Jumat, 17 Juni 2022

Kemuliaan Seorang Ahli Ilmu

 

Kemuliaan Seorang Ahli Ilmu

(Seri Ihya’ Ulum Al-Din)



Sudah jamak bahwa seorang ahli ilmu memiliki kemuliaan melebihi orang yang bukan ahli ilmu. Kemuliaan ini bisa dirasakan oleh seorang yang tak berilmu sekalipun. Nyatanya dalam kehidupan sehari-hari para ahli ilmu banyak mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan mereka menjadi rujukan bagi berbagai permasalahan yang ada dan ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Ahli ilmu ini tentu bersifat umum, artinya mencakup semua jenis keilmuan, bukan merujuk pada satu jenis ilmu saja. Memang sebagian orang menafsirkan ilmu dalam literature salaf khususnya dengan al-‘ulum al-diniyyah, ilmu-ilmu agama (bersumber dari Al-Qur’an, hadits, dan juga kitab-kitab al-turats). Penafsiran ini tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, bagi saya khususnya, penafsiran ini sedikit mengabaikan,-kalau saya boleh katakan “agak memandang sebelah mata”, ilmu Allah yang lain, yakni ilmu yang bersumber dari ayat kauniyah, tanda-tanda kekuasaan Allah berupa ciptaan-Nya yang terhampar luas. Tentu, sikap semacam ini agak “kurang bijak” bila tetap dipertahankan di era milenial seperti saat ini. Era dimana laju teknologi informasi melaju dengan begitu pesatnya, hingga menghilang sekat hamparan yang menghalang.

Ilmu yang bersumber dari ayat kauniyah, kiranya juga memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah swt. Memang secara tekstual, Al-Qur’an menyebutkan, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mau beribadah (menyembah) kepada-Ku” (Qs. Al-Dzariyat (51); 56). Namun, agaknya perlu untuk melakukan pencermatan secara lebih mendalam lagi makna yang tersirat di balik lafadz, liya’buduunii, supaya mereka mau beribadah (menyembah) kepada-Ku.

Umumnya orang beranggapan bahwa ibadah sekadar melaksanakan shalat, menunaikan zakat, sedekah, puasa, haji, dan beragam ibadah mahdhah lainnya. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi perlu disempurnakan lagi dengan pemahaman bahwa ada sebagian ibadah yang “diakui” oleh Allah dalam bentuk yang lain. Termasuk diantaranya bersumber dari ilmu yang berpijak dari ayat kauniyah. Dengan meyakini hal tersebut, -penulis menganggap, bahwa hal itu akan “lebih bijak” dan lebih menghargai berbagai ciptaan-Nya, yang terhampar dan terbentang luas di penjuru langit dan bumi.

Berkenaan dengan kemuliaan ahli ilmu,-meskipun redaksi adalah lafadz ‘alim, Al-Ghazali dalam ihya’ nya menukil hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani dari Abi Darda’. Rasulullah saw. bersabda:

لموت قبيلة أيسر من موت عالم (رواه الطبراني)

Artinya: “Sungguh kematian penduduk satu desa lebih ringah dibandingkan kematian seorang ‘alim.” (HR. Al-Thabrani).

Seorang ahli ilmu (al-‘alim), terasa lebih berat bagi dunia beserta isinya dibanding kematian penduduk satu desa yang tidak berilmu. Ini menunjukkan kemulian ahli ilmu bila dibandingkan orang yang tidak berilmu. Tentu, kemuliaan tersebut tidak diukur dari kepemilikan terhadap harta, tetapi kemuliaan yang sesungguhnya diukur dari seberapa ilmu yang dimiliki oleh seseorang.

Di kehidupan sehari-hari, telah banyak ditemukan para ahli ilmu yang tidak memiliki banyak harta. Mereka hidup dalam kesederhanaan dan kesahajaan. Bagi mereka, harta tidak begitu menarik. Ketertarikan mereka adalah pada ilmu, entah ilmu apapun itu. Memang harus diakui bahwa seseorang tidak mungkin bisa menguasai semua jenis ilmu. Setiap orang memiliki spesifikasi khusus dalam hal ilmu sesuai dengan potensi, bakat dan ketertarikannya. Meskipun demikian, jika ditekuni, spesifikasi khusus yang digeluti itu akan menjadi hal yang bisa jadi mengangkat posisi seseorang menjadi seorang yang mulia di masanya. Tentu, hal itu membutuhkan ketelatenan, keuletan, kerja keras dan keistiqamahan. Dan yang tidak kalah penting lagi adalah berdo’a serta menyerahkan semuanya kepada Sang Pemilik Kehidupan.

Seorang ahli ilmu bagaikan berlian di tengah masyarakatnya. Mereka laksana pelita di tengah malam gelap gulita. Karena itu, mereka adalah orang-orang pilihan di masanya. Rasulullah saw. bersabda:

الناس معادن كمعادن الذهب والفضة فخيارهم فى الجاهلية خيارهم فى الإسلام إذا فقهوا (متفق عليه)

Artinya: “Manusia itu, laksana perbendaharaan emas dan perak. Orang-orang pilihan diantara mereka di masa jahiliyah itu adalah orang-orang pilihan diantara mereka di masa Islam, ketika mereka “faqih”. (HR. Muttafaq Alaih).

Hadis di atas menjadi penegas bagi tolok ukur kemuliaan di masa jahiliyah dan Islam. Di masa jahiliyah seseorang umumnya menjadi terpandang, memiliki kedudukan tinggi dan mulia di tengah masyarakatnya, manakala mereka memiliki banyak harta, serta memiliki jabatan. Di masa Islam, orang-orang mulia di masa jahiliyah ini, bisa tetap pada posisinya asalkan ada kepemilikan pada ilmu.

Islam lebih menghargai ilmu dibanding harta. Tentu, hal ini tidak berarti bahwa islam melarang, atau membenci harta. Seorang muslim tetap dianjurkan untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, seakan-akan mereka hidup selamanya. Artinya, selama nyawa seseorang masih melekat, pantang bagi mereka untuk berpangku tangan dan meninggalkan ikhtiar. Bekerja tetap harus dilakukan, hanya saja orientasinya yang berbeda. Jika di masa jahiliyah orang bekerja demi memperoleh harta dan bila perlu menumpuknya. Tetapi di masa Islam, harta merupakan wasilah yang bisa menghantarkan seseorang untuk sampai pada kehidupan kekal di akhirat. Karena itu, disamping seseorang tetap bekerja, mencari ilmu yang dengannya seorang muslim mengetahui cara agar hartanya menjadi wasilah kebahagiaan di akhirat harus tetap lebih diprioritaskan. Allahu A’alm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...