Kemuliaan Seorang Ahli Ilmu
(Seri Ihya’ Ulum Al-Din)
Sudah jamak bahwa seorang ahli ilmu memiliki kemuliaan melebihi
orang yang bukan ahli ilmu. Kemuliaan ini bisa dirasakan oleh seorang yang tak
berilmu sekalipun. Nyatanya dalam kehidupan sehari-hari para ahli ilmu banyak
mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan mereka menjadi
rujukan bagi berbagai permasalahan yang ada dan ditemukan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Ahli ilmu ini tentu bersifat umum, artinya mencakup semua jenis keilmuan, bukan merujuk pada satu jenis ilmu saja. Memang sebagian orang menafsirkan ilmu dalam literature salaf khususnya dengan al-‘ulum al-diniyyah, ilmu-ilmu agama (bersumber dari Al-Qur’an, hadits, dan juga kitab-kitab al-turats). Penafsiran ini tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, bagi saya khususnya, penafsiran ini sedikit mengabaikan,-kalau saya boleh katakan “agak memandang sebelah mata”, ilmu Allah yang lain, yakni ilmu yang bersumber dari ayat kauniyah, tanda-tanda kekuasaan Allah berupa ciptaan-Nya yang terhampar luas. Tentu, sikap semacam ini agak “kurang bijak” bila tetap dipertahankan di era milenial seperti saat ini. Era dimana laju teknologi informasi melaju dengan begitu pesatnya, hingga menghilang sekat hamparan yang menghalang.
Ilmu yang bersumber dari ayat kauniyah, kiranya juga
memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah swt. Memang secara tekstual, Al-Qur’an
menyebutkan, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mau
beribadah (menyembah) kepada-Ku” (Qs. Al-Dzariyat (51); 56). Namun, agaknya perlu untuk
melakukan pencermatan secara lebih mendalam lagi makna yang tersirat di balik
lafadz, liya’buduunii, supaya mereka mau beribadah (menyembah)
kepada-Ku.
Umumnya orang beranggapan bahwa ibadah sekadar
melaksanakan shalat, menunaikan zakat, sedekah, puasa, haji, dan beragam ibadah
mahdhah lainnya. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi perlu
disempurnakan lagi dengan pemahaman bahwa ada sebagian ibadah yang “diakui”
oleh Allah dalam bentuk yang lain. Termasuk diantaranya bersumber dari ilmu
yang berpijak dari ayat kauniyah. Dengan meyakini hal tersebut, -penulis
menganggap, bahwa hal itu akan “lebih bijak” dan lebih menghargai berbagai
ciptaan-Nya, yang terhampar dan terbentang luas di penjuru langit dan bumi.
Berkenaan dengan kemuliaan ahli ilmu,-meskipun
redaksi adalah lafadz ‘alim, Al-Ghazali dalam ihya’ nya menukil hadis
Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani dari Abi Darda’. Rasulullah
saw. bersabda:
لموت قبيلة أيسر من موت عالم (رواه الطبراني)
Artinya: “Sungguh kematian penduduk satu
desa lebih ringah dibandingkan kematian seorang ‘alim.” (HR. Al-Thabrani).
Seorang ahli ilmu (al-‘alim), terasa
lebih berat bagi dunia beserta isinya dibanding kematian penduduk satu desa
yang tidak berilmu. Ini menunjukkan kemulian ahli ilmu bila dibandingkan orang
yang tidak berilmu. Tentu, kemuliaan tersebut tidak diukur dari kepemilikan
terhadap harta, tetapi kemuliaan yang sesungguhnya diukur dari seberapa ilmu
yang dimiliki oleh seseorang.
Di kehidupan sehari-hari, telah banyak
ditemukan para ahli ilmu yang tidak memiliki banyak harta. Mereka hidup dalam
kesederhanaan dan kesahajaan. Bagi mereka, harta tidak begitu menarik. Ketertarikan
mereka adalah pada ilmu, entah ilmu apapun itu. Memang harus diakui bahwa
seseorang tidak mungkin bisa menguasai semua jenis ilmu. Setiap orang memiliki
spesifikasi khusus dalam hal ilmu sesuai dengan potensi, bakat dan
ketertarikannya. Meskipun demikian, jika ditekuni, spesifikasi khusus yang
digeluti itu akan menjadi hal yang bisa jadi mengangkat posisi seseorang
menjadi seorang yang mulia di masanya. Tentu, hal itu membutuhkan ketelatenan,
keuletan, kerja keras dan keistiqamahan. Dan yang tidak kalah penting lagi
adalah berdo’a serta menyerahkan semuanya kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Seorang ahli ilmu bagaikan berlian di tengah
masyarakatnya. Mereka laksana pelita di tengah malam gelap gulita. Karena itu,
mereka adalah orang-orang pilihan di masanya. Rasulullah saw. bersabda:
الناس معادن كمعادن الذهب والفضة فخيارهم فى الجاهلية
خيارهم فى الإسلام إذا فقهوا (متفق عليه)
Artinya: “Manusia itu, laksana
perbendaharaan emas dan perak. Orang-orang pilihan diantara mereka di masa
jahiliyah itu adalah orang-orang pilihan diantara mereka di masa Islam, ketika
mereka “faqih”. (HR. Muttafaq Alaih).
Hadis di atas menjadi penegas bagi tolok ukur
kemuliaan di masa jahiliyah dan Islam. Di masa jahiliyah seseorang umumnya
menjadi terpandang, memiliki kedudukan tinggi dan mulia di tengah
masyarakatnya, manakala mereka memiliki banyak harta, serta memiliki jabatan. Di
masa Islam, orang-orang mulia di masa jahiliyah ini, bisa tetap pada posisinya
asalkan ada kepemilikan pada ilmu.
Islam lebih menghargai ilmu dibanding harta. Tentu,
hal ini tidak berarti bahwa islam melarang, atau membenci harta. Seorang muslim
tetap dianjurkan untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, seakan-akan mereka hidup
selamanya. Artinya, selama nyawa seseorang masih melekat, pantang bagi mereka
untuk berpangku tangan dan meninggalkan ikhtiar. Bekerja tetap harus dilakukan,
hanya saja orientasinya yang berbeda. Jika di masa jahiliyah orang bekerja demi
memperoleh harta dan bila perlu menumpuknya. Tetapi di masa Islam, harta
merupakan wasilah yang bisa menghantarkan seseorang untuk sampai pada
kehidupan kekal di akhirat. Karena itu, disamping seseorang tetap bekerja,
mencari ilmu yang dengannya seorang muslim mengetahui cara agar hartanya
menjadi wasilah kebahagiaan di akhirat harus tetap lebih diprioritaskan.
Allahu A’alm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar