebagaimana
perbandiang seorang yang buta dan yang bisa melihat. Tentu, ini menunjukkan
bahwa ada kesenjangan jauh antara ahli ilmu dengan mereka yang bukan ahli ilmu.
Orang yang bukan ahli ilmu, diumpamakan seperti seorang buta yang tidak
bisa melihat sekelilingnya. Mereka tidak bisa menyaksikan lingkungannya yang
indah, bahkan untuk sekadar berjalan saja, mesti menggunakan perantara yang
bisa membantunya agar tidak berjalan ke tempat yang salah, semisal tongkat atau
membutuhkan bantuan seorang yang bisa menunjukkan jalan baginya.
Sedangkan mereka yang ahli ilmu, laksana seorang yang bisa melihat. Mereka bisa menyaksikan keindahan alam sekelilingnya, menikmatinya, sekaligus mensyukurinya. Allah swt. memberikan kesempurnaan penglihatan kepada mereka sehingga mereka mengetahui secara pasti keadaan sekelilingnya sehingga tidak menghawatirkan jika mereka terjatuh ke lubang galian di tengah perjalanannya.
Diantara hadis yang menerangkan tentang derajat seorang berilmu yang
dirujuk oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Al-Din nya adalah hadis
berikut:
أقرب
الناس من درجة النبوة أهل العلم والجهاد، أما أهل العلم فدلوا الناس على ماجائت به
الرسل وأما أهل الجهادفجاهدوا بأسيافهم على ما جائت به الرسل (رواه أبو نعيم)
Artinya: “Manusia yang paling dekat (derajatnya) dari derajat
kenabian adalah ahli ilmu dan jihad. Adapun ahli ilmu, mereka menunjukkan
manusia kepada apa yang dibawa para rasul. Adapun ahli jihad, mereka berjihad
dengan senjata-senjata (pedang-pedang) mereka untuk (menegakkan) apa yang
dibawa oleh para rasul.” (HR. Abu Nu’aim).
Sanad hadis ini lagi-lagi dinilai dha’if
oleh para ahli hadis. Tentu, dengan penilaian ini, maka dalam pandangan ulama
ahli hadis, riwayat ini tidak cukup untuk dijadikan hujjah, paling banter hanya
bisa dijadikan sebagai fadhail al-a’mal. Namun demikian, Fakhrudin Faiz
dalam salah satu ceramahnya pernah menyatakan, bahwa saat menukil hadis,
Al-Ghazali tidak sekadar melihat pada sisi riwayat secara dhahirnya. Tetapi, ia
melibatkan indera rasa “dzauq”, sehingga meskipun terkadang hadis
tersebut dipandang lemah, namun jika bagi Al-Ghazali, secara “dzauq”
hadis tersebut “wangi”, tetap saja ia menukil dan menjadikannya sebagai
rujukan.
Dalam redaksi hadis di atas, ahli ilmu memiliki
kedudukan yang istimewa, yakni menempati posisi yang paling dekat dengan posisi
“nubuwwah”, kenabian. Di dunia ini, tidak ada posisi yang lebih tinggi
bagi makhluk, melebihi posisi seorang yang terpilih sebagai nabi dan rasul. Pemahaman
ini tentu sudah menjadi “ittifaq”, kesepakatan diantara para ahli ilmu
khususnya, dan umat muslim pada umumnya. Nabi dan rasul merupakan seorang yang
terpilih sebagai utusan untuk menyampaikan risalah kepada manusia.
Para rasul, dibimbing oleh petunjuk wahyu. Mereka
tidak melakukan hal apapun kecuali dengan petunjuk wahyu. Allah swt. menegaskan
hal ini dalam Al-Qur’an, “Dan tidaklah ia (Muhammad), mengatakan sesuatu
dengan (menuruti) keinginan nafsunya. Tidaklah (yang diucapkan itu) melainkan
wahyu yang diwahyukan.” (Qs. Al-Najm (53); 3-4).
Al-Ghazali secara khusus membahas tentang hal
ini dalam kitabnya, Al-Risalah Al-Ladunniyyah. Para rasul memiliki jiwa
totalitas dalam menerima semua ketentuan dari-Nya. Oleh karena totalitasnya
tersebut, jiwa ini mampu menerima “pengajaran langsung” dengan kadar yang
melebihi jiwa yang kadar “totalitas” nya berada di bawahnya. Ilmu yang
dituangkan ke dalam hati para rasul, bersumber dari “wahyu” yang secara
langsung dituangkan ke dalam hati mereka. Berbeda dengan manusia pada umumnya.
Para ahli ilmu memiliki derajat yang paling
dekat dengan derajat kenabian, oleh sebab para nabi tidak mewariskan harta,
baik berupa dinar, dirham maupun lainnya. Satu-satunya warisan dari para nabi
adalah ilmu. Karena itu, ahli ilmu memiliki derajat paling dekat dengan para
nabi. Tetapi, ilmu yang seperti apa yang menunjukkan pada derajat ahli ilmu
yang dekat dengan derajat nabi? Tentu hal inilah yang perlu untuk dikaji lebih
dalam lagi.
Meskipun redaksi dari hadis tersebut bersifat
umum, bahwa para ahli ilmu lah yang paling dekat dengan derajat “kenabian”,
agaknya perlu dicermati ilmu yang seperti apa yang dimaksud di dalam hadis ini.
Tentu, setiap orang memiliki sudut pandang beragam dalam menafsirkan hadis ini.
Mungkin saja, ada yang menafsirkannya sebagai semua ilmu, ilmu agama, ilmu
tauhid, atau yang lainnya. Ini tidak terlepas dari kecenderungan yang dimiliki
setiap orang, dan menurut hemat penulis, sah-sah saja bagi siapapun memahami
sesuai dengan sudut pandangnya. Yang paling penting, jangan memaksakan
pandangan tersebut kepada orang lain, yang ujungnya menyalahkan setiap
pandangan yang berbeda dengannya. Akan lebih bijak, jika menghargai setiap
perbedaan, karena boleh jadi yang kita yakini kebenarannya boleh jadi “salah”
karena keterbatasan akal yang kita punya.
Saya lebih sepakat jika ilmu yang dimaksud di
dalam redaksi hadis tersebut adalah ilm al-nafi’. Yakni ilmu yang bisa
menuntun pemiliknya untuk semakin dekat kepada-Nya, semakin tunduk patuh pada
perintah-Nya, semakin menambah rasa takut kepada-Nya. Pemahaman ini, tanpa
memilah ilmu umum dan agama. Bagi saya, semua ilmu bersumber dari sumber yang
sama, yakni Sang Pemilik Kehidupan, Allah swt. Oleh sebab itu, tidak ada ilmu
yang terlahir tanpa kehendak-Nya, karena itu, semua ilmu pada hakikatnya, jika
disyukuri dan dimanfaatkan sebaik mungkin akan semakin mendekatkan diri
kepada-Nya. Semakin menambahkan rasa kekaguman pada keagungan Sang Khaliq yang
tanpa batas. Itulah yang,-menurut saya, diisyaratkan oleh Al-Qur’an dengan
redaksinya:
وَمِنَ
النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى
اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (Qs. Al-Fathir (35); 28)
Ayat ini, -menurut saya, merupakan
pijakan bahwa “patokan” utama ilmu yang dimaksud pada hadis yang menyebut ahli
ilmu sebagai seorang yang paling dekat pada derajat kenabian. Terlebih lagi,
jika melihat pada awal ayat ini justru dikaitkan dengan pengetahuan tentang
ayat kauniyah, berupa manusia, binatang melata dan hewan ternak. Sehingga penulis
lebih condong bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang semakin meningkatkan
rasa “khauf” kepada Allah swt., dimana ilmu semacam ini dita’rifkan Al-Ghazali
sebagai ‘ilm al-nafi’.
Derajat selanjutnya adalah para
mujahid. Orang senantiasa bersungguh-sungguh dalam upaya memperjuangkan dan
menegakkan apa yang datang dari para nabi dan rasul. Mereka dengan harta, jiwa
dan raganya berjuang tanpa lelah agar perjuangan rasulullah saw. bisa tetap
lestari sampai menjelang kiamat. Allahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar