Sombong

 

Sombong

Bersama Ustadz Nuryani, Nasrullah dan Syaikh Ahmad


Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memberikan definisi tentang sesuatu berdasarkan persepsinya. Persepsi tersebut, tentu benar menurut penuturnya. Hanya saja, belum tentu semua yang dipersepsikannya itu, benar menurut persepsi yang lain. Di sini lah akar masalahnya. Persepsi seseorang akan dianggap “benar”, jika persepsi tersebut sesuai dengan persepsi umumnya orang. Sebaliknya, ia dianggap “salah”, bila berselisih dengan persepsi umumnya orang. Kira-kira demikian. Meskipun tentunya, “kesepakatan banyak orang”, tidak secara otomatis menjadi patokan kebenaran dalam “kesejatian”.

Artikel ini, bermula saat mengintip status WA ustadz saya, Dr. Nuryani, M.Pd.I. tempo hari. Status itu menarik bagi saya, sehingga mala mini, saya “iseng” saja menulisnya dalam bentuk artikel sederhana. Barangkali saja, ada sebagian orang yang merasa tertarik, sekadar sebagai “bacaan”, “hiburan”,“renungan”, “refleksi diri”, atau apalah. Atau barangkali juga menjadi hal yang bisa diambil manfaatnya.

Status itu berbunyi, “Sombong itu ada dua, pertama tidak mau  mendengar nasihat orang lain dan kedua merasa diri paling benar.” Begitu bunyi status tersebut. Singkat, namum memberi pesan mendalam bagi siapa saja yang mau merenungkan maknanya.

Ustadz Nuryani, merupakan pribadi yang sederhana dan bersahaja. Beliau termasuk diantara dosen yang menjadi “idola” bagi para mahasiswa,-termasuk saya. Alasannya, beliau mengajar dengan penuh “cinta” dan “kasih sayang” kepada para mahasiswa. Saya teringat, masa-masa dimana saya diajar beliau di sebuah “gazebo” di depan Perpustakaan STAIN Tulungagung yang lama. Beliau menyitir salah satu “qaul” Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali. Sayang saya lupa qaul itu. Yang persis saya ingat, dawuh ustadz Nuryani, “Ternyata Imam Al-Ghazali itu, bukan hanya seorang yang ahli tasawuf, tetapi beliau itu juga seorang ulama yang penuh dengan cinta dan sangat romantis.” Kemudian beliau menyebutkan qaul Sang Hujjatul Islam tersebut.

Berpijak pada status WA tersebut, Ustadz Nuryani memahami istilah “sombong” dengan dua kriteria, pertama adalah tidak mau menerima nasihat dari orang lain dan kedua merasa diri paling benar. Kedua hal ini menurut penulis sebenarnya merupakan dua hal yang saling berkaitan satu dengan lain, dan agaknya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Tidak mau menerima nasihat menurut hemat penulis, sejatinya sekadar akibat yang ditimbulkan dari rasa yang ada di dalam hati, yakni merasa bahwa diri paling benar. Pada akhirnya perasaan bahwa apa yang ada di dalam diri sendiri paling benar ini, akan memunculkan akibat berupa tidak mau untuk menerima nasihat.

Nasihat memang mudah disampaikan, namun terasa pahit bagi penerimanya. Oleh sebab itulah, maka memberi nasihat terasa “mudah” dan “gampang” bagi siapa saja, namun, tidak semua orang bisa menerima nasihat. Nasihat pada dasarnya merupakan wujud dari “kepedulian” seseorang. Nasihat lahir sebagai bentuk keinginan penuturnya atas “kebaikan” orang yang dinasihatinya.

Memang umumnya orang menganggap apa yang diyakininya sebagai “kebenaran”. Karena itu, biasanya mereka akan berusaha untuk mempertahankannya. Namun, sebaiknya setiap orang juga tidak menutup diri dari “kemungkinan” bahwa apa yang “diyakininya” sebagai “benar”, bisa jadi merupakan hal yang “salah”, sehingga ia masih menyisakan “ruang” dalam dirinya untuk menerima nasihat. Jika seseorang bisa melakukan hal itu, maka ia akan terhindar dari sifat “sombong”.

Sebaliknya, orang yang tidak membuka “ruang” dalam dirinya untuk menerima nasihat, seringkali merasa bahwa pendapatnya yang paling benar. Mereka terjebak dengan “keyakinan” yang dimilikinya, dan cenderung selalu menganggap salah pendapat orang lain. Tidak jarang, mereka juga memaksakan pendapatnya tersebut kepada orang lain. Akibatnya seringkali terjadi perselisihan yang bisa berujung pada permusuhan.

Dalam literatur sufi, sombong didefinisikan sebagai:

المتكبر من رأى أن له حول وقوة

Artinya: “Orang sombong adalah seorang yang merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan dan kekuatan.”

Kesombongan dalam literatur sufi, bukan sekadar merasa bahwa dirinya yang paling benar ataupun sekadar menunjukkan sikap tidak mau menerima nasihat dari orang lain. Lebih dari itu, seorang sudah dikatakan sebagai seorang yang sombong manakala ada di dalam dirinya keyakinan bahwa ia “bisa melakukan sesuatu”, atau “memiliki daya”. Rasa “bisa” dan “merasa” memiliki daya ini, -dalam pandangan ulama sufi, harus bisa dihilangkan. Siapa saja yang masih ada di dalam dirinya rasa semacam ini, maka ia sudah masuk ke dalam “kesombongan”.

Bagi ulama sufi, kemampuan hanyalah milik Allah swt. Oleh karena Allah memiliki sifat “mukhalafatatu lilhawadits”, maka selain-Nya, tidak memiliki apapun, bahkan adanya pun karena di adakan oleh-Nya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, sejatinya merupakan wujud dari kehendak-Nya, bukan kehendak manusia. Karenanya, manusia harus bisa menghilangkan rasa ke “Aku” an dalam dirinya, sebab ke “Aku” an itu merupakan bentuk kesombongan.

Berkenaan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Athaillah Al-Sakandari mengatakan:

من رأى أنه متواضع فهو المتكبر حقا

Artinya: “Siapa yang meyakini dirinya adalah seorang yang tawadlu’, maka sungguh dia adalah seorang yang takabbur.”

Jadi, dalam literatur sufi, kesombongan itu, diukur dengan “rasa”. Jika rasa “Aku” masih ada dalam diri seseorang, meskipun secara dhahir, fisiknya menunjukkan sesuatu yang baik, tawadhu’, namun jika perilaku baik itu, masih membukakan ruang “ego” dalam bentuk “ke-Aku-an”, maka hal itu masih dinilai sebagai sebuah kesombongan. Allahu A’lam.

Komentar

Posting Komentar