Manusia yang Paling Berat Siksaannya
(Seri Ihya’ Ulum Al-Din)
Setiap perjalanan yang ditempuh memiliki akhir perjalanan yang
menjadi tujuan. Adakalanya perjalanan yang ditempuh akan sampai pada tujuan
yang diharapkan, namun tidak jarang pula diantara para penempuh perjalanan
tidak sampai pada tujuan yang diharapkan. Mereka sampai pada tempat, dimana
tempat tersebut, sebenarnya bukanlah tempat yang menjadi tujuan perjalanannya.
Akibatnya, mereka merasa menyesal dan tersesat dalam perjalanan yang ditempuhnya.
Kehidupan di dunia sejatinya tidak jauh berbeda dengan sebuah perjalanan. Yakni perjalanan untuk menuju pada kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan tanpa akhir yang disebut dengan akhirat. Kehidupan kekal abadi selama-lamanya. Sampai kapan? Sampai batas waktu yang dikehendaki-Nya.
Di dunia ini, manusia memiliki tanggungjawab untuk merealisasikan
janjinya kepada Sang Khaliq, Allah swt., yakni perjanjian primordial bahwa
mereka, “manusia” mengakui bahwa Dia, “Allah” adalah sebenar-benarnya Tuhan
yang berhaq disembah. Pengakuan ini berkonsekuensi pada kewajiban manusia untuk
mengabdikan diri secara “totalitas” kepada-Nya, tanpa sedikitpun menuntut imbal
balik, balasan dari-Nya. “Totalitas” pengabdian ini, seringkali disebut dengan “ikhlas”.
Yakni, perilaku dimana seorang hamba mengabdikan diri dan menyembah semata
hanya menjalankan perintah-Nya, tanpa pamrih, “ingin selamat dari siksa neraka,
pun pula akan dimasukkan ke dalam surga”.
Pengabdian totalitas yang disebut “ikhlas” ini, tentu tidak semudah
mengucapkannya, terlebih manusia sebagai satu-satunya pemegang “amanat” dalam
kehidupan memiliki kebebasan dalam menentukan keinginannya. Di sisi lain, “keinginan”
ini, tidak bisa dihilangkan maupun dimatikan dari dalam dirinya. Siapapun orangnya,
apapun jabatannya, dan seberapapun tingginya “ilmu agama” yang dimilikinya. Ia hanya
bisa “dikendalikan”, tentunya dengan berbagai usaha dan upaya untuk
menundukkannya. Hanya orang yang mendapat petunjuk dan pertolongan dari-Nya lah
yang akan mampu mengendalikannya sehingga ia menjadi “muthmainnah”, tenang.
Oleh karena manusia memiki kewajiban untuk mengabdikan diri secara “totalitas”
kepada-Nya, tanpa pamrih sama sekali, tentu ada sebagian orang yang berhasil
menjalaninya, dan adapula yang “gagal” dalam menjalankan kewajibannya. Mereka yang
berhasil dalam menjalani tugasnya itu, dijanjikan “balasan kebaikan” berupa surga
berikut kenikmatan yang ada di dalamnya. Termasuk nikmat terbaik yang tak ada
duanya, yakni kenikmatan “berjumpa dengan-Nya, Allah swt., saat melihat-Nya”. Sebaliknya,
orang-orang yang gagal dalam menjalani kewajibannya, diancam dengan kehidupan
penuh siksa di tempat yang paling buruk, yakni “al-nar”, neraka. Mereka lah
orang-orang yang mengalami penyesalan panjang, tanpa akhir, tanpa batas sampai
waktu yang dikehendaki-Nya.
Siksa di neraka ini, berdasarkan informasi para ulama beragam jenis
dan kadarnya, sesuai dengan tingkat kesalahan dan banyaknya dosa yang
dilakukan. Siksa teringan adalah seorang yang menginjak batu kerikil terbuat
dari api hingga ubun-ubunnya mendidih. Adapun siksa terberat, penulis belum
menemukan informasi berkaitan dengannya.
Yang jelas, surga dan neraka, sebagaimana informasi yang diperoleh
dari hadis nabi adalah belum pernah terlihat oleh mata manusia, belum terdengar
telinga manusia, dan tidak pernah terbesit dalam hati manusia. Artinya, ia
bagian dari urusan yang ghaib, dimana iman harus lebih didahulukan daripada
memikirkan tentang seperti apa, bagaimana dan sebagainya.
Berkenaan dengan orang yang paling berat siksaannya, Al-Ghazali
menukil satu hadis dalam kitabnya, Ihya’ Ulum Al-Din:
أشد
الناس عذابا يوم القيامة عالم لم ينفعه الله سبحانه بعلمه (رواه الطبراني
والبيهقي)
Artinya: “Manusia yang paling berat siksanya, besok di
hari kiamat adalah seorang alim yang Allah swt. tidak memberikan kepadanya
dengan “kemanfaatan ilmunya”.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Hadis ini berasal dari Abi Hurairah dengan
sanad yang lemah. Al-Thabrani menyebutkan dalam “Al-Shaghir” dan Al-Baihaqi
dalam “Syu’b Al-Iman”. Meskipun lemah secara sanad, tetapi Al-Ghazali secara
tegas menukilnya di awal Ihya’nya. Tentu hal ini, setidaknya bagi Al-Ghazali,
memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Bahkan setelah menukil hadis
ini, Al-Ghazali bersumpah bahwa tidak ada sebab takabbur melainkan penyakit
yang menyelimuti diri manusia yang umumnya diderita sebagian besar manusia.
Al-Ghazali melalui hadis ini, agaknya ingin
mengingatkan agar para pemilik ilmu, “Al-Alim”, berhati-hati dengan kealiman
yang dimilikinya. Ilmu belum lah cukup untuk menjadikan manusia sebagai seorang
yang bruntung dalam kehidupannya di akhirat. Sebaliknya, boleh jadi dan besar
kemungkinan, ilmu justru menjadi pemicu, munculnya sifat “takabbur” dalam diri
al-alim. Jika demikian halnya, maka ilmu bukannya menyelamatkan, tetapi
menghancurkan pemiliknya.
Tentu, Al-Ghazali tidak bermaksud melarang
seseorang mencari ilmu setinggi-tingginya. Yang diinginkannya adalah agar para
penuntut ilmu yang nantinya akan menjadi seorang “Al-Alim” berhati-hati, jangan
sampai ilmu yang dicarinya bersusah payah, menjadi pemicu “siksa berat” baginya
di hari kiamat.
Siksa paling berat adalah siksa orang yang
alim, yang Allah tidak memberikan manfaat pada ilmunya. Hal ini logis karena
seorang alim yang semestinya bisa memberikan peringatan, petunjuk dan menjadi
sandaran bagi orang-orang awam, justru menyesatkan. Ilmu yang semestinya
menjadikannya seorang yang bermanfaat bagi banyak orang, justru hanya
dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, meraih kesenangan dunia sesaat. Demi mengumpulkan
dunia, mencari “ketenaran” di tengah masyarakat, rela mengorbankan banyak
orang, menjilat para penguasa, dan menipu orang awam. Tentu, secara logika
hukuman mereka semestinya lebih berat daripada mereka yang melakukan kesalahan
tanpa pengetahuan.
Kemanfaatan ilmu, bila ditinjau dari sisi ilmu
tasawuf, mistisisme Islam adalah yang semakin menambahkan kedekatan dan
ketaqwaan kepada Allah swt. Ilmu nafi’ diukur dari efek yang diberikannya. Adakah
ilmu yang dimiliki mampu menjadikan seseorang semakin “dekat” dan “taqwa”
kepada-Nya? Jika tidak, seberapapun banyaknya ilmu yang dimiliki dalam tinjauan
tasawuf belum disebut dengan “ilm al-nafi’”. Terlebih, jika ilmu
tersebut justru menimbulkan rasa “bangga diri, congkak, dan takabbur dalam diri
pemiliknya.” Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar