Minggu, 05 Juni 2022

Manusia yang Paling Berat Siksaannya

 

Manusia yang Paling Berat Siksaannya

(Seri Ihya’ Ulum Al-Din)



Setiap perjalanan yang ditempuh memiliki akhir perjalanan yang menjadi tujuan. Adakalanya perjalanan yang ditempuh akan sampai pada tujuan yang diharapkan, namun tidak jarang pula diantara para penempuh perjalanan tidak sampai pada tujuan yang diharapkan. Mereka sampai pada tempat, dimana tempat tersebut, sebenarnya bukanlah tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. Akibatnya, mereka merasa menyesal dan tersesat dalam perjalanan yang ditempuhnya.

Kehidupan di dunia sejatinya tidak jauh berbeda dengan sebuah perjalanan. Yakni perjalanan untuk menuju pada kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan tanpa akhir yang disebut dengan akhirat. Kehidupan kekal abadi selama-lamanya. Sampai kapan? Sampai batas waktu yang dikehendaki-Nya.

Di dunia ini, manusia memiliki tanggungjawab untuk merealisasikan janjinya kepada Sang Khaliq, Allah swt., yakni perjanjian primordial bahwa mereka, “manusia” mengakui bahwa Dia, “Allah” adalah sebenar-benarnya Tuhan yang berhaq disembah. Pengakuan ini berkonsekuensi pada kewajiban manusia untuk mengabdikan diri secara “totalitas” kepada-Nya, tanpa sedikitpun menuntut imbal balik, balasan dari-Nya. “Totalitas” pengabdian ini, seringkali disebut dengan “ikhlas”. Yakni, perilaku dimana seorang hamba mengabdikan diri dan menyembah semata hanya menjalankan perintah-Nya, tanpa pamrih, “ingin selamat dari siksa neraka, pun pula akan dimasukkan ke dalam surga”.

Pengabdian totalitas yang disebut “ikhlas” ini, tentu tidak semudah mengucapkannya, terlebih manusia sebagai satu-satunya pemegang “amanat” dalam kehidupan memiliki kebebasan dalam menentukan keinginannya. Di sisi lain, “keinginan” ini, tidak bisa dihilangkan maupun dimatikan dari dalam dirinya. Siapapun orangnya, apapun jabatannya, dan seberapapun tingginya “ilmu agama” yang dimilikinya. Ia hanya bisa “dikendalikan”, tentunya dengan berbagai usaha dan upaya untuk menundukkannya. Hanya orang yang mendapat petunjuk dan pertolongan dari-Nya lah yang akan mampu mengendalikannya sehingga ia menjadi “muthmainnah”, tenang.

Oleh karena manusia memiki kewajiban untuk mengabdikan diri secara “totalitas” kepada-Nya, tanpa pamrih sama sekali, tentu ada sebagian orang yang berhasil menjalaninya, dan adapula yang “gagal” dalam menjalankan kewajibannya. Mereka yang berhasil dalam menjalani tugasnya itu, dijanjikan “balasan kebaikan” berupa surga berikut kenikmatan yang ada di dalamnya. Termasuk nikmat terbaik yang tak ada duanya, yakni kenikmatan “berjumpa dengan-Nya, Allah swt., saat melihat-Nya”. Sebaliknya, orang-orang yang gagal dalam menjalani kewajibannya, diancam dengan kehidupan penuh siksa di tempat yang paling buruk, yakni “al-nar”, neraka. Mereka lah orang-orang yang mengalami penyesalan panjang, tanpa akhir, tanpa batas sampai waktu yang dikehendaki-Nya.

Siksa di neraka ini, berdasarkan informasi para ulama beragam jenis dan kadarnya, sesuai dengan tingkat kesalahan dan banyaknya dosa yang dilakukan. Siksa teringan adalah seorang yang menginjak batu kerikil terbuat dari api hingga ubun-ubunnya mendidih. Adapun siksa terberat, penulis belum menemukan informasi berkaitan dengannya.

Yang jelas, surga dan neraka, sebagaimana informasi yang diperoleh dari hadis nabi adalah belum pernah terlihat oleh mata manusia, belum terdengar telinga manusia, dan tidak pernah terbesit dalam hati manusia. Artinya, ia bagian dari urusan yang ghaib, dimana iman harus lebih didahulukan daripada memikirkan tentang seperti apa, bagaimana dan sebagainya.

Berkenaan dengan orang yang paling berat siksaannya, Al-Ghazali menukil satu hadis dalam kitabnya, Ihya’ Ulum Al-Din:

أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لم ينفعه الله سبحانه بعلمه (رواه الطبراني والبيهقي)

Artinya:  “Manusia yang paling berat siksanya, besok di hari kiamat adalah seorang alim yang Allah swt. tidak memberikan kepadanya dengan “kemanfaatan ilmunya”.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Hadis ini berasal dari Abi Hurairah dengan sanad yang lemah. Al-Thabrani menyebutkan dalam “Al-Shaghir” dan Al-Baihaqi dalam “Syu’b Al-Iman”. Meskipun lemah secara sanad, tetapi Al-Ghazali secara tegas menukilnya di awal Ihya’nya. Tentu hal ini, setidaknya bagi Al-Ghazali, memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Bahkan setelah menukil hadis ini, Al-Ghazali bersumpah bahwa tidak ada sebab takabbur melainkan penyakit yang menyelimuti diri manusia yang umumnya diderita sebagian besar manusia.

Al-Ghazali melalui hadis ini, agaknya ingin mengingatkan agar para pemilik ilmu, “Al-Alim”, berhati-hati dengan kealiman yang dimilikinya. Ilmu belum lah cukup untuk menjadikan manusia sebagai seorang yang bruntung dalam kehidupannya di akhirat. Sebaliknya, boleh jadi dan besar kemungkinan, ilmu justru menjadi pemicu, munculnya sifat “takabbur” dalam diri al-alim. Jika demikian halnya, maka ilmu bukannya menyelamatkan, tetapi menghancurkan pemiliknya.

Tentu, Al-Ghazali tidak bermaksud melarang seseorang mencari ilmu setinggi-tingginya. Yang diinginkannya adalah agar para penuntut ilmu yang nantinya akan menjadi seorang “Al-Alim” berhati-hati, jangan sampai ilmu yang dicarinya bersusah payah, menjadi pemicu “siksa berat” baginya di hari kiamat.

Siksa paling berat adalah siksa orang yang alim, yang Allah tidak memberikan manfaat pada ilmunya. Hal ini logis karena seorang alim yang semestinya bisa memberikan peringatan, petunjuk dan menjadi sandaran bagi orang-orang awam, justru menyesatkan. Ilmu yang semestinya menjadikannya seorang yang bermanfaat bagi banyak orang, justru hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, meraih kesenangan dunia sesaat. Demi mengumpulkan dunia, mencari “ketenaran” di tengah masyarakat, rela mengorbankan banyak orang, menjilat para penguasa, dan menipu orang awam. Tentu, secara logika hukuman mereka semestinya lebih berat daripada mereka yang melakukan kesalahan tanpa pengetahuan.

Kemanfaatan ilmu, bila ditinjau dari sisi ilmu tasawuf, mistisisme Islam adalah yang semakin menambahkan kedekatan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Ilmu nafi’ diukur dari efek yang diberikannya. Adakah ilmu yang dimiliki mampu menjadikan seseorang semakin “dekat” dan “taqwa” kepada-Nya? Jika tidak, seberapapun banyaknya ilmu yang dimiliki dalam tinjauan tasawuf belum disebut dengan “ilm al-nafi’”. Terlebih, jika ilmu tersebut justru menimbulkan rasa “bangga diri, congkak, dan takabbur dalam diri pemiliknya.” Allahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...