- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sabtu, 22 Maret 2014
0042.01.317 - TANGGAPAN DAN PENJELASAN Terhadap KEJANGGALAN GUS THOIFUR TERHADAP AJARAN WAHIDIYAH
FAFIRRUU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
0042.01.317 - TANGGAPAN DAN PENJELASAN Terhadap KEJANGGALAN
GUS THOIFUR TERHADAP AJARAN WAHIDIYAH
---------------------------------------------------------------------------------------
بِسْـمِ اللهِ
الرَحْمَنِ الرَحِيْمِ
الحَــمْدُ للهِ
الذِي أَتَــانَا بِالوَاحِــدِيَّةِ بِفَضْــلِ
رَبِّنَا
الحَمــْدُ للهِ
الصَلاَةُ وَالسَـلاَمُ عَـلَيْكَ وَالآلِ أَيَا خَـيْرَ الأَنَامِ
رَبٌّ كَرِيْمٌ
وَأَنْتَ ذُو خُلُقٍ عَظِيْمٍ فَاشْفَعْ
لَنَا فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ الكَرِيْمِ
يَأَيُّهَا
الغَــوْثُ سَــلاَمُ اللهِ عَـلَيْكَ رَبِّـــنِي
بإِذْنِ اللهِ
وَانْظُرْ إِلَيَّ
سَــيِّدِي بِنَـظْرَةٍ مُوْصِـلَةٍ
لِلْحَــضْرَةِ العَلِيَّةِ
يَارَبَّنَا اللهُمَّ
صَـلِّ سَــلِّمِ عَلَى مُحَمَّدٍ شَــفِيْعِ الأُمَـمِ
وَالآلِ واجْعَلِ
الأَنَامَ مُـسْرِعِيْنَ بِالوَاحِــدِيَّةِ لِرَبِّ العَلَـمِيْنَ
يَارَبَّنَا
اغْفِرْ يَسِّرْ افْتَـحْ وَاهْدِنَا قَرِّبْ
وَأَلِّـفْ بَـيْنَنَا يَارَبّـَنَا
أَمَّا بَعْد
I. KAIDAH PENGANTAR.
A.
Allah Swt berfirman, Qs. an-Nisa’ : 142 :
إنَّ المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ اللهَ
وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤنَ
النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلْيلاً
Sesungguhnya
orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, (tapi) Allah-lah yang akan (membalas)
tipudaya mereka. Dan ketika mendirikan shalat, mereka mendirikannya dengan
malas, serta memperlihatkan (ibadahnya) kepada manusia. Dan mereka tidak ingat
kepada Allah kecuali sedikit.
B.
Rasulullah Saw bersabda
:
1.
Kitab Jami’ as-Shaghir-nya Imam Suyuthi, juz I
(alif) :
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh
yang paling Aku takutkan dari sesuatu yang aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
2.
HR. Imam Thabrani (Jami’ as-Shagir, juz I {alif}) :
أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ثَلاَثًا زِلَّةَ عَالِمٍ وَجَدَالَ
مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَالتَكْذِيْبَ بِالقَدَرِ
Tiga perkara yang Aku takutkan
terhadap ummatku : terpelesetnya orang alim, perdebatan orang
munafiq tentang al-Qur’an dan pendustaan terhadap taqdir.
3.
HR. Thabrani : [1] مَنْ لَمْ يَذْكُرِ اللهَ
فَقَدْ بَرِئَ مِنَ الإِيْمَانِ : Barang siapa
tidak ingat Allah, maka ia telah terbebas dari iman.
4.
HR. Thabrani Ra, Rasulullah Saw bersabda : أَبْغَضُ إِلَهٍ عُبِدَ عِنْدَ اللهِ فِي الأَرْضِ هُوَ
الهَوَى: Sesembahan yang paling dibenci menurut Alloh diatas
bumi, adalah hawa nafsu.
5.
Dapat menangis karena Allah Swt
merupakan tanda-tanda selamat dihari kemudian. Uqbah Ibn Amir bertanya kepada
Rasulullah Saw : Wahai Rasulullah apakah keselamatan itu ?. Beliau Saw
bersabda : [2] أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ,
وَلْيَسعْكَ بيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ : Jagalah lisanmu, dan
betahlah kamu dalam rumahmu, dan menangislah atas dosa-dosamu.
6.
Rasulullah Saw bersabda : لَوْ أَنَّ بُكَاءَ دَاوُدَ وَبُكَاءَ جَمِيْعِ أَهْلِ الأرْضِ يُعْدَلُ
بِبُكَاءِ آدَمَ مَا عَدَلَهُ: Sesungguhnya jika
tangisan Nabi Daud dan tangisan seluruh ahli bumi dibandingkan dengan tangisan
C.
Fatwa Para Ulama.
1.
Agar tidak terbimbing oleh nafsu (ego) diri yang kotor dalam memahami
keberadaan Alloh (makrifatullah), seseorang wajib berguru kepada Guru yang
mumpuni. Tanpa melalui bimbingannya, sudah tentu nafsu/ setan yang membimbingnya.
(Kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi.
Kitab Jami’ul Ushul-nya Syeh Kamsykhanawi
2.
Ketika susah mencari guru tauhid yang memadai, bersahalawat kepada Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. dapat dijadikan pembimbing untuk menuju
kepada Allah Swt.
(Kitab
Taqribul Ushul -nya Syeh Ahmad Zaini Dahlan Ra, pada halaman 57).
3.
Jadilah kamu semua dalam segala perkaramu, merasa berada disisi
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
(Kitab Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmani-nya Syeh Abdul Qadir
al-Jailani Ra, pada majlis ke 11).
4.
Rasulullah Saw meiliki gelar siraajan muniran (pelita yang menerangi).
Katrena cahaya makrifat dari Alloh kepada makhluk terpancar melalui Rasulullah Saw. Demikian juga para nabi, semuanya adalah
pelita meski dengan kadar berbeda”. (Misykatul Anwar Imam al-Ghazali pasal pertama).
5.
As-Suyuti, menerangkan : فَإِنَّ الخَوَاص
يَطْلِقُوْنَ لَفْظَ الكُفْرِ وَالفُسُوقِ عَلَى مَالاَ يُطْلِقُهُ الفُقَهَاءُ. : Sesungguhnya, (mukmin) khawash memutlakan (generalsasi) kata kufur dan
fasuq (durhaka) kepada makna yang tidak gunakan oleh kaum fuqaha.[4] (kitab
al-Haawi lil Fatawi juz II bab tasawuf)
Dan : وَمَا
زَالَتْ العُلَمَاءُ وَمُحَقِّقُوْا الصُوفِيةِ يُبَيِّنُوْنَ بُطْلاَنَ القَوْلِ
بِالأِتِّحَادِ وَالحُلُولِ وَيُنَبِّهُوْنَ عَلَى فَسَادِهِ :
Para ulama ahli tasawuf menerangkan batal serta rusaknya paham
“ittihad” dan “hulul”.[5]
6.
Syeh
Imam Ahmad bin Zaini Dahlan Ra,
menerangkan :
أَنَّ
القَائِلِيْنَ بِوَحْدَةِ الوُجُوْد مُرَادُهُمْ وَحْدَةُ الشُهُودِ. وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ وَحْدَةَ الوُجُوْدِ
غَيْرُ وَحْدَةِ االشُهُوْدِ لَمْ يَشُمْ رَائِحَةَ مَعْنَى الوَحْدَةِ.
Sesengguhnya, orang-orang
yang mengatakan wahdatul wujud, maksud mereka adalah wahdatussyuhud. Barang
siapa yang beranggapan wahdatul wujud bukan wahdatussuhud, maka ia tidak akan merasakan
aroma al-Wahdah. (kitab Taqribul
Ushul, halaman 37 -38).
D.
Iformasi Sekilas.
1.
Banyak orang yang belum memahami “Wahidiyah”. Bahkan diantara mereka
terdapat yang menganggapnya sebagai paham sesat. Padahal telah banyak
kitab-kitab tasawuf karya para ulama ahlus sunnah wal jamaah, yang telah menjelaskannya.
Misalnya, kitab al-Madlnun Bih Imam al-Ghazali Ra (Wahidiyah adalah
realisasi dari iman, Islam dan ihsan).
Agar Wahdiyah mudah diamalkan
oleh ummat dan masarakat, Hadlratul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa
Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, menta’lif SHALAWAT WAHIDIYAH dengan disertai
pokok-pokok prinsip iman dan tauhid, serta penjelasan tentang karomah Allah
yang diberikan yang diberikan kepada para Nabi, Rasul As dan para waliyullah Ra.
Kemudian prinsip ini, disebut AJARAN WAHIDIYAH.[6]
2.
Lembaga pendidikan yang terdapat dalam PP Kedunglo al-Munadldlarah : pertama,
madrasah diniyah (dari ibtidiyah sampai aliyah), Kedua, pendidikan umum
(dari TK sampai perguruan tinggi).
3.
Dipondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzoroh, setiap ahad pagi
dilaksanakan pengajian kitab al-Hikam-nya Syeh Ibnu Athoillah
as-Sakandari Ra, yang sekarang diasuh langsung oleh Beliau Hadlratul Mukarrom
Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo.
4. Setiap pelaksanaan mujahadah kubro (bulan muharrom dan
rojab) dipusat Perjuangan Wahidiyah (Pondok Pesantren Kedunglo
al-Munadzdzoroh), senantiasa mendapatkan perlindungan dan dukungan dari
pemerintah, khususnya pemerintah Kota Kediri dan Propinsi Jawa Timur.
Kemudian, apakah pemerintah Kota Kediri, yang
didalamnya ada kantor kementrian agama, ada lembaga MUI dan instansi lainnya,
dijabat oleh orang-orang yang tidak mengerti al-Qur’an dan al-hadis, hingga
tidak melakukan sebagaimana gerakan mengahalang-halangi perjuangan Wahidiyah
sebagaimana yang diulakukan oleh Gus Thoifur dan kawan-kawan ?.
Pasti jawaban yang tepat : TIDAK
!. Para pejabat pemerintah Kota Kediri, juga dipegang serta diduduki oleh mereka
yang mengerti norma negara serta norma agama.
5.
Selain PP Kedunglo al-Munadldlarah, banyak pondok pesantren baik dijawa
atau diluar jawa yang telah mengamalkan Shalawat Wahidiyah.
6.
Banyak warga masarakat (baik yang awam maupun tokoh) dari pelbagai macam
kelompok keagamaan (termasuk warga NU) yang telah mengamalkan dan
memperjuangkan Wahidiyah.
7. Bapak KH. Abdur Rahman Wahid (mantan PBNU dan mantan
presiden RI), pernah memberikan taushiyahnya dalam mujahadah Kubro (3 Pebruari
2008) PP Kedunglo al-Munaddloroh. Diantara sari taushiyahnya (dapat didengar
ulang dalam rekaman VCD) :
7.1.
Menawi ahli Wahidiyah
disesatkan, kulo boten trami.
7.2.
Kalau MUI menyesatkan Wahidiyah, ya MUI sendiri yang sesat.
II. TANGGAPAN DAN
PENJELASAN.
Dengan memohon hidayah dan ridlo Alloh Suhanahu w Ta’ala,
syafaat tarbiyah Rasulullah Saw, barokah
karomah Ghauts Hadzaz Zaman Ra, serta doa restu para waliyullah dan khususnya
Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah
Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menjelaskan
beberapa kejanggalan Gus Thoifur (Puger – Jember
–Jawa timur) terhadap Wahifiyah.
Untuk
memudahkan tanggapan tersebut, kami membaginya kedalam 8 poin sesuai dengan
urutan kejanggalan Gus Thoifur (selanjutnya kami hanya menulis dengan Gus).
Dan pada bagian akhir, kami sertakan beberapa masalah yang menurut data yang
kami miliki termasuk hal yang sering dipermasalahkan oleh sebagian masarakat
yang belum memahami Wahidiyah. Dan pula, uraian kami disini, kami selingi
dengan bahasa dialog yang bersifat komunikatif.
Dan, sebelum
menanggapi 8 poin yang Gus permasahkan, kami menanggapi terlebih dahulu,
penggunaan Gus terhadap hadis (tentang kewajiban muslim menghalau
kemungkaran) yang tertulis pada lembaran yang terakhir :
a.
Makna hadis kewajiban muslim menghalau kemungkaran adalah prinsip
suci yang harus dipegang oleh setiap muslim.
b.
Namun, perlu dimengerti, banyak orang yang memaksakan kehendak nafsu dengan
kepandaian lidahnya, dapat menggunakan hadis yang suci ini. Atau, bagi mereka
yang pandai menutupi kebusukan hati dengan bersikap suci dan berlidah manis, dapat
menggunakan hadis ini untuk mencari simpati dan pendukung. Sebagaimana tercermin dalam sabda Rasulullah
Saw (HR. Ahmad, Jami’ as-Shaghir I/ “alif”) : أَكْثَرُ
مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَاؤُهَا: Kebanyakan munafiqnya ummat-ku adalah para
pembaca ilmu. Dan : إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمُ اللِسَانِ : Sungguh yang paling aku takuti
dari sesuatu yang aku takutkan pada ummatku, adalah orang munafiq yang pandai berbicara.
c.
Dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, diterangkan;
bahwa sekte wahabi memiliki kepandaian membungkus gerakannya dengan kalimah
suci. Misalnya, demi kemurnian tauhid, demi pembaharuan dan kemajuan
Islam, demi tegaknya sunnah rasul, demi melaksanakan seruan Ilahi
dan lain sebagainya.
d.
Setipa muslim wajib menghilangkan/ menghapus kemungkaran yang ada dalam
dilingkungannya dan - yang pertama dan paling utama -, dalam dirinya sendiri.
e. Sesuatu dapat dinamakan mungkar
selama ada nash yang jelas yang menunjukkan sesuatu itu dapat dikatakan mungkar
secara mutlak. Dengan kata lain, kemungkaran yang bersifat “universal”.
Misalnya; perzinaan, mabuk-mabukan,
pencurian dan lain sebagainya. Dan penting dimengerti oleh Gus, bagi
pelaku kemungkaran universal ini, menyadari kalau dirinya melakukan
kemungkaran.
f. Sedangkan kemungkaran yang bersifat
individual (kelompok), tidak bisa tergesa-gesa memakai hadis tersebut. Karena,
mungkar menurut A, tidak mungkar menurut B. Dengan demikian, ketika A menilai
mungkar kepada amalan B, berarti A (dalam pandangan B) telah melakukan kemungkaran
juga (menilai mungkar kepada sesuatu yang tidak mungkar, adalah kemungkaran).
Kemudian, bila keduanya saling melakukan aksi yang gigih untuk
menghilangkan kemungkaran yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain, dengan
berdalih hadis diatas, bagaimana jadinya kehidupan.
g. Sebuah ilustrasi saja. Disuatu
kampung, terdapat 2 kelompok. Pertama, kelompok A (anti tawassul) beranggota 200
orang. Kedua, kelompok B (pengamal
tawassul) beranggota 1000 orang. Kelompok A menganggap amalan TAWASSUL sebagai
amalan yang mungkar/ bid’ah/ sesat. Kemudian A, merasa dituntut oleh hadis
diatas, dengan semangat yang gigih pantang mundur, dengan berbagai macam cara,
mereka menghalang-halangi kegiatan wirid manaqib atau berziarah kemakam
waliyullah yang dilakukan oleh B.
Dan, suatu saat, karena kelompok A terdiri dari
kaum terpelajar yang pandai berdebat, A menantang kelompok B untuk mengadakan
tabayyun (klarifikasi). Kelompok A yakin dengan kepandaiannya bermain lidah dan
politik, akan mengalahkan kelompok B dalam waktu beberapa menit saja.
Ketika mendapat tantangan dari B, imam jamaah
kelompok A yang hanya lulusan madrasah tsanawiyah kampung, berpikir sedih. Dia
merasa seperti kasus buah simalakama. Jika menghadiri tabayyun, jelas akan
kalah. Karena – disamping A banyak anggotanya yang pandai berdebat -, ketuanya
terkenal sebagai orang berduait dan lagi adiknya baru saja dilantik menduduki
jabatan penting dalam masarakat. Dan jika tidak menghadiri tabayyun – pikir
imam jamaah B -, jelas amalan tawassul akan dilarang dikampung ini. Akhirnya
semua warga kelompok B hanya bersedih hati serta berdoa mohon perlindungan
Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw. Sedangkan kelompok A merasa diatas angin.
Kami bertanya
kepada Gus (jawaban boleh lisan atau tertulis yang dikirim kepada kami) :
1.
Gus, setujukah sampeyan dengan slogan
gaya wahhabi wahhabi ?.
2.
Bagaimana pandangan Gus terhadap A yang men-sah-kan
tindakannya tersebut dengan menggunakan dalil seperti yang sampeyan tulis ?.
3.
Bagaimana nasehat sampeyan kepada A dan B ?
4.
Setujukah Gus dengan tabayyun yang beraroma seperti itu ?. Dan,
5.
Bagaimana nasehat Gus kepada adik
dari ketua kelompok A ?.
1.
Tanggapan terhadap
kejanggalan pertama.
Pada pin ini
Gus Thoifur menyatakan:
Di dalam
buku "PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH"`
pada halaman 6-7 di jelaskan tentang BILLAH:
'Dalam segala kehidupan, gerak gerik kita atau
perbuatan atau tindakan apa saja lahir dan batin
dimanapun dan kapanpun saja, supaya dalam hati senantiasa
merasa bahwa yang menciptakan dan menitahkan
serta menggerakkan itu semua adalah ALLOH MAHA PENCIPTA!
Jangan sekali-kali mengaku atau merasa bahwa kita mempunyai kemampuan sendiri. lni mutlak, dalam segala hal supaya merasa begitu, baik dalam keadaan toat maupun ketika maksiat,
harus merasa billah !. Tanpa kecuali !. Ini harus kita sadari !.
والله
خلقكم وما تعملون – الصفات - 96
"Padahal
ALLOH-lah yang menciptakan kamu sekalian dan
apa yang kamu sekalian perbuat."
Menurut kami peryataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya, karena tidak di
jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat
padahal dalam memahami alquran dan alhadits harus dengan dua pandangan yaitu pandangan syariat dan haqiqot
sebagaimana di terangkan dalam kitab "igozdhul himam” halaman 15. dan pernyataan itu tidak punya adab terhadap ALLOH.
Sebelum kami
menanggapi pernyatan Gus, ada baiknya mengingat kembali kata mutiara
ulama ushul fiqh yang sering disampaikan oleh al-Mukarrom al-Maghfurlah
Bapak KH. Abdur Rahman Wahid (mantan ketua umum PBNU) dalam beberapa kesempatan
: لاَ يُعْتَبَرُ قَوْلُ مُجْتَهِدٍ عَلَى خَصْمِهِ
: Ttidak perlu
memperhatikan kesimpulan orang, terhadap lawan (orang atau kelompok lain yang
tidak disenangi)-nya.
Dalam penjelasan ini, kami mengurutkan uraian sesuai
pernyataan Gus diatas :
1. Menurut kami pernyataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya,
2. karena tidak di jelaskan sikap kita dari
kaca mata syariat dan hakikot,
3. dan pernyataan itu tidak punya adab terhadap ALLOH.
1.
Penjelasan terhadap pernyataan SANGAT dalam : Menurut kami pernyataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya,
a.
Apakah menurut Gus, orang awam tidak baik membaca atau memahami
makna firman Allah Swt, Qs. as-Shaffat : 96 ?.
@ Kami bertanya : mana dalil
yang dengan jelas-jelas menerangkan bahwa makna ayat tersebut, bukan untuk
orang awam juga ?.
b.
Jika orang awam membacanya – menurut Gus -, akan mendapatkan ke-bahaya-an
yang sangat. Maka jika mereka tetap membacanya, terkena “hukum haram”, karena
menceburkan diri dalam kebahayaan (aqidah). Kata lain dari makna “sangat
bahaya” diatas, adalah “SANGAT HARAM/ HARAM JIDDAN” atau DOSA BESAR.
@ Gus ......, mana dalil qath’i yang secara jelas menunjukkan keterangan tersebut ?.
c.
Menurut kami, justru dengan pernyataan tersebut, Gus telah
“melakukan perbuatan yang sangat haram/ berdosa besar”. Yakni menentukan hukum
“sangat bahaya/ sangat haram” kepada orang awam yang ingin memahami rukun iman
keenam yang wajib hukumnya.
Padahal, telah banyak
keterangan, baik dalam ayat al-Qur’an yang lain, hadis nabi, maupun qaul ulama
ahlus sunnah wal jamaah yang menyatakan bahwa; setiap orang mukallaf (awam
maupun non awam) wajib memahami dan menghayati makna ayat tersebut. Dan
......., mengapa harus memahami ?. Karena :
1.
Makna Qs. as-Shaffat : 96 diatas, merupakan makna dari rukun iman yang
keenam, yakni iman kepada taqdir baik dan buruk dari Allah.
2.
Orang yang tidak memahami dan menghayati makna ayat tersebut, akan
terjerumus kepada paham qadariyah yang musyrik serta dibenci oleh
Rasulullah Saw.
Rasulullah
Saw bersabda (HR Abu Daud, dalam Sunan IV)
:
القَدَرِيَّةُ
مَجُوسُ هَذِه الآُمَّةِ : Qadariyah adalah paham majusinya ummat ini (hadis nomer : 4071), dan : لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوسٌ
وَمَجُوسُ هَذِه الآُمَّةِ الذِيْنَ يَقُولُونَ لا َقَدْرَ وَهُمْ شِيْعَةُ
الدَجَّالِ : Setiap ummat terdapat paham majusi. Dan majusinya
ummat ini adalah orang-orang yang mengatakan tidak ada taqdir. Dan mereka itu
pembela Dajjal. (hadis nomer : 4072).
Paham
Qadariyah adalah paham musyrik lihat keterangan dalam kitab Raudlatut
Thalibin, Imam Ghazali pada “muqaddimah”, dan
kitab tafsir Madaarik at-Tanzil wa Haqaaiq
at-Ta’wil, Syeh Abul Barakat Abdullah Mahmud an-Nasafi, pada Qs. Ysuf :
106.
d.
Jika kesimpulan diatas, Gus mendasarkan kepada kekhawatiran saja,
kalau-kalau orang awam akan menyalah gunakannya, misalnya, mereka berbuat
maksiat dengan alasan atas kehendak dan gerakan Allah, maka semestinya, Gus
harus menganggap “janggal” kepada berbagai buku Islam yang menuliskan ayat
tersebut, dan atau keterangan yang sama seperti dalam buku kami, dengan alasan
yang sama pula (sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya).
Misalnya, antara lain : kitab Kifayatu
Awam (bab sifat Wahdaniyat Allah) dan buku Fiqih Klenik (Ridwan
Qayyum dengan kata pengantar Pengasuh PP Lirboyo Kota Kediri, halaman 28).
@ Jika Gus, hanya kepada
kami menganggap janggal, sedangkan kepada selain kami tidak menganggap janggal,
kami bertanya; pantaskah seseorang yang dihormat masarakat dengan panggilan
Gus, melakukan perbuatan pilih kasih (bang cinde bang ciladan) ?.
e.
Dan perlu Gus ketahui, ajaran Wahidiyah merupakan metode praktis
untuk menuntun ummat dalam “menerapkan” prinsip iman, Islam dan ihsan.
Prinsip tersebut dalam dunia tasawuf sering di-simpul dan di-simpel-kan
dengan prinsip (LILLAH – BILLAH), yang keduanya, dalam penerapan tidak boleh dipilih
dan dipilah.
f.
Tujuan kami menerbitkan buku-buku Wahidiyah, bersifat pembahasan pada
pokok-pokoknya saja. Sedangkan pemilihan dan pemilahan dalam
judul bab antara LILLAH –BILLAH tersebut, hanya dalam ta’lim (bahasan ilmiyah)
saja.
g.
Dan yang sangat perlu diperhatikan oleh Gus, dalam membaca buku
kami (atau buku lain) adalah; pemilihan bahasan tertentu dalam bab tertentu
pula, tidak bisa diartkan dengan kami mengajari pengamal Wahidiyah atau pembaca
lain yang awam atau non awam, untuk berhenti pada satu bahasan, atau bab,
apalagi pada satu alenia itu saja.
h.
Dalam prinsip Wahidiyah, baik ketika memahami apalagi menerapakan, tidak
boleh ada pemilihan dan pemilahan antara prinsip LILLAH – BILLAH. Karena
keduanya merupakan satu kesatuan. Dan jika keduanya dipisahkan akan terjadi
penyalahgunaan dan penyimpangan
Misalnya, jika seseorang
memahami Islam dari prinsip LILLAH saja, maka akan menganggap salah terhadap
mereka yang berpegang pada prinsip BILLAH. Demikian pula, sebaliknya.
@ Gus, apakah sampeyan
setuju atau tidak, semua orang wajib dipahamkan kepada rukun iman keenam ?.
Kalau setuju, mengapa mempermasahkan buku kami ?. Dan kalau tidak
setuju, berarti Gus tidak beraqidah ahlu sunnah wal jamaah.
Jadi, pokoknya, prinsip LILLAH –
BILLAH bukan sekedar untuk bahasan, apalagi perdebatan. Kedua prinsip tersebut,
harus diparkatekkan secara serempak bersama-sama.
i.
Seseorang, selama tidak menerapkan keduanya tidak akan merasakan hikmah
dan keagungan aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah. Tanpa memadukan keduanya,
tentu akan salah dalam memahami antara posisi makhluk dan kedudukan Allah Dzat
Maha Pencipta. Dan jika hanya berpegang pada LILLAH saja, dialah kaum qadariyah.
Dan jika hanya berpegang pada BILLAH saja, dialah kaum jabariyah.
Gus, dengan demikian,
kejanggalan sampeyan bukan disebabkan oleh buku kami, tetapi oleh pola pikir
sampeyan sendiri.
j.
Dan perlu juga dipahami oleh Gus :
1.
Tidak seorang-pun dapat memadukan keduanya, kecuali mereka yang
mendapatkan hidayah dari Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw serta ada guru
ruhani, ulama atau kiai yang membimbingnya.
2.
Tujuan kami menerbitkan buku-buku Wahidiyah, untuk memandu pengertian
pokok-pok ilmiyah aqidah Islam bagi mereka yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah.
Yang mana kegiatan utamanya adalah mujahadah agar mendapatkan hidayah dalam
memadukan LILLAH - BILLAH.
3.
Permohonan pemaduan kedua prinsip tersebut, terkandung dalam redaksi
Shalawat Wahidiyah, pada shalawat kedua (Allahumma kama anta ahluh ........
dst).
4.
Dan alhamdulillah, mereka yang mengamalkan (meski orang awam apalagi non
awam), dapat merasakan hidayah Allah Swt, hingga merasa mudah memadukan keduanya
dalam penerapan.
5.
Sejarah telah membuktikan. Sebagian mukmin tersesat aqidahnya, ketika mereka
hanya disibukkan membahas dan memperdebatkan keduanya. Mereka bertanya; manakah
yang paling dominan dalam hidup ini, antara LILLAH atau BILLAH ?. Diantara
jawaban yang mereka katakan; “prinsip LILLAH yang paling dominan”. Maka jadilah
mereka kaum qadariyah (yang dikecam dalam hadis nabi). Dan lainnya
mengatakan, “prinsip BILLAH yang paling domninan”. Maka jadilah mereka kaum jabariyah
(hanya pasrah tanpa ikhtiyar).
6.
Sedangkan mereka yang menggabungkan sungguh-sungguh dalam amaliyah,
jadilah mereka kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah.
@ Gus, setujukah sampeyan dengan uraian pada poin (j)
ini ?. Kalau tidak setuju, berarti sampeyan tidak pantas dipanggil GUS
?.
k.
Sekali lagi, kami menulis dan membahas ayat tersebut, dalam ranah
“PEMBAHASAN” saja. Dan ketika pengamal Wahidiyah menerapkannya, disertai dengan
penerapan LILLAH.
l.
Gus, jika sampeyan mempermasalahkan terfokus pada kalau
“dibaca” orang awam, akan menimbulkan “bahaya” (meski dalam persepsi Gus
sendiri). Ini jelas rekayasa sampeyan sendiri, yang mungkin tidak
sampeyan sadari.
Sebab, banyak ummat awam (bahkan
sangat awam) yang belum terkena virus berita yang memfitnah Wahidiyah, atau
yang telah mendengar fitnahan, namun mendapat hidayah Allah Swt, mereka semakin
mantap dalam penerapan LILLAH – BILLAH, setelah mengamalkan shalawat Wahidiyah.
m.
Dan kesimpulan sampeyan diatas Gus, menunjukkan sampeyan tidak
bisa menganalisa sebuah buku, karena sarana ilmu sampeyan sangat minim. Dan
akhirnya sampeyan terjebak dengan beberapa masalah yang bersumber minimnya
ilmu.
Masalah-masalah tersebut, antara
lain :
1.
Gus “terlupa” dari yang namanya membaca (dengan niatan
dan cara yang baik) adalah memahami secara sungguh-sungguh dan menanyakan
kepada yang ahli tentang hal yang belum dipahami.
2.
Secara umum, jika orang awam sudah mau membaca buku (dengan niatan dan
yang baik, tidak seperti niatan Gus), mereka akan naik menjadi tidak
awam lagi.
3.
Sebelum Gus membaca buku kami, sudah memiliki “niatan” lain, ya
...... lain hasilnya. Lebih-lebih jika “niatan” itu, adalah keinginan mencari
sesuatu dari buku kami yang dapat diprediksi (tafsir sentimen) negatif, dan
selanjutnya dijadikan bahan untuk mempermasahkan buku kami. Dan karena niatan
sudah tercapai, maka Gus lupa atau sengaja tidak membaca keterangan lain
yang ada dalam buku kami.
4.
Sebab niatan tersebut pula, Gus berani mendeklarasikan gerakannya
(baik tulisan maupun lainnya) demi orang awam. Artinya, dengan bahasa yang
tampak suci (orang awam tidak mengalami ke-bahaya-an).
n.
Padahal, secara umum, makna ayat tersebut (SADAR BILLAH) telah menjadi
paham masarakat umum (awam dan non awam).
Sebagai bukti bahwa makna ayat
tersebut telah membudaya :
1.
Setiap orang menyadari ketentuan laki-laki atau perempuan terhadap bayi
yang akan lahir, adalah Allah Swt.
2.
Setiap orang yang sedang mengalami sakit, meski berusaha untuk sembuh,
mereka tetap menyadari, kesembuhan datang dari Allah Swt semata.
3.
Setiap orang miskin, meski dengan semangat kerja keras, tetap menyadari
kalau kemiskinannya adalah ketentuan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana.
4.
Setiap orang, meski berusaha mencari pasangan hidup yang sesuai, mereka
tetap menyadari kalau jodoh ditangan
Tuhan.
5.
Setiap orang, meski dengan gigih dalam mencapai cita-cita, mereka tetap
menyadari bahwa keberhasilan berada ditangan Tuhan.
Gus, bukankah semua paham masarakat diatas semakna dengan ayat tersebut
?.
o.
Jadi, dengan demikian :
1.
Kejanggalan Gus diatas, hanyalah BUATAN GUS sendiri.
2.
Dan untuk mencari dukungan masarakat, Gus mendakwakan “bahaya
untuk orang awam”. Maaf, gaya sampeyan ini, ibarat ucapan sebagian orang
yang mengaku berjuang “demi rakyat”, namun hakikinya demi keuntungan dan
kehormatan “diri sendiri”.
p.
Gus, sampeyan dalam menilai buku kami, tidak memakai cara
yang semestinya. Misalnya :
1.
Dalam menyimpulkan keterangan yang terdapat dalam buku kami, dengan cara
sepotong-potong atau tidak mengaitkannya dengan keterangan sebelum dan
sesudahnya.
Kami bertanya, menurut
pengalaman keagamaan Gus, benarkah cara ini, ?. Jika BENAR, atas dasar
apa ?. Jika TIDAK benar, mengapa Gus melakukannya ?.
2.
Gus sengaja tidak mau melihat amaliyah kami (Yayasan
Perjungan Wahidiyah). Padahal, prilaku atau sikap seseorang sehari-hari, itu
lebih menunjukkan kepada ucapan dan prinsip yang dipeganginya.
3.
Menyandarkan bahaya kepada “orang awam”, dengan tanpa menjelaskan kontek
keawaman (meski menurut persepsi sampeyan sendiri).
Sebab, makna “AWAM”, sangat
komplek karena dapat ditinjau dari beberapa sisi. Misalnya dari penguasaan ilmu
agama, atau amaliyah keagamaan, atau ilmu lainnya.[7] Jika yang dimaksud
Gus, AWAM dalam ilmu agama saja, maka sampeyan telah melakukan kesalahan
dalam penyandaran “BAHAYA”. Secara umum, setiap orang memiliki dua sifat; awam
dan non awam. Awam dalam bidang tertentu dan non awam dalam bidang yang lain.
Banyak orang awam dalam “penguasaan ilmu agama”, namun
bukan awam dalam ilmu kemasarakatan, akhlak, dan ilmu lainnya. Mereka, ketika
menganalisa dan menyimpulkan sesuatu, lebih cermat daripada yang dilakukan oleh
Gus terhadap “penelitian buku” serta dapat “menyikapi perbedaan”. Dengan
demikian, siapapun (termasuk Gus), dapat dimasukkan kedalam kelompok
“ORANG AWAM” dalam hal tertentu.
Jika Gus, memaksudkan AWAM dalam
semua ilmu (agama dan lainnya), diantara mereka terdapat yang dalam urusan
keluarganya sendiri, bila dibandingkan dengan orang luar, TIDAK AWAM.
Diantara hal yang perlu Gus
ketahui, terhadap kelompok terakhir ini
:
3.1.
didalam kelompok ini terdapat dua bagian : pertama, mereka yang
menyadari keawamannya. Dan biasanya kelompok ini, dalam memahami sesuatu,
bertanya kepada orang yang ahli. Kedua,
mereka yang tidak menyadari keawamannya. namun, merasa sudah benar dan
cukup dengan apa yang telah diketahuinya. Kelompok ini digambarkan dalam
pepatah “katak dalam tempurung”
3.2.
Dan kelompok yang paling terakhir ini juga, dapat dibagi kedalam dua bagian
:
31.1. Mereka
dapat menghargai pendapat dan prinsip orang lain, dan menyadari pentingnya
persatuan.
31.2. Mereka memutlakkan kebenaran hanya terdapat pada
dirinya, sedangkan yang ada pada orang lain, dianggapnya kurang tepat bahkan
disalahkan. Dan biasanya, kelompok ini (dalam hal keagamaan), ketika melihat
amalan atau prinsip orang lain yang tidak cocok dengan fikirannya, cepat-cepat
menilainya sebagai amalan yang keluar
dari sunnah rasul (bid’ah). Padahal, baru tidak cocok dengan
pemikirannya saja. Dan sering, dalam menghadapi orang yang tidak sejalan dengan
dirinya, mereka pandai mengajak masarakat untuk mengikuti gerakannya, mereka
pandai mengelabuhi masarakat dengan memakai kalimat suci, misalnya “Demi
Kemurnian Islam, Demi Menjaga Tauhid Ummat, Demi Wong Cilik, dan lain
sebagainya”. Wallahu A’lam
Jika kelompok paling terakhir
sekali ini, yang dijadikan rujukan oleh Gus, maka kami tidak perlu
banyak berkomentar lagi tentang siapa sebenarnya sampeyan, Gus. Serta
tidak perlu kami menanggapi kejanggalan tersebut.
Sedangkan kejanggalan sampeyan
kami tanggapi, karena kami ber-khusnudhdhon bahwa Gus adalah minannahdliyyin.
q.
Dan kami juga bertanya :
Mengapa hanya “KAMI”, dan bukan
“KITA SEMUA” yang dinilai membahayakan orang awam (meminjam istilah awam yang
dipakai Gus) ?.
Ataukah cara Gus seperti
itu –, merupakan ekspresi dari beberapa strategi bertahap untuk menghalau kaum
sufi sunni, serta penganut aqidah ahlussunnah waljamaah (al-Asyaa’irah) dari
bumi Indonesia ?.
r.
“KITA SEMUA” sering mengajarkan kalimat yang semakna dengan Qs.
as-Shoffat : 96, kepada siapa saja yang mau menerimanya, bahkan kepada manusia
dibawah awam (meminjam istilah awam yang dipakai Gus Thoifur). Misalnya, antara lain :
1.
jika seseorang sedang memberikan janji kepada orang lain, sepatutnya
disertai dengan ucapan “INSYAALLAH / jika Alloh menghendaki”.[8] Kata-kata ini, diajarkan oleh orang tua kepada
anak-anaknya, oleh guru agama kepada anak didik seusia TK, SD, SMP atau sedarajat.
Sehingga kata-kata tersebut, telah membudaya dimasyarakat.
2.
Redaksi (لاحول ولا قوة الاّ
بالله العلي العظيم / tiada daya dan uapaya kecauali atas daya dan
upaya Allah) juga telah memasarakat. Bahkan, terdapat mereka yang
mengajarkannya, atau orang awam yang menjadikan wirid dengan bilangan tertentu.
@ Kami bertanya : Gus,
“tidakkah makna kedua kalimat suci ini sepadan dengan makna Qs. as-Shaffat : 96
diatas” ?.
Kalau Gus mengatakan
TIDAK, atas dasar apa serta rujukan dari mana ?. Kalau mengatakan : YA, mengapa
Gus membiarkan kalimah suci tersebut dibudayakan dan dimasarakatkan,
serta tidak menganggap bahaya bagi awam ?.
s.
Orang awam mengamalkan thariqah saja dibolehkan, apalagi mengahayati
makna Qs. as-Shaffat : 96 diatas yang merupakan realisasi rukun iman.
Berkaitan dibolehkannya orang awam mengamalkan tahriqah, dapat dilihat
dalam buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU, terbitan Khalista Surabaya tahun
April 2011 M, pada permasalahan ke 115 tentang “Tidak Mengetahui Syarat
Rukunnya Wudlu Memasuki Thariqah” :
S.
Bolehkah orang awam yang tidak mengetahi syarat rukun wudlu, shalat dan
sebagainya, memasuki thariqah mu’tabarah ?. Karena biasanya mereka tidak mau
mempelajari pengetahuan agama sesudah masuk thariqah.
J. Boleh, apabila mempunyai keyakinan atau pikiran bahwa sesudah masuk
rhariqah akan dapat memepelajari pengetahuan agama, akan tetapi bila tidak
seperti tersebut dalam soal, maka hukumnya tidak boleh, bahkan lebih dahulu wajib
mempelajari dasar-dasar pokok agama (ushuluddin). Dan kemudian baru baru
perinciannta (hokum ibadahnya)”. orang yang sangat awam memasuki amalan
thariqah, selama setelahnya mempejari ilmu syariat yang diwajibkan secara garis pokoknya.
t.
Sebagai bahan pertimbangan, perlu Gus diketahui; bahwa disamping
kami melaksanakan penyiaran shalawat Wahidiyah, kami juga melaksanakan
pembinaan secara intensif, agar para pengamal Wahidiyah dapat melaksanakan
secara tepat terhadap prinsip LILLAH (syariat) dan BILLAH (hakikat). Diantara
pembinaan yang kami lakukan :
1.
Kami dirikan Yayasan Perjuangan Wahidiyah dari pusat sampai daerah.
2.
Memberikan motivasi kepada pengamal Wahidiyah agar – disamping
melakukan ibadah wajib dan kegiatan kemasarakatan -, tekun melaksanakan
mujahadah Wahidiyah (yaumiyah, usbuiyah, syahriyah, rub’us sanah, nisfus sanah,
, kubro dan lainnya) untuk memohon hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw,
dan nadzrah Ghauts Hadzaz Zaman, yang manfaatnya diniati untuki diri sendiri,
keluarga dan umat masarakat.
2.
Penjelasan terhadap penyataan : karena tidak di jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat atau hakikot”.
Kami menjawab
:
a.
Siapapun yang membaca buku dengan seksama, tidak akan
mengeluarkan pernyataan seperti pernyataan sampeyan Gus. Dan pernyataan
sampeyan diatas, adalah “tafsir sentimen”.
b. Banyak keterangan dalam kitab Kifayatul
Awam, ketika membahas hakikat namun tanpa ada keterangan “hal ini dalam
pandangan hakikat”.
c.
Dalam buku kami, memang kadang tidak menyebutkan kalau
bahasan tersebut sebagai bahasan syariat atau hakikat. Hal ini dikandung maksud
, menurut kami :
1. pemilihan istilah syariat dan hakikat hanya
digunakan untuk memudahkan “pembahasan” saja, dan bukan pemilahan dalam
“penerapan”. Sedangkan dalam penerapan keduanya, ya tidak ada syariat dan tidak
ada hakikat. Yang ada, hanyalah sunnah Rasulullah Saw yang diamalkan oleh
anggota batin/ hati (disebut sebagai hakikat), dan oleh anggota lahir
(disebut sebagai syariat).
2. sebab dari pemilahan tersebut, dengan tanpa
disadari, sering menimbulkan pemilahan dalam praktek. Artinya mana yang harus
didahulukan, syariat atau hakikat.
3. dan akibat pemilahan tersebut, juga
menimbulkan dua kubu. Kubu syariat dan kubu hakikat, yang kadang masing-masing
mendakwakan diri paling istimewa. Padahal, semestinya tidak terdapat dua kubu. Yang
ada, dan
yang istimewa, adalah menerapkan keduanya.
d. Kami bertanya : mengapa Gus sengaja hanya mengambil pernyataan pada alenia
tersebut, tanpa mengkombinasikan dengan keterangan sebelum dan sesudahnya. Dan
cara inilah yang menjadikan Gus, kacau dalam pemikiran dan kesimpulan.
Namun, wajar. Sebab dimanapun yang namanya tafsir sentiment, ya ......,
begitulah.
e.
Gus sengaja memotong penjelasan sebelumnya (lihat kembali
halaman 3 – 5), tentang penjelasan dan penerapan prinsip LILLAH. Yang mana
sebagai gambaran syariat. Sedangkan ayat diatas sebagai gambaran dari hakikat.
Dalam hal ini kami bertanya
lagi; maaf “apakah Gus agak condong kepada paham qadariyah ?”.
f.
Pernyataan Gus; “tidak di jelaskan
sikap kita dari kaca mata syariat atau hakikot”, yang Gus jadikan sebagai alasan untuk menguatkan
kejanggalan terhadap buku kami, dengan jelas Gus hanya mencari-cari alat
atau alasan dengan sedapat-dapatnya ..., yang penting dapat dipakai untuk
mengkonter kami.
Lain itu pula, pernyataan Gus diatas, menunjukkan “cara
berpikir” Gus yang kurang jelas. Sebab, uraian dalam buku kami sudah sangat
jelas, mana uraian yang membahas “syariat” dan mana uraian yang membahas
“hakikat”.
Dalam hal ini, kami bertanya
kepada diri sendiri, mungkinkah Gus Thoifur adalah orang yang tidak bisa
membedakan antara syariat dan hakikat ?. Setelah sejenak kami berpikir,
hati kecil kami menjawab : Tidak mungkin orang sekelas Gus Thoifur, tidak
dapat membedakan antara syariat dan hakikat. Pikiran kami tergelitik
kembali dan bertanya lagi; jika dia mengetahuinya, mengapa bergaya seperti
orang yang bodoh, atau memang bodoh beneran ?. Sampai pertanyaan ini, hati
kami belum dapat memberikan jawaban.
g.
.Buku kami kepada
pengamal Wahidiyah, mengajarkan agar memperhatikan amalan lahiriyah (syariat). Dapat
dilihat pada halaman 4, tertulis, Qs. al-Qashash 50
وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ
لاَيَهْدِي القَوْمَ الظَالِمِيْنَ
Dan siapakah orang yang lebih sesat,
diantara orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, dengan tidak mendapat
petunjuk Allah sedikitpun ?. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
kaum yang dlalim.
Dan, ada halaman 4 -5, tertulis :
“Orang yang tidak LILLAH namanya LIGHAIRILLAH berbuat
berbuat tidak karena Allah, melainkan karena selain Allah. Istilah Wahidiyah
disebut LINAFSIH, berbuat atau beramal hanya karena menuruti keinginan dan
kemauan hawa nafsunya. Kelihatan tha’at pada lahirnya saja. Sedangkan batinnya
adalah menuruti nafsu, berarti ia diperalat oleh nafsunya sendiri !. Orang yang
begini inilah inilah yang termasuk golongan orang/ kaum yang dlalim yang tidak
akan mendapat petunjuk dari Allah”
Pada Halaman 5, tertulis : أَبْغَضُ إِلَهٍ
عُبِدَ عِنْدَ اللهِ فِي الأَرْضِ هُوَ الهَوَى: Berhala sesembahan dibumi yang paling dimurkai dan dikecam oleh Allah
adalah hawa nafsu (HR. Thabrani
dari Abi Umamah).
“Kesimpulannya, orang yang beramal
ibadah hanya menuruti kamauan nafsunya sendiri, dia adalah hamba dari nafsunya,
dia mempertuhankan nafsunya tidak merasa. Oleh karena nafsu itu justru yang
paling dimurkai oleh Allah, maka dengan sendirinya orang yang mengikuti nafsu
itulah yang paling dimurkai oleh Allah “.
Pada halaman 10 :
“LILLAH – BILLAH
harus diterapkan serempak bersama-sama !. Hanya LILLAH saja tanpa BILLAH,
berbahaya !. Bahayanya yaitu antara lain ‘ujub, riya, takabbur dan sebagainya.
Begitu juga hanya BILLAH saja tanpa LILLAH menjadi batal, karena tanpa
menjalankan perintah dan menjauhi larangan ALLOH”.
h.
Gus juga sengaja tidak mau memahami keterangan tentang faedah
peningkatan akhlak batin kepada Alloh dari prinsip BILLAH (pada halaman 9) :
Orang yang
tidak merasa BILLAH otomatis BINAFSIH, dan kalau BINAFSIH otomatis mempunyai rasa
ujub, riya, takabbur dan sebagainya yang kesesmuanya ini merusak amal tersebut tidak diterima oleh Alloh. Masih untung jika tidak
diterima begitu saja, akan tetapi disamping tidak diterima amal yang dikotori
dengan sifat ujub, riya, takabbur dan sebagainya itu kelak diakhirat dirupakan
siksa untuk menyiksa orang yang beramal !.
i.
Gus sengaja menutup mata dan pikiran, dan sengaja
menyimpangkan prinsip kami, dengan tujuan untuk membenarkan kejanggalannya
sendiri.
Penjelasan yang sengaja tidak
diperhatikannya, adalah penjelasan pada buku kami (BUKU KULIAH WAHIDIYAH, halaman 107).
Hal tersebut tidak boleh diartikan bahwa kita diperbolehkan melakukan
perbuatan maksiat asal sudah bisa BILLAH. Tidak, tidak berarti begitu. Perkara
boleh atau tidak, itu bidang syariat bidang LILLAH. Sedang BILLAH adalah bidang
iman, bidang TAUHID. Kita harus mengisi segala bidang !. Kita isi sepenuh
mungkin. Didalam bidang syariat, maksiat tetap maksiat, dilarang
menjalankannya. Dicegah dan harus dihindari sekuat mungkin. Apa bila terpaksa
menjalankan maksiat, harus diakui itu terlarang tidak boleh dikerjakan. Maka
harus cepat-cepat menghindar dan bertaubat. Di dalam kita menghindarkan diri
dari maksiat dan bertaubat itulah yang harus disertai niat LILLAH disamping
sadar BILLAH senantiasa. Begitu seharusnya.
3.
Penjelasan kami terhadap pernyataan : “dan pernyataan itu tidak punya adab
terhadap ALLOH”.
Kami menjelaskan :
a.
Gus, pernyataan diatas, mengindikasikan ada udang (tujuan)
dibalik batu pernyataan (kejanggalan).
b.
Kalimat Gus diatas, aslinya suci. Namun, diarahkan kepada kami
(yang memiliki dasar yang mu’tabar dalam aqidah ahlusssunnah wal jamaah), maka kami
bertanya : sejauh itukah, sampeyan terpeleset, Gus ?.
c.
Seseorang dapat dikatakan “tidak punya adab kepada Allah”, antara lain :
1.
memutar balikkan antara yang hak dan yang benar.
2.
beramaliyah syariat saja, atau hakikat saja.
3.
Ketika sedang membahas agama, mendahulukan kesimpulan nafsu.
4.
menghalang-halangi berjalannya kebenaran serta menggantinya dengan
kedurhakaan.
5.
ketika berdialog tentang permasalahan Islam, tidak mencari kebenaran,
melainkan mencari kemenangan.
6.
berkeyakinan bahwa Allah Swt bukan pencipta segala sesuatu.
7.
Lebih cinta, malu dan takut kepada makhluk dari pada kepada Allah.
d.
Sekedar untuk menambah wawasan kepada Gus, dan demi mhilangnya
tafsir sentimen, kami menambahkan beberapa keterangan. Antara lain :
1.
Siapapun akan mengalami kegagalan dalam memahami Islam secara utuh
(syariat dan hakikat), selama tidak memiliki guru yang mumpuni.
2.
Ternyata Gus kurang memahami (atau pura-pura tidak memahami)
terhadap istilah-istilah kaum sufi sunny yang berkaitan dengan LILLAH – BILLAH.
Syeh Ahmad Zaini Dahlan Ra dalam
kitabnya Taqriib al-Ushul li Tashiil al-Wushul li Makrifatillah wa ar-Rasuul
halaman 46, menjelaskan :
وَالشَرِيْعَةُ
وُجُوْدُ الأَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُ الأَفْعَالِ بِاللهِ
Syariat
adalah wujudnya perbuatan karena Allah, sedangkan hakikat adalah kesaksian
terhadap perbuatan (muncul) sebab Allah.
3.
Untuk memahami arah perjuangan kami (Perjuangan Wahidiyah) secara benar,
tidak cukup hanya dengan menganalisa buku yang kami terbitkan saja. Dan untuk
memahaminya secara tepat, paling tidak dengan :
3.1. Mengamalkan shalawat Wahidiyah.
3.2. Bertanya kepada ulama yang ahli tasawuf.
e.
Guru Pembimbing Ruhani pengamal Wahidiyah, Beliau Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh
Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, dalam salah satu fatwa
amanatnya, menjelaskan :
1.
Supaya tuntas dalam membahas
suatu ilmu (baik syariat maupun hakikat), dilaksanakan dengan
pembahasan yang terfokus dan sampai akar permasalahan yang terkecil.
2.
Sedangkan dalam pelaksanaannya, syariat dan hakikat harus dijalankan
bersama-sama. Antara keduanya, tidak boleh
dipilih salah satu.
3.
Penggabungan syariat dan hakikat, harus wujud dalam prilaku, bukan
pengetahuan untuk sekedar pengetahuan. Maka kepada para da’i dan muballigh
Wahidiyah dimanapun berada, dalam membina pengamal Wahidiyah, lebih
mengutamakan dalam pemberian contoh dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Metode untuk memahami wahidiyah, adalah metode hidayah. Maka
pengamal dimotifasi agar tekun melaksanakan semua jenis mujahadah yang telah
diberikan oleh Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, bahkan kalau diberi
kemampuan oleh Alloh Azza wa Jalla, sangat baik disertai riyadloh.
f.
Semua buku yang kami terbitkan (demikian pula seluruh cara dan system dakwah
yang kami laksanakan), bertujuan mengajak semua pengamal Wahidiyah, agar dapat
menyadari pentingnya penggabungan serta pengamalan prinsip syari’at (fiqih) dan
hakikat (tasawuf).
Dengan kata lain, bersikap
tawassut antara syariah dan hakikah, sebagaimana cerminan dari ajaran ahlus
sunnah wal jamaah.
Imam al-Ghazali Ra dalam
kitabnya Raudlah at-Thalibin, pada bab 5 Bayaan Ma’na at-Tauhid wa
al-Ma’rifah, menerangkan : [9]
إِعْلَمْ
أَنَّ أَهْلَ الأهْوَاءِ المُخْتَلِفَةَ سِتُّ فَرْقٍ. وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا
ضِدَّانِ وَهِيَ : التَشْبِيْهُ وَالتَعْطِيْلُ ضِدَّانِ, وَالجَبْرُ وَالقَدَرُ
ضِدَّانِ, والرَفْضُ وَالنَصْبُ ضِدَّانِ.
وَكُلٌّ مِنْ هَؤُلاَءِ مُنْحَرِفُوْنَ عَنِ الصِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ.
وَالفِرْقَةُ النَاجِيَةُ الوَسَطُ وَهُمْ أَهْلُ السُنَّةِ وَالجَمَاعَةِ. فَمَنْ نَفِيَ المَشِيْئَةَ وَالكَسْبَ عَنْ
نَفْسِهِ فَهُوَ جَبَرِيٌّ, وَمَنْ نَسَبَهُمَا إلَى نَفْسِهِ فَهُوَ قَدَرِيٌ, وَمَنْ
نَسَبَ المَشِيْئَةَ إِلَى اللهِ وَالكَسْبَ إِلَى العَبْدِ فَهُوَ سُنِّيٌّ.
Ketahuilah.
Sesungguhnya ahli pengikut hawa nafsu yang berbeda-beda ada 6 kelompok. Dan
setiap 2 kelompok dari enam tersebut saling bertentangan: tasybih dan ta’thil
bertentangan, jabariyah dan qadariyah saling bertentangan, dan rafidloh saling
bertentangan.Dan setiap kelompok dari mereka tersimpang dari jalan yang lurus.
Sedangkan
kelompok yang selamat, mengambil jalan tengah (tawassuth), yakni kelompok ahlus
sunnah wal jamaah. Barangsiapa yang
meniadakan kehendak dan perbuatan dari dirinya, maka dialah penganut jabariyah. Dan barang siapa yang menetapkan
keduanya (kehendak dan perbuatan) kepada dirinya, maka dialah penganut
qadariyah. Dan barang siapa menetapkan kehendak pada Allah dan perbuatan kepada
dirinya, maka dialah penganut sunniy (ahlus sunnah wal jamaah.
Kesimpulan :
a.
Kejanggalan Gus, terlahir
dari pemikirannya sendiri, bukan sebab dari buku kami.
b.
Setiap mukallaf wajib memahami dan menerapkan makna rukun iman keenam.
c.
Guru Pembimbing kami, (Hadlratul
Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah
Dan Pondok Pesantren Kedunglo), membimbingkan:
1.
LILLAH – BILLAH itu untuk
dipraktekkan. Bukan untuk dijadikan bahasan saja, apalagi diperdebatkan secara
ilmiyah.
2.
Mampu mempraktekkan keduanya adalah hidayah Allah Swt. Tidak ada jalan
untuk meraih hidayah, kecuali berdoa secara sungguh-sungguh serta dibimbing
oleh Guru yang mumpuni.
3.
Kebanyakan dari mereka yang hanya memperdebatkan keduanya – disamping
membuang-buang waktu -, sering terjerumus kedalam jebakan nafsu/ setan.
--------------------------
2.
Tanggapan terhadap
kejanggalan kedua.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Di dalam
buku KULIAH WAHIDIYAH tepatnya pada halaman
127-128 terdapat ajaran ISTIGHROQ AHADIYAH
/ LAA MAUJUDA ILLALLOH (tiada yang wujud selain ALLOH) padahal mengucapkan LAA MAUJUUDA ILLOH saja harom syar'an karna mengandung iham (salah faham bagi orang awam) apalagi mempraktekkan seperti ajaran wahidiyah.
dan dalil yang di gunakan
"Janganlah kamu sembah di samping
(menyembah) ALLOH tuhan apapun yang lain. tidak
ada tuhan( yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali ALLOH.
Bagi-Nyalah segala penentuan,dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.(alqosos 88).
Kami menjelaskan :
a.
Dalam hal pelaksanaan ISTIGHRAQ, kami TIDAK SEPERTI anggapan yang sampeyan
tuduhkan kepada kami. Sedangkan kejanggalan oleh Gus tentang kami,
hanyalah sebagai pengalaman sampeyan sendiri dalam memahami makrifat yang
berasal dari kelompok non kaum sufi sunniy.
b.
Jika Gus dalam menilai janggal kepada kami, tidak ada muatan
lain, tentu akan membaca buku kami secara tuntas. Dan yang kemudian, akan dapat
memahami prilaku istighroq kami yang berdasar aqidah ahlussunnah waljamaah.
c.
Jika Gus hanya memahami makna redaksi tersebut sesuai pemahaman
sendiri. Maar, kebanyakan orang bodoh yang tinggi ego itu, memiliki sikap
seperti sampeyan.
@ Kami bertanya : mengapa hanya buku kami yang dinilai
harom menulis kalimat LAA MAUJUUDA ILLALLOH ?.
Padahal ada pihak lain, yang menulis, mengajarkan dan
mewiridkan kalimat tersebut, tidak diharomkan. ANEH SAMPEYAN NIKI GUS.
Ataukah, pihak lain terlewatkan dari pengamatan Gus,
hingga tidak mengharamkannya ?.
Misalnya, antara lain :
1.
Shalawat Kubro-nya Syeh Abdul Qadir Jailani Ra yang banyak
diamalkan oleh masarakat awam dan non awam. Didalamnya terdapat redaksi yang
artinya sepadan dengan LAA MAUJUDA ILLALLAH :
أَنْ
تُحَقِّقَنَا بِهِ ذَاتًا وَصِفَاتًا وَأَسْمَاءً وَأَفْعَالاً وَأَثَارًا حَتَّى
لاَ نَرَى وَلاَ نَسْمَعَ وَلاَ نُحِسَّ وَلاَ نَجِدَ إِلاَّ إِيَّاكَ
Sekiranya PADUKA
(Ya Allah) berkenan men-tahqiq-kan (dapat menyatakan senyata-nyatanya) kami sebab beliau
(Rasulullah Saw), baik secara dzat, sifat, asma, perbuatan maupun atsar/ bekas;
sehingga kami tidak melihat, tidak mendengar, tidak merasa dan tidak menemukan,
KECUALI HANYA PADUKA.
2.
Shalawat Masyisyiyah, juga
terdapat redaksi yang sama dengan makna Laa Maujuda Illallah.
وَزُجَّ
بِي فِي بِحَار الأَحَدِيَةِ وَانْشُلْنِي مِنْ أَوحَالِ التَّوْحِيْدِ
وَأَغْرِقْنِي فِي عَيْنِ بَحْرِ الوَحْدَةِ حَتَّى لاَ أَرَى وَلاَ
أَسْمَعَ وَلآَ أَجدَ وَلاَ
أُحِسَّ إِلاَّ بِهَا.
Dan doronglah dengan kami kedalam lautan AHADIYAH, dan
turun (keluar)-kanlah kami dari lumpur (kesesatan) tauhid. Dan tenggelamkanlah
kami kedalam kenyataan lautan ke-Esa-an MU. Hingga aku tidak melihat,
tidak mendengar, tidak menemukan dan tidak merasa kecuali didalam samudra
ke-Esa-an-Mu.
3.
Dalam wirid Dzikrul Ghafilin-nya Gus Mik, Mbah Hamid Pasuruan dan
Mbah K. Ahmad Siddiq Jember. Didalamnya terdapat redaksi :
لاَمَعْبُوْدَ
إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَطْلُوْبَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَوْجُوْدَ
إِلاَّ اللهُ
Tidak ada yang
disembah kecuali Alloh, Tidak ada yang dituju kecuali Alloh, Tidak ada yang
dicari kecuali Alloh, Tidak ada yang maujud kecuali Alloh.
d.
Para Ulama telah memutuskan, kata
“maujud” boleh disandarkan kepada Allah. Dengan kata lain, dibolehkan penambahan
kalimat pada maujud, dengan tujuan pengautan makna, misalnya LAA MAUJUUDA ILLALLOH. [10]
e.4. Dalam kitab Sirajut Tholibin juz I halaman 52,
tertulis :
وَالحَاصِلُ
أَنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ وَجْهَيْنِ : وَجْهٌ إِلَى نَفْسِهِ وَوَجْهٌ إِلَى
رَبِّهِ, فَهُوَ بِاعْتِبَارِ وَجْهِ
نَفْسِهِ عَدَمٌ, وَبِاعِتِبَارِ وَجْهِ
اللهِ مَوْجُوْدٌ, فَإِذَنْ لاَمَوْجُوْدَ
إِلاَّ اللهُ
Walhasil, sesungguhnya bagi semua sesuatu
memiliki dua sisi (keadaan): sisi kepada dzat sesuatu, dan sisi kepada
Tuhannya. Dilihat dari sisi sesuatu tersebut, adalah ketiadaan (keberadaannya semu), sedangkan
dilihat dari sisi Allah, ia wujud (karena diwujudkan-Nya). Dengan
demikian, tidak yang wujud secara hakiki, kecuali Allah.[11]
e.5. Dalam kitab Jamiul Ushul-nya
Syeh Kamasykhanawi Ra pada bab “adz-dzikr”, diterangkan tentang makna LA ILAHA
ILLALLAH :
(لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ)
أَي لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ
اللهُ, أَوْ لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ
Kami tulis beberapa contoh
diatas, berkaitan dengan pengucapan LA MAUJUDA ILLALLAH, yang menurut Gus,
harom syar’an, adalah hukum buatan Gus sendiri, yang didasarkan
hanya dari nash atau DALIL PERSEPSI.
Sedangkan siapapun orangnya,
dalam memahami redaksi tersebut, selama belum memahami arah dan maksudnya,
harus atau (akan) bertanya kepada Guru yang mumpuni. Dan bukan ditanyakan
kepada orang yang tidak ahli, apalagi ditanyakan kepada orang yang didalam
hatinya terdapat perasaan jahil kepada pengamal wirid MAUJUDA ILLALLAH !.
Berkaitan dengan ini, perlu
sejenak Gus membuka kembali buku Ahkamul Fuqaha, keluaran LTN
PBNU, terbitan Khalista Surabaya, tahun April 2011, pada bahasan ke: 116
(tentang “menekuni membaca al-Qur’an dan lain-lain termasuk thariqah
mu’tabarah”) dan ke: 117 (tentang derajat antara thariqah), yang disitu
diterangkan :
·
S. Apakah menetapi membaca al-Qur’an, membaca Dalailul
Khairat dan mempelajari kitab Fathul Qariib atau kitab Kifayatul Awam itu
termasuk thariqah Mu’tabarah ?.
J. Ya. Demikian itu termasuk thariqah mu’tabarah.
Keterangan, dari kitab:
Salalim Fudhala’
Syarh Hidayatul Adzkiya’ {Muhammad
Nawawi al-Jawi, Salalim Fudhala’ Syarh Hidayatul Adzkiya’ pada Kifayah
al-Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’ (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), 13.} ..................... .
·
S. Apakah thariqah Tijaniyah itu termasuk thariqah yang benar dan
mu’tabarah ? Manakah yang lebih utama ? Tharriqah Naqsyabandiyah, Syattariyah,
Qadiriyah atau lainnya ?. Aapakah perbedaannya thariqah dan syariah ?.
J. Thariqah Tijaniyah itu
mempunyai urutan langsung (sanad muttashil) sampai kepada Rasulullah Saw dan merupakan
thariqah yang sah dalam agama Islam dan semua thariqah mu’tabarah itu tidak ada perbedaannya satu sama lain.
Semua wiridan dari tahriqah Tijaniyah itu sah (benar) seperti dzikirnya,
shalawatnya dan istighfarnya, begitu juga pernyataannya dan syarat-syaratnya
yang sesuai dengan agama (syara’). Adapun yang tidak sesuai apabila
dapat dirakwilkan, maka harus ditakwilan pada arti yang sesuai dengan agama dan
terserah kepada yang ahli. Bila tidak bisa dan ternyata bertentangan dengan
agama dan tidak dapat dirakwilkan, maka hal itu salah, dan tidak boleh diajarkan
kepada golongan awam supaya tidak tersesat dan menyesatkan.
Keterangan, dari kitab:
1.
al-Fatawa al-Haditsiyah {Ibnu
Hajar al-Haitami, (Mesir. Mushthafa al-Halabi, 1390 H/ 1971 M), h. 331.}. ................................ .
2.
Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah { Muhammad
Nawawi al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah, (Surabaya
: al-Hidayah, t.th), h.4.}. ....
Syaikh al-Shawi berkata : syariat adalah hukum-hukum yang Rasulullah Saw
bebankan kepada kita dari Allah Azza wa Jalla berupa hal-hal yang wajib, sunnah, haram dan mubah.
Sedangkan thariqah adalah adalah pengamalan kewajiban-kewajiban dan
kesunahan-kesunahan, meninggalkan larangan-larangan, dan menghindari dari hal
mubah yang tidak dibutuhkan, bersikap sangat hati-hati seperti dengan wira’i
dan riyadhah antara lain ibadah tengah malam,
berlapar-lapar dan membisu.
e.
Gus sengaja melakukan penyimpangan kesimpulan dari arah dan
tujuan kami yang semestinya. Misalnya :
1.
Tidak mau memahami tujuan mujahadah yang dilakukan secara rutin oleh
pengamal Wahidiyah.
2.
Tidak mau melihat system yang ada dalam jamaah Wahidiyah yang senantiasa
dibimbing.
3.
Tidak mau melihat praktek pengamal Wahidiyah yang berada di PP Kedunglo
al-Munadzdzarah, atau di pondok-pondok pesantren diluar Kedunglo yang telah
mengamalkan Wahidiyah.
4.
Terlalu men-genaralisasikan sebagian pengamal Wahidiyah (yang
sangat-sangat kecil jumlahnya), yang menyimpangkan makna dari aslinya, kepada
sebagian besar pengamal Wahidiyah yang mengikuti tuntunan.
f.
Memang orang seperti Gus, terjadi sajak zaman Rasulullah Saw.
Misalnya, sejarah seseorang yang bernama (kitab syarahnya Imam an-Nawawi
terhadap kitab Shahih Muslim). Setelah menjadi pengikut Rasulullah Saw,
tiba-tiba Dzul Khuwaitsirah menjadi munafiq dan berprilaku ekstrim, dan
juga yang dari keturunannya terlahir kelompok khawarij (pembunuh
Sayidina Ali Karamallahu wajhah). Dan pula, para penerus Dzul Khuwaishirah suka
mengkafirkan sesama muslim.
Demikian pula sejarah telah
mencatat, kurun waktu setelah zaman Rasulullah Saw dan para sahabat Ra, juga
terdapat sebagian muslim yang menyimpangkan ajaran Islam, dan dibawa kepada
non ahlussunnah wal jamaah.
g.
Gus sebagaimana kejanggalan sebelumnya, juga tetap sengaja
menutup mata dari keterengan yang ada dalam buku kami pada halaman 127 dan 129.
Dengan jelas hal ini menunjukkan, Gus memiliki niatan diluar
agama. Oleh karenanya mari kita lihat redakasi dalam halamen tersebut :
Artinya, karena kuatnya konsentresi pada SATU yakni ALLAH,
maka yang lain atau makhluk, tidak kelihatan. Tidak kelihatan pandangan mata
hati. Bukan pandangan mata lahir. Yang kelihatan hanya ALLAH. Dirinya
sendiripun tidak kelihatan. Sehingga mudahnya dikatakan, selain Allah tidak
wujud, yang wujud hanya ALLAH” (hlm 127).
Dan (pada halaman 129) :
Ada lagi yang memakai istilah manunggaling kawulo lan
Gusti = menyatunya hamba dengan Tuhan. Dalam ilmiyah tasawuf ada yang memakai
istilah “ittihad”, Ittihad bihulul (kemanuggalan dalam bentuk penjelmaan Tuhan
ke dalam diri manusia) dan Ittihad bi wahdatil wujud (kemanunggalan manusia
dalam diri Tuhan).[12] Akan tetapi, kami berpendapat istilah-istilah tersebut
sangat tidak tepat, terlalu jauh dari kenyataan yang haqiqi. Sebab didalam
istilah “manunggal” atau istilah “ittihad” masih ada dua unsur : yaitu kawulo
dan Gusti atau manusia/ hamba dan Tuhan. Padahal hakikatnya hanya SATU !. ALLAH
TUHAN !. Titik”.
Makna
redaksi diatas (baik halaman 127 maupun 129), adalah dalam ranah saat
DZIKRULLAH, bukan ranah saat berintegrasi dengan makhluk (hablun minannas/
hubungan social masarakat), yang berada
diluar saat dzikrullah.
Kami uraikan makna
redaksi diatas :
1.
“karena kuatnya konsentresi pada SATU
yakni ALLAH”.
Dalam ilmu tauhid, ketika
memusatkan perhatian baik dzikir kepada ALLAH atau membahas kekuasaan-Nya,
tidak boleh ada yang lain, dan kalau masih ada yang lain, namanya belum
dzikrullah secara murni.
2.
“maka yang lain atau makhluk, tidak
kelihatan. Tidak kelihatan pandangan mata hati. Bukan pandangan mata lahir.
Yang kelihatan hanya ALLAH. Dirinya sendiripun tidak kelihatan”,
Tidak kelihatan
oleh mata hati atau mata akal. Karena yang memiliki wajibul wujud hanya
ALLAH, sedangkan makhluk termasuk diri sendiri adalah mumkinul wujud.
3.
“Akan tetapi, kami berpendapat istilah-istilah tersebut sangat tidak
tepat, terlalu jauh dari kenyataan yang haqiqi”.
Belum
meng-Esa-kan ALLAH secara hakiki, sebab masih terjebak syirik dalam dzikrullah.
4.
“Sebab didalam istilah “manunggal”
atau istilah “ittihad” masih ada dua unsur : yaitu kawulo dan Gusti atau
manusia/ hamba dan Tuhan”.
Sebab keberadaan
Allah, tanpa ittihad dan hulul.
5.
“Padahal hakikatnya hanya SATU !. ALLAH TUHAN !. Titik !”.
Redaksi ini
dipraktekkan ketika sedang melaksanakan “DZIKRULLAH”, dan bukan diluarnya.
Gus, coba
bandingkan dengan buku Demensi Dooktrinal DIFA ‘07, sama atau tidak
ungkapannya.
“dimana doktrin ittihad dan hulul
dalam dunia tasawuf sejatinya tidak pernah ada selain muncul dari
ungkapan-ungkapan yang lebih bersifat “pengakuan” atau bahkan “tuduhan”. Sebab
puncak dari ajaran tasawuf adalah peng-Esa-an Allah (tauhid) dengan menafikan
semesta wujud selain Dia (Huwa) yang melampui doktrin hulul dan ittihad
yang masih melihat dialitas
wujud yang lantas salah satunya masuk (hulul) atau menyatu (ittihad)
pada yang lain”.
@ Kami bertanya
: Sama atau tidak ?. Kalau jawabannya TIDAK, kami bertanya : ampaeyan mengerti
tidak dengan bahasa Indonesia ?. Kalau jawaban : YA,SAMA. Kami bertanya :
mengapa hanya kami yang sampeyan janggalkan, sedangkan kepada buku Demensi
Dooktrinal, tidak menjanggalkan ?.
h.
Berkaitan dzikrullah diatas, Guru kami, Beliau al-Mukarrom Kanjeng Romo
KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren
Kedunglo kepada para pengamal Wahidiyah, sering menjelaskan :
1.
Manusia adalah makhluk yang lemah, demikian pula perbuatan anggota
jasmaninya termasuk lisan, fikiran dan hati.
2.
Berkaitan dengan perbuatan lisan atau hati, setiap lisan, ketika sedang
mengucapkan hurup A, maka tidak mungkin ada hurup yang wujud pada lisan, selain
hurup A.
3.
Dan, ketika lisan sedang mengucapkan suatu kalimat, misalnya RUMAH,
pasti tidak mungkin ada kalimah lain yang wujud dalam lisan, selain kalimat
RUMAH.
4.
Demikian pula hati dan pikiran manusia. Ketika sedang mengingat dan
memikirkan sesuatu dengan sungguh-sungguh, sudah tentu tidak mungkin ada
sesuatu yang wujud didalam hati, selain sesuatu tersebut.
5.
Dan, ketika seseorang sedang asyik membicarakan sesuatu,
maka waktu itu, ia lupa kepada dunia
lainnya, dan bahkan terkadang kepada dirinya.
6.
Demikian pula, ketika hati dan pikiran sedang mengingat/ memikirkan
ALLAH (lebih-lebih disertai dengan sebagian saja dari kebesaran dan
keagungan-NYA), tidak mungkin ada yang wujud dalam hati atau pikiran, selain
DIA (ALLAH).
i.
Untuk menganggap janggal pada buku kami, Gus sengaja tidak mau
melihat penjelasan sesudahnya pada halaman 130.
Lengkapnya redaksi adalah :
“Ini tidak berarti
mengurangi nilai ibadah haji, lalu kita hanya Istigroq saja tidak menjalankan
haji, tidak melakukan shalat dan sebagainya, sama sekali tidak begitu !. Segala
bidang harus kita isi sepenuh mungkin !. Ibadah termasuk rukun Islam kelima
wajib dijalankan oleh siapa saja yang ada kemampuan !. Tidak boleh diganti dengan jenis ibadah lainnya !. Lebih-lebih
lahir diganti dengan ibadah batin, sama sekali tidak dibenarkan. Ibadah lahir
harus dijalankan menurut semestinya, disamping ibadah batin tidak boleh
ditinggalkan. Siyaqul kalam kalimah diatas hanya sebagai kalam khobar
memberitahukan kebaikannya istigroq. Dan disini kita berbicara soal nilai,
bukan membahas soal hokum. Harus ada pembedaan atau pembidangan dalam
pendekatannya. Masalah nilai tidak bisa didekati dengan kacamata hokum,
sekalipun mungkin bisa saja terjadi interaksi (saling pengaruh mempengaruhi)
bahkan interdepensi (saling brkaitan) antara masalah nilai dan hokum. Banyak
keterangan agamis yang serupa dengan kata-kata diatas. Dan memang akal fikiran
atau rasio tidak mampu menjangkau dengan membuat analisa-analisa dan ataupun
membuat logikanya”.
j.
Berkaitan pernyataan pada halaman 130 diatas, Guru kami Beliau
al-Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah
Dan Pondok Pesantren Kedunglo kepada para pengamal Wahidiyah, sering
menjelaskan :
1.
Pengamal Wahidiyah atau siapapun yang mengaku makrifat kepada Alloh,
namun tidak bersyariat sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasululloh Shallallohu
Alaihi Wasallam, berarti ia telah tertipu oleh nafsunya.
2.
Sedangkan, ketika keadaan hablun minannas, pengamal Wahidiyah harus
melaksanakan segala bidang tugas. Tugas sebagai kepala keluarga, wajib
dilaksanakan sepenuhnya. Tugas sebagai bangsa dan rakyat Indonesia, wajib
dilakukan sebaik-baiknya.
3.
Pengamal Wahidiyah sebagai masarakat, bangsa Indonesia, warga dunia,
wajib berdoa agar masarakat, bangsa ini segera mendapat perolongan dan hidayah
Alloh Ta’ala, serta segera keluar dari krisis yang multidemensi.
4.
Pengamal Wahidiyah, sebagai rakyat, bertugas mendoakan agar para pejabat
pemerintah (dari Pak RT, Pak Lurah, Pak Camat sampai Bapak Presiden mendapat
hidayah dan pertolongan Alloh Ta’ala, hingga dapat membawa bangsa dan negara
ini sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.
5.
Pengamal Wahidiyah, yang menduduki jabatan, harus mendoakan kepada
rakyat dan bawahannya, agar sadar menjalankan tanggung jawabnya.
k.
Pernyataan Gus diatas, menunjukan kurangnya Gus dalam
membaca dan menyimak buku atau kitab para tokoh dan ulama yang telah mengulas
AHADIYAH :
1.
Buku Dialoq Tasawuf Kiai Said (Bapak Prof. KH. Saad Agil Siraj)
oleh LTN PBNU.
2.
Buku Demensi Dokrinal, DIFA ’07 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP
Lirboyo Kediri.
3.
Buku Nur Muhammad Pintu Menuju Allah-nya Prof. Dr. KH Sahabuddin
(mantan wakil rais Syuriah NU Sulawesi Selatan).
4.
Buku Pengantar Tasawuf-nya Prof. Abu Bakar Aceh.
5.
Kitab Asrarul Insan-nya Syeh Nuruddin ar-Raniriy Aceh.
6.
Kitab Sirus Salikin-nya Syeh Abdus Shamad al-Falimbani.
7.
Kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya Imam al-Qusyairi Ra.
8.
Kitab al-Madlnun Bih-nya Imam al-Ghazali Ra. Beliau menerangkan :
فَالوَاحِدُ
نَفْيُ الشَرِيْكِ فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ
إِلَيْهِ غَيْرُهُ. والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ.
Makna al-Wahid (Esa), adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan
makna al-Ahad, adalah ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang
menjadi) tempat bergantungnya makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat
kepada-Nya. Shamadiyah (ketergantungan seseorang kepada Allah ketika
berinteraksi dengan makhluk), merupakan bukti kepada tauhid Wahidiyah dan
Ahadiyah. [13]
9.
Kitab Thabaqat al-Kubra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, juz II,
manaqib ke 315. Beliau menerangkan :
الوَاحِدُ
يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِ وَالآحَدُ لاَيَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَة الوَاحِدُ
فَإِذَا تَعَدَّدَ الوَاحِدُ تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِ الدَائرَةِ وَإِذَا تَكَمَّلَتْ
صَارَتْ حَقِيْقَةَ وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِرِ. فَمَنْ
صَدَقَ اللهَ وَوَحَّدَهُ اللهُ فَصَارَ وَاحِدًا عَارِفا بِاللهِ وَللهِ.
Al-Wahid,
berbilang dalam penampakannya kepada makhluk. Sedangkan al-Ahad tidak
menunjukkannya. Karena al-Ahad merupakan ringkasan dari al-Wahid. Ketika
penampakan al-Wahid menunjukkan jumlah bilangan, maka turunnya (sinar) al-Wahid
bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud.
Ketika keberadaan wujud telah
sempurna, maka wujud ini sebagai hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah
yang merupakan ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang
dibenarkan (agamanya) oleh Allah, dan Allah telah memberinya (ilmu) tauhid,
maka Allah telah menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang benar-benar
sadar BILLAH dan LILLAH.
عَبْدُ
الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ
عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسْمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ
مَا يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى.
وَهُوَ وَحِيْدُ الوَقْتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى
بِالأَحَدِيَةِ
Abdul Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai
ke derajat hadlrah Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari
sinar Ahadiyah seluruh asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin
Allah semata) yang Dia temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan
dapat musyahadah tentang wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah
satu-satunya hamba Allah (yang sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang
memahami (baik buruknya) zaman. Dan yang baginya (derajat) wali quthub yang
besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
l.
Dan tentang rujukan Gus (kitab Sirajut Thalibin-nya
al-Mukarrom al-Maghfur lah Mbah KH. Ihsan Dahlan al-Jampesi al-Kadiri), sebagai
bahan untuk menguatkan pendapatnya, ternyata salah dalam mengartikannya.
Yakni redaksi (وهذا اللفظ), semestinya bukan kepada makna LAA MAUJUUDA ILLALLOH,
tapi kepada (أنا الله : aku adalah Allah, atau : مافي الجبة إلاّ اللهtidak ada dalam jubah kecuali Allah). Namun, didorong
oleh ketidak pamahan Gus dalam memahami makna, hingga menilai janggal
buku kami.
Dan Redaksi (لكن القوم تارة تغلبهم
الاحوال فيؤل ما يقع منهم بما يناسبه : Akan tetapi, kadang sebagian kaum, diri mereka dikuasai oleh beberapa hal (kondisi batiniyah yang luar biasa), maka ucapan tersebut “harus” ditakwilkan dengan sesuatu yang pantas dengan kaum itu.
Dan makna “sesuatu yang pantas bagi kaum itu” adalah harus
dikaitkan dengan amaliyah lahiriyah mereka yang mengucapkan kalimat tersebut.
Yaitu mereka bersyariat atau tidak, kalau bersyariat, harus “ditakwilkan”
kepada sesuatu yang seseuai dengan akidah agama. Dan kalau mereka tidak
bersyariat, harus ilihat kepada waktu mengucapkan kalimah tersebut, yakni
mereka dalam keadaan ghalabah atau ghaibubatul aqli.
Sedangkan arti “harus”, dari uraian kami diatas, kami mengikuti teks yang
ada pada keputusan Muktamar NU (sebagaimana yang telah kami nukilkan).
Sedangkan tentang ta’wil yang sesuai dengan kaidah syariat dari ucapan (أنا الله atau مافي
الجبة إلاّ الله) diatas, adalah sebagaimana yang dikupas,
antara lain dalam :
l.1. Kitab yang sama (Sirajut
Thalibin, juz I) pada halaman 50 – 52.
l.2. Kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Imam Suyuti Ra juz II, pada bab 59 (“tanzihul
i’tiqad”).
l.3. Kitab Taqribul Ushul-nya
Syeh Ahmad Zaini Dahlan, halaman 37 -38
l.4. Dialok Tasawuf Kiai Said-nya LTN PBNU,
pada bagian I (Aqidah),
l.5. Demensi Doktrinal-nya DIFA ’07 Madsarasah
Hidayatul Mubtadi-ien PP Lirboyo Kediri bagian I, yang diberi kata pengantar
oleh al-Mukarrom Bapak KH. Masduqi Mahfudh (Rais ‘Am Syuriyah NU Jawa timur).
Kesimpulan,
a.
Kejanggalan Gus, terlahir
dari pemikirannya sendiri, bukan dari buku kami.
b.
Wahidiyah - Ahadiyah adalah tauhid
yang berdasar aqidah ahlussunnah wal jamaah.
c.
Guru Pembimbing kami, Beliau Hadlratul
Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah
Dan Pondok Pesantren Kedunglo, mengajarkan : bahwa ISTIGHROQ AHADIYAH/ LAA
MAUJUDA ILLALLAH yang kami praktekkan, adalah dalam ranah DZIKRULLAH.
-----------------------------
3.
Tanggapan terhadap
kejanggalan ketiga.
Pada poin
ini kami nukilkan pernyataan Gus Thoifur
:
Pada halaman 38,39 PEDOMAN
POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH disitu membuat
syari'at nidak berdiri dengan menghadap empat arah bahkan mewajibkan hal
tersebut, yang kami janggalkan adalah
dalil yang di pakai (yaitu surat ali imron ayat 95,98 dan surat alhaj ayat 27),
padahal tidak semua syariat yang di turunkan kepada Nabi sebelum Nabi MUHAMMAD SAW. Itu secara otomatis menjadi syariat bagi
ummatnya Nabi MUHAMMAD SAW, buktinya ketika
di zaman Nabi ADAM AS. diantara putra
beliu boleh nikah dengan putra yang lain tetapi di dalam syariat Nabi
kita hal tersebut di haramkan.
Kami menjelaskan :
a.
Nida’ empat arah, merupakan diantara bagian dari metode/ cara “da’wah”
kami kepada semua manusia dimananpun mereka berada secara batiniyah. Dan
sekaligus berdoa agar Allah Azza wa Jalla berkenan menyampaikan kedalam hati
mereka, serta memberikan hidayah kepada meraka.
Sunnah Rasulullah Saw menganjurkan kepada ummat penerus risalahnya untuk
membuat metode/ system yang baik, dengan syarat tidak bertentangan dengan
sunnah pokok. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [15]
مَنْ سَنَّ فِي
الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ
سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam
Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang
mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya
sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang
buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut
setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan : وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ
حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ : Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat
dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat).[16]
b.
Mulanya amalan (dakwah/ khotbah secara batiniyah) ini dilakukan oleh
Nabiyullah Ibrahim Alaihis Salam, ketika diperintah memanggil seluruh manusia
agar melakukan ibadah haji. Dan kemudian diambil oleh Beliau Hadlratul Mukarrom
Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Sholawat Wahidiyah, sebagai
tabarrukan dan tawassul kepada Nabiyullah Ibrahim Alaihis Salam.
c.1. tercantum dalam al-Qur’an atau hadis.
c.2. terdengar dari berita yang tidak mungkin ada
peluang kebohongan.
c.3. adanya kesaksian dari dua orang yang telah beragama Islam yang
mengetahui secara langsung penetapan syariat tersebut.
c.4. Tidak adanya kontradiksi antara dua syariat
yang berbeda.
c.5. Hukum tersebut telah ditetapkan (diamalkan) oleh syariat terdahulu
dan belum dihapus atau diganti dengan syariat kita.
d.
Tentang dakwah batiniyah Nabiyullah Ibrahim As ini juga djabarkan oleh :
d.1. Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dalam kitabnya al-Ghunyah,
juz II pasal “dzikr yaum at-tarwiyah” menerangkan makna Qs. al-Haj : 27 :
قَوْلُهُ تَعَالَى : (وَأَذِّنْ فِي النَاسِ بِالحَجِّ) أَي
نَادِيًا إِبْرَاهِيْم ذُرِّيَتَكَ وَغَيْرَهُمْ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنَ
المُؤْمِنِيْنَ بِالحَجِّ (يَأْتُوكَ رِجَالاً) أَي يَجِيْئُونَ إِلَيْكَ رِجَالاً
عَلَى أَرْجُلِهِمْ (وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) أَي يَعْنِي رُكْبَانًا عَلَى الإبِلِ
(يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ) يَعْنِي مِنْ كُلِّ أَرْضٍ بَعِيْدَةٍ
وَطَرِيْقٍ بَعِيْدٍ. قَالَ اللهُ تَعَالَى ذَالِكَ لإبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَلاَمُ
حِيْنَ فَرَاغَ مِنْ عِمَارَةِ البَيْتِ الحَرَامِ, وَقَالَ : إِلَهِي مَنْ
يَقْصُدُ هَذَا البَيْتَ ؟. فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي النَاسِ بِالْحَجِّ.
فَصَعِدَ أَبَا قُبَيش, فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ : يَأَيُّهَا النَاسُ
أَجِيْبُوا رَبَّكُمْ, إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَحُجُّوا بَيْتَهُ.
فَسَمِعَ نِدَاءَ إِبْرَاهِيْمَ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ عَلَى وَجْهِ
الأَرْضِ وَمَنْ فِي أَصلاَبِ الرِجَالِ وَأَرْحَامِ النِسَاءِ. فَالتَلْبِيَةُ
اليَوْمَ هِيَ جَوَابُ نِدَاءِ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَلاَمُ عَنْ أَمْرِ
رَبِّهِ, فَأَجَابُوا كُلُّهُمْ : لَبَّيْكَ. فَمَنْ أَجَابَ ذَالِكَ اليَوْمُ
فَلاَ يَخْرُجُ مِنَ الدُنْيَا حَتَّى يَزُورُ هَذَا البَيْتَ.
Firma
Allah Ta’ala : (وَأَذِّنْ فِي النَاسِ بِالحَجِّ) maksudnya : Jadilah kamu sebagai pemanggil (nida), wahai
Ibrahim, kepada keturunanmu dan lainnya dari anak Adam yang beriman, untuk
beribadah haji. (يَأْتُوكَ رِجَالاً), mereka akan datang kepadamu dengan berjalan diatas kaki
mereka, (وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) dan dengan berkendaraan dengan unta,
(يَأْتِيْنَ
مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ) yang dating dari segala penjuru bumi
(daerah) yang jauh dan jalan yang jauh.
Allah Ta’ala
menfirmankan ayat tersebut kepada Nabi Ibrahim, ketia ia telah selesai
merenofasi Baitul Haram. Nabi Ibrahim berkata : Wahai Tuhanku, siapakah orang
yang akan bermaksud untuk (ziyarah) ke Bait (Ka’bah) ini ?. Kemudian (DIA)
memerintahkan Ibrahim Alaihis Salaam, memanggil manusia untuk beribadah haji.
Maka, Ibrahim naik ke gunung Abi Qubais, dan memanggil dengan suara yang tinggi
(keras) : Wahai manusia, jawablah (panggilan) Tuhan-mu. Sesungguhnya DIA
memerintahkan kepadamu semua untuk beribadah haji ke rumah-Nya.
Dan,
panggilan Ibrahim ini didengar oleh semua orang mukmin lelaki dan mukmin wanita
yang ada diatas bumi, didalam sulbi lelaki dan dalam rahim wanita. Dan
“talbiyah” saat sekarang ini (dari setiap orang yang melaksanakan ibadah haji),
merupakan jawaban kepada panggilan Nabi Ibrahim As dari perintah Tuhannya. Dan
mereka semua menjawab (dengan) : لَبَّيْكَ : (Ya Tuhan), aku memenuhi panggilanmu”.
Dan, barang
siapa yang pada hari itu menjawabnya, maka ia tidak keluar dari dunia (wafat)
sehingga ia dapat mnenziarahi baitullah ini.
d.2. Dalam kitab tafsir al-Jalalin-nya Imam Suyuthi
Ra, menerangkan tafsir ayat 27 surat aj-haj :
فَنَادَى إِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ عَلَى جَبَلْ
أَبِي قُبَيْش : يَاأَيُّهَا النَاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ بَنَى بَيْتًا وَأَوْجَبَ
عَلَيْكُمُ الحَجَّ فَأَ جِيْبُوْا رَبَّكُمْ. وَالتَفَتَ يَمِيْنًا وَشِمَالاً
وَشَرْقًا وَغَرْبًا.
Nabi Ibrahim Alaihi as-Shalatu wa as-Salaam, memanggil
dari atas gunung Abi Qubaisy : Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian telah selesai
mendirikan al-bait (Ka’bah), serta mewajibkan kalian berhaji, maka penuhilah
(panggilan) Tuhanmu. (Nabi Ibrahim) menoleh selatan, utara, timur dan barat.
e.
Imam Abul Barakat Abdullah Mahmud an-Nasafi dalam kitab tafsirnya (Madaarik
at-Tanziil wa Haqaaiq at-Ta’wil) menjelaskan :
وَلَمَّا نَزَلَ قَوْلُهُ
تَعَالَى : (وَللهِ عَلَى النَاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلّيْهِ
سَبِيْلاً), جَمَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهْلَ
الأَدْيَانِ كُلَّهُمْ فَخَطَبَهُمْ, وَقَالَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى كَتَبَ
عَلَيْكُمُ الحَجَّ, فَحَجُّوْا. فَأَمَنَتْ بِهِ مِلَّةً وَاحِدَةً وَهُمْ
المُسْلِمُوْنَ وَكَفَرَتْ بِهِ خَمْسُ مِلَلٍ.قَالُوْا: لاَنُؤْمِنُ بِهِ وَلاَ
نُصَلِّي بِهِ
Dan ketika turun firman
Allah Ta’ala : ((وَللهِ
عَلَى النَاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلّيْهِ سَبِيْلاً, Rasulullah Saw mengumpulkan semua
ahli agama, seraya berkhotbah. Beliau bersabda : “Sesungguhnya Alloh Ta’ala
mewajibkan haji kepada kamu semua melaksanakan ibadah. Maka, berhajilah kamu
semua”.
Dan, berimanlah kepada
ajakan tersebut, satu agama saja, mereka adalah orang-orang Islam. Dan yang
lima agama mengkufurinya, dan mereka berkata :”kami tidak percaya dengan
baitullah serta tidak akan sholat didalamnya”.
f.
Fatwa masyhur dalam kaidah fiqhiyah “Asal mula hukum segala sesuatu
adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarang”. [18]
الأَصْلُ
فِي ألأَشْيَا الإِبَاحَةُ إِلاَّ إِنْ
دَلَّ لِلحصْرِ دَلِيلٌ قُبِلاَ
Asal hukum sesuatu adalah boleh/ halal, selama
tidak ada dalil yang melarang.
Dalam kaidah fiqih lainnya, anatara lain :
f.1. Dalam kitab Ilmu Ushuul al-Fiqh-nya Abdul
Wahhab Khalaf, pada bahasan syariat kaum sebelum
kita, diterangkan :
فَقَالَ جُمْهُوْرُ الحَنَفِيَّةِ وَالمَالِكِيَّةِ
وَالشَافِعِيَّةِ : أَنَهُ يَكُوْنُ
شَرْعًا لَنَا وَعَلَيْنَا إتْبَاعُهُ, مَا دَامَ قَدْ قَصَّ عَلَيْنَا وَلَمْ
يَرِدْ فِي شَرْعِنَا مَا يُنْسِخُهُ, لأَنَّهُ مِنَ الأَحْكَامِ الإِلَهِيَّةِ
التِي شَرَعَهَا اللهُ عَلَى أَلْسِنَةِ رُسُلِهِ. وَقَالَ بَعْضُ العُلَمَاءِ :
إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ شَرْعًا لَنَا لأَنَّ شَرِيْعَتِنَا نَاسِخَةٌ لِلشَرَائِعِ السَابِقَةِ,
إِلاَّ إِذَا وَرَدَ فِي مَا يُقَرِّرُهُ. وَالْحَقُّ المَذْهَبُ الأَوَّلُ,
لأَنَّ شَرِيْعَتِنَا إِنَّمَا نَسَخَتْ مِنَ الشَرَائِعِ السَابِقَةِ
مَايُخَالِفُهُ فَقَطْ.
Jumhur ulama
hanafiyah, malikiyah dan syafi’iyah berpendapat : Sesungguhynya (sayriat kaum
sebelum kita) menjadi syariat kita, dan kita patut mengikutinya, selama syariat
tersebut, jelas diceritakan (bukan mereka-reka) kepada
kita, serta didalam syariat kita tidak adan yang menghapuskannya. Karena ia
termasuk bagian dari hokum-hukum Tuhan yang disyariatkan Allah melalui lisan
para rasul-Nya.
Sebagian ulama berpendapat : Sesungguhnya (syariat sebelum kita) tidak
dapat dijadikan syariat bagi kita. Karena syariat kita (Islam) menjadi
penghapus kepada syariat yang dulu, kecuali ada dalil yang menetapkan sebagai
syariat kita.
Dan yang benar, adalah madzhab pertama. Karena syariat kita, jika
menghapus syariat kaum yang dulu, hanya kepada syariat yang bertentangan saja.
Jika, seandainya Gus berdalih memilih madzhab : Syariat kaum dulu tidak menjadi syariat bagi kita, itupun KURANG TEPAT. Sebab, penjelasaan
selanjutnya, menerangkan : kecuali ada dalil yang menetapkan sebagai syariat kita. Diantara dalil yang menetapkannya, adalah : قُل
صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ
المُشْرِكِيْنَ:
Katakanlah
(Muhammad) : Maha Benar Allah. Maka ikutilah agama Ibrahim, dengan lurus. Dan
dia bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.
f.2. Dalam kitab Syarah Jam’ul Jawami’-nya Imam
Jalaludin al-Mahalli, pada bab 5 bahasan Istidlal, diterangkan :
وَ
المُخْتَارُ إِنَّهُ لاَيَكُوْنُ شَرْعًا لَنَا, قِيْلَ إِنَّ شَرْعَ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعٌ لَنَا
مَالَمْ يَرِدْ مَايُخَالِفُهُ
Dan
pendapat yang terpilih : Sesungguhnya syariat
kaum sebelum kita, tidak dapat menjadi syariat bagi kita. Dan pendapat
lain : Sesungguhnya syariat kaum sebelum kita, menjadi syariat bagi kita, selama tidak ada dalil yang menentangnya.
f.3. Jam’ul Jawami’-nya Imam Tajuddin as-Subki, pada bab kelima (Istidlal),
diterangkan : وَيَجُوْزُ
تَقْلِيْدُ المَفْضُوْلِ مِنَ المُجْتَهِدِيْنَ : Boleh hukumnya, taqlid (mengikuti) pendapat ulama yang
diungguli (yang kurang masyhur) dari para penggali hukum.
g.
Sedangkan pernyataan Gus “bahkan mewajibkan hal tersebut”, merupakan BUATAN Gus sendiri.
Karenanya, kami bertanya, “darimana Gus memiliki
kesimpulan semacam itu (menuduh orang dengan sesuatu yang tidak ada pada
tertuduh) ?.
Kepada pengamal Wahidiyah, kami tidak pernah “MEWAJIBKAN” pelaksanaan
nidak empat arah tersebut.
h.
Dan pernyataan Gus (buktinya ketika di zaman Nabi ADAM AS. diantara
putra beliu boleh nikah dengan putra yang lain tetapi di dalam syariat Nabi
kita hal tersebut di haramkan) ini, menunjukkan
dengan jelas dan nyata senyata-nyatanya, kalau Gus kutang menguasai
kaidah hukum Islam, namun berani mengambil keputusan secara sembrono (bahkan
cenderung salah).
Dan yang lebih menampakkan kesembronoan Gus dalam memahami
sebagian hukum Islam, adalah ketika menggunakan syariat Nabi Adam As (nikah
antar saudara), untuk diqiyaskan kepada cara dakwah kami. Padahal al-Qur’an
dengan jelas telah merevisi (me-nasakh) syariat tersebut, dan
menggantinya dengan syariat baru. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah
Swt, Qs. an-Nisa : 23 : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ : Diharamkan kepadamu semua (menikahi) ibu-ibu kamu,
anak-anak kamu dan sadara kamu (kabung, seayah atau seibu).
-----------------------------
4.
Tanggapan terhadap
kejanggalan keempat.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada halaman 37 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH di
sebutkan bahwa dalil "KECAMAN TERHADAP
YANG TIDAK MENANGIS" adalah alquran
s. annajmu 59-61 dan hadits:
Jika kita
memahami hadits tersebut "Orang yang di dunia berbuat
maksiat dengan tertawa maka besok di akhirot masuk neraka
dengan menangis", jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK NERAKA tidak di dunia, kenapa WAHIDIYAH mengecam yang tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?
Kami menjelaskan dengan cara
memahami arah makna pernyataan Gus:
1.
jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK
NERAKA tidak di dunia,
2.
kenapa WAHIDIYAH mengecam yang tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?.
1.
Pernjelasan terhadap
pernyataan : jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK
NERAKA tidak di dunia”.
a.
Inilah kerangka berpikirnya Gus Thoifur yang “membingungkan” dalam
memahami hadis diatas.
Redaksi hadis yang dimaksud adalah : مَنْ أَذْنَبَ وَهُوَ يَضْحَكُ دَخَلَ النَارَ وَهُوَ
يَبْكِي : Barang siapa
berbuat dosa sedangkan ia masih semapat tertawa, maka dia masuk neraka dengan
menangis (lihat dalam buku dan halaman yang sama).
Makna hadis diatas, pertama : menangisnya orang diakhirat bukan
karena penyesalan taubat. Tapi karena penyesalan yang sudah tidak ada artinya
serta karena siksaan yang pedih dari Allah. Sedangkan menangis didunia yang
kami bimbingkan kepada pengamal Wahidiyah, bukan karena mendapat siksa dari
Allah, akan tetapi lebih disebabkan karena ingin penyesalan taubat serta untuk
mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.
Akal yang sehat, tidak akan menyamakan “penyebab” tangisan diakhirat
dengan “penyebab” tangisan orang bertaubat didunia. Tangisan DIDUNIA (sebelum
datangnya hari pembalasan diakhirat), lebih disebabkan pertaubatan kepada
Allah, serta takut akan murka-Nya DIAKHIRAT. Sedangkan tangisan orang berdosa
diakhirat, disebabkan siksaan dan penyesalan yang tiada berarti, serta pedihnya
siksaan.
Kedua, agar diakhirat tidak menangis karena siksaan
dan penyesalan yang tiada berarti lagi, maka penyesalan, bertaubat lebih dapat
menangis kepada Allah DIDUNIA, merupakan diantara sarana awal dalam perbuatan
yang nasuha.
b.
Redaksi Qs. an-Najm : 59 – 61
(dengan kami sertai tafsiran Imam Nasafi) :
(أفَمِنْ
هَذَا الحَدِيْثِ) أي
القرأن (تَعْجَبُوْنَ) إنكارا
(وَتَضْحَكُوْنَ) إستهزاء
(وَلاَ تَبْكُوْنَ) خشوعا
(وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ)
(Apakah dari
pemberitaan ini) yakni
al-Qur’an (kamu merasa
heran) disertai ingkar (dan kalian mentertawakan) dengan
disertai penghinaan (dan kalian
tidak menangis) yang disertai khusyu’. (Sedangkan kamu semua memang
pelupa).
Diantara makna ayat diatas, pertama
: tertawa yang disertai menghina dan tidak menangis yang disertai ketundukan
dari orang yang kurang/ tidak mempercayai isi al-Qur’an,[19] adalah
DIDUNIA, bukan DIAKHIRAT. Kedua, diantara tanda-tanda orang yang percaya
kepada murka Allah dihari pembalasan, adalah saat terpeleset kedalam
kemaksiatan cepat-cepat memiliki rasa malu, takut kepada-Nya, karena mereka
percaya seyakin-yakinnya akan datangnya hari pembalasan. Kepercayaan yang
mendalam akan adanya siksa neraka, dapat menyebabkan penyesalan yang disertai
cucuran airmata DIDUNIA.
Tentang pentingnya menangis didunia
terhadap kedurhakaan diri, telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw (yang ma’shum)
melalui doanya.
Diriwayatkan dari Bakir Ibn Abdullah al-Asyaj, Rasulullah
Saw bersabda :[20]
أللهُمَّ ارْزُقْنِي عَيْنَيْنِ هَطَالَتَانِ : Ya Allah, berilah aku dua mata yang mudah menangis.
Isyarat yang dapat
dipetik dari hadis ini : pertama, menangis karena dosa, merupakan bagian
dari fadlol Allah Ta’ala. Kedua, manusia terbaik yang terjaga darti dosa
saja berdoa agar diberi kemampuan untuk menangis karena Allah, apalagi ummatnya
yang tidak memiliki kema’shuman sedikitpun.
إِنَّ المُؤْمِنُ يَرَى ذَنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ
جَبَلِ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذَنُوبَهُ كَذُبَابِ
مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
Sesungguhnya orang yang beriman adalah (orang) yang
dapat melihat dosa-dosanya bagaikan orang yang duduk dibawah gunung, dia takut
akan kejatuhan gunung. Sedang orang yang durhaka, dalam melihat dosa-dosanya
bagaikan orang melihat lalat yang menempel diatas hidungnya dan yang mudah
diusir.
HR. Bukari, dari
Anas bin Malik Ra, Rasulullah Saw bersabda
: [22]
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاأَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً
وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا. قَالَ: فَغَطَّى
أَصْحَاب رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عَليهِ وَسَلَّمَ وُجُوهَهُم لَهُمْ خَنِيْنٌ
Jika
kamu semua mengetahui seperti apa yang aku ketahui, pasti kamu semua sedikit
tertawa dan banyak menangis.
Sahabat
Anas berkata : Kemudian semua sahabat Rasulullah Saw menyembunyikan wajahnya
(karena malu), dan menangis bersenggukan.
Dalam kitab Risyalah al-Qusyairiyah bab ke 8 (al-Khauf),
terdapat keterangan : لَيْسَ الخَائِفُ الذِي يَبْكَي وَيَمْسَحُ
عَيْنَيْهِ, إِنَّمَا الخَائِفُ مَنْ يَتْرُكُ مَا يَخَافُ أَنْ يُعَذَّبُ
عَلَيْهِ: Orang yang takut kepada Allah
itu, bukanlah orang yang menangis dan mengusak kedua matanya, akan tetapi orang
yang meninggalkan perbuatan dosa yang mana ia takut akan disiksa sebab dosa
itu.
Penekanan
keterangan ini bukan untuk menafikan kebaikan menangis. Namun, lebih tertuju
kepada berhentinya perbuatan dosa. Artinya,
perbuatan menangis adalah perintah (karena banyak dalil yang memerintahkannya),
dan perbuatan meninggalkan kedurhakaan lebih mendapat perhatian karena
lebih diperintahkan oleh syariat Islam.
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاأَعْلَمُ
لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا وَمَا تَلَذَّ ذْتُمْ بِالنِسَاءِ
وَلَخَرَجْتُمْ إِلَى الصَعَدَاتِ
تَجْأَرُونَ إِلَى اللهِ
Dan kamu semua
tidak terlalu berpuas-puas dengan wanita ditempat tidur, dan pasti kamu semua
keluar menuju tempat yang ramai, kemudian kamu mengeraskan suara (untuk
menangis).
Arti kata
( الصعَدَاتِ = as-sha’adaat),
adalah : jalan atau tempat yang ramai dan yang banyak dilewati manusia,
sehingga manusia dapat ikut bertaubat dan menangis kepada Allah Swt. Sedangkan
asal arti kata taj-aruun adalah : agak mengeraskan suara.[24]
لاَتَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلاَءِ المُعَذَّبِيْنَ إِلاَّ أَنْ
تَكُونُوا بَاكِيْنَ, فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِيْنَ فَلاَ تَدْخُلُواعَلَيْهِمْ
لاَيُصِيْبُكُمْ مَاأَصَابَهُمْ.
Janganlah
kamu semua masuk kedalam lingkungan orang-orang yang berbuat dosa, kecuali kamu
menangis. Jika kami tidak menangis, janganlah kamu memasukinya, kamu tidak akan
mendapatkan musibah seperti yang menimpa mereka.
HR. Bukhari,
Rasulullah Saw bersabda : [26]
مَنْ ذَكَرَ اللهُ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يُصِيْبَ الأَرْضُ مِنْ دُمُوعِهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ
يَوْمَ القِيَامَةِ
Barang siapa yang ingat kepada Allah
kemudian mengalir airmatanya dari takut kepada
Allah
hingga bumi kejatuhan airmatanya, maka Allah tidak akan menyiksanya dihari
kiamat.
c.
Gus sengaja tidak mau merenungkan dalil tentang menangis
buku kami. Hal ini karena Gus hanya mencari celah untuk mengkonter kami.
Dan kemudian setelah membaca ayat tersebut pada buku kami, ia merasa
mendapatkan celah untuk menyatakan kejanggalan ?.
Padahal etika orang yang melakukan “bedah buku” dengan
cara yang baik, adalah, seandainya.....
dan seandainya jika kami kurang tepat (menurut Gus) dalam menggunakan
sebagian dalil saja, maka, tidak patut Gus me-generalisakan ketidak tepatan
kepada dalil-dalil yang lain yang
jumlahnya lebih banyak.
Mengkaji sebuah buku, tidak boleh didahului oleh rasa
senang atau tidak senang, sebab cara ini akan melahirkan kesimpulan yang tidak
obyektif.
Berkaitan dengan hasil kesimpulan yang tidak obyektif
dari Gus, ada baiknya sejenak mengingat kembali kata-kata mutiara ushul
fiqh yang sering disampaikan oleh al-Mukarrom Bapak KH. Abdur Rahman Wahid
(mantan ketua umum PBNU) dalam beberapa kesempatan : لاَ
يُعْتَبَرُ قَوْلُ مُجْتَهِدٍ عَلَى
خَصْمِهِ :Ttidak dapat
diterima penilaian mujtahid
(penyimpul hukum), kepada lawan (orang yang tidak disenangi)-nya.
Semestinya Gus, jika menganggap JANGGAL terhadap
amalan menangis DIDUNIA karena malu dan takut kepada Allah, seharusnya
menunjukkan dalil yang tegas-tegas melarangnya. Namun, karena Gus tidak
mendapatkan adanya dalil yang melarangnya, maka Gus terpaksa menggunakan
dalil persepsi.
Semestinya, jika Gus mau membuka kitab yang ditulis oleh para waliyullah
Ra, sangat banyak hadis yang menganjurkan tentang pentingnya menangis karena
Allah Swt didunia. Dan karena pentingnya menangis, hingga sebagian ulama dalam
membahasnya membuat bab tersendiri. Misalnya, Imam Nawawi dalam kitab Riyadlus
Shalihin, Syeh Kamsykhanawi dalam kitabnya Jami’ al-Ushul, Imam
Suhrawardi dalam kitabnya Awarif al-Ma’arif.
Ataukah Gus – semestinya -, menyalahkan juga kepada para ulama
yang menganjurkan menangis karena Allah dalam kitab yang mereka tulis ?. Atau
bahkan menyalahkan para ulama salafus shalih yang sering menangis karena takut
Alloh ?.
Jika jawabannya, Ya, maka kami menguckan na’udzu billah.
وَكَانَ
شَاْنُ الصَلِحِيْنَ الأَوَّلُ كَثْرَةَ البُكَاءِ وَالخَشْيَةِ مِنَ اللهِ مَعَ
حُسْنِ أَعْمَالِهِمْ وَكَرَمِ أَخْلاَقِهِمْ
Keadaan (sikap) para shalihin yang
pertama, banyak menangis dan takut kepada Allah, dengan disertai baiknya amal
serta mulianya akhlak mereka.
Sehubungan dengan hadis ini, Syeh Abdul Qadir Jailani Ra,
mengatakan :
وَعَلاَمَةُ صَحَّةُ النَدَمِ : رِقَّةُ القَلْبِ,
وَغَزَارَةُ الدَمْعِ. وَلِهَذَا رُوِيَ
عَنِ النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : جَالِسُوا
التَوَّابِيْنَ فَإِنَّهُمْ أَرِقُّ أَفْئِدَةٍ.
Tanda-tanda benarnya
penyesalan : halus (peka)-nya hati, derasnya airmata. Dan
karenanya diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw
yang bersabda :“Duduklah kamu semua bersama orang-orang yang bertaubat.
Sesungguhnya mereka sehalus-halusnya perasaan”.
Dan perlu juga Gus ingat-ingat kembali, bahwa malas mendirikan shalat, suka berbuat riya’ dengan amal kebaikannya,
dan tidak ingat kepada Allah Swt kecuali sedikit sekali, merupakan cirri-ciri
orang menuafiq, Qs. an-Nisa : 142 :
إِنَّ
المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى
الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ
قَلْيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, (tapi) Allahlah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika
mendirikan shalat, mereka mendirikan dengan malas serta pamer kepada manusia, sera mereka tidak
ingat Allah kecuali sedikit.
Ayat ini
menjelaskan; seseorang masih dinilai munafiq,[29]ketika
melaksanakan shalat hatinya tertutup dari kebesaran dan keagungan Allah Swt.
Mereka tidak memiliki perasaan malu dan tidak takut kepada-Nya, ketika hatinya ujub
dan riya, serta sangat sedikit ingat kepada Allah Swt. Allah Swt
berfirman, Qs. al-Anfaal : 35 :
Maksud ayat
diatas diperjelas oleh sabda Rasulullah Saw : [30]
مَنْ لَمْ تَنْتَهِ صَلاَتُهُ
عَنِ الفَخْشَاءِ وَالمُنْكَر لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar, maka
ia tidak akan bertambah, kecuali jauh
dari Allah.
2.
Penjelasan terhadap pernyataan : kenapa WAHIDIYAH mengecam yang tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?.
Kami menjelaskan :
a. Gus benar-benar tidak obyektif dalam memberi kesimpulan.
Karena arah kecaman dalam buku kami bukan pada “dalam mujahadah”, namun
dipahaminya “dalam mujahadah”.
Kami bertanya kepada Gus, dengan mohon
jawaban secara jujur; apakah sampeyan memang tidak bisa menganalisa (bedah)
buku, atau ada tujuan lain, sedangkan gaya bedah buku hanya sebagai kedok
belaka ?.
b. Gus SETUJU atau TIDAK, bukan menjadi tujuan kami, bahwa
didalam syariat Islam terdapat ajaran khauf dan raja’, yang
keduanya harus diterapkan secara seimbang (tawassut), tidak boleh khauf saja
atau raja’ saja. Karena keduanya merupakan sunnah Rasulullah Saw. Khauf,
adalah takut kepada Allah Ta’ala ketika seseorang melihat dirinya melanggar
larangan-Nya. Sedangkan raja’, adalah merasa yakin akan mendapatkan
kasih sayang-Nya karena ia telah melaksanakan perintah-perintah-Nya. Dan
keduanya kami bimbingkan secara seirama.
c.
Dan, ketika kami sedang membahas khauf (baik dalam
tulisan atau ceramah), kami cantumkan tentang ancaman orang berdosa namun tidak
malu dan takut serta menangis karena Allah Swt. Dan ketika sedang membahas raja’,
kami cantumkan tentang bershalawat kepada Rasululullah Saw pasti diterima oleh
Allah Swt, tentang fadlilahnya amalan lainnya (baik yang wajib maupun yang
sunnah), lihat buku Pedoman Pokok-Pokok Ajaran Wahidiyah, terbitan tahun
Desember 2010, halaman 35 – 38 (tentang “Dasar, Fadlilah, Kebaikan, Dan Adab
Membaca Shalawat”), halaman 43 -46 (tentang “Hadiah Tsawabul A’mal”) dan
halaman 47 – 55 (tentang “Tanggung Jawab Penyiaran”).
-------------------------
5.
Tanggapan terhadap
kejanggalan kelima.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada
halaman 21 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH di situ terdapat
keterangan bahwa yang mengangkat sulthonul
auliya' atau qutbul aqthob atau
ghoutsuzzaman adalah ALLOH sendiri dan
tidak ada keterangan-keterangan
tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah, tetapi kenapa
WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani
menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN sebagaimana tertera dalam majalah Aham (edisi 94 TH.x Robi'ul awal
1432/2011), atas dasar apa beliau menyatakan
bahwa muallif solawat wahidiyah adalah sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman, dan juga beliau sendiri melanggar prinsip pokok ajaran wahidiyah.
Kami
menjelaskan :
Untuk
menjelaskannya, pernyataan Gu,s terbagi kedalam 3 bagian sesuai urutan:
1.
yang mengangkat sulthonul auliya' atau qutbul aqthob atau ghoutsuzzaman adalah ALLOH sendiri dan tidak ada keterangan-keterangan tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah
2.
tetapi kenapa WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah
sebagai SULTHONUL AULIYA' FII
ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN atas
dasar apa beliau menyatakan bahwa muallif
solawat wahidiyah adalah sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman.
3.
dan juga beliau sendiri melanggar prinsip pokok ajaran wahidiyah
1.
Penjelasan pernyataan satu :
yang mengangkat sulthonul auliya' atau qutbul aqthob atau ghoutsuzzaman adalah ALLOH sendiri dan tidak ada keterangan-keterangan
tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah.
Kami menjelaskan :
a.
Keberadaan al-Ghauts Ra - yang setiap beliau Ra wafat, Allah Swt
mengangkat waliyullah dibawahnya untuk menggantikan kedudukannya -, merupakan
pemberitaan hadis Rasulullah Saw (yang shahih) dari jalur Abdullah bin Mas’ud
Ra yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Abu Nuaim al-Isfahani. Hadis ini
tertulis dalam berbagai kitab. Antara lain : Hilyatul Auliya (Abu Nuaim)
dan Tarikh Damsyiq (Ibnu Asakir) sebagai sumber aslinya, al-Hawi lil
Fatawi-nya Imam Suyuti, Tafsir Sirajut Thalibin-nya Syeh al-Khathib
as-Syarbini, Syawahidul Haq-nya Syeh Yusuf an-Nabhani, Tanwir
al-Qulub-nya Syeh Amin al-Kurdy, Kasyful
Khifa’-nya Syeh al-‘Ajuluni dan masih banyak kitab lainnya.
b.
Kemudian, berkaitan dengan redaksi pernyataan Gus Thoifur “untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah” diatas, yang dimaknainya dengan “Allah tidak pernah memberitakan nama dan
pribadi Waliyullah. Ini berarti, Gus memiliki gaya berpikir seperti mereka yang
suka mem-bid’ah-kan amalan orang lain. Maksudnya, baru tidak cocok
dengan kesimpulan atau pemikiarannya, disimpulkan dengan tidak cocok dengan
sunnah Rasulullah Saw.
Kami bertanya kepada Gus, bukankah ini merupakan arogansi ilmiyah ?.
c.
Dengan pernyataan Gus kami susah untuk memahami aqidah yang
dipegangi oleh Gus. Apakah sampeyan termasuk orang yang mempercayai
adanya al-Ghauts sebagaimana keterengan dalam hadis, atau kelompok yang
mengingkarinya ?.
Mengapa hal ini kami tanyakan :
c.1. karena secara kelembagaan,
Gus berada dalam jam’iyah NU, yang didalamnya terdapat Jam’iyah Ahlit
Thariqah an-Nahdliyah, yang mana meyakini keberadaan al-Ghauts setiap saat.
c.2. Namun kok ..., Gus
mimiliki pemikiran seperti itu, yang tidak masyhur sebagaimana dalam adat NU.
Yakni untuk mempercayai seseorang sebagai al-Ghauts, lantas mencari
cirri-ciri/ bukti lahiriyah.
c.3. Padahal, dalam kaidah
Islam tidak ada keterangan secara khusus terhadap pertanda lahiriyah tentang
ke-wali-an seseorang (dalam arti tidak dimiliki oleh yang lain). Sedangkan
sifat lahiriyah alim, abid, wirai dan lainnya itu sebagai tanda-tanda
umum termasuk mukmin yang ‘Amil dan Shalih.
Orang kafir Quraisy, waktu itu, ingkar dengan kerasulan Nabi Muhammad
Saw, disebabkan – menurut mereka -, tidak adanya tanda-tanda secara lahiriyah
yang melekat pada pribadi Beliau Saw. Mereka menuduh Beliau Saw sebagai manusia
yang “mengigau dan gila hormat”, serta mereka tidak bisa membedakan kerasulan
dengan kekuasaan, atau kenabian dengan penghormatan.
Cirri-ciri batiniyah para waliyullah Ra hanya dapat dipahami oleh
orang yang mengalaminya, atau oleh mereka yang dikehendaki-Nya, atau bersifat husnudhdhon,
karena melihat dari segi amal lahiriyah, ilmu serta sikapnya.
Didalam
al-Qur’an, hadis maupun fatwa para ulama banyak sekali keterangan tentang
cirri-ciri waliyullah, baik lahir maupun batin. Namun cirri-ciri tersebut, bagi
mereka yang mengingkari keberadaan waliyullah atau al-Ghauts masih -, masih
dapat dimaknai bukan cirri-ciri waliyullah, namun sebagai cirri semua orang
shaleh. Diantara cirri-ciri tersebut :
c.3.1. Allah Swt berfirman, QS.
Yunus, 62–64 :
اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ
لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا
يَتَّقُوْن. لَهُمُ البُشْرَى فِي الحَيَاةِ الدُنْيَا وَالأَخِرَةِ لاَ
تَبْدِيْلَ لِكَلمَاتِ اللهِ ذَالِكَ هُوَ الفَوْزُ العَظِيْمُ.
Ketahuilah
bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu
tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa
(kepada Allah). Bagi mereka anugarah al-Busyra (sesuatu yang menggembirakan)
didunia dan akhirat. Tidak ada perubahan pada kalimat (ketentuan) Allah. Dan
yang demikian merupakan fadlal yang agung.
Dalam
hadis, dijeleskan makna لَهُمُ البُشْرَى فِي الحَيَاةِ
الدُنْيَا : Bagi
mereka anugarah al-Busyra (sesuatu yang menggembirakan) didunia, adalah “rukyah shalihah”. Rasulullah Saw bersabda : الرُؤْيَا
الصَالِحَةِ يَرَاهَا المُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ : pengalaman
ruhani (mimpi) yang baik, yang orang muslin melihatnya atau dilihatkan
kepadanya
(HR.Tirmidzi,
Thabrani dan Ahmad, kitab Risyah al-Qusyairiyah, bahasan rukyal qaum).
Ayat
diatas menjelaskan cirri-ciri waliyullah :
c.3.2.
beriman dan menjalankan syariah Islam (bertaqwa), dan otomatis dengan ikhlas
(sebagai ciri, lahiriyah).
c.3.3.
Tidak memiliki rasa gundah gulana. Namun sering juga sifat ini, orang lain
papat membaca dari sikpanya. (sebagai cirri, batiniyah)
c.3.4.
Mendapatkan “anugrah busyro/ anugrah kebahagian” didunia (sebagai cirri, batiniyah).
Dikatakan cirri batiniyah, karena hanya beliau yang tahu, yang mengalami
dan yang merasakan. Namun, kadang juga orang lain dapat memahaminya; melalui
pemberitahuan dari Rasulullah Saw dalam mimpi, atau oleh waliyullah lain yang
sedang majdzub).
d.
Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali ad-Daqaq) Qs wa Ra,
berkata :
إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ
َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ
الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ
في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور
الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui
kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua
pondasi : pertama, secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai
dengan syariah (Islam), kedua, secara batiniyah, senantiasa tenggelam
dalam nur hakikat.
e.
Syeh
Ihsan Muhammad Dahlan dalam kitabnya Sirajut Thalibin-nya juz I halaman
15, menerangkan siapa waliyullah itu :
وَالأَوْلِيَاءُ
جَمْعُ وَلِيٍّ : وَهُوَ العَارِفِ بِاللهِ وَصِفَاتِهِ حَسْبَمَا يُمْكِنُ
المُوَاظِبُ عَلَى الطَاعَاتِ المُجْتَنِبُ المَعَاصِي المُعَرِّضُ عَنِ
الإِنْهِمَاكِ فِي
اللَّذَاتِ وَالشَهَوَاتِ.
Auliya’ adalah
kata jama’ dari wali : yaitu orang yang makrifat kepada Allah dan
sifat-sifat-Nya (Billah), yang tekun menjalankan ketaatan, yang menjauhi
maksiat dan yang berpaling dari tipuan kelezatan dunia dan syahwat.
f.
Demikain
pula Imam Suyuti dan Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam kitab masing-masing,
menerangkan tentang cirri batiniyah waliyullah :
لَمْ
تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ
اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat dinamakan wali quthub,
wali autad dan waliyuulah, kecuali telah ma’rifat kepada
Rasulullah Saw (Birrasul).
(Kitab Sa’adatud Daraini,
Syeh Yusuf an-Nabhaniy hlm 431 dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam J Suytuthi, juz II, dalam bahasan ke 70).
g.
Syeh
Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Ghunyah, juz II pada bab “maa
yajibu ‘alal mubtadi”, menerangkan : [31]
فَالمَشَايِخُ
هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي
يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan
sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya.
h.
Lain
itu pula, sering seorang ulama berdasar kasysyaf-nya dapat mengetahui
bahwa Gurunya atau si Fulan adalah waliyullah kelas tinggi, seperti kassyaf
yang dialami oleh Syeh Abdul Wahhab a-Sya’rani Ra. Beliau mengetahui kalau Guru
ruhaninya (Syeh Ali al-Khawas Ra) serta Guru dari gurunya (Syeh Ibrahim
al-Matbuli Ra) adalah waliyullah tinggkat tinggi, dengan bukti sering bersama
dengan Rasulullah Saw seraya menimba
ilmu.
Pemahaman kassyaf
semacam ini banyak diperoleh para ulama kaum sufi tentang pribadi para Pendiri
Thariqah atau Guru Mursyid dalam setiap thariqah, baik Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Syadzaliyah, Kubrawiyah, Tijaniyah, Idrisiyah, Syattariyah dan
lain sebagainya.
Kami bertanya
kepada Gus :
Apakah kepada
para Guru Mursyid thariqah yang menceritakan dan meyakini para Pendiri thariqah
adalah al-Ghauts, “akan ditanya juga seperti pertanyaan kepada kami” ?.
Kalau
jawabannya, TIDAK, berarti Gus tidak jujur dan fair dalam hal keagamaan.
Mengapa kepada kami bersikap begitu,
sedangkan kepada jamaah lain tidak. Dan kalau jawabannya, YA, meskipun
masih dalam batin, berarti Gus Thoifur perlu ditolong, agar virus-virus
keingkaran kepada waliyullah, dapat segara sirna dari hatinya. Dan lebih lagi
jika jawaban YA, dengan diucapkan, maka untuk memberi penjelasan kepadanya
dengan berapa dalil dan dasar, tidak akan diterima. Maka ya cukup dengan
“bacalah Gus, kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama sunny sufi kita, atau
ingat-ingatlah kembali fatwa dan nasehat yang disampaikan oleh para Ulama NU
yang telah mendahului kita.
Secara lahiriyah, waliyullah adalah manusia biasa sebagaimana umumnya
manusia yang membutuhkan makan, minum, berkeluarga dan pertolongan orang lain,
serta mengalami sakit, sehat, lemah, kuat dan sebagainya). Banyak diceritakan
dalam kitab-kitab sufi dan oleh para muballig dimasarakat yang menerangkan; ada
seorang Waliyullah yang lahiriyahnya miskin, tampak bodoh, bahkan cacat
fisiknya.
Dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah-nya Imam Ibnu Hajar
al-Haitami Ra diterangkan :
Adalah Ibnus Saqa. [32] Beliau seorang ulama yang memiliki cirri lahiriyah yang
sangat mengagumkan, dan lagi sangat terkenal. Beliau juga ahli debat yang tidak
ada tandingannya, bahkan sampai-sampai para tokoh non muslim-pun mengakuinya,
karena mereka senantiasa kalah berdebat dengan Ibnus Saqa. Semua masarakat kota
Bagdad (yang awam maupun non awam) mengakui kealimannya.
Namun, akhirnya Ibnus Saqa MATI dengan mati dalam keadaan tidak beriman,
dan Na’udzu Billah.
Keadaan tragis yang dialami oleh Ibnu Saqa tersebut, disebabkan oleh
sikap su’ul adab-nya kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’qub Yusuf
al-Hamadzani Ra (kemudian selanjutnya kami tulis dengan Syeh), yang secara
lahiriyah tidak tampak pertanda ke-Ghautsiyah-an Beliau Ra.
Waktu itu, Ibnus Saqa sangat ingin bertemu dengan Syeh. Namun
pertemuannya itu, hanya untuk mencoba sejauh mana ilmu dan kemampuan yang
dimiliki oleh Syeh.
Syeh adalah guru dari al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir al-Jailani
Ra). Dan karenanya, Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (yang memahami secara batiniyah
tentang keberadaan Syeh), ketika sedang menghadap kepangkuan Syeh, tidak ada
yang diharapkan, kecuali untuk mohon doa restu Syeh, serta menata adab yang
setepat-tepanya.
i.
Semua orang yang diceritakan sebagai “waliyullah”, tidak ada keterangan-keterangan tentang identitas untuk dapat
mengenalnya secara lahiriyah.
Namun, sangat banyak kaum muslim sunniy diseluruh dunia (termasuk
Indonesia atau warga NU), yang juga menceritakan nama seseorang yang diangkat
oleh Allah sebagai Waliyullah dan al-Ghauts Ra. Mungkin, seandainya mereka
ditanya, atas dasar apa, tentu mereka tidak bisa menceritakan
Secara umum, dapat mengetahui
nama pribadi waliyullah, melalui pengalaman ruhani yang baik. Dan, banyak hadis
yang telah menjelaskannya. Antara lain :
i.1. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda (Risyalah
Qusyairiyah : 318) :
إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ العَبْدَ قَالَ
لِجِبْرِيْلَ : يَاجِبْرِيْلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبْهُ, فَيُحِبُّهُ
جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِي جِبْرِيْلُ فِي أَهْلِ السَمَاءِ : إِنَّ اللهَ
تَعَالَى قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحَبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَمَاءِ.
Ketika Allah Azza wa Jalla mencintai seseorang, DIA
bersabda kepada Jibril : hai Jibril, sesungguhnya AKU si Fulan maka cintailah dia. Dan Jibril
mencintainya dan memanggil-manggil warga
langit : sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencintai si Fulan, maka vintailah
dia. Kemudian warga langit mencintainya.
i.2. Penjelasan dalam kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Imam Suyuthi,
tentang waliyullah, menerangkan :
i.2.1. cirri-ciri batiniyah tanpa lahiriyah (dalam juz II
pada bab 69) :
-
Bilal al-Khawash bertemu Nabi Khidlir yang mengatakan : Imam Syafii wali Autad. Dan Imam Hambali merupakan tokoh yang shidiq.
-
HR Imam Ahmad dan al-Baihaqi dari Jalis Wahab bin Munabih : Ia berkata : Aku
mimpi bertemu Rasulullah Saw. Aku bertanya : Ya Rasulullah dimanakah
wali abdal dari ummatmu ?. Beliau memberikan isyarah dengan tangannya
kea rah daerah Syam. Saya bertanya : Ya Rasulallah, bagaimana didalan Iraq,
adakah seseorang diantara mereka ?. Beliau bersabda : Ya, Muhammad bin Wasi’
Hassan bin Abu Sinan dan Malik bin Dinar
yang berjalan dengan seprti kezuhudan Abu Dzar pada masanya.
i.3. cirri-ciri lahiriyah (juz II pada bab 69) : Imam
Sahal bin Abdullah berkata : Wali abdal menjadi wali abdal dengan 4 perkara;
sedikit berbicara, sedikit makan, sedikit tidur, uzlah (sedikit membaur) dengan
masarakat.
i.4. Dan pada bahasan ke 62, diterangkan cirri-ciri
batiniyah :
أَنَّ
جَمَاعَةً مِنْ أَئِمَّةِ الشَرِيْعَةِ نَصُّوا عَلَى أَنَّ مِنْ كَرَامَةِ
الوَلِيِّ أَنْ يَرَي النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَجْتَمِعُ
بِهِ فِي اليَقَظَةِ وَيَأْخُذُ عَنْهُ مَا قَسِمَ لَهُ مِنْ مَعَارِفٍ
وَمَوَاهِبٍ.
Sesungguhnya jamaah dari para pimpinan syariah (Islam) telah men-nash
(nenentukan dengan pasti)-kan; sesungguhnya diantara karomah waliyullah, adalah
sekiranya dapat melihat (bertemu) Nabi Saw, berkumpul dengan beliau serta mengambil sesuatu dari beliau seseui
bagian untuk dirinya berupa kemakrifatan dan macam pemberian (dari Allah).
j.
Diantara Kiai yang pertama kali mendapatkan pengalaman ruhani tentang
Beliau Hadlratul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Qs wa Ra sebagai
al-Ghauts atau Sultanul Auliya adalah
al-Mukarrom Mbah KH. Jazuli Ra Pengasuh Pondok Ploso Kediri (Ramanda
al-Maghfurlah Gus Mik) Pengasuh PP “al-Falah” Ploso Mojo Kediri.
k.
Beberapa pengamal Wahidiyah mimpi bertemu Rasulullah Saw yang bersabda
(yang inti sarinya) : Kiyai Abdul Majid Shahibus Shalawatil Wahidiyah itu
Sulthanul Auliya.
Diantara pengamal yang
mendapatkan pengalan ruhani yang baik tentang ke-Ghautsiyah-an Beliau
Muallif Shalawat Wahidiyah :
k.1. Al-Maghfurlah Bapak KH.
Muhammad Asyik Sirodj Mabruri (Pengasuh PP “Subulas Salam”, Selobekiti Wonosari
Malang).
k.2. Al-Maghfurlah Mbah Kiyai Mustain (Pengasuh PP “Athfal Islam”
Pecangaan Wetan Jepara Jawa tengah).
k.3. Bapak KH. Ihsan Mahin
(Pengasuh PP “at-Tahdzib” Ngoro Jombang).
2.
Penjelasan terhadap pernyataam :
tetapi kenapa
WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani
menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN atas dasar apa beliau menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah adalah
sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman.
Kami menjelaskan :
a.
Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh
Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menyatakan Ghautsiyah-nya
Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Muallaif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, berdasar :
a.1. Pengalaman ruhani para pengamal Wahidiyah
dari beberapa daerah.
a.2. Rukyah Shalihah dari al-Maghfurlah Mbah KH. Jazuli
Usman (Pengasu PP “al-Falah” Ploso Mojo Kediri).
b.
Pernyataan Gus (kenapa
WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani
menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN),
menunjukkan Gus kurang adil dalam bersikap.
c.
Mengapa pernyataan “kejanggalan” seperti itu, tidak
diarahkan juga kepada “kita semua”
atau kepada lain dari kami (jamaah thariqah, atau jamaah manaqib Syeh Abdul
Qadir Jailani Ra) yang meyakini kewalian seseorang, atau menyatakan bahwa
pendiri sebuah tarekat adalah al-Ghauts Ra.
Dan mengapa Gus
tidak menanyakannya, atas dasar apa mereka meyakini hal tersebut ?. Misalnya
:
c.1. Kita semua sebagai warga NU, berani menyatakan bahwa
para WALI SONGO adalah waliyullah, al-Mukarrom Hadlratus Syeh Mbah Kholil
al-Maghfurlah Bangkalan Madura, Mbah Syamsuddin Batuampar Madura adalah
waliyullah.
c.2. Kami dan masarakat dilingkungan daerah kami, berani
menyatakan bahwa Hadlratul Mukarrom Mbah Hamid Pasuruan adalah waliyullah.
c.3. Masarakat jawa tengah banyak yang menyatakan;
al-Mukarrom Mbah Hasan Mangli Megelang dan Mbah Hamid Kajoran Magelang adalah
waliyullah.
c.4. Masarakat jawa barat banyak yang menyatakan; Syeh
Muhyi Pamijahan adalah waliyullah.
c.5. Masarakat
Banten dan umumnya kaum sunny Insonesia, banyak yang menyatakan; al-Mukarrom
Syeh Nawawi al-Bantani adalah waliyullah.
c.6. Dalam
wirid Dzikrul Ghafiliin-nya al-Mukarrom Gus Mik, juga menyebut;
Sulthonul Auliya al-Awwal (al-Ghauts yang pertama), Syeh Abdul Qadir
al-Jailani Ra adalah al-Ghauts, al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra
adalah wali Quthub al-Ghauts, dan Syeh Abdus Salam bin Masyisy Ra adalah
al-Quthbu al-Kabir (al-Ghauts).
c.7.Buku Permasalah
Thariqah, menyebutkan bahwa Syeh Abdul Qadir al-Jailani dan Syeh Umar
adalah alGhauts Ra.
c.8.Imam Ibnu
Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawi al-Haditsiyah, menyataakan; Syeh Abu
Ya’qub Yusuf al-Hamdzani Ra (w. 538 H, guru Syeh Abdul Qadir al-Jailani) adalah
al-Ghauts Ra.
c.11.Syeh Amin
al-Kurdi (w. 1332 H) dalam kitabnya Tanwir al-Qulub, menyatakan bahwa
gurunya (Syeh Umar al-Faruq as-Sirhindy Ra) adalah Sulthanul Auliya/ al-Ghauts
Ra.
c.12.Para
pengamal tarekat naqsyabandiyah menyatakan Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi Ra,
Syeh Amir Kulal Ra (guru Imam Naqsyabandi) dan Syeh Baba as-Samasy (guru Syeh
Kulal) adalah Sulthanul Auliya (al-Ghauts).
c.13.Pengamal
tarekat tijaniyah menyatakan Syeh at-Tijani Ra adalah al-Ghauts Ra.
c.14.Syeh
Yusuf an-Nabhani Ra dalam kitabnya Syawahid al-Haq, dan para pengamal
tarekat syadzaliyah berani menyatakan; Syeh Abul Hasan Syadzali (w. 658 H),
Syeh Abul Abbas al-Mursyi (murid Imam Syadzali) dan Syeh Ibnu Athaillah
as-Sakandari Ra (murid Imam Mursyi) adalah al-Ghauts Ra. Demikain pula
dalam kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra, sangat
banyak menyebutkan nama-nama al-Ghaus Ra.
c.15.Dalam
kitab Mawahib as-Saniyah-nya [33] al-Faadlil al-Muhaqqiq Syeh Abdullah bin Sulaiman
al-Jarhazi as-Syafi’i (syarh faraidul bahyah-nya al-Allaamah Syeh Abu
Bakar al-Ahdali al-Yamani), dalam muqaddimah, diterangkan; bahwa Syeh Umar
al-Ahdali adalah “ الشَيْخ الوَلِيُّ غَوْثُ الوُجُوْد/
as-Syeh al-Waliyu Ghautsul Wujud”. Dengan alasan : لأَنَّهُ دَالٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى
: Karena Beliau orang yang menunjukan kepada Allah.
c.16.Dalam
kitab Nafahah ar-Rabbaniyah al Sab’ah Rasail Mirghaniyah-nya Syeh Muhammad
Usman al-Mirghani, dijelaskan nama beberapa al-Ghauts Ra. Dainatarannya
: Imam a-Taazi, Syeh Ahmad bin Idris, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag, Syeh
Rahatullah, Syeh Abu Abbas al-Mursi Ra.
3.
Penjelasan terhadap pernyataam :
dan
juga beliau sendiri
melanggar prinsip pokok ajaran
wahidiyah.
Kami menjelaskan :
a.
Kami sebagai pengamal Wahidiyah, yang memahami prinsip-prinsip
Wahidiyah, meberitahukan kepada Gus, bahwa informasi tentang Ghautsiyah
Mbah KH. Abdul Madij Ma’ruf Qs wa Ra oleh Beliau al-Mukarrom Kanjeng Romo KH.
Abdul Latif Madjid Ra, “tidak melanggar ajaran Wahidiyah”
b.
Dan Gus Thoifur yang belum menjadi pengamal Wahidiyah, bersikap seperti
telah menjadi pengamal Wahidiyah. Yakni membedakan antara melanggar dan tidak
terhadap ajaran Wahidiyah.
c.
Jika penjelasan kami diatas yang berdasar kaidah darai para ulama sunny
sufi, jika masih dianggap kurang tepat, apa dasar dan darimana ?. -------------
6.
Tanggapan terhadap
kejanggalan keenam.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada
halaman 144 KULIAH WAHIDIYAH Ada keterangan bahwa ghautsu zaman di karuniai hak
dan wewenang yang disebut JALLAB - SALLAB yang mana arti jallab= menarik mengangkat meningkatkan iman dan
drajat seseorang, sallab = mencabut/ melorot martabat iman seseorang, mana dasar atau dalilnya padahal nabi saja
tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
Dalam menjelaskan kejanggalan
keenam, uraian kami bagi menjadi 2 bagian : pertama, penjelasan terhadap
pernyataan mana dasar atau dalilnya, kedua,
penjelasan terhadapa pernyataan padahal nabi saja
tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
1.
Penjelasan
terhadap pernyataan, mana dasar atau
dalilnya.
a.
Pernyataan ini, menunjukkan Gus lupa - paling
tidak -, dengan kitab (Kifayatul Awam, manaqib Syeh Abdul Qadir Ra)
yang pernah dipelajari ketika masih nyantri. Atau sebagai petunjuk bahwa Gus
telah lupa (belum mengerti) terhadap keputusan Muktamar Jam’iyah Ahlit
Thariqah al-Mu’tabarah an-Mahdliyah, yang berkaitan dengan “hal yang
semakna” dengan kata SALLAB -JALLAB.
Kalau memang tidak lupa, apakah Gus
juga menganggap JANGGAL kepada kitab-kitab itu, dan serta keputusan muktamar
tersebut ?.
Kalau jawabannya, YA. Kami bertanya,
bagaimana cara Gus hnigga dapat menjadi pengurus NU, khususnya didaerah Kencong
?
Kalau jawabannya, TIDAK. Kami bertanya, apa
tujuan dari semua gerakan Gus, yang berkaitan menilai janggal kepada kami ?.
b.
Secara tersirat, Qur’an dan hadis telah menjelaskan
adanya karomah jallab dan sallab yang dimiliki oleh para waliyullah, dan
khususnya al-Ghauts Ra. Pemahaman adanya karomah ini terimplemantasi dalam
sikap para pelaku tasawuf, atau oleh para santri dalam setiap pesantren di
Indonesia, mereka sangat menjaga adab kepada kiai, agar dapat barokahnya dan
tidak kuwalat..
c.
Makna “sallab”, para pembesar ulama kaum sufi telah
menulisnya dalam kitab yang mereka tulis, meskipun dengan bahasa lain yang
semakna dengan keduanya. Misalnya; Imam Ghazali Ra (kitab Miskat al-Anwar,
al-Madlnun bih dan lainnya); Imam Sya’rani Ra (kitab al-Anwarul
Qudsiyah, Thabaqat al-Kubra dan lainnya); Syeh Abdul Qadir Jailani
Ra (kitab al-Ghunyah, al-Fathur Rabbani dan lainnya), Syeh Ahmad
Kamasykhanawi (kitab Jami’ al-Ushul); Syeh Ahmad bin Mubarok (kitab al-Ibriz);
Syeh Surawardi (kitab Awarif al-Ma’aarif; Syeh Ahmad Zaini Dahlan Ra
(kitab Taqribul Ushul), dan para ulama sufi lainnya.
d.
Makna ‘sallab” sepadan dengan arti KUWALAT atau
KESIKU. Setiap kiai, ulama waliyullah atau al-Ghaus Ra diberi karomah oleh
Allah Swt berupa sallab.
e.
Awal mula penjelasan tentang karomah “SALLAB” yang
dimiliki oleh orang tua, para kiai, ulama, waliyullah dan al-Ghauts Ra, baik
secara tersurat atau tersirat terdapat dalam
:
e.1. Tidak beradab kepada Rasulullah Saw menjadikan
amal lahir atau batin tercabut nilainya. Allah Swt berfirman, Qs. al-Hujurat :
2 :
يَأَيُّهَا
الذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَبِيِّ وَلاَ
تَجْهَرُوْا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُوْنَ.
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suaramu diatas suara
Nabi dan janganlah kalian mengeraskan ucapanmu kepadanya (Nabi), sebagaimana
kekerasan (ucapan) sebagian kalian kepada lainnya. (Sekiranya) terhapus amal
kalian sedangkan kamu semua tidak menyadari.
c.2. HR. Imam Bukhari Rasulullah Saw bersabda : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ
أَذَنْتُهُ بِالحَرْبِ
e.3. Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra, dalam fatwanya
tentang karomah yang dimilikinya : أَنَا نَارُ
اللهِ المُوقَدَةُ أَنَا سَلاَّبُ الأَحْوَالِ : Aku ibarat apinya Allah yang dinyalakan. Aku adalah
pencabut / menurunkan hal {kebalikan maqam} para salik {orang yang jiwanya
menuju Allah}.
Al-Maghfurlah Mbah KH. Muslih Abdur
Rahman (mantan rais jam’iayah ahlit thariqah an-nahdliyah) dalam
kitabnya Nurul Burhan (terjemah bahasa jawa terhadap manaqib Syeh Abdul
Qadir al-Jailani Ra), dijelaskan :
(أَنَا نَارُ اللهِ
المُوقَدَةُ) أَي فمن أذَانِي وَأصَابَنِي بما يؤذيني فقد هلك لأن النار إذي أصابت
شيئا أحرق وهلك (أَنَا سَلاَّبُ
الأَحْوَالِ) أي كثير الإزالة مقامات العباد والأولياء الذين لم يتأدبوا بالأدب
الكاملة.
e.4. Para waliyullah zaman al-Ghauts Syeh
Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra menjelaskan; para salik dan murid sangat menjaga adab
terhadap para waliyullah dan khususnya al-Ghaus Ra. Sebab, jika mereka su’ul
adab kepada al-Gahuts Ra, dapat menyebabkan tercabutnya iman (سَلْبُ الإِيْمَانِ
: pencabut/ menurunkan iman).
c.5. Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Ra berkata :
sering para waliyullah itu menyelenggarakan sidang. Persidangan ini kadang
dipimpin oleh Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra, dan kadang oleh al-Ghauts
sendiri tanpa Rasulullah Saw.
Syeh Ibnu Mubarok bertanya kepada: “ketika
mereka mengikuti siding, bagaimana ahlak para waliyullah kepada Rasulullah Saw
atau al-Ghauts Ra :
Syeh Ad-Babbag Ra berkata :
لاَيَقْدِرُ
أَنْ يُحْرَكَ شَفَتَهُ السُفْلَى لِلمُخَالَفَةِ فَضْلاً عَنِ النُطْقِ بِهَا,
فَإِنَّهُ لَوْ فَعَلَ ذَالِكَ لَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ سَلْبِ الإِيْمَانِ, واللهُ أَعْلَم
Tidak mampu mengerakkan bibirnya yang bawah
untuk menentang (beliau), apalagi
berbicara. Sesungguhnya sekiranya waly melakukan hal seperti itu, pasti ia
takut kalau tercabut imannya. Wallahu a’lam. (kitab
al-Ibriiz-nya Syeh Ahmad Mubarok, hlm ; 337).
e.6. Syeh Ibrahim al-Baijuri (kitab Kifayatul Awam,
pada bahasan sifat wajib Allah Swt yang keenam “Wahdaniyah”) :
وَأَمَّا
مَا يَقَعُ مِنْ مَوْتِ شَخْصٍ أَوْ إِيْذَائِهِ عِنْدَ اعْتِرَاضِهِ مَثَلاً
عَلَى وَلِيٍّ مِنَ الأَوْلِيَاءِ فَهُوَ بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى عَنْ غَضَبِ
الوَلِيِّ عَلَة هَذَا المُعْتَرِضِ.
Sedangkan ketika terjadi kematian
atau sakitnya seseorang, misalnya disaat ia menentang wali dari para
waliyuulah, adalah sebab merupakan ciptaan (kehendak) Allah Ta’ala, bersamaan
dengan marahnya waliyullah tersebut terhadap seseorang yang menentangnya.
c.7. Dalam buku Permaslahan
Thariqah (kumpulan keputusan mu’tamar jam’yah ahlit Tahriqah
al-mu’tabarah an-nahdliyah) pada permaslahan 38, ‘memuji dan mencela wali”.
S. Bagimana hukumnya memuji
sebagian wali, disamping itu mencela wali yang lain
J. Adapun memuji tanpa
membikin-bikin dan tidak bohong, maka tidak mengapa, bahkan disunnahkan. Adapun
mencela sebagian wali, hukumnya haram, bahkan menjadi dosa besar, dan kadang
menyebabkan kufur.
Keterangan
dari kitab :
a. Tabshiratul Fashilin, 2.
b. Syarah al-hikam II/2.
تبصرة
الواصلين عن أصول الواصلين في صحيفة 2, ونص عبارته : وَعَلَى الطَاعِنِيْنَ
نَدَامَةٌ وَخُسْرَةٌ وَسَبَبُ سُوْءُ الخَاتِمَةِ. وَعَنْ أَنَسٍ وَأَبِي
هريرة : مَنْ أَهَانَ لِي, وروي, مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَرَزَنِي
بِالمُحَارَبَةِ, وفي رواية فَقَدْ أَذَنْتُهُ بِالحَرْبِ.
Tabshiratul
Fashilin, 2 : orang yang menghina wali tersebut
menyesal dan merugi dan karena hinaannya itu ia akan mati su’ul khatimah. Diriwayatkan
dari Anas dan Abu Hurairah (didalam hadis qudsi, Allah berfirman : Siapa
yang menghina wali-KU (menurut riwayat lain): Siapa yang memusuhi
wali-KU maka sungguh AKU menyatakan perang terhadapnya.
وفي
الجزء الثاني من شرح الحكم صحيفة 2, ما نص : مَنْ خَالَفَهُمْ بَعْدَ عِلْمِهِ
كَفَرَ.
Syarah
al-Hikam juz II hal. 2 : Siapa yang memusihi mereka (para wali) setelah tahu
bahwa mereka itu para wali, maka menjadi kafir.
f.
Sedangkan kata “JALLAAB”, sepadan dengan makna kata
“barokah” atau “doa restu” dari ulama, kiai, waliyullah dan al-Ghauts Ra.
f.1.
Beradab secara tepat kepada Rasulullah Saw menyebabkan iman dan taqwa menjadi
naik (tersallab). Allah Swt berfirman, Qs. al-Hujurat : 3 :
إِنَّ
الذِيْنَ يَغُضُّوْنَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ أُولَئِكَ الذِيْنَ
امْتَحَنَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ لِلتَّقْوَى, لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيْمٌ.
Sesungguhnya
orang-orang yang merendahkan suaranya disisi Rasulullah, merekalah orang yang
hatinya diuji oleh Allah untuk taqwa.
Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
f.2.
Makna kedua hadis berikut ini, sebagai pemberitaan dari Rasulullah Saw tentang
jallabnya kiai, waliyullah dan al-Ghauts Ra.
إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ
إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang
menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan
(mudah) ingat kepada Allah. [34]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى
يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka
menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah
orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat. [35]
Fatwa
Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra berikut ini, merupakan ulasan tentang karomah jallab-nya
al-Ghauts Ra :
أَنَا بَحْرٌ بِلاَ سَاحِلٍ. يَا رِجَالُ, يَا أَبْطَالُ, يَا أَطْفَالُ
هَلُمُّوا إِلَيَّ وَخُذُوا عَنِ البَحْرِ الذِي لاَ سَاحِلَ لَهُ.
Aku
adalah lautan tanpa tepi .... Hai para wali yang menjadi tokoh, hai para wali
yang gagah berani, hai para wali yang majdub (seperti balita), kemarilah
kepadaku, ambillah dari lautan yang tiada bertepi.
2. Penjelasan
terhadap pernyataan :
padahal nabi saja
tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
Agar tidak terbawa nafsu,
dalam membahas kedudukan antara makhluk dan Allah Swt,
sebelum menguraikan penjelasan, ada baiknya
kita (termasuk Gus), sejenak merenungkan aqidah kita (ahlussunnah
waljamaah) :
Didalam akidah Islam (boleh dibaca dengan sunny sufi), tidak ada
makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra) yang memiliki kekuatan untuk
mendatangkan manfaat atau menolak kerugian. Jika makhluk (khususnya Rasulullah
Saw, al-Ghauts Ra, waliyullah dan kiai) dapat mendatangkan manfaat atau menolak
kemadlaratan, baik untuk dirinya atau untuk lainnya, semua itu terjadi
semata-mata hanya atas kehendak dan izin dari Allah Swt. Sebagaimana yang
tercermin dalam :
1.
Firman Allah Swt, Qs. al-A’raf : 108 : قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ
ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.:
Katakanlah
(Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan
untuk diriku, kecuali sesuatu yang telah dikehendaki oleh Allah.
Sebagai manusia, Rasulullah Saw
tidak dapat mendatangkan manfaat dan menolak kerugian baik untuk dirinya atau
lainnya. Namun sebagai rasul, Beliau diberi kekuatan mukjizat oleh Allah Swt,
baik hissiy atau maknawi, yang dapat digunakan untuk memberikan syafaat.
2.
Firman Allah Swt, Qs. Ali Imran : 126 : ومَا النَصْرُ
إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ: Tidak
ada pertolongan kecuali dari sisi Allah Yang Maha Agung lagi Maha
bijaksana.
Sumber dan asal semua
pertolongan hanyalah datang dari Allah Swt belaka. Makhluk (termasuk Rasulullah
Saw dan al-Ghauts Ra) tidak dapat mendatangkannya.
3.
Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 255 : مَنْ ذَا
الَذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ: Tidak
ada sesuatu (seseorang) dapat menolong disisi-Nya, kecuali atas izin-Nya.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsir-nya
menjelaskan bahwa ayat ini, mengabarkan adanya syafaat dari mahluk dengan izin
Allah Swt.
هُوَالخَالِقُ
لكُلَّ شَيْئٍ, المُدَبِّرُ لِكُلِّ شَيْئٍ, القَادِرُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ .فَلاَ وَلِيَّ
لِخَلْقِهِ سِوَاهُ وَلاَ شَفِيْعَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ
Allah Dzat yang Mencipta segala sesuatu, Yang mengatur
segala sesuatu, Yang berkuasa diatas segala sesuatu. Tidak ada penguasa selain
Dia dan tidak ada penolong kecuali setelah mendapat izin-Nya.
Kami
menjelaskan :
a. Karena tidak ada pernyataan
lain yang berkaitan dengan pernyataan ini, kecuali yang menguatkannya, maka
pernyataan Gus ini kurang jelas arahnya. Mengapa ?.
Gus tidak menjelaskan pernyataan tersebut dari pandangan
syariat atau hakikat. Padahal, sampeyan Gus, dalam “kejanggalan pertama”
menyatakan (karena tidak di
jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat
atau hakikot), kenapa dalam kejanggalan
keenam Njenengan melanggar prinsip sendiri ?.
Kepada orang lain Gus menggunakan, kepada diri
sendiri tidak menggunakan. Kami semakin mengerti arah Gus, menulis
pernyataan kejanggalan kepada kami. Yakni, hanya berdasar inters dan
bukan berdasar kaidah islamiyah.
Dalam hal ini, kami juga bertanya, apakah Gus lupa
dengan buku yang dikeluarkan oleh LBM NU Jember, dengan judul “Membongkar
Kebohongan Mantan Kiai NU”. Buku ini menjelaskan kedudukan Allah Swt dan
Rasulullah secara jelas dan gamblang.
Dan, kados pundi njenengan niki Gus ?, Sampeyan
orang sunny (NU) tulen, nopo sampun berpaham wahhabi, Gus ?. Maaf, ini
sekedar bertanya. Sebab tentang siapa Gus, masarakat daerah Kencong
lebih mengetahui daripada kami.
b. Dari pandangan syariat,
memang Rasulullah tidak memiliki kemampuan dalam hal SALLAB – JALLAB. Namun
dalam pandangan hakikat, beliau dimilikinya.
Makna dari Qs. al-Qashash : 56, adalah pandangan hakikat.
إِنَّكَ
لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالمُهْتَدِيْنَ
Sesungguhynya
engkau (Muhammad), tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau
cintai. Akan tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah. Dan Dia yang lebih
mengetahui kepada orang-orang yang mendapatkan
hidayah.
Sedangkan makna dari Qs. as-Syuraa : 52, adalah dalam pandangan syariat.
وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad), pasti
dapat memberikan hidayah kepada jalan yang lurus. Jalannya Allah Dzat yang bagi-Nya segala apa
yang dilangit dan dibumi. Ketahuilah, hanya kepada-Nya segala urusan kembali.
c. Tentang makna kedua ayat ini, Syeh
Ahmad Zaini Dahlan dalam kitabnya Taqribul Ushul, halaman 57,
menjelaskan :
ayat pertama memberitakan hanya Allah
Swt yang menciptakan atau memberikan hidayah. Sedangkan ayat kedua, menjelaskan
bahwa Rasululah Saw sebagai perantara sampainya hidayah kepada makhluk.
Keterangan
yang sepadan, terdapat dalam kitab Jami’ al-Ushul-nya Syeh
Kamasykhanawi, pada bagian “mutammimat”, bahasan al-waridat dalam
pandangan ahlussunnah wal jamaah.
d. Berkaitan dengan makna Qs. al-Qashash
: 56, Syeh Abdul Wahhab Sya’rani dalam
kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah, bahasan “sifat Syeh yang wajib dihormai”,
menjelaskan; karomah jallaab tidak dapat diterima oleh orang yang
hatinya kosong dari mahabbah kepada mursyid/ kiai/ ulama serta enggan mengikuti
petunjuknya.
لَكِنْ
يُشْتَرَطُ مَعَ ذَالِكَ صِدْقُ المُرِيْدِ وَعَمَلِهِ بِإِشَارَةِ شَيْخِهِ.
Akan
tetapi (jallaab) disyaratkan adanya kepercayaan murid kepada Syeh serta
menlaksanakan petunjuknya.
e. Makna yang sepadan dengan makna Qs.
as-Syura : 52, terdapat pada :
e.1. Qs. al-Anbiya’ : 73 :
وَجَعَلْنَاهُمْ
أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ
الخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَلاَةِ وَإِيْتَاءَ الزَكَاةِ وَكَانُوْا لَنَا عَابِدِيْنَ
Dan Kami
jadikan mereka pimpinan yang memberikan hidayah dengan perintah Kami.
Dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat baik, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat serta kepada Kami mereka menyembah. (Ayat
yang sepadan arti, lihat Qs. as-Sajdah :
24).
e.3. Qs. Yusuf : 24
:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ
أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُوْءَ وَالفَخْشَاءَ إِنَّهُ
مِنْ عِبَادِنَا المُخْلَصِيْنَ
Dan sungguh ketika dia (Zulaikha)
terkesima dengannya (Yusuf) dan dia (Yusuf) juga terkesima dengannya
(Zulaikha), jika sekiranya dia tidak melihat bukti dari Tuhannya, agar Kami menghindarkannya
(Yusuf) dari perbuatan jahat dan keji. Sesungguhnya dia (Yusuf) dari hamba Kami
yang dibersihkan.
Dalam tafsir Shawi dijelaskan;
bahwa sahabat Ibnu Abbas Ra menjelaskan : burhan (bukti) dari Tuhan
dalam ayat ini, adalah kehadiran Nabi
Ya’qub As secara ruhani kedalam ruangan Nabi Yusuf As. اِنْفَرَجَ سَقْفُ
البَيْتِ فَرَأَى يَعْقُوْبَ عَاضًا إِصْبَعِهِ : Terbuka atap
rumah, dan Nabi Yusuf melihat Nabi Ya’qub yang menggigit jarinya.
Kehadiran
Nabi Ya’qub As secara ruhani kedalam kamar Nabi Yusuf As dan Zulaikha,
menyebabkan perbuatan jahat mereka tidak terlaksana. Perbuatan Nabi Ya’qub As
tersebut dapat dikategorikan kepada sifat sallab (mencabut) terhadap
nafsu syahwat maksiat, dan jallab (meningkatkan) iman dan taqwa Nabi
Yusuf As kepada Allah Swt.
f. Dalam kitab-kitab sufi juga telah
menerangkannya.
f.1. kitab Awarif al-Ma’arif-nya
Imam Suhrawardi, diterangkan bahwa Syeh
Mutlaq ini adalah :
فَالشَّيْخُ يُعْطِي بِاللهِ وَيمْنَعُ
بِاللهِ. بَلْ هُوَ مَعَ مُرَادِ الحَقِّ وَالحَقُّ يَعْرِفُهُ مُرَادَهُ
فَيَكُوْنُ فِي الاَشْيَاءِ بِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى لاَبِمُرَادِ نَفْسِهِ.
فَإِنْ عَلِمَ أَنَّ اللهَ يُرِيْدُ مِنْهُ الدُخُولُ فِي صُورَةٍ مَحْمُودَةٍ
دَخَلَ فِيْهَا لِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى
Maka Syeh tersebut,
memberi dengan (pemberian) Allah, dan menolak dengan (penolakan) Allah. Bahkan
dia bersama kehendak Allah dan Allah mengetahui segala kehendaknya. Maka
kehendak Syeh dalam segala sesuatau dengan kehendak Allah Swt bukan dengan
kehendaknya sendiri. Maka jika (Syeh) mengetahui bahwa menghendakinya masuk
dalam bentuk yang mahmudah maka ia
berada dalam seluruh Kehendak Allah Swt.
Atas
kehendak Allah Swt, Syeh Kamil Mukammil, memancarkan ilham Allah yang
diterimanya kedalam jiwa para murid.
فاَلشَيْخُ لِلْمُرِيْدِيْنَ أَمِيْنُ
الالْهَامِ كَمَا أَنَّ جِبْرِيْلَ أَمِيْنُ الوَحْيِ. فَالشَيْخُ مُقْتَدٍ
بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
لاَيَتَكَلَّمُ بِهَوَى النَفْسِ
Syeh kepada murid terpercaya dalam
penyampaian ilham (Allah) sebagaimana Jibril terpercaya dalam penyampaian
wahyu. Syeh mengikut Rasulullah Saw secara lahir dan batin.
Syeh berbicara tidak dengan hawa nafsunya.
f.2. Imam al-Ghazali Ra, dalam kitabnya Misykatul-Anwar
pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan :
وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ
لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي إِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ
المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ,
وَكذَالِك العُلَمَاءُ
Dan “Nur ilahiyah” ini diwujudkan khusus
untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh
nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami
pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan
Muniran (pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita,
demikian pula ulama (khusushan, al-Ghauts Ra).
f.3. Kitab Jami al-Ushuul-nya Syeh Kamsykhanawi
Ra, dalam bahasan “madhahir al-auliya wa maraatibihim fii al-asma’ al-ilahiyah”
, menjelaskan :
عَبْدُ
المُعِزِّ : هُوَ مَنْ تَجَلَّى الحَقُّ لَهُ بِاسْمِهِ المُعِزِّ, فَيُعِزُّ مَنْ
أَعَزَّهُ اللهُ بِعِزَّتِهِ مِنْ أَوْلِيَائِهِ.
(Waliyullah yang bergelar)
Abdul Mu’iz (hamba Dzat Yang
meninggikan) : dia adalah orang yang Allah bertajalli kepadanya dengan asma
al-Mu’iz (Yang Meninggikan). Dan melalui walyullah, Allah meninggikan / menaikkan
derajat seseorang yang dikehendaki-Nya.
عَبْدُ
المُذِلِّ : هُوَ مَظْهَرُ صِفَةُ الإِذْلاَلِ, لِيُذِلَّ بِمَذْلِيَةِ الحَقِّ
كُلَّ مَنْ أَذَلَّهُ اللهُ مِنْ أَعْدَائِهِ بِاسْمِهِ المُذِلِّ الذِيْ تَجَلَّى
بِهِ لَهُ.
(Waliyullah yang bergelar)
Abdul Mudzil (hamba Dzat Yang Merendahkan) : dia adalah
tempat penampakan sifat menghinakan. Dengan melalui (waliyullah) yang menjadi
tempat menghinakannya Allah kepada orang yang dihinakan-Nya, (yang terdiri)
dari musuh-Nya. Dengan asma al-Mudzil yang ditajallikan kepada mukmin yang
bergelar Abdul Mudzil.
f.4. Kitab al-Anwarul Qudsiyah (Imam
Sya’rani Ra) bab “ikatan hati murid kepada qalbu Guru Mursyid :
وَمِنْ
شَاْنِهِ دَوَامُ رِبْطُ قَلْبِهِ مَعَ الشَيْخِ وَالإِنْقِيَادُ لَهُ وَرُؤْيَةُ
اعْتِقَادِهِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَ جَمِيْعَ أَمْدَادِهِ لاَيَخْرُجُ
إِلاَّ مِنْ بَابِ شَيْخِهِ. وَأَنَّ شَيْخَهُ هُوَ المَظْهَرُ الذِيْ عَينُهُ
اللهُ تَعَالَى لِلإِفَاضَةِ عَلَيْهِ مِنْهُ. وَلاَ يَحْصُلُ لَهُ مَدَدٌ وفَيْضٌ
إِلاَّ بِوِاسِطَتِهِ.
Diantara
etika murid : melestarikan ikatan batin murid kepada Guru ruhani, tunduk kepada
perintahnya, memiliki i’tikad sesungguhnya Allah Swt menjadikan seluruh
pemeliharaan terhadap dirinya, tidak akan keluar kecuali melalui pintu Guru
ruhaninya. Dan Guru ruhani tersebut merupakan tempat penampakan
pemeliharaan-Nya kepada murid. Dan tidak dapat meraih nikmat imadad dan
pancaran makrifat, kecuali melalui Guru ruhaninya.
g. Kemudian
dalam penggunaan sehari-hari, kata jallaab dan sallaab memiliki
dua makna : makna umum yang dimiliki oleh setiap makhluk, dan makna khusus
yang ditujukan kepada para waliyullah, al-Ghauts Ra dan Rasulullah Saw.
Makna umum; air dapat men-salaab (merampas) rasa
haus, serta dapat men-jalaab (mendatangkan) kesegaran tenggorokan atau
tubuh; api dapat men-jalaab (mendatangkan, membuat) masakan menjadi
masak, serta dapat men-salaab air (berubah menjadi uap), racun dapat men-sallaab
nyawa manusia yang kemudian menjadi mati. Dokter dapat meningkatkan/ menambah
(jallab) penyakit serta dapat mencabut/ menghilangkan (sallab) penyakit pasien.
Jika seseorang memahami kekuatan air, api, racun atau
dokter tersebut keluar dari diri mereka sendiri (tanpa izin dan kehendak dari
Allah Swt, tanpa didasari prinsip billah - dalam istilah wahidiyah),
maka dalam pandangan ahlus sunnah wal jamaah; iman orang tersebut masih
bercampur dengan paham syirik.
h. Sedangkan
makna khusus, sallab jallaab sebagai karomah yang hanya dimiliki oleh
orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan sangat berkaitan
sekali dengan sesuatu yang gaib, seperti seorang dukun/ paranormal doa
mantranya dapat meningkatkan (jallaab) rasa sakit atau dapat menghilangkan/
mencabut (sallab) penyakit pasiennya. Demikian pula kondisi ahwal/ derajat setiap
salik atau keimanan seseorang bisa naik atau turun berkat ma’unah atau karomah
para kiai, ulama atau waliyullah Ra.
Misalnya, bila dalam lingkungan suatu kaum terdapat seorang
ulama atau kiyai, maka iman masarakat akan meningkat, atau bila dalam
lingkungan masarakat terdapat tempat maksiat, atau pelaku maksiat yang pandai
mempengaruhi orang lain, maka iman sebagian masarakat akan melorot. Jika hal
ini dipahami dengan paham yang syirik, maka timbul kesimpulan bahwa iman
manusia dapat naik atau turun bukan disebabkan oleh kekuasaan Allah Swt, namun
oleh kondisi manusia atau oleh lingkungan. Dengan demikian, karomah sallab
jallab akan ternilai keluar dari syariat Islam (sesat). Dan ternilai ajaran
yang benar, bila dipandang dengan iman yang bersih dari paham syirik.
i.
Setiap waliyullah, ulama, kiai,
bahkan para pejuang (dalam segala bidang) diberi karomah jallab dan sallab oleh
Allah Azza wa Jalla. Misalnya :
1)
Bangsa Indonesia (khususnya dijawa) mengenal iman dan
Islam berkat perjuangan (jallab) dari para Wali Songo.
2)
Banyak dari para masyayikh kita (khususnya di Jawa),
yang menjadi pejuang Islam (waliyullah, ulama dan kiai) berkat perjuangan dan
karomah doa (jallab) dari Hadlartus Syeh
al-Maghfurlah Mbah KH. Kholil (nafa’anallohu bi ‘uluumihi) Bangkalan
Madura.
3)
Jika dilingkungan suatu tempat atau daerah terdapat
pondok pesantren, sudah tentu iman para santri dan masarakat, akan menjadi
tertata dan naik ketingkat yang lurus (shirothol mustaqim). Hal ini tentu
disebabkan oleh karomah jallab dan doa restu dari Mbah Kiai Pengasuh pesantren
tersebut.
4)
Bangsa Indonesia, naik (terjallab) setatusnya dari
terjajah menjadi merdeka.
----------------------
7.
Tanggapan terhadap
kejanggalan ketujuh.
Pada poin
ini kami nukilkan pernyataan Gus Thoifur
:
Pada hatam 8 PEDOMAN POKOK-POKOK
WAHIDIYAH menggunakan ayat:
وَمَنْ يَعْتَصِمْ
بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ – ال عمران : 101
"Dan barang
siapa yang berpegang teguh sadar BILLAH maka sungguh ia telah diberi petunjuk
kepada jalan yang lurus" (fersi wahidayah).
Ayat tersebut di jadikan dalil
"KEBAIKAN DAN KEUNTUNGAN SADAR BILLAH (sadar dalam segala perbuatan dohir
batin senantiasa merasa bahwa yang menggerakkan dan menciptakan adalah alloh
baik dalam ketoatan atau maksiat), padahal dalam kitab-kitab tatsir yang
dimaqsud ayat tersebut adalah "BARANG SIAPA YANG BERPEGANG TEGUH PADA
AGAMA ALLOH MAKA TELAH MENDAPAT HIDAYAH (PETUNJUK) MENUJU KE JALAN YANG BENAR,
bukan masalah keuntungan dan kebaikan sadar BILLAH.
Kami
menjelaskan :
a.
Dengan pernyataan
(“padahal
dalam kitab-kitab tatsir yang dimaqsud ayat tersebut adalah "BARANG SIAPA
YANG BERPEGANG TEGUH PADA AGAMA ALLOH MAKA TELAH MENDAPAT HIDAYAH (PETUNJUK)
MENUJU KE JALAN YANG BENAR, bukan masalah keuntungan dan kebaikan sadar
BILLAH”.)
diatas, tampaknya Gus Thoifur untuk mendukung kemauannya dalam
menyalahkan buku kami, berani menyempitkan makna kata بِالله pada ayat tersebut. Yang mana hanya
dimaknainya dengan makna “PADA AGAMA ALLOH”.
Dengan dasar dan
dalil apa dan darimana, Gus Thoifur berani menyempitkan makna firman Allah Azza
wa Jalla tersebut ?. Padahal gaya
berpikir dan bersikap seperti ini bukan tradisi ulama NU.
Dalam memahami
ayat tersebut, tampaknya Gus Thoifur ingin mengajak kita dan kepada siapapun
yang mau, untuk mengikuti tafsirnya yang hanya merujuk kepada kitab tafsir Shafwah
at-Tafasir Ali as-Shabuni (dosen fakultas Syariah pada Universitas Abdul
Aziz Makkah al-Mukarramah, dalam) saja. Dan dianggapnya janggal bila seseorang
mengikuti tafsiran ulama lain yang telah mashur.
Dalam kitab
tafsirnya Shafwah at-Tafasir, Ali as-Shabuni menerangkan :
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيْمٍ)
يتمسك بدينه الحق الذي بيَّنه بأياته على لسان رسوله فقد اهتدى إلى أقوم طريق.
b.
Sedangkan
sebagai dasar kami dalam memaknai redaksi بِاللهِ dalam ayat 101 surat Ali Imran, dengan makna sebagaimana dalam
buku kami (SADAR BILLAH), antara lain :
·
Dalam kitab
tafsir Madaarik at-Tanziil-nya Syeh Abul Barakat an-Nasafi, memberikan
makna ayat tersebut dengan makna yang agak luas
:
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ) ومن يتمسك بدينه أو بكتابه أو حث لهم على الإلتجاء في دفع
شرور الكفار ومكايدهم (فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
أرشد إلى دين الحقِّ أو ومن يجعل ربه ملجاء ومفزعا عند التشبه يحفظه عن التشبه
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ) Dan
barang siapa berpegang teguh dengan agama Allah atau kitab-Nya, atau sebagai
dorongan kepada mukmin agar berlindung (kepada-Nya) dalam menolak kejahatan dan tipu
daya orang kafir. (فَقَدْ
هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ) diberi
petunjuk kepada agama yang benar, atau barang siapa yang menjadikan Tuhannya
sebagai tempat berlindung dan berteduh ketika mengalami tasyabuh, maka (Allah)
akan menjaganya dari ketasyabuhan.
·
Dalam kitab
tafsir Sirajul Munir-nya Syeh Khathib as-Syarbini, diterangkan :
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ) وَمَنْ يَتَمَسَّكُ بِدِيْنِهِ أَوْ يَلْتَجِئُ إِلَيْهِ فِي
مَجَامِعِ أُمُورِهِ (فَقَدْ هُدِيَ) حَصَلَ لَهُ الهُدَى (إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
(وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ) Dan barang siapa berpegang teguh
dengan AGAMA-Nya, atau mengungsi kepada-Nya dalam semua urusannya.
·
Dalam kitab Jami’
al-Ushul-nya Syeh Kamsykhanawi Ra dalam bab “uzlah” diterangkan :
ولا
تَغْتَر باِعْتِزَالِ بَدَنِكَ وَالقَلْبُ مَعَهُمْ فَاهْرُبْ إِلَى اللهِ فَإِنَّ
مَنْ هَرَبَ إِلَى اللهِ أَوَّاهُ اللهِ وَحَفَظَهُ, وَصِفَةُ الهُرُوبِ إِلَى
اللهِ بِالكَرَاهَةِ لِجَانِبِهِمْ وَالمَحَبَّةُ لِجَانِبِ الحَقِّ بِاللجَاءِ
إِلَيْهِ وَالإِعْتِصَامِ بِهِ (وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ
هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
Janganlah tertipu
dengan penyendirian (uzlah) badanmu (dari manusia) sedangkan hati bersama
mereka. Maka cepat-cepat larikanlah (hatimu) kepada Allah. Sesungguhnya orang
berlari kepada Allah, adalah orang yang berlindung dengan perasaan merendah
kepada Allah, dan DIA akan menjaganya. Sifat atau keadaan berlari kepada Allah
itu, ketika berada dilingkungan manusia (makhluk), dengan cara dipaksakan.
Sedangkan mahabbah/ cinta pada keharibaan Dzat yang Haq, dengan cara berlindung
kepada-Nya serta memohon penjagaan kepada/ dengan-Nya (bihi : BILLAH)
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
c.
Dan pula kata بِالله, baik pada
ayat tersebut atau pada beberapa ayat lainnya, –
disamping diartikan dengan agama Alloh - dapat juga diartikan dengan ILMU/
MA’RIFAT/ SADAR BILLAH.
Dalam kitab Jam’ul
Jawami’ juz I, bahasan makna hurup ba’, memiliki beberapa makna;
antara lain : al-ilshaq (baik dalam artian majaz atau hakikat), al-isti’anah,
as-sababiyah, al-mushahabah serta at-taukid.
Pemberian
makna seperti ini sangat penting. Hal ini terbukti dilakukan oleh para ulama
mufassir hadis dan ayat al-Qur’an. Misalnya :
1)
“Makrifat/ sadar
billah, yang maknanya diambil kata بِالله merupakan prinsip utama kaum sufi. Dan karenanya, ulama sufi,
disebut “AL-‘ARIF BILLAH”.
2)
Dapat juga kata بِاللهِ merupakan ringkasan dari
لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
3)
Dan Imam Bukhari
(Shahih pada “kitab iman”), Rasulullah Saw, menerangkan adanya “ilmu/
makrifat billah”, dalam bab : قَوْلُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِاللهِ .
Dan Imam Bukhari memaknainya dengan makrifat billah : وَأَنَّ المَعْرِفَةَ فِعْلُ القَلْبِ : dan sesungguhnya makrifat itu perbuatan hati, meskipun
dapat pula dimaknai dengan “Aku
orang yang paling mengetahui diantara kamu semua tentang agama Alloh”.
Dan dalam kitab ar-Risyalah
al-Qusyairiyah-nya Imam al-Qusyairi pada bahasan ke 45 (al-ma’rifah
billah), dijelaskan :
المَعْرفَةُ
عَلَى لِسَانِ العُلَمَاءِ هِيَ العِلْمُ. وَكُلُّ عَالِمٍ بِاللهِ تَعَالَى
عَارِفٌ, وَكُلُّ عَارِفٍ عَالِمٌ.
Ma’rifah
dalam bahasa ulama adalah ilmu. Setiap orang yang alim BILLAH TA’ALA adalah
orang ma’rifat, dan setiap orang ma’rifat adalah orang alim.
4)
HR. Bukhari
dalam kitab iman Rasulullah Saw ditanya oleh seseorang : Apakah perbuatan yang
paling utama ?. Beliau bersabda :
إِيْمَانٌ بِاللهِ
وَرَسُوْلِهِ, قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟. قَالَ : الجِهَادُ فِي سِبيْلِ اللهِ.
قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟. قَالَ : حَجٌّ مَبْرُورٌ
Iman
Billah dan Birrasul. Ditanyakan : kemudian apalagi ?. Beliau bersabda :
berjuang dijalan Allah. Ditanyakan : kemudian apalagi ?. Beliau bersabda : haji
yang mabrur.
5)
HR. ad-Dailami
dari Baginda Aisyah Ra (istri Baginda Nabi Shallallohu Alaihi Wasallam), [36] yang
menerangkan; penyangga agama adalah MAKRIFAT
BILLAH.
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ دِعَامَةَ البَيْتِ
أَسَاسُهُ, وَدِعَامَةَ الدِيْنِ المَعْرِفَةُ بِاللهِ تَعَالَى وَاليَقِيْنُ
والعَقْلُ القَامِعُ. فَقُلْتُ : بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي, مَا العَقْلُ القَامِعُ
؟. قَالَ : الكَفُّ عَنْ مَعَاصِي اللهِ وَالحِرْصُ عَلَى طَاعَةِ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ.
Nabi Saw bersabda :
Sesungguhnya penyangga rumah adalah pondasinya. Sedangkan pengangga agama
adalah ma’rifat billah, keyakinan dan akal yang mengendalikan.
6)
HR.
Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda :
قَال الله تَعالَى : فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ سَاَلَنِي اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya digunakan untuk mendengarkan, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan untuk menggenggam, menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.
7)
Dalam Sunan
ad-Darimi (juz I nomer hadis : 359), diterangkan
: Imam Sofyan Tsaury, memaknai kata بِاللهِ dengan
“makrifat/ ilmu” :
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ : عَالِمٌ بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ
بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ
الكَامِلُ, وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ
وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;
Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun
ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama
yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada
Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami
hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang
durhaka.
8)
Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Fathur Rabbani,
pada majlis ke 62 (bab “tauhid”), menerangkan : يَابُنَيَّ عَلَيْكَ
بِاللهِ لاَتَشْتَغِلْ بِغَيْرِهِ الدَارُ دَارُهُ وَالأَرْزَاقُ خَلْقُهُ : Wahai anakku, wajib
bagi kamu (berpegang kepada ilmu) BILLAH. Dan janganlah kamu sibuk dengan
selain-Nya, karena dunia ini adalah dunia-Nya dan rizqi adalah makhluk-Nya.
9)
Makna kata بِالله dapat pula diartikan dengan
berlindung/ mengungsi kepada kekuasaan Alloh Subhanahu Wata’ala. Qs.
an-Nahl : 97 :
وَإِذَا قَرَأْتَ
القُرْأَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَيْطَانِ الرَجِيْمِ.
Dan ketika kamu membaca
al-Qur’an, berlindunglah kamu kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. ----------------------
8.
Tanggapan terhadap
kejanggalan delapan.
Pada poin
ini kami nukilkan pernyataan Gus Thoifur
:
Pada halaman 9 PEDOMAN
POKOK-POKOK WAHIDIYAH menggunakan ayat:
وَمَا يُؤْمِنُ
أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ – يوسف : 106
"Dan sebagian besar dari mereka tidak sadar BILLAH melainkan mereka masih
mempersekutukan ALLOH" (fersi wahidiyah).
Ayat tersebut di jadikan dalil
KERUGIAN DAN KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH, dan disitu wahidiyah menjelaskan bahwa orang yang tidak sadar BILLAH
masih tergolong orang yang syirik khofi.
Sebelum menjelaskan kejanggalan Gus, sejenak kita mengingat
fatwa Imam as-Suyuti Ra (kitab al-Haawi lil Fatawi juz II bab tasawuf) :
فَإِنَّ
الخَوَاص يَطْلِقُوْنَ لَفْظَ الكُفْرِ وَالفُسُوقِ عَلَى مَالاَ يُطْلِقُهُ
الفُقَهَاءُ.
Sesungguhnya, kaum khawash
memutlakkan kata kufur dan fusuq kepada makna yang tidak digunakan oleh kaum
fuqaha.
Kami menjelaskan :
Alasan kami menjadikan ayat tersebut sebagai dalil KERUGIAN DAN KECAMAN
TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH, antara lain :
a.
Al-Mukarrom Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Muallif Shalawat
Wahidiyah Qs wa Ra, dalam salah satu fatwanya dalam pengajian kitab al-Hikam,
menjelaskan : “sadar BILLAH merupakan inti dari benih iman kepada Allah
Swt. Karena dengan sadar BILLAH,
seseorang akan mudah memiliki sifat-sifat hati yang terpuji. Misalnya; syukur,
sabar, ridla, qana’ah, tawakal, malu dan taubat,
mahabbah, ikhlas, makrifat dan sifat-sifat yang terpuji
lainnya.
1) Ketika mendapatkan nikmat, cepat bersyukur
serta takut meng-kufuri-nya, karena ia menyadari nikmat yang diterima
semata-mata atas karunia-Nya semata.
2) Ketika ada musibah, cepat sabar dan ridla,
karena ia menyadari bahwa musibah itu datangnya dari Allah untuk menguji
keimanannya. Sedangkan berusaha keluar dari musibah, semata-mata karena
mengikuti perintah-Nya, dan hilangnya musibah adalah fadlol-Nya.
3) Ketika melihat orang lain mendapatkan nikmat,
cepat memiliki sifat qanaah, karena ia menyadari pengatur dan pembagi
rizki hanyalah Allah sendiri, sedangkan manusia hanya berusaha, dan Tuhan yang
menentukan.
4) Ketika sedang malakukan ikhtiar tentang
kebaikan (bekerja, mengatur keluarga atau lingkungan), jiwa memiliki perasaan tawakkal
kepada-Nya, karena ia menyadari keberhasilan hanya dalam kekuasaan dan
ridla-Nya.
5) Ketika seseorang sedang terpeleset kedalam
perbuatan maksiat, ia cepat memiliki rasa malu (haya’) kepada Allah dan
segera ber-taubat, karena ia menyadari Allah Maha Dekat lagi Maha
Melihat dan lagi Maha Mengetahui lahir batin makhluk.
6) Ketika beribadah, mudah memiliki sifat ikhlas,
karena ia menyadari, bahwa dirinya dapat
beribadah atas pertolongan-Nya.
7) Ketika bersama makhluk seseorang cepat sadar
kepada Allah, karena semua makhluk , tidak ada yang terlepas dari
kekuasaan-Nya.
8) Dan masih banyak sifat hati terpuji lainnya
yang muncul dari SADAR BILLAH.
b.
Kata BILLAH ketika dirangkai dengan SYIRIK, bermakna :
menyekutukan Allah dengan makhluk. Yakni, tanpa Dia, segalanya menjadi tiada. Dengan demikian, orang yang
musrik hatinya, adalah orang yang tidak menyadari bahwa segalanya sebab Dia,
atau dengan kata lain; segalanya sebab makhluk itu sendiri.
Seperti
keterangan dalam fatwa para ulama :
b.1. Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitab al-Fathur Rabbani, pada
majlis ke 38), menerangakan : لاَ يَنْفَعُكَ
تََوْحِيْدُ اللِسَانِ مَعَ شِرْكِ القَلْبِ : Tidak memberikan manfaat kepadamu, tauhid
nya lisan dengan disertai syiriknya hati.
b.2. Dalam kitab Syarah al-Hikam-nya Syeh Ibnu
Ibad (pada kalam hikmah al-a’maal shuwar qaa-imah, wa arwaahuha wajudul
ikhlash fiihaa), dijelaskan :
صَحِّحْ عَمَلَكَ
بِالإِخْلاَصِ وَصَحِّحْ إِخْلاَصَكَ بِالتَبَرِّي مِنَ الحَوْلِ وَالقُوَّةِ
Benarkan
amalmu dengan ikhlas, dan benarkan ikhlasmu dengan pembebasan dari daya dan
kekuatan (makhluk) .
b.3. Imam Ghazali (kitab Raudlatut Thalibin, pada
muqaddimah), menjelaskan :
إِعْلمْ أَنَّ إِنْقِطَاعِ الخَلْقِ عَنِ الحَقِّ
بِوَقُوْفِهِمْ مَعَ الخَلْقِ وَمَعَ أَنْفُسِهِمْ وَرُؤْيَتِهِمْ أَفْعَالَهُمْ
وَانْحِرَافِهِمْ عَنِ العَقِيْدَةِ الصَحِيْحَةِ. إِعْلَمْ أَنَّ الوَقُوْفَ مَعَ
الخَلْقِ حِجَابٌ عَنِ الحَقِّ وَرُؤْيَةُ الأَفْعَالِ شِركٌ, لأَنَّ أَفَعَالَ
العِبَادِ مُضَافَةٌ إِلَى اللهِ تَعَالَى خَلْقَا وَإِيْجَادًا وَإِلَى العَبْدِ
كَسْبًا لِيُثَابَ عَلَى الطَاعَةِ وَيُعَاقِبَ عَلَى المَعْصِيَةِ.
Ketahuilah,
sesungguhnya terputusnya makhluk dari Dzat Yang Maha Nyata, disebabkan
berhantinya mereka bersama makhluk dan bersama nafsunya, serta melihatnya
mereka terhadap af’alnya serta penyimpangan mereka dari aqidah yang benar.
Ketahuilah, sesungguhnya berhenti bersama makhluk
merupakan hijab kepada Tuhan, dan melihat perbuatannya adalah syirik
(menyekutukan Allah dengan dirinya sendiri). Karena perbuatan hamba disandarkan
kepada Allah baik penciptaannya maupun pewujudannya. Sedangkan penyandaran
perbuatan kepada hamba merupakan kasab untuk menerima pahala atas ketaatan dan
menerima siksa atas kemaksiatan.
Berdasar beberapa keterangan
diatas, janggalkah bila kami menjadikan Qs. Yusuf : 106, sebagai dalil motivasi
terhadap KERUGIAN DAN KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH.
Kalau masih dianggap janggal oleh Gus,
kami bertanya, atas dasar apa ?.
c.
Syeh Abul Barakat Abdullah Mahmud an-Nasafi, (tafsir Madaarik
at-Tanzil), menjelaskan makna iman BILLAH berkorelasi dengan
kemusyrikan :
(وَمَا
يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ – يوسف : 106)
أي فِي إِقْرَارِهِ بِاللهِ,
وَبِأَنَّهُ خَلَقَهُ وَخَلَقَ السَمَاوَاتِ وَالأَرْضَ إِلاَّ وَهُوَ مُشْرِكٌ
بِعِبَادَةِ الوَثَنِ. وَقَالَ الجُمْهُوْرُ : أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي
المُشْرِكِيْنَ. لأَنَّهُمْ يُقَرِّرُوْنَ بِاللهِ خَالِقَهُمْ وَرَازِقَهُمْ.
وَإِذَا حَزِبَهُمْ أَمْرٌ شَدِيْدٌ يَدْعُوْنَ اللهَ وَمَعَ ذَالِكَ يُشْرِكُوْنَ بِهِ غَيْرَهُ. وَمِنْ جُمْلَةِ الشِرْكِ
مَايَقُوْلُهُ القَدَرِيَّةُ مِنْ إِثْبَاتِ قُدْرَةِ التَخْلِيْقِ لِلعَبْدِ.
وَالتَوْخِيْدُ المَحْضُ مَايَقُوْلُهُ أَهْلُ السُنَّةِ, وَهُوَ أَنَّهُ
لاَخَالِقَ إِلاَّ اللهُ.
Artinya, (kemusyrikannya) dalam pengakuannya kepada Allah
(billah), dan sesungguhnya Allah-lah yang menciptakannya, dan menciptakan
langit dan bumi, namun dia menyekutukan dengan penyembahan berhala.[37]
Dan jumhur ulama mengatakan bahwa ayat tersebut turn
kepada kaum musyrikin. Karena, dan
sesungguhnya mereka mengikrarkan iman kepada Allah (billah) yang
menciptakan mereka dan yang member rizki mereka. Dan ketika mereka ditimpa
perkara yang berat, mereka berdoa kepada Allah. Dan bersamaan itu pula mereka
menyekutukan-Nya dengan lain-Nya. Dan dari bagian syirik adalah
pemahaman yang diucapka oleh kaum QADARIYAH, yang menetapkan kekuasaan
penciptaan perbuatan pada hamba.
Sedngkan tauhid yang murni adalah pemahaman yang diucapkan
oleh kaum ahlussunnah, yakni “tidak ada pencipta kecuali Allah”.
d.
Tidak sadar atas kehendak-Nya (BILLAH), termasuk bagian
dari perbuatan syirik. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs. an-Nahl : 53 - 54 :
وَمَا بِكُمْ مِن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ثُمَّ إِذَا
مَسَّكُمْ الضُرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ. ثُمَّ إذَا كَشَفَ الضُرُّ عَنْكُمْ
إِذَا فَرِيْقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ مُشْرِكُونَ
Nikmat apa saja yang kamu peroleh, datangnya dari Allah.
Dan apabila kamu mengalami kesulitan kepada-Nya kamu minta pertolongan.
Kemudian apabila Tuhan menghilangkan kesulitan itu padamu, maka sebagian dari
kamu, dengan Tuhannya mempersekutukan.
e.
Imam Ahmad As-Shawi (Hasyiah ala al-Jalaalain),
terhadap Qs. Yusuf : 106, menjelaskan :
وَمَا يَعْتَرِفُ
أَكْثَرُهُمْ بِالتَوْحِيْدِ حَيْثُ يَقُوْلُوْنَ اللهُ هُوَ الخَالِقُ الرَزَّاقُ
المُعْطِي المَانِعُ وَغَيْرُ ذَالِكَ
Kebanyakan mereka tidak memahami
dengan tauhid, disaat mereka mengucapkan : Allah adalah Pencipta, Pemberi
rizki, Pemberi, Penolak dan lain sebagainya إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ) : kecuali mereka pada musyrik)
f.
Syeh Khathib as-Syarbini (kitab tafsir Sirajul Munir),
tentang makna BILLAH adalah, بِأَنَّهُ الخَالِقُ
الرزَاقُ : Sesunggunya Dia Dzat Pencipa dan
Pemberi rizqi :
(وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ)
حَيْثُ يُقِرُّوْنَ بالله بِأَنَّهُ الخَالِقُ الرزَاقُ (إِلاَّ وَهُمْ
مُشْرِكُوْنَ)
: وَمَا يُؤْمِنُ
أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ) tidak iman kebanyakan mereka(, disaat mereka mengikrarkan Billah,
Sesunggunya Dia Dzat Pencipa dan Pemberi rizqi إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ) : kecuali mereka semua musyrik(
Dengan
ketarangan diatas, oleh Gus masih dianggap JANGGAL, kami bertanya, apakah
aqidah Gus tidak sebagaimana aqidah kaum asy’ariyah ?.
g.
Rasulullah
Shallallohu Alaihi Wasallam bersabda :
·
HR.
Imam Ahmad bin Hanbal : [38] إِتَّقُوا الشِرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ
دَبِيْبِ النَمْلِ : Takutlah kamu semua
akan syirik. Sesungguhnya syirik itu lebih lebih samar daripada semut hitam
diwaktu malam.
·
HR.
Imam Nasai : [39] الشَهْوَةُ الخَفِيَةُ
وَالرِيَاءُ شِرْكٌ : Keinginan
(kemauan) yang sama , merupakan perbuatan syirik.
·
HR.
Imam Ibnu Majah : [40]
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الإِشْرَاكُ بِاللهِ أَمَّا
إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلاَ قَمَرًا وَلاَ وَثَنًا
ولَكِنَّ اعْمَالاً لِغَيْرِ اللهِ وَشَهْوَةً
خَفِيَةً.
Sesungguhnya
yang paling aku khawatirkan dari sesuatu yang aku khawatirkan terhadap ummatku
adalah syirik kepada Allah.Sedangkan aku tidak mengatakan mereka menyembah
matahari, bulan dan berhala. Akan tetapi amal yang (dilakukan) karena selain
Allah dan syahwat (keinginan) yang tersembunyi.
-----------------------
9.
Penjelasan terhadap hal
yang pernah dipermasalahkan.
I.
Garansi terhadap kepastian mendapatkan maziyah shalawat
Wahidiyah.
Sebelum menjelaskan jawaban, sejenak kita mengingat
kembali fatwa Imam Syafi’i dan Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Imam Syafi’i mengatakan : [41]
وَاُحِبُّ أَنْ يُكَثِّرَ الصَلاَةَ عَلَيْهِ
عَلَى كُلِّ الحَالاَتِ. لأَنَّ ذِكْرَ اللهِ بِالصَلاَةِ عَلَيْهِ إِيْمَانٌ
بِاللهِ وَِعِبَادَةٌ لَهُ
Dicintai
(oleh Allah), sekiranya seseorang dapat memperbanyak shalawat kepada Nabi Saw
didalam segala keadaan. Karena sesungguhnya dzikir kepada Allah dengan
bershalawat nabi adalah(realisasi) dari iman kepada Allah seta ibadah
kepada-Nya.
Syeh Yusuf an-Nabhani menjelaskan :[42] أنَّهَا تُوصِلُ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ
غَيْرِ شَيْخٍ: sesungguhnya
(shalawat nabi) itu dapat me-wushul-kan kepada Allah tanpa guru.
Kami
menjelaskan :
a.
Garansi terhadap sesuatu yang dipromosikan, agar masarakat
dapat mengerti manfaatnya, merupakan adat dalam kehidupan. Sebagai contoh,
hampir semua lembaga pendidikan atau pesantren, mencantumkan garansi (baik
dalam brosur yang diedarkan, atau melalui lisan para pengelola yang diceritakan
dari orang keorang), bahwa setiap mahasiswa, siswa atau santri yang mengikuti
pendidikan didalam lembaga tersebut, akan menjadi orang yang baik dan
berkualitas.
Dan ........, bagi mereka yang memiliki “tafsir sentimen”,
atau mereka yang tidak memiliki memiliki niatan baik, akan berpikir bahwa
lembaga/ pesantren tersebut termasuk kelompok yang berpikir sesat atau janggal.
Karena telah mengaku memiliki sifat seperti sifat Allah Swt.
Menurut pemilik tafsir sentimen, “yang membuat manusia
pandai dan berkualitas adalah Allah Swt, dan bukan manusia atau lembaga
pendidikan. Dan karenanya, lembaga tersebut, harus dihujat dengan hujatan yang
setimpal, bahkan kalau dapat dukungan dari masarakat, lembaga tersebut harus
disingkirkan.
b.
Semestinya, hamper setiap ulama salafus shalih, memberikan
jaminan (garansi) selamat dari neraka, terkabulnya hajat, terampuninya
dosa, kepada seseorang yang mengamalkan amalan yang dita’lifnya.
Namun, yang perlu diperhatikan disini, garansi dari
para ulama tersebut :
b.1. Bersifat “tahaddus bin ni’mah” saja,
karena pengalaman mereka yang telah mengamalkan amalan yang dipromosikan,
benar-benar merasakan manfaatnya.
b.2. Disandarkan kepada keterangan dari beberapa
hadis yang berkaitan dengan manfaat bacaan “kalimat suci” atau “shalawat” yang
mereka amalkan.
Misalnya, semua amalan shalawat (baik maktsurah atau yang
tidak maktsurah), “pasti” akan diterima Allah Swt. Dari kata ‘pasti” tersebut,
lahirlah garansi.
b.3. Senantiasa berprinsip Laa Haula Wala Quwwata
Illa Billah.
Sebab para ulama tetap memahami, bahwa ujung-unjungnya,
diterima atau tidaknya amal tergantung kepada rahasia kebijaksanaan Allah Swt.
Sedangkan Rasulullah Saw atau para ulama, memberikan garansi tersebut karena
adanya perintah dari-Nya yang tercermin dalam wahyu baik yang tertulis pada al-Qur’an
maupun al-Hadis.
Jadi, garansi tersebut bukan keluar dari nafsu
muallif yang berkeinginan agar ta’lifannya menjadi manis dan laris, akan tetapi
lebih disebabkan oleh keterangan yang diambil dari hadis Rasulullah Saw.
Diantara para ulama Ra tersebut, adalah :
a. Para waliyullah Ra, yang
menyusun system dan wirid thariqah, hizib maupun macam-macam jenis
riyadlah dengan wirid asma’.
b. Syeh Abdul Qadir al-Jailani
Ra.
Dalam kitab al-Lujain
ad-Dani, diterangkan tentang fatwa Syeh Ra :
مَا مَرَّ مسلِمٌ عَلَى
بَابِ مَدْرَسَتِي إِلاَّ خَفَّفَ اللهُ عَنْهُ العَذَابَ يَوْمَ القِيَامَةِ.
Tidak ada orang Islam yang melewati pintu madrasah (system
pendidikan)-ku, kecuali Allah meringankan siksaan baginya dihari kiamat.
Gaya bahasa yang dipakai oleh Syeh Ra ini, menggunakan gaya
“nafi” (tidak ada seorang muslim yang melewati madrasahku) dan “itsbat”
(kecuali Allah akan meringankan siksaannya
diakhirat). Gaya seperti ini, bertujuan kepastian (garansi).
Garansi ini benar-benar terbukti. Yakni, dikisahkan; suatu
saat terdapat kuburan seseorang yang sering mengeluarkan jeritan kesakitan.
Setelah Syeh Ra mendapat laporan dari masarakat, beliau mengunjungi kuburan
tersebut, dan berfatwa : وَلاََ بُدَّ أَنْ
يَرْحَمَهُ اللهُ تَعَالَى.
إِنَّ هَذَا زَارَنِي مَرَّةً : Sesungguhnya orang ini pernah
berziarah kepadu sekali saja, dan sebagai ketentuan, Allah Swt akan
merahmatinya. Dan retelah dikunjungi Syeh Ra kuburan itu tidak
mengeluarkan jeritan lagi.
Dalam fatwa lain
Syeh Ra menjelaskan kemampuan dan tanggung jawab (garansi)-nya :
أَنَا لِكُلِّ مَنْ عَثُرَ مَرْكُوْبُهُ مِنْ جَمِيْعِ
أَصْحَابِي وَمُرِيْدِي وَمُحِبِّي إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ اخُذُ بِيَدِهِ
كُلَّمَا عَثَرَ حَيًّا وَمَيْتًا. فَإِنَّ فَرَسِي مُسْرَجٌ وَرُمْحِي مَنْصُوْبٌ
وَسَيْفِي مَشْهُوْرٌ وَقَوْسِي مَوْتُوْرٌ لِحِفْظِ مُرِيْدِيْ وَهُوَ غَافِلٌ.
Aku, sebagai penolong bagi orang-orang yang terpeleset
dalam sesuatu (amalan) yang dikendarai (amalkan)-nya dari semua sahabatku,
muridku, orang-orang yang mencintaiku sampai hari kiamat. Baik terpelesetnya
pada waktu masih hidupnya atau sudah matinya. Karena kudaku telah aku
persiapkan, panahku telah aku pasang, pedangku telah aku angkat dan busurku
telah aku kencangkan, untuk menjaga dan membela murid-muridku. Karena, mereka
memang banyak lupa (salah).
Bahkan dalam kitab “Terjemah al-Lujain ad-Dani-nya
al-Maghfurlah Mbah KH. Muslih Abdur Rahman, juz II, menambah penjelasan : Bahwa
Syeh Ra pernah bertanya kepada malikat Malik (penjaga neraka) : Hai, malaikat Malik, apakah
ada dari salah satu sahabatku dan muridku yang menghuni neraka ?. Malik menjawab : Tidak ada !. Syeh berkata : “Demi sifat kemenangan Tuhan-ku, demi sifat Jalal-Nya,
sesungguhnya tangan (syafa’at/ perlindungan)-ku kepada semua murid-muridku,
seperti perlindungan langit kepada bumi. Jika murid-ku tidak ada yang baik
karena sangat awamnya, maka aku telah menjadi kebiakan. Dan demi sifat kemenangan Tuhan-ku, demi
sifat Jalal-Nya, kedua kakiku ini tidak pernah berhenti berjalan untuk
menghadap Allah Swt, hingga kamu (murid-muridku) semua dimasukkan kedalam surga”
(teks asli berbahasa jawa,
dan kami terjemahkan kedalam bahasa Indonesia).
Garansi Syeh Ra ini, dijadikan prinsip roja oleh
para pengamal thariqat “qadiriyah” dan para pengamal “wirid manaqib Syeh Ra”.
c. Syeh Muhammad Abil Hasan
al-Bakri Ra dengan Shalawat Fatih-nya :
اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ
الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَالنَاصِرِ الحَقَّ بِالحَقِّ
وَالهَادِي
إِلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيْمِ
Garansi dari Muallif :
أَنَّ مَنْ صَلَّى بِهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي عُمْرِهِ
لاَيَدْخُلُ النَّارَ. مَنْ قَرَأَ هَذِهِ الصَلاَةَ مَرَّةً وَاحِدَةً فِي
عُمْرِهِ وَدَخَلَ النَارَ يَقْبِضُنِي بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى.
Sesungguhnya,
arang siapa yang membaca shalawat ini sekali saja dalam umurnya, maka ia tidak
akan masuk neraka. Barang siapa yang membaca shalawat ini sekali saja dalam umurnya,
dan ia masuk neraka, maka ia dapat menggenggam (menuntut)-ku disisi Allah (pada
hari kiamat)
Garansi, Imam Shawi berkata
:
وَأَنَّ مَنْ وَاظَبَ كُلَّ يَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
اِنْكَشَفَ لَهُ كَثِيْرٌ مِنَ الحِجَبِ وَحَصَلَ لَهُ مِنَ الأَنْوَارِ وَقَضَاءِ
الأَوْطَارِ مَالاَ يَعْلَمُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ.
Dan sesungguhnya, barang siapa
yang melestarikan (shalawat ini) setiap hari 100 kali, maka akan terbuka
baginya beberapa hijab (penghalang makrifat), dan akan mendapatkan beberapa
cahaya, terkabulkan kesulitan dengan anugrah yang tidak mengetahuinya kecuali
Allah.
d. Syeh Yasuf bin Ismail
an-Nabhani Ra dala kitabnya Afdlal as-Shalawat, yang menjelaskan
beberapa garansi dari para ulama yang menta’lif shalawat.
e. Syeh Abdullah Alwi al-Haddad
Ra dengan doa Qashidah (ratib)-nya (lihat dalam kitab “Terjemah
al-Lujain ad-Dani-nya al-Maghfurlah Mbah KH. Muslih Abdur Rahman, juz II).
II.
Kerugian bagi yang tidak bertemu Rajulan Kamilan.
مَنْ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا
وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً يُرَبِّيْهِ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا
مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ وَلَوْ كََانَ لَهُ مِنْ عِبَادَةِ الثَقَلَيْنِ.
Barang siapa keluar dari
dunia (mati) sedangkan ia belum bertemu dengan tokoh yang sempurna, maka ia
keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar, meskipun ia memiliki ibadah
sebanyak ibadahnya jin dan mausia.
Banyak orang yang memahami fatwa tersebut dengan cara yang
salah. Mereka menganggap kaum sufi takabbur dan keluar dari prinsip sunnah
rasul, serta menganggap kelompok lainnya, akan mati kafir.
Kami menjelaskan
:
a. Redaksi diatas sering disalah artikan oleh orang-orang yang
kurang memahami tujuan amalan wirid dan prilaku kaum sufi. Yang
dipermasalahkan, terletak pada redaksi : خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا
مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ
/ keluar dari dunia
(mati) dengan berlumuran dosa besar, dan redaksi : وَلَوْ كََانَ لَهُ مِنْ
عِبَادَةِ الثَقَلَيْنِ
/ walaupun memiliki amal ibadahnya semua jin dan manusia.
b. Imam Ibnu Hajar al’Asqakani dalam kitabnya al-Fatawi
al-Haditsiyah, halaman 210 diterangkan, lebih baik menghindari dari membaca
kitab karya Syeh Ibnu Arabi (misalnya Futuhatul Makkiyah), bagi mereka
yang hanya sekedar untuk mendapatkan pengertian saja. (lebih-lebih sebelum membaca, ada rasa sentimen terhadap
kaum sufi).
Anjuran tersebut,
lebih disebabkan, jika hanya mempelajarinya saja, dikhawatirkan akan terjerumus
kedalam penafsiran yang tidak sama dengan tafsiran kaum sufi, dan kem,udian
menilai negative, menyalahkan dan mengingkari kaum sufi sunny. Padahal mereka
merupakan kaum yang memiliki kemulyaan serta kedudukan yang agung disisi Allah
Swt.
Lain itu pula,
banyak orang menganggap bahwa memahami hal-hal yang berkaitan dengan
ke-Tuhan-an dapat dicapai dengan pengertian ilmiyah saja. Padahal, banyak hal
yang tidak ditemukan bahasa untuk mengucapkannya. Dan karenanya, kebanyakan
redaksi fatwa para kaum sufi, istilah-istilah dan kaidah didalam tasawuf
bersifat “kesimpulan”. Sedangkan penguraiannya melalui pengamalan wirid yang
telah ditentukan oleh mursyid, serta disertai permohonan hidayah kepada Allah
Swt. Setelah diamalkan secara tekun dan dengan bimbingan Guru yang mumpuni,
hidayah Allah Swt akan turun, sehingga makna kesimpulan tersebut akan
terurai dengan sendirinya, serta secara tepat.
c. Jika memang, mereka terpaksa
hanya menginginkan pembahasan tanpa pengamalan, tetap akan dapat memahaminya
secara benar, itupun hanya makna yang masih luaran. Namun, harus melalui
penjelasan dan pembahasan yang panjang dan pelan-pelan serta disertai jiwa
keakraban antar antara yang mempermasalah dengan yang menjelaskan.
d. Redaksi diatas,
merupakan sebuah kesimpulan akhir dari beberapa kaidah. Dan untuk memaknainya
secara benar, harus mengaitkannya dengan kalam khabar sebelum dan sesudahnya
yang terbuang demi keringkasannya, dengan pemikiran tanpa menghilangkan
maknanya. Misalnya :
1.
kalam khabar yang
menceritakan sejatinya manusia yang dlolim dan kufur (Dan manusia itu
niscaya dlalim dan kufur, Qs. Ibrahim : ....). Diantara kedlaliman manusia,
tidak memahami jenis-jenis kotoran hati dan kemudian membersihkannya, tidak
tepatnya memahami keberadaan Allah Swt dan sifat-Nya, tidak memahami keberadaan
dan keagungan Rasulullah Saw.
Jika tidak
memiliki Guru yang memahami tentang kedloliman tersebut, sudah tentu ketia
mati, mereka tetap membawa dosa kedloliman itu.
2.
kalam khabar yang
menceritakan sejatinya manusia itu bodoh. Bodoh dalam segala ilmu. Terutama
ilmu yang wajib dipelajari dan ditekuni. Misalnya, ilmu dunia yang membahas
tentang pertambangan dan perminyakan. Jika mereka menjadi karyawan perusahaan
tentang ilmu tersebut, sedangkan ia tidak pernah dididik oleh ilmuawan
pertambangan dan perminyakan, maka jika ia mati sudah tentu dalam kedaan bodoh
dan menjadi karyawan pabrik kelas rendah (mutalawwitsan bil-jahli tentang
perminyakan dan pertambangan.
e. Fatwa ini lebih tertuju kepada para murid kaum sufi yang
telah meyakini bahwa makrifat kepada Allah adalah wajib, sedangkan ia
menginginkan makrifat kepada Allah, dan untuk mencapai makrifat harus memiliki
guru ruhani atau “rajulan kamilan”. Hal ini sebagai adat dalam kalangan sufi
serta dalam dunia thariqah.
Mencari Guru
ruhani “rajulan kamilan” sangat sulit,
maka bagi mereka yang ingin makrifat dan tidak bertemu dengannya,
dianjurkan memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah Saw. Karena dalam kaidah
kaum sufi, bershalawat nabi itu dapat menjadi “rajulan kamilan”.
f. Banyak sekali keterangan yang semakna dengan prinsip
diatas. Antara lain :
مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ
لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ
Barang siapa tidak memiliki guru, [44] maka ia tidak
ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka
setanlah pembimbingnya.
2. Fatwa Syeh Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub, bab
“al-Khawajakan”:
فَالشَيْخُ العَارِفُ الوَاصِلُ وَسِيْلَةُ المُرِيْدِ إِلَى
اللهِ وَبَابُهُ الذَي يَدْ خُلُ مِنْهُ عَلَى اللهِ فَمْنْ لاَ شَيبْخَ لَهُ
يُرْشِدُهُ فَمُرِشِدُهُ الشَيْطَانُ.
Syeh yang arif
dan washil merupakan perantara murid kepada Allah, serta sebagai pintu, yang
dari syeh kepada Allah. Barang siapa tanpa guru yang membimbingnya, maka setan
gurunya.
3. Syeh
Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Ghunyah, juz II pada bab “maa
yajibu ‘alal mubtadi”, menerangkan : [45]
فَالمَشَايِخُ
هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي
يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan
sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya.
Fatwa
(......... مَنْ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ) diatas juga dapat diberlakukan
dengan makna umum (baik arti dan pandangan kaum sufi maupun artian dan
pandangan kaum non sufi), atau bahkan untuk segala kaum pecinta semua ilmu.
Artinya, dalam memahami setiap ilmu (umum misalnya; olah
raga, sosial atau ilmu lainnya), seseorang harus berguru kepada orang yang
benar-benar mumpuni dalam bidangnya. Bila tidak, sudah tentu ia akan
mendapatkan penjelasan yang kurang akurat, bahkan bisa menyimpang. Jika sampai
mati ia tidak bertemu dengan guru yang mumpuni, maka ia akan membawa kerugian,
yakni mati dalam keadaan bodoh dan ternoda menurut pandangan ilmu tersebut.
Seseorang muslim yang ilmu dan amalannya dari hasil berguru
dengan orang yang ilmunya tidak sejalan dengan sunnah rasul, maka jika ia mati,
tentu akan mati dalam keadaan menjalankan ilmu yang tidak sejalan dengan sunnah
rasul.
Seseorang akan pergi bertamasya kedaerah yang belum pernah
diketahuinya, jika tidak ada seorang guide atau perusahaan travel (mursyid)
yang terpercaya, sudah tentu akan tertipu oleh orang yang mengaku guide
(mursyid, guru) tapi dengan tujuan akan menipu. Dan jika ia mati dalam keadaan
seperti itu, maka ia mati dalam keadaan tertipu.
Demikian pula, perjalanan (wisata) ruhani menuju Allah Swt
wa Rasulihi Saw, yang jalannya belum diketahui oleh umumnya manusia, jika tanpa
Guru Ruhani yang mumpuni, sudah tentu akan terbimbing oleh nafsu atau setan.
Barang siapa yang mentaati pipimpinan yang dimurkai Allah
Swt, dan kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan durhaka. Dalan kasus ini
Allah Swt berfiman :
Sebuah lembaga (jam’iyah), bila tidak dipimpin oleh
orang yang mumpuni, sudah tentu akan terjadi ketidak setabilan. Taat kepada
pimpinan merupakan bagian penting dalam Islam. Sebagaimana tercermin dalam :
1. HR Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih kitab "Imarah"
bab "Luzumul Jama'ah")
Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ,
فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ
عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan
dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan
sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir) jahiliyah.
2. Dalam buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU pada bagian
keputusan Munas Alim Ulama tahun 1418 H/ 1997 M, tentang “Nasbul Imam”, halaman
778, tertulis hadis :
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي
سَفَرٍ فَليُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ (أبو داود)
Ketika tiga orang keluar untuk bepergian, maka buatlah satu
pimpinan dari salah satunya.
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي
عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً (مسلم)
Barang siapa yang mati, sedangkan dalam lehernya belum ada
tanda baiat, maka ia akan mati sebagaimana matinya (orang kafir) jahiliyah.
Hadis pertama menerangkan pentingnya kepemimpinan. Sehingga
dalam perjalanan lahiriyah saja, yang dilakukan oleh tiga orang, tetap
diperintahkan adanya pimpinan, apalagi perjalanan ruhani kepada Allah Swt.
Hadis Muslim diatas memberikan ancaman mati kafir, bagi
mereka yang tidak memiliki pimpinan (lebih-lenih pimpinan batiniyah).
3. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda: Allah Swt berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ :
يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ
وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا
قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ
إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ
العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ
سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ
تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ,
قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ
لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai
anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana
aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?. Allah bersabda
: Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/.....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU
disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa
kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka,
sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak
Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan
minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku
disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana
aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah
bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu
sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan
menemukan Aku disisinya. [46]
III.
Menulis ayat al-Qur’an dengan hurup selain arab.
Suatu hari, dai Wahidiyah diundang memberikan
ceramah dalam majlis pengajian di desa Mojosari Puger Jember. Dalam acara
tersebut banyak dihadiri oleh masarakat yang belum sepaham dengan amalan
Wahidiyah. Diantara masarakat bertanya : bagaimana hukumnya menulis ayat
al-Qur’an (“Wama khalqtul Jinna wal insa illaa liya’buduni”, yang pada lembaran
shalawat Wahidiyah) ditulis dengan hurup latin (non arab) ?.
Jawab : sebagian ulama mengatakan BOLEH (Imam
Ramly), sedangkan lainnya berpendapat HARAM (Imam Ibnu Hajar al-Haitami).
(Lihat pada keputusan Muktamar NU (buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU,
terbitan Khalista Surabaya, tahun April 2011, pada permasalahan ke 325, halam
360).
IV.
Doa radliyallahu anh untuk Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
Hukumnya
SUNNAH (sangat dianjurkan) memberikan tambahan kalimat RADLIYALLAHU ANH setelah
menyebut atau menulis nama ulama, guru atau para orang-orang pilihan yang
dihormati.
وَيُسْتَحَبُّ
التَرَضِيُ وَالتَّرَاحُمُ عَلَى الصَحَابَةِ وَالتَابِعِيْنَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ
مِنَ العُلَمَاءِ وَالعُبَّادِ وَسَائِرِ الأَخْيَارِ. فَيُقَالُ : رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَوْ رِحِمَهُ اللهُ أَوْ نَحْوُ
ذَيلِكَ.
Disunnahkan mendoakan dengan semoga
mendapatkan keridlaan Allah dan kasih sayang-Nya kepada sahabat (Nabi Saw),
tabi’in serta orang-orang setelah mereka; dari para ulama, ahli ibadah dan
orang-orang terpilih. Misalnya mengucapakan : Radliyallahu anh, atau
Rahimahullah atau kalimat yang sepadan.
(lihat kitab al-Adzkar-nya Imam
Nawawi dalam pembahasan “shalawat kepada selain Rasulullah Saw).
Wallahu A’lam.
والحمد لله رب العالمين
[1]. Kitab al-Anwar
al-Qudsiyah, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam “fawaid ad-dzikr”
[3]. HR. Ibnu ‘Asaakir.
Kitab Jami’ as-Shaghir juz II bab “lam”.
[4]. Maaf.
Ini jangan disalah artikan dengan pangamal Wahidiyah mengaku kelompok khawas.
Kami diajarkan oleh Guru kami (Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif
Majid Ra, Pengasuh Perjungan Wahidiyah, untuk senantiasa menyadari dalam diri
ini masih banyak noda.
[6]. Lebih
jelasnya dapat dipahami dalam penjelasan kami pada ulasan kejanggalan kedua.
[7]. Diantara
kelompok awam :
a.
Diantara mereka, terdapat orang yang tidak memiliki
ilmu agama, dan lagi malas manjalankan ibadah wajib.
b.
Diantara mereka yang mengerti ilmu agama secara garis
pokok saja (tata cara sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya), terdapat mereka
yang tekun mengamalkan ilmunya, dan ada yang kurang aktif mengamalkan ilmunya.
c.
Diantara mereka ada yang tidak bisa membedakan rukun
dan sunnatnya wuldu, sholat dan lainnya, namun dalam ibadah wajib sangat aktif,
dengan prinsip taqlid kepada ulama atau kiyai.
d.
Diatara mereka terdapat orang alim dalam ilmu agama,
namun durhaka amaliyahnya.
[8]. Allah Swt
berfirman, Qs. al-Kahfi : 23 – 24 :
وَلاَ
تَقُولَنَّ لِشَايءٍ إِنَّي فَاعِلٌ ذَالِكَ غَدًا, إِلاَ أَنْ يَشَاءَ اللهُ
وَاذْكُرْ ِرَبَّكَ إذَا نَسِيْتَ
[9]. Keterangan
dalam kitab Raudlotut Thalibin agak panjang, kami hanya menukilkan yang
pokok saja dan yang berkaitan dengan permasalahan.
[10]. Hukum
bolehnya menyandarkan kata “maujud” kepada Allah Swt, telah diputuskan oleh
Muktamar Jam’iyah Thariqah an-Nahdliyah (bernaung dalam Jam’iah NU). Lihat buku
Permasalahan Thariqah, terbitan Khalista Surabaya, pada permasalahan
nomer 135.
[11]. Ulasan yang
lebih jelas lihat buku Dialog Tasawuf Kiai Said, oleh LTN PBNU, bagian
pertama.
[12]. Tentang
istilah ITTIHAD dan HULUL, dalam buku DEMENSI DOKTRINAL-nya DIFA ’07,
bagian I (pada ulasan Manunggaling Kawulo Gusti) terdapat penjelasan: “dimana
doktrin ittihad dan hulul dalam dunia tasawuf sejatinya tidak
pernah ada selain muncul dari ungkapan-ungkapan yang lebih bersifat “pengakuan”
atau bahkan “tuduhan”. Sebab puncak dari ajaran tasawuf adalah peng-Esa-an
Allah (tauhid) dengan menafikan semesta wujud selain Dia (Huwa) yang
melampui doktrin hulul dan ittihad yang masih melihat dialitas wujud yang lantas
salah satunya masuk (hulul) atau menyatu (ittihad) pada yang
lain”.
[13]. Kitab al-Madlnun
Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra pada pasal IV dalam bab
perbedaan makna Wahid dan Ahad
[14]. Kitab Jami’al-Ushul
dalam “Bayan Madlahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fii al-Asma”.
[15]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna
Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan
oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu
Abdullah Ra.
[16] Kitab Dalil
al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[17]. Lihat buku Kilas Balik Teori Fiqih Islam,
oleh Forum Karya Ilmiyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadiin PP Lirboyo Kediri,
dan yang diberi pengantar oleh KH. MA. SAHAL MAHFUDH (mantan rais ‘am PBNU)
[18]. Kitab Faraid al-Bahyah (kebanyakan kitab
tertulis dalam hamisy kitab Asybah wan Nadlair-nya Imam Jalaluddin
Suyuthi dan ada juga yang ditulis secara mandiri).
[19]. Seseorang
yang percaya kalau binatang buas (harimau) itu dapat melumat manusia dengan
mudah, tentu ketika dsengan tiba-tiba didepannya ada harimau beneran, sudah
tentu timbul perasan dan takut, tubuhnya gemetar dan bahkan mungkin bisa
pingsan. Tetapi anak kecil yang belum mengerti sifat harimau apalagi memepercayainya,
lebih dari satu harimau pun tidak akan memiliki rasa takut, apalagi gemetaran.
[20]. Kitab ‘Awarif
al-Ma’arif-nya Imam Suhrawardi dalam bab 24.
[21]. HR. Bukhari, ibid
nh : 698. Ulasan hadis lebih jelas dapat dilihat dalam kitab al-Ghunyah-nya
Syeh Abdul Qadir al-Jilli Ra, juz I, dalam bab “al-Itii’adz bi Mawa’idzil
Qur’an” pada pasal ke 20.
[22]. HR. Bukhari Muslim.
Lihat kitab Dalil Falihin, juz II, bab “khauf”, hadis nomer : 06 dan bab
“fadlul buka”, hadis nomer : 02. Dan lihat kitab As-Syifa’, juz I, bab
“khaufun Nabi rabbahu”, hlm : 96. Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Tirmidzi (Risyalah al-Qusyairiyah bahasan ke 8 “al-Khauf”.
[23] kitab As-Syifa bi
Ta’rifi Huquq al-Mushthafa ’juz I, halaman 96,
[24] Kitab Muziil al-Khafa
‘an Alfadh as-Syifa’ al-Allamah Syeh Ahmad Ibn Muhammad As-Syumni (w. 872
H), catatan kaki kitab as-Syifa’. Lihat kitab As-Syifa’, juz I,
bab “khaufun Nabi Rabbahu”.
[25]. Untuk lebih jelasnya
makna hadis ini, dapat dilihat dalam kitab Riyaadlus Shalihin-nya Imam
Nawawi Ra, dalam bab “Menangis dan Takut Kepada Allah”, nomer hadis : 01.
Sebagian ulama menafsirkan makna “menangis” dalam hadis ini dengan :
setidak-tidaknya memasuki lingkungan maksiyat dengan keprihatinan dan
kesedihan yang mendalam.
[26]. HR. al-Hakim dari dari
Anas. Imam Suyuthi mengatakan hadis ini berajat hasan (kitab Jami’
as-Shaghir, juz II dalam bab “mim”.
[27]. Kitab Idloh Asrar Uluum al-Muqarrabin, halaman 24 (terbitan “al-Haramain” Singapura, tanpa
tahun)
[28]. Kitab al-Ghunyah-nya
Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam bab “itti’adz bi mawa’idz al-Qur’an wa
al-fadzin nabawiyah” pasal ke 22.
[29]. Dalam Qs. at-Taubah : 54, dijelaskan bahwa
malas mendirikan shalat termasuk sifat orang kafir.
إِنَّهُمْ
كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَيأْتُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى
وَلاَ يُنْفقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ
Sesungguhnya mereka adalah orang kafir kepada
Allah dan rasul-Nya. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas. Mereka tidak menginfaqkan
hartanya kecuali dengan terpaksa.
[30]. HR. Dailami (kitab ad-Durar
al-Muntatsirah-nya Imam Suyuthi Ra), kitab Muhtashar Ihya Ulumudin-nya
al-Ghauts fii Zamnihi Imam Ghazali Ra, bab IV pasal “keutamaan khusyu”.
[32]. Keterangan
tentang Ibnus Saqa, juga ditulis dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya
Imam Sya’rani Ra, hanya bersifat sekilas saja.
[33]. Lihat
pada hamisynya kitab al-Asybah wa an-Nadzair-nya Imam Jalaluddin
as-Suyuthi, terbitan
“al-Hidayah” Surabaya.
[34]. . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab
“alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[35]. HR. Ahmad (Musnad,
nh : 3233)
[36]. HR.
Dailami. Kitab Risyalah al-Qusyairiyah Imam Qusyairi Ra bab ke 45
(al-ma’rifah billah).
[37].
[38]. HR. Imam Ahmad
dalam Musnad. Kitab Kunuzul
Haqaaiq-nya Imam al-Munaawi (dalam Jami’ as-Shaghir-nya Imam
Suyuthi, dalam juz I pada bab alif).
[39]. HR.
Imam Nasai dari Syaddad Ibn Aus ra. Jami’ as-Shagir, juz II dalam bab
“Syin”.
[40]. HR.
Ibnu Majah dari Syaddad Ibn Aus (Kitab Jami’ as-Shaghir, juz I dalam bab
“alif”). Imam Suyuthi mengatakan bahwa
hadis ini berderajat dla’if. Namun karena banyak keterangan dari al-Qur’an dan
hadis lain yang mendukung maknanya, maka secara tersurat derajat hadis ini naik
kepada hasan lighairihi, sedangkan secara tersirat maknanya shahih.
[41]. Kitab Jalaul
Afhaam fii as-Shalati wa as-Salam ala Khairil Anam-nya Ibnul Qayyim
al-Jauziyah, dalam bab IV (tempat shalawat) pada pasal ke 35.
[42]. Kitab Afdlalus
Shalawat ‘ala Sayyid as-Saadat, pada pasal IV.
[43]. Ibid. Diterangkan dalam juz II, bab “Syeh
Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis karena
buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah tampak
karamahnya.
[44]. Malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan
muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As),
apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
Langganan:
Poskan Komentar (Atom)
Wikipedia
Langganan
Pos
Komentar
17 TEMA PENTING
-
FAFIRRUU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW ! KISAH DAN PETUAH Catatan Kecil 68 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI K...
-
A. YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH ! I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH" 032.01.317 - ULAMA WARA...
-
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH ! KISAH DAN PETUAH Catatan Kecil 42 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHU...
-
01.317 BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH SHOLAWAT WAHIDIYAH BERFAEDAH MENJERNIHKAN HATI DAN MA'RIFAT BILLAH WA ROSUULIHI SAW. ...
-
YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS ! KISAH DAN PETUAH Catatan Kecil 29 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETA...
-
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH ! KISAH DAN PETUAH Catatan Kecil 46 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KET...
-
FAFIRRUU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW ! I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH" 0 042.01.317 - TANGGAPAN DAN ...
-
YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS ! KISAH DAN PETUAH Catatan Kecil 26 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETA...
-
J. YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH ! I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH" 0 033.01.317 - KEDUDU...
-
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH ! KISAH DAN PETUAH Catatan Kecil 41 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI...
Arsip Blog
Google+ Badge
Ada kesalahan di dalam gadget ini
FAFRUU ILALLOH !
FAFIRRUU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW !
|
KUMPULAN VIDIO PENTING |
Translate
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
1 komentar: