Mengenang Sosok Gus Tajud
Oleh: Muhamad Fatoni, M.Pd.I
Ahmad Tajudin, itulah nama asli Gus Tajud. Ia
lebih populer dengan sebutan Gus Tajud. Gelar “Gus” yang disandangnya ini
memang gelar yang sesungguhnya, yakni kenyataan bahwa beliau adalah putra seorang
Kyai Karismatik dari Dukuh Gendis, Desa Pikatan, Kecamatan Wonodadi, Kabupaten
Blitar. Sosok yang banyak memberi inspirasi bagi orang-orang yang mengenalnya
secara lebih mendalam.
Secara pribadi, saya mulai mengenal “Gus Tajud” saat mengikuti kegiatan “MAPABA” yang diadakan oleh pengurus Komisariat PMII Sunan Ampel Tulungagung. Seingat saya, Gus Tajud menyampaikan materi “Aswaja” pada waktu itu. Materi tersebut diberikan diwaktu malam hari, dimana beliau nampak agak “kelelahan”, setelah rutinitasnya yang padat di siang hari. Meski demikian, beliau tetap bersemangat dalam memberikan materi serta teladan bagi kader-kader di bawahnya.
Pertemuan kedua adalah saat saya mengikuti
salah satu kelas perkuliahan di program studi Bahasa Inggris. Jurusan yang
sebenarnya bukan jurusan saya. Akan tetapi karena waktu itu masih bisa dibilang
jumlah mahasiswa STAIN Tulungagung, masih sangat terbatas, sehingga tidak
jarang mahasiswa leluasa mengikuti perkuliahan di kelas lain, meski terkadang
hanya sekadar duduk sambil mendengarkan materi yang disampaikan dalam
perkuliahan oleh dosen pengampu mata kuliah.
Saya turut
serta dalam salah satu perkuliahan yang kebetulan diajar oleh beliau, “Gus Tajud”, tepatnya pada mata
kuliah Bahasa Arab. Saat itu, beliau sedang menjelaskan materi dengan santai namun
mudah dipahami, yakni tentang harfu jar. Pada saat itu, beliau menjelaskan
tentang harf jar ba’, yang kemudian dikaitkan dengan satu kajian tasawuf. Karena
tertarik pada materi yang disampaikannya, saya sempat bertanya tentang makna ba’
tersebut, dimana maknanya adalah “ilshaq”. Beliau menjelasan secara
gamblang dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.
Bagi saya, Gus Tajud adalah pribadi yang menarik. Beliau tidak banyak
“slenge’an”, namun bukan berarti sulit bergaul. Beliau memiliki banyak
rekanan yang menandakan bahwa beliau adalah seorang yang supel dalam pergaulan,
bahkan dengan siapapun tanpa membedakan status dan kedudukannya. Tidak
membeda-bedakan dengan siapa beliau berteman. Yang jelas, siapapun bisa
berteman dengan beliau.
Sebagai senior, beliau dengan telaten memberikan bimbingan,
pengarahan dan pengkaderan pada juniornya. Saya teringat saat pertama kali
mengabdi di STAIN Tulungagung kala itu, beliau menyapa saya, dan yang saya
heran, ternyata beliau hafal dengan nama sekaligus daerah saya berasal. Tentu,
hal ini menjadi hal yang menarik bagi saya, karena jarang ada orang berpangkat
yang mengenal orang-orang baru yang “level”-nya, jauh berada di bawahnya.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi seorang yang bernama “Gus Tajud”.
Selain itu, Gus Tajud dikenal luas sebagai seorang yang sangat
perhatian kepada mahasiswa. Hal tersebut diakui oleh banyak mahasiswa. Salah
satu diantaranya adalah teman seangkatan yang juga kolega di sekolah dimana
saya dulu belajar untuk mengabdi dan mengajar.
Waktu itu, ia (teman tersebut), menderita sakit yang cukup serius.
Dengan penuh ke-ikhlas-an, Gus Tajud berusaha membantu proses kesembuhannya.
Beliau tidak pernah berpikir, apa yang nanti akan diperolehnya dari apa yang
diperbuatnya tersebut. Prioritasnya adalah kesembuhan dari mahasiswanya
tersebut. Hal yang jarang dimiliki oleh orang sukses, yang umumnya “lupa”
dan bahkan memandang “sebelah mata” pada orang-orang lemah.
Gus Tajud memang pribadi yang menarik untuk diteladani. Beliau
banyak memberikan bimbingan, teladan dan arahan yang baik kepada semua orang.
Di tengah kehidupan yang penuh dengan gemerlap kehidupan dunia, beliau tetap
memegang prinsip yang sejak lama ditanamkan dalam dirinya, yakni prinsip religiusitas.
Beliau tetap taat kepada tuntunan agama, disamping tetap menempatkan diri pada
situasi sebagai seorang yang moderat. Penampilannya yang tenang, menjadikannya
sebagai pribadi yang berwibawa dan disegani oleh setiap orang.
Pengalaman lain dari penulis adalah saat pertama kali, unit dimana
penulis ditempatkan mendapat amanah untuk melaksanakan agenda besar berskala
nasional, yakni Haflah Akhirissanah Al-Kubro yang mulai dirintis saat mulai
diberlakukannya program madin di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Tulungagung kala itu.
Beliau dengan telaten dan penuh kesabaran, secara langsung turun untuk
memberikan sumbangsihnya pada pelaksanaan program tersebut. Saat itu, kami masih
dalam keadaan “nge-blank”. Belum ada gambaran tentang bagaimana
pelaksanaan dari kegiatan tersebut. Beliau dengan sabar dan telaten memberikan
arahan kepada kami sehingga sedikit banyak, gambaran yang sebelumnya “abstrak”
itu, mulai tercerahkan dengan sedikit gambaran.
Sumbangsih beliau juga diberikan saat merawuhkan Kyai Marzuki
Mustamar. Beliaulah yang memberikan arahan guna kesuksesan acara tersebut. Gus
Tajud meminta penulis untuk banyak melakukan koordinasi dengan berbagai pihak
terkait kesuksesan agenda besar tersebut. Dan Alhamdulillah, pada akhirnya
kegiatan tersebut sukses dan bisa terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan.
Gus Tajud banyak memberikan dedikasi kepada penulis dalam berbagai
hal, terutama tentang bagaimana bersikap dalam menjalani kehidupan. Boleh saja
kita mengikuti pesatnya arus dunia, namun jangan pernah lupa dari mana kita
berasal. Selamat jalan Gus. Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagi
panjenengan di sisi-Nya. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar