Ini Soal Penghargaan

 

Ini Soal Penghargaan



Artikel sederhana ini bermula dari sebuah status yang cukup mengusik penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Oleh karena memang status ini ditujukan secara langsung pada penyelenggara pendidikan islam. Artikel ini bukan untuk melakukan pembelaan pada satu pihak, melainkan lebih memberikan tawaran alternative pertimbangan yang barangkali saja dirasa cocok. Kalaupun dirasa tidak cocok, tidak ada paksaan untuk menerima tawaran alternative pertimbangan ini.

Beberapa decade belakangan ini, animo masyarakat pada lembaga pendidikan khususnya pendidikan islam yang berbasis pada fullday school cukup santer. Banyak para wali murid yang memilih lembaga-lembaga pendidikan seperti ini untuk menitipkan anak-anaknya. Mereka lebih percaya pada lembaga pendidikan tersebut, tentunya dengan berbagai pertimbangan.

Diantara pertimbangan-pertimbangan yang biasanya mendorong wali murid untuk menitipkan anak-anaknya di lembaga pendidikan Islam fullday school adalah pertama, kualitas pendidikannya. Para wali umumnya melihat bahwa pengelolaan lembaga pendidikan Islam dengan system fullday school lebih baik dari yang lainnya. Tentu, para wali murid menilai hal tersebut dari capaian pembelajaran yang dihasilkannya.

Di lembaga pendidikan Islam fullday school, umumnya para siswa diajari dengan berbagai kompetensi dalam berbagai bidang, seperti tahfidz Al-Qur’an (Juz 30 dan beberapa surat pilihan), asmaul husna, ubudiyah sehari-hari, berbagai jenis kegiatan ekstra pilihan seperti tahfidz, seni pidato, tilawatul qur’an, serta berbagai kegiatan lain yang bisa dipilih oleh siswa berdasarkan minat dan bakatnya. Tentu, hal ini merupakan tawaran menarik dalam membekali para siswa di kehidupannya yang akan datang. Bakat-bakat mereka tersalurkan dengan baik, oleh karena fasilitasnya yang memang mendukung dan memadai.

Kedua, trand di tengah masyarakat juga turut serta mewarnai pemilihan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan Islam dengan system fullday school terbukti telah banyak memberikan sumbangsih bagi penyaluran bakat minat siswa. Tidak jarang siswa-siswa lembaga pendidikan Islam menyabet berbagai prestasi di berbagai perlombaan baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Tentu hal ini, akan semakin menjadi daya pikat lembaga pendidikan tersebut di tengah komunitas masyarakat.

Ketiga, kesibukan wali murid untuk memenuhi kebutuhan finansial. Lembaga fulday school umumnya menjadi alternative pilihan bagi para wali murid yang memiliki tingkat kesibukan yang tinggi. Para wali murid yang memiliki kesibukan tinggi ini memilih untuk menitipkan anak-anaknya di lembaga pendidikan fullday school ketimbang di tempat penitipan anak (TPA), sepulang mereka dari sekolah biasa. Alasannya dari pada mereka “merogoh gocek” cukup banyak, tetapi anak tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik mereka menitipkan anaknya di lembaga pendidikan Islam. Di samping menitipkan ada nilai plus anak-anak mendapat tambahan materi mengaji dan lain sebagainya.

Beberapa pertimbangan tersebut, tentu belum bisa mewakili “ragam pertimbangan” wali murid dalam memilih lembaga pendidikan Islam berbasis fullday school ini. Tetapi paling tidak, mewakili beberapa pertimbangan dalam memilih lembaga pendidikan.

Umumnya memang tariff di lembaga pendidikan sekolah fullday school lebih tinggi jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang lain. Tetapi tentunya tingginya tariff ini juga disesuaikan dengan beragam fasilitas fisik yang disediakan serta berbagai fasilitas non fisik lainnya yang ditawarkan. Para wali murid (saat ini), umumnya tidak “mempermasalahkan” tingginya tarif ini. Bahkan, sebagian wali “mohon maaf”, ada yang sekadar berpikir sebagai “trand”. Ada kontestasi “gengsi” yang turut serta menyertai, jika anak mereka tidak sekolah di tempat yang “bertarif mahal”.

Persoalan yang kemudian muncul adalah status yang diunggah, yang agaknya, sedikit “mengusik” eksistensi lembaga pendidikan Islam ini. Status tersebut kurang lebih sebagai berikut:

“Anakku yang dulu di pesantren tahfidz… sekarang jadi karyawan pabrik… kenapa...? Karena beberapa kali diminta ngajar di pesantren dan lembaga pendidikan islam, Fullday… Cuma di gaji 500 ribu sebulan…

Jadi saya gak bisa melarang saat anak saya melamar kerja di pabrik deket rumah… yang gajinya 4.800 ribu sebulan … dengan uang makan 800 ribu perminggu… dan lima hari kerja…

Padahal lembaga lembaga pendidikan Islam itu kebanyakan mematok harga mahal untuk biaya spp dll… Dengan gedung megah dan mentereng…

Tapi soal penghargaam…

Pabrik lebih menghargai jasa buruhnya dibanding mereka…

Miris…!

Demikianlah bunyi status tersebut. Tentu hal ini, terasa tidak mengenakkan “telinga” sebagian orang yang mungkin saja memiliki lembaga pendidikan islam dengan basis fullday school. Status tersebut, pada akhirnya juga menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak. Ada yang dari pihak pesantren (karena memang status itu mencatut pesantren) yang  berkomentar, menuntut ilmu itu bukan semata untuk mencari uang, ada pula dari pihak lain, yang dengan rasa “prihatin” sekadar bisa mengatakan, “Memang realitasnya kita masih banyak menjumpai yang demikian itu di lapangan”.

Status unggahan di medsos ini, sepatutnya kita jadikan sebagai bahan renungan bagi kita bersama, khususnya para pelaksana, pegiat dan pemerhati pendidikan. Memang menuntut ilmu, bukan semata untuk mencari uang. Oleh sebab itu, tidak selayaknya bagi seorang yang menuntut ilmu untuk menjadikan “uang” sebagai orientasi dan tujuan dalam mencari ilmu.

Ilmu lebih mahal dan tinggi nilainya dibanding dengan sekadar “uang”. Tentu, saking tingginya nilai ilmu itu. Oleh karenanya, jangan pernah ingin menukar ilmu dengan “materi”, karena hal itu justru akan merendahkan diri sang pemilik ilmu.

Namun demikian, yang perlu juga direnungkan bagi para pemilik lembaga pendidikan adalah tidak serta merta memberi gaji “semaunya” sendiri. Dalam arti, keikhlasan bukan diartikan dengan “tidak digaji atau gaji rendah”. Jika memang lembaga mampu memberikan yang lebih, mengapa tidak?

Dengan memberikan gaji yang cukup, paling tidak patut sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, tentu hal itu akan lebih menambah keikhlasan para guru dalam mengajar. Lebih lanjut lagi, jika guru telah tercukupi kesejahteraannya, tentu ia akan lebih fakus lagi dalam mengajar, serta melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran. Dengan begitu, maka dimungkinkan kualitas dari proses pembelajaran akan meningkat dan syiar lembaga dengan sendirinya akan semakin bagus.

Hal ini tentu berbeda dengan kondisi kesejahteraan para guru yang terabaikan. Para guru yang merasa kurang tercukupi kebutuhannya akan berupaya untuk memenuhinya dengan mencari sumber lain di luar sekolah. Tentu hal ini nantinya akan berpengaruh pada kondisi para guru. Tidak jarang para guru merasa terlalu capek, karena disamping mengajar, mereka juga mencari kegiatan lain sebagai penghasilan tambahan, mengingat kebutuhan kehidupan yang memang memaksa setiap orang untuk bekerja lebih keras agar bisa terpenuhi.

Namun demikian, agaknya  hal ini relative. Banyak orang yang hidup dalam kemewahan, tetapi masih saja mengeluh dan merasa kurang. Tentu hal ini nanti akan kembali pada pribadi masing-masing orang, karena memang tingkat “kepuasan” orang berbeda antara satu dengan lainnya.

Kuncinya sederhana saja, bersyukur. Mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Allah swt. dan menggunakannya untuk hal-hal positif yang diridhai-Nya. Dengan syukur inilah, hidup akan lebih terasa tenang, nyaman, dan damai. Seberapapun rizki yang diberikan Tuhan, jika digunakan untuk hidup, akan cukup, tetapi jika digunakan untuk mengejar gaya hidup, seberapapun banyaknya rizki tersebut, rasanya akan selalu kurang.

Berkenaan dengan status tersebut, saya mengajak semua pihak, baik pelaku, pemilik, penyelenggara, dan pemerhati pendidikan untuk saling memenuhi hak dan kewajiban. Berusahalah dengan sebaik mungkin untuk menjalani profesi sebaik-baiknya. Jangan pernah menjadikan “materi” sebagai orientasi dan tujuan, karena hal itu akan merendahkan diri anda. Sebaliknya, perbaiki niat sebaik-baiknya, ikhlas karena Allah, maka semua akan terasa indah dan menyenangkan. Laksanakan amanah sebaik-baiknya, maka hasil baik akan kita dapatkan.

Bagi para pemilik dan penyelenggara pendidikan, berikan penghargaan sebaik mungkin bagi para guru, tentu sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki lembaga. Mereka adalah para pendidik generasi bangsa dan agama. Di tangan mereka lah baik dan tidaknya umat di masa mendatang.

Bagi siapapun yang melihat dan membaca status tersebut, ataupun membaca artikel sederhana ini, saya mengajak untuk bersikap bijak. Jangan terburu menilai seseorang dengan “sudut pandang kita”. Karena boleh jadi sudut pandang itu jauh dari “kebenaran” yang sesungguhnya, terlebih dari sekadar melihat postingan.

Banyak orang menilai sekolah mahal, sering ada iuran, padahal memang biaya operasional sekolah tak “semurah” yang kita pikirkan. Banyak juga yang menilai, “Guru kok masih bukak les, apa gajinya kurang?”. Banyak realita, terutama yang masing magang, merasakan gajinya masih belum bisa mencukupi kebutuhan sehingga butuh penghasilan tambahan.

Jangan terburu-buru pula menilai status tersebut dengan mengatakan, mencari ilmu kok demi uang? Boleh jadi hal itu bukan untuk mengeluh. Sekadar merasa prihatin dengan kondisi para guru yang masih belum sesuai dengan harapan.

‘Alaa kulli haal, dahulukan husnudzan dalam menilai setiap persoalan. Dengan husnudzan, setiap persoalan akan terasa ringan dan pada akhirnya kebaikan, keberkahan dan kemanfaatan lebih bisa dirasakan. Allahu A’lam.

Komentar