Tanggapan Dan Penjelasan Terhadap Kejanggalan Gus Thaifur Terhadap Ajaran Wahidiyah


Di copy paste dari Blog B Pengamal Shalawat Wahidiyah
 
Sabtu, 22 Maret 2014

0042.01.317 - TANGGAPAN DAN PENJELASAN Terhadap KEJANGGALAN GUS THOIFUR TERHADAP AJARAN WAHIDIYAH 

 


FAFIRRUU  ILALLOH WA ROSUULIHI SAW !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"

0042.01.317  -  TANGGAPAN  DAN  PENJELASAN Terhadap KEJANGGALAN  

GUS  THOIFUR   TERHADAP  AJARAN  WAHIDIYAH

---------------------------------------------------------------------------------------
بِسْـمِ اللهِ الرَحْمَنِ الرَحِيْمِ
الحَــمْدُ  للهِ  الذِي  أَتَــانَا    بِالوَاحِــدِيَّةِ  بِفَضْــلِ  رَبِّنَا
الحَمــْدُ للهِ الصَلاَةُ وَالسَـلاَمُ    عَـلَيْكَ  وَالآلِ أَيَا خَـيْرَ  الأَنَامِ
رَبٌّ كَرِيْمٌ وَأَنْتَ ذُو خُلُقٍ عَظِيْمٍ    فَاشْفَعْ لَنَا فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ  الكَرِيْمِ
يَأَيُّهَا الغَــوْثُ سَــلاَمُ اللهِ     عَـلَيْكَ  رَبِّـــنِي  بإِذْنِ اللهِ
وَانْظُرْ إِلَيَّ سَــيِّدِي بِنَـظْرَةٍ     مُوْصِـلَةٍ   لِلْحَــضْرَةِ  العَلِيَّةِ
يَارَبَّنَا  اللهُمَّ  صَـلِّ  سَــلِّمِ     عَلَى مُحَمَّدٍ  شَــفِيْعِ الأُمَـمِ
وَالآلِ واجْعَلِ الأَنَامَ مُـسْرِعِيْنَ      بِالوَاحِــدِيَّةِ   لِرَبِّ العَلَـمِيْنَ
يَارَبَّنَا اغْفِرْ يَسِّرْ افْتَـحْ  وَاهْدِنَا     قَرِّبْ  وَأَلِّـفْ  بَـيْنَنَا  يَارَبّـَنَا
أَمَّا بَعْد
I.     KAIDAH PENGANTAR.
A.                Allah Swt berfirman, Qs. an-Nisa’ : 142 :
     إنَّ المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلْيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, (tapi) Allah-lah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika mendirikan shalat, mereka mendirikannya dengan malas, serta memperlihatkan (ibadahnya) kepada manusia. Dan mereka tidak ingat kepada Allah kecuali sedikit.
B.                 Rasulullah Saw bersabda  :
1.      Kitab Jami’ as-Shaghir-nya Imam Suyuthi, juz I (alif) :
   إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ 
Sesungguh yang paling Aku takutkan dari sesuatu yang aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
2.      HR. Imam Thabrani (Jami’ as-Shagir,  juz I {alif})
أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ثَلاَثًا زِلَّةَ عَالِمٍ وَجَدَالَ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَالتَكْذِيْبَ بِالقَدَرِ 
          Tiga perkara yang Aku takutkan terhadap ummatku : terpelesetnya orang alim, perdebatan orang munafiq tentang al-Qur’an dan pendustaan terhadap taqdir.
3.      HR. Thabrani : [1] مَنْ لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فَقَدْ بَرِئَ مِنَ الإِيْمَانِ Barang siapa tidak ingat Allah, maka ia telah terbebas dari iman.
4.      HR. Thabrani Ra, Rasulullah Saw bersabda :  أَبْغَضُ إِلَهٍ عُبِدَ عِنْدَ اللهِ فِي الأَرْضِ هُوَ الهَوَى: Sesembahan yang paling dibenci menurut Alloh diatas bumi, adalah hawa nafsu.
5.      Dapat menangis karena Allah Swt merupakan tanda-tanda selamat dihari kemudian. Uqbah Ibn Amir bertanya kepada Rasulullah Saw : Wahai Rasulullah apakah keselamatan itu ?. Beliau Saw bersabda  : [2] أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ, وَلْيَسعْكَ بيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ : Jagalah lisanmu, dan betahlah kamu dalam rumahmu, dan menangislah atas dosa-dosamu.
6.      Rasulullah Saw bersabda :  لَوْ أَنَّ بُكَاءَ دَاوُدَ وَبُكَاءَ جَمِيْعِ أَهْلِ الأرْضِ يُعْدَلُ بِبُكَاءِ آدَمَ مَا عَدَلَهُ: Sesungguhnya jika tangisan Nabi Daud dan tangisan seluruh ahli bumi dibandingkan dengan tangisan
 Nabi Adam, maka belum membandinginya. [3]

C.                 Fatwa Para Ulama.
1.     Agar tidak terbimbing oleh nafsu (ego) diri yang kotor dalam memahami keberadaan Alloh (makrifatullah), seseorang wajib berguru kepada Guru yang mumpuni. Tanpa melalui bimbingannya, sudah tentu nafsu/ setan  yang membimbingnya. 
(Kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi. Kitab Jami’ul Ushul-nya Syeh Kamsykhanawi
2.     Ketika susah mencari guru tauhid yang memadai, bersahalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. dapat dijadikan pembimbing untuk menuju kepada Allah  Swt.
(Kitab Taqribul Ushul -nya Syeh Ahmad Zaini Dahlan Ra, pada halaman 57).
3.     Jadilah kamu semua dalam segala perkaramu, merasa berada disisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
(Kitab Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmani-nya Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra, pada majlis ke 11).
4.     Rasulullah Saw meiliki gelar siraajan muniran (pelita yang menerangi). Katrena cahaya makrifat dari Alloh kepada makhluk terpancar melalui Rasulullah Saw.  Demikian juga para nabi, semuanya adalah pelita meski dengan kadar berbeda”. (Misykatul Anwar Imam al-Ghazali  pasal pertama).
5.     As-Suyuti, menerangkan : فَإِنَّ الخَوَاص يَطْلِقُوْنَ لَفْظَ الكُفْرِ وَالفُسُوقِ عَلَى مَالاَ يُطْلِقُهُ الفُقَهَاءُ. : Sesungguhnya, (mukmin) khawash memutlakan (generalsasi) kata kufur dan fasuq (durhaka) kepada makna yang tidak gunakan oleh kaum fuqaha.[4]  (kitab al-Haawi  lil  Fatawi  juz II bab tasawuf)
Dan : وَمَا زَالَتْ العُلَمَاءُ وَمُحَقِّقُوْا الصُوفِيةِ يُبَيِّنُوْنَ بُطْلاَنَ القَوْلِ بِالأِتِّحَادِ وَالحُلُولِ وَيُنَبِّهُوْنَ عَلَى فَسَادِهِ : Para ulama ahli tasawuf menerangkan batal serta rusaknya paham “ittihad” dan “hulul”.[5]
6.     Syeh Imam Ahmad  bin Zaini Dahlan Ra, menerangkan  :
أَنَّ القَائِلِيْنَ بِوَحْدَةِ الوُجُوْد مُرَادُهُمْ وَحْدَةُ الشُهُودِ.  وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ وَحْدَةَ الوُجُوْدِ غَيْرُ وَحْدَةِ االشُهُوْدِ لَمْ يَشُمْ رَائِحَةَ مَعْنَى الوَحْدَةِ.
Sesengguhnya, orang-orang yang mengatakan wahdatul wujud, maksud mereka adalah wahdatussyuhud. Barang siapa yang beranggapan wahdatul wujud bukan wahdatussuhud, maka ia tidak akan merasakan aroma al-Wahdah. (kitab Taqribul Ushul, halaman 37 -38).
D.      Iformasi  Sekilas.
1.    Banyak orang yang belum memahami “Wahidiyah”. Bahkan diantara mereka terdapat yang menganggapnya sebagai paham sesat. Padahal telah banyak kitab-kitab tasawuf karya para ulama ahlus sunnah wal jamaah, yang telah menjelaskannya. Misalnya, kitab al-Madlnun Bih Imam al-Ghazali Ra (Wahidiyah adalah realisasi dari iman, Islam dan ihsan).
Agar Wahdiyah mudah diamalkan oleh ummat dan masarakat, Hadlratul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, menta’lif SHALAWAT WAHIDIYAH dengan disertai pokok-pokok prinsip iman dan tauhid, serta penjelasan tentang karomah Allah yang diberikan yang diberikan kepada para Nabi, Rasul As dan para waliyullah Ra. Kemudian prinsip ini, disebut AJARAN WAHIDIYAH.[6]
2.    Lembaga pendidikan yang terdapat dalam PP Kedunglo al-Munadldlarah : pertama, madrasah diniyah (dari ibtidiyah sampai aliyah), Kedua, pendidikan umum (dari TK sampai perguruan tinggi).
3.    Dipondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzoroh, setiap ahad pagi dilaksanakan pengajian kitab al-Hikam-nya Syeh Ibnu Athoillah as-Sakandari Ra, yang sekarang diasuh langsung oleh Beliau Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo.
4.    Setiap pelaksanaan mujahadah kubro (bulan muharrom dan rojab) dipusat Perjuangan Wahidiyah (Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzoroh), senantiasa mendapatkan perlindungan dan dukungan dari pemerintah, khususnya pemerintah Kota Kediri dan Propinsi Jawa Timur.
 Kemudian, apakah pemerintah Kota Kediri, yang didalamnya ada kantor kementrian agama, ada lembaga MUI dan instansi lainnya, dijabat oleh orang-orang yang tidak mengerti al-Qur’an dan al-hadis, hingga tidak melakukan sebagaimana gerakan mengahalang-halangi perjuangan Wahidiyah sebagaimana yang diulakukan oleh Gus Thoifur dan kawan-kawan  ?.
Pasti jawaban yang tepat : TIDAK !. Para pejabat pemerintah Kota Kediri, juga dipegang serta diduduki oleh mereka yang mengerti norma negara serta norma agama.
5.    Selain PP Kedunglo al-Munadldlarah, banyak pondok pesantren baik dijawa atau diluar jawa yang telah mengamalkan Shalawat Wahidiyah.
6.    Banyak warga masarakat (baik yang awam maupun tokoh) dari pelbagai macam kelompok keagamaan (termasuk warga NU) yang telah mengamalkan dan memperjuangkan Wahidiyah.
7.    Bapak KH. Abdur Rahman Wahid (mantan PBNU dan mantan presiden RI), pernah memberikan taushiyahnya dalam mujahadah Kubro (3 Pebruari 2008) PP Kedunglo al-Munaddloroh. Diantara sari taushiyahnya (dapat didengar ulang dalam rekaman VCD) :
7.1.            Menawi ahli Wahidiyah disesatkan, kulo boten trami.
7.2.           Kalau MUI menyesatkan Wahidiyah, ya  MUI sendiri  yang  sesat.
II.     TANGGAPAN DAN PENJELASAN.
Dengan memohon hidayah dan ridlo Alloh Suhanahu w Ta’ala, syafaat tarbiyah Rasulullah Saw,  barokah karomah Ghauts Hadzaz Zaman Ra, serta doa restu para waliyullah dan khususnya Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menjelaskan beberapa kejanggalan Gus Thoifur (Puger – Jember –Jawa timur) terhadap Wahifiyah.
Untuk memudahkan tanggapan tersebut, kami membaginya kedalam 8 poin sesuai dengan urutan kejanggalan Gus Thoifur (selanjutnya kami hanya menulis dengan Gus). Dan pada bagian akhir, kami sertakan beberapa masalah yang menurut data yang kami miliki termasuk hal yang sering dipermasalahkan oleh sebagian masarakat yang belum memahami Wahidiyah. Dan pula, uraian kami disini, kami selingi dengan bahasa dialog yang bersifat komunikatif.
Dan, sebelum menanggapi 8 poin yang Gus permasahkan, kami menanggapi terlebih dahulu, penggunaan Gus terhadap hadis (tentang kewajiban muslim menghalau kemungkaran) yang tertulis pada lembaran yang terakhir  :
a.      Makna hadis kewajiban muslim menghalau kemungkaran adalah prinsip suci yang harus dipegang oleh setiap muslim.
b.      Namun, perlu dimengerti, banyak orang yang memaksakan kehendak nafsu dengan kepandaian lidahnya, dapat menggunakan hadis yang suci ini. Atau, bagi mereka yang pandai menutupi kebusukan hati dengan bersikap suci dan berlidah manis, dapat menggunakan hadis ini untuk mencari simpati dan pendukung.  Sebagaimana tercermin dalam sabda Rasulullah Saw (HR. Ahmad, Jami’ as-Shaghir  I/ “alif”) :  أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَاؤُهَا: Kebanyakan munafiqnya ummat-ku adalah para pembaca ilmu. Dan  :  إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمُ اللِسَانِ  : Sungguh yang paling aku takuti dari sesuatu yang aku takutkan pada ummatku, adalah orang munafiq  yang pandai berbicara.
c.      Dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, diterangkan; bahwa sekte wahabi memiliki kepandaian membungkus gerakannya dengan kalimah suci. Misalnya, demi kemurnian tauhid, demi pembaharuan dan kemajuan Islam, demi tegaknya sunnah rasul, demi melaksanakan seruan Ilahi  dan lain sebagainya.
d.      Setipa muslim wajib menghilangkan/ menghapus kemungkaran yang ada dalam dilingkungannya dan - yang pertama dan paling utama -, dalam dirinya sendiri.
e.      Sesuatu dapat dinamakan mungkar selama ada nash yang jelas yang menunjukkan sesuatu itu dapat dikatakan mungkar secara mutlak. Dengan kata lain, kemungkaran yang bersifat “universal”. Misalnya;  perzinaan, mabuk-mabukan, pencurian dan lain sebagainya. Dan penting dimengerti oleh Gus, bagi pelaku kemungkaran universal ini, menyadari kalau dirinya melakukan kemungkaran.
f.       Sedangkan kemungkaran yang bersifat individual (kelompok), tidak bisa tergesa-gesa memakai hadis tersebut. Karena, mungkar menurut A, tidak mungkar menurut B. Dengan demikian, ketika A menilai mungkar kepada amalan B, berarti A (dalam pandangan B) telah melakukan kemungkaran juga (menilai mungkar kepada sesuatu yang tidak mungkar, adalah kemungkaran). 
Kemudian, bila keduanya saling melakukan aksi yang gigih untuk menghilangkan kemungkaran yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain, dengan berdalih hadis diatas, bagaimana jadinya kehidupan.
g.      Sebuah ilustrasi saja. Disuatu kampung, terdapat 2 kelompok. Pertama, kelompok A (anti tawassul) beranggota 200 orang.  Kedua, kelompok B (pengamal tawassul) beranggota 1000 orang. Kelompok A menganggap amalan TAWASSUL sebagai amalan yang mungkar/ bid’ah/ sesat. Kemudian A, merasa dituntut oleh hadis diatas, dengan semangat yang gigih pantang mundur, dengan berbagai macam cara, mereka menghalang-halangi kegiatan wirid manaqib atau berziarah kemakam waliyullah yang dilakukan oleh  B.
Dan, suatu saat, karena kelompok A terdiri dari kaum terpelajar yang pandai berdebat, A menantang kelompok B untuk mengadakan tabayyun (klarifikasi). Kelompok A yakin dengan kepandaiannya bermain lidah dan politik, akan mengalahkan kelompok B dalam waktu beberapa menit saja.
Ketika mendapat tantangan dari B, imam jamaah kelompok A yang hanya lulusan madrasah tsanawiyah kampung, berpikir sedih. Dia merasa seperti kasus buah simalakama. Jika menghadiri tabayyun, jelas akan kalah. Karena – disamping A banyak anggotanya yang pandai berdebat -, ketuanya terkenal sebagai orang berduait dan lagi adiknya baru saja dilantik menduduki jabatan penting dalam masarakat. Dan jika tidak menghadiri tabayyun – pikir imam jamaah B -, jelas amalan tawassul akan dilarang dikampung ini. Akhirnya semua warga kelompok B hanya bersedih hati serta berdoa mohon perlindungan Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw. Sedangkan kelompok A merasa diatas angin.
Kami bertanya kepada Gus (jawaban boleh lisan atau tertulis yang dikirim kepada kami) :
1.      Gus, setujukah sampeyan dengan slogan gaya wahhabi wahhabi  ?.
2.      Bagaimana pandangan Gus terhadap A yang men-sah-kan tindakannya tersebut dengan menggunakan dalil seperti yang sampeyan tulis ?.
3.      Bagaimana nasehat sampeyan kepada A dan B ?
4.      Setujukah Gus dengan tabayyun yang beraroma seperti itu ?. Dan,
5.      Bagaimana nasehat Gus kepada adik  dari ketua kelompok A ?.
1.           Tanggapan terhadap kejanggalan pertama.
Pada pin ini Gus Thoifur  menyatakan:
Di dalam buku "PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH"` pada halaman 6-7 di jelaskan tentang BILLAH: 'Dalam segala kehidupan, gerak gerik kita atau perbuatan atau tindakan apa saja lahir dan batin dimanapun dan kapanpun saja, supaya dalam hati senantiasa merasa bahwa yang menciptakan dan menitahkan serta menggerakkan itu semua adalah ALLOH MAHA PENCIPTA! Jangan sekali-kali mengaku atau merasa bahwa kita mempunyai kemampuan sendiri. lni mutlak, dalam segala hal supaya merasa begitu, baik dalam keadaan toat maupun ketika maksiat, harus merasa billah !. Tanpa kecuali !. Ini harus kita sadari !.
            والله خلقكم وما تعملون – الصفات - 96
"Padahal ALLOH-lah yang menciptakan kamu sekalian dan apa yang kamu sekalian perbuat."
Menurut kami peryataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya, karena tidak di jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat padahal dalam memahami alquran dan alhadits harus dengan dua pandangan yaitu pandangan syariat dan haqiqot sebagaimana di terangkan dalam kitab "igozdhul himam” halaman 15. dan pernyataan itu tidak punya adab terhadap ALLOH.
Sebelum kami menanggapi pernyatan Gus, ada baiknya mengingat kembali kata mutiara ulama ushul fiqh yang sering disampaikan oleh al-Mukarrom al-Maghfurlah Bapak KH. Abdur Rahman Wahid (mantan ketua umum PBNU) dalam beberapa kesempatan : لاَ يُعْتَبَرُ قَوْلُ مُجْتَهِدٍ  عَلَى خَصْمِهِ  : Ttidak perlu memperhatikan kesimpulan orang, terhadap lawan (orang atau kelompok lain yang tidak disenangi)-nya.
Dalam penjelasan ini, kami mengurutkan uraian sesuai pernyataan Gus diatas :
1.      Menurut kami pernyataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya,
2.      karena tidak di jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat dan hakikot,
3.      dan pernyataan itu tidak punya adab terhadap ALLOH.
1.                 Penjelasan terhadap pernyataan SANGAT dalam : Menurut kami pernyataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya,
a.      Apakah menurut Gus, orang awam tidak baik membaca atau memahami makna firman Allah Swt, Qs. as-Shaffat : 96 ?.
@ Kami bertanya : mana dalil yang dengan jelas-jelas menerangkan bahwa makna ayat tersebut, bukan untuk orang awam juga ?.
b.      Jika orang awam membacanya – menurut Gus -, akan mendapatkan ke-bahaya-an yang sangat. Maka jika mereka tetap membacanya, terkena “hukum haram”, karena menceburkan diri dalam kebahayaan (aqidah). Kata lain dari makna “sangat bahaya” diatas, adalah “SANGAT HARAM/ HARAM JIDDAN” atau DOSA BESAR.
@ Gus ......, mana dalil qath’i yang secara  jelas menunjukkan keterangan tersebut ?.
c.      Menurut kami, justru dengan pernyataan tersebut, Gus telah “melakukan perbuatan yang sangat haram/ berdosa besar”. Yakni menentukan hukum “sangat bahaya/ sangat haram” kepada orang awam yang ingin memahami rukun iman keenam yang wajib hukumnya.
Padahal, telah banyak keterangan, baik dalam ayat al-Qur’an yang lain, hadis nabi, maupun qaul ulama ahlus sunnah wal jamaah yang menyatakan bahwa; setiap orang mukallaf (awam maupun non awam) wajib memahami dan menghayati makna ayat tersebut. Dan ......., mengapa harus memahami ?. Karena :
1.      Makna Qs. as-Shaffat : 96 diatas, merupakan makna dari rukun iman yang keenam, yakni iman kepada taqdir baik dan buruk dari Allah.
2.      Orang yang tidak memahami dan menghayati makna ayat tersebut, akan terjerumus kepada paham qadariyah yang musyrik serta dibenci oleh Rasulullah Saw. 
Rasulullah Saw bersabda  (HR Abu Daud, dalam Sunan IV) :
 القَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِه الآُمَّةِ : Qadariyah adalah paham majusinya ummat ini  (hadis nomer : 4071), dan : لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوسٌ وَمَجُوسُ هَذِه الآُمَّةِ الذِيْنَ يَقُولُونَ لا َقَدْرَ وَهُمْ شِيْعَةُ الدَجَّالِ  :  Setiap ummat terdapat paham majusi. Dan majusinya ummat ini adalah orang-orang yang mengatakan tidak ada taqdir. Dan mereka itu pembela Dajjal. (hadis nomer : 4072).
Paham Qadariyah adalah paham musyrik lihat keterangan dalam kitab Raudlatut Thalibin, Imam Ghazali pada “muqaddimah”, dan kitab tafsir Madaarik at-Tanzil wa Haqaaiq at-Ta’wil, Syeh Abul Barakat Abdullah Mahmud an-Nasafi, pada Qs. Ysuf : 106.
d.      Jika kesimpulan diatas, Gus mendasarkan kepada kekhawatiran saja, kalau-kalau orang awam akan menyalah gunakannya, misalnya, mereka berbuat maksiat dengan alasan atas kehendak dan gerakan Allah, maka semestinya, Gus harus menganggap “janggal” kepada berbagai buku Islam yang menuliskan ayat tersebut, dan atau keterangan yang sama seperti dalam buku kami, dengan alasan yang sama pula (sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya).
Misalnya, antara lain : kitab Kifayatu Awam (bab sifat Wahdaniyat Allah) dan buku Fiqih Klenik (Ridwan Qayyum dengan kata pengantar Pengasuh PP Lirboyo Kota Kediri, halaman 28).
@ Jika Gus, hanya kepada kami menganggap janggal, sedangkan kepada selain kami tidak menganggap janggal, kami bertanya; pantaskah seseorang yang dihormat masarakat dengan panggilan Gus, melakukan perbuatan pilih kasih (bang cinde bang ciladan) ?.
e.      Dan perlu Gus ketahui, ajaran Wahidiyah merupakan metode praktis untuk menuntun ummat dalam “menerapkan” prinsip iman, Islam dan ihsan. Prinsip tersebut dalam dunia tasawuf sering di-simpul dan di-simpel-kan dengan prinsip (LILLAH – BILLAH), yang keduanya, dalam penerapan tidak boleh dipilih dan dipilah.
f.       Tujuan kami menerbitkan buku-buku Wahidiyah, bersifat pembahasan pada pokok-pokoknya saja. Sedangkan pemilihan dan pemilahan dalam judul bab antara LILLAH –BILLAH tersebut, hanya dalam ta’lim (bahasan ilmiyah) saja.
g.      Dan yang sangat perlu diperhatikan oleh Gus, dalam membaca buku kami (atau buku lain) adalah; pemilihan bahasan tertentu dalam bab tertentu pula, tidak bisa diartkan dengan kami mengajari pengamal Wahidiyah atau pembaca lain yang awam atau non awam, untuk berhenti pada satu bahasan, atau bab, apalagi pada satu alenia itu saja.
h.      Dalam prinsip Wahidiyah, baik ketika memahami apalagi menerapakan, tidak boleh ada pemilihan dan pemilahan antara prinsip LILLAH – BILLAH. Karena keduanya merupakan satu kesatuan. Dan jika keduanya dipisahkan akan terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan
Misalnya, jika seseorang memahami Islam dari prinsip LILLAH saja, maka akan menganggap salah terhadap mereka yang berpegang pada prinsip BILLAH. Demikian pula, sebaliknya.
@ Gus, apakah sampeyan setuju atau tidak, semua orang wajib dipahamkan kepada rukun iman keenam ?. Kalau setuju, mengapa mempermasahkan buku kami ?. Dan kalau tidak setuju,  berarti Gus tidak  beraqidah ahlu sunnah wal jamaah.
Jadi, pokoknya, prinsip LILLAH – BILLAH bukan sekedar untuk bahasan, apalagi perdebatan. Kedua prinsip tersebut, harus diparkatekkan secara serempak bersama-sama.
i.        Seseorang, selama tidak menerapkan keduanya tidak akan merasakan hikmah dan keagungan aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah. Tanpa memadukan keduanya, tentu akan salah dalam memahami antara posisi makhluk dan kedudukan Allah Dzat Maha Pencipta. Dan jika hanya berpegang pada LILLAH saja, dialah kaum qadariyah. Dan jika hanya berpegang pada BILLAH saja, dialah kaum jabariyah.
Gus, dengan demikian, kejanggalan sampeyan bukan disebabkan oleh buku kami, tetapi oleh pola pikir sampeyan sendiri.
j.        Dan perlu juga dipahami oleh Gus :
1.      Tidak seorang-pun dapat memadukan keduanya, kecuali mereka yang mendapatkan hidayah dari Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw serta ada guru ruhani, ulama atau kiai yang membimbingnya.
2.      Tujuan kami menerbitkan buku-buku Wahidiyah, untuk memandu pengertian pokok-pok ilmiyah aqidah Islam bagi mereka yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah. Yang mana kegiatan utamanya adalah mujahadah agar mendapatkan hidayah dalam memadukan LILLAH - BILLAH.
3.      Permohonan pemaduan kedua prinsip tersebut, terkandung dalam redaksi Shalawat Wahidiyah, pada shalawat kedua (Allahumma kama anta ahluh ........ dst).
4.      Dan alhamdulillah, mereka yang mengamalkan (meski orang awam apalagi non awam), dapat merasakan hidayah Allah Swt, hingga merasa mudah memadukan keduanya dalam penerapan.
5.      Sejarah telah membuktikan. Sebagian mukmin tersesat aqidahnya, ketika mereka hanya disibukkan membahas dan memperdebatkan keduanya. Mereka bertanya; manakah yang paling dominan dalam hidup ini, antara LILLAH atau BILLAH ?. Diantara jawaban yang mereka katakan; “prinsip LILLAH yang paling dominan”. Maka jadilah mereka kaum qadariyah (yang dikecam dalam hadis nabi). Dan lainnya mengatakan, “prinsip BILLAH yang paling domninan”. Maka jadilah mereka kaum jabariyah (hanya pasrah tanpa ikhtiyar).
6.      Sedangkan mereka yang menggabungkan sungguh-sungguh dalam amaliyah, jadilah mereka kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah
@ Gus, setujukah sampeyan dengan uraian pada poin (j) ini ?. Kalau tidak setuju, berarti sampeyan tidak pantas dipanggil GUS ?.
k.      Sekali lagi, kami menulis dan membahas ayat tersebut, dalam ranah “PEMBAHASAN” saja. Dan ketika pengamal Wahidiyah menerapkannya, disertai dengan penerapan LILLAH.
l.        Gus, jika sampeyan mempermasalahkan terfokus pada kalau “dibaca” orang awam, akan menimbulkan “bahaya” (meski dalam persepsi Gus sendiri). Ini jelas rekayasa sampeyan sendiri, yang mungkin tidak sampeyan sadari.
Sebab, banyak ummat awam (bahkan sangat awam) yang belum terkena virus berita yang memfitnah Wahidiyah, atau yang telah mendengar fitnahan, namun mendapat hidayah Allah Swt, mereka semakin mantap dalam penerapan LILLAH – BILLAH, setelah mengamalkan shalawat Wahidiyah.
m.    Dan kesimpulan sampeyan diatas Gus, menunjukkan sampeyan tidak bisa menganalisa sebuah buku, karena sarana ilmu sampeyan sangat minim. Dan akhirnya sampeyan terjebak dengan beberapa masalah yang bersumber minimnya ilmu.
Masalah-masalah tersebut, antara lain :
1.      Gus “terlupa” dari yang namanya membaca (dengan niatan dan cara yang baik) adalah memahami secara sungguh-sungguh dan menanyakan kepada yang ahli tentang hal yang belum dipahami.
2.      Secara umum, jika orang awam sudah mau membaca buku (dengan niatan dan yang baik, tidak seperti niatan Gus), mereka akan naik menjadi tidak awam lagi.
3.      Sebelum Gus membaca buku kami, sudah memiliki “niatan” lain, ya ...... lain hasilnya. Lebih-lebih jika “niatan” itu, adalah keinginan mencari sesuatu dari buku kami yang dapat diprediksi (tafsir sentimen) negatif, dan selanjutnya dijadikan bahan untuk mempermasahkan buku kami. Dan karena niatan sudah tercapai, maka Gus lupa atau sengaja tidak membaca keterangan lain yang ada dalam buku kami.
4.      Sebab niatan tersebut pula, Gus berani mendeklarasikan gerakannya (baik tulisan maupun lainnya) demi orang awam. Artinya, dengan bahasa yang tampak suci (orang awam tidak mengalami ke-bahaya-an).
n.      Padahal, secara umum, makna ayat tersebut (SADAR BILLAH) telah menjadi paham masarakat umum (awam dan non awam).
Sebagai bukti bahwa makna ayat tersebut telah membudaya :
1.      Setiap orang menyadari ketentuan laki-laki atau perempuan terhadap bayi yang akan lahir, adalah Allah Swt.
2.      Setiap orang yang sedang mengalami sakit, meski berusaha untuk sembuh, mereka tetap menyadari, kesembuhan datang dari Allah Swt semata.
3.      Setiap orang miskin, meski dengan semangat kerja keras, tetap menyadari kalau kemiskinannya adalah ketentuan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana.
4.      Setiap orang, meski berusaha mencari pasangan hidup yang sesuai, mereka tetap menyadari kalau jodoh  ditangan Tuhan.
5.      Setiap orang, meski dengan gigih dalam mencapai cita-cita, mereka tetap menyadari bahwa keberhasilan berada ditangan Tuhan.
Gus, bukankah semua paham masarakat diatas semakna dengan ayat tersebut ?.
o.      Jadi, dengan demikian :
1.      Kejanggalan Gus diatas, hanyalah BUATAN GUS sendiri.
2.      Dan untuk mencari dukungan masarakat, Gus mendakwakan “bahaya untuk orang awam”. Maaf, gaya sampeyan ini, ibarat ucapan sebagian orang yang mengaku berjuang “demi rakyat”, namun hakikinya demi keuntungan dan kehormatan “diri sendiri”.
p.        Gus, sampeyan dalam menilai buku kami, tidak memakai cara yang semestinya. Misalnya :
1.      Dalam menyimpulkan keterangan yang terdapat dalam buku kami, dengan cara sepotong-potong atau tidak mengaitkannya dengan keterangan sebelum dan sesudahnya.
Kami bertanya, menurut pengalaman keagamaan Gus, benarkah cara ini, ?. Jika BENAR, atas dasar apa ?. Jika TIDAK benar, mengapa Gus melakukannya ?.
2.      Gus sengaja tidak mau melihat amaliyah kami (Yayasan Perjungan Wahidiyah). Padahal, prilaku atau sikap seseorang sehari-hari, itu lebih menunjukkan kepada ucapan dan prinsip yang dipeganginya.
3.      Menyandarkan bahaya kepada “orang awam”, dengan tanpa menjelaskan kontek keawaman (meski menurut persepsi sampeyan sendiri).
Sebab, makna “AWAM”, sangat komplek karena dapat ditinjau dari beberapa sisi. Misalnya dari penguasaan ilmu agama, atau amaliyah keagamaan, atau ilmu lainnya.[7]  Jika yang dimaksud Gus, AWAM dalam ilmu agama saja, maka sampeyan telah melakukan kesalahan dalam penyandaran “BAHAYA”. Secara umum, setiap orang memiliki dua sifat; awam dan non awam. Awam dalam bidang tertentu dan non awam dalam bidang yang lain.
Banyak orang awam dalam “penguasaan ilmu agama”, namun bukan awam dalam ilmu kemasarakatan, akhlak, dan ilmu lainnya. Mereka, ketika menganalisa dan menyimpulkan sesuatu, lebih cermat daripada yang dilakukan oleh Gus terhadap “penelitian buku” serta dapat “menyikapi perbedaan”. Dengan demikian, siapapun (termasuk Gus), dapat dimasukkan kedalam kelompok “ORANG AWAM” dalam hal tertentu.
Jika Gus, memaksudkan AWAM dalam semua ilmu (agama dan lainnya), diantara mereka terdapat yang dalam urusan keluarganya sendiri, bila dibandingkan dengan orang luar, TIDAK AWAM.
Diantara hal yang perlu Gus ketahui, terhadap kelompok terakhir ini  :
3.1.           didalam kelompok ini terdapat dua bagian : pertama, mereka yang menyadari keawamannya. Dan biasanya kelompok ini, dalam memahami sesuatu, bertanya kepada orang yang ahli. Kedua,  mereka yang tidak menyadari keawamannya. namun, merasa sudah benar dan cukup dengan apa yang telah diketahuinya. Kelompok ini digambarkan dalam pepatah “katak dalam tempurung
3.2.           Dan kelompok yang paling terakhir ini juga, dapat dibagi kedalam dua bagian :
31.1.  Mereka dapat menghargai pendapat dan prinsip orang lain, dan menyadari pentingnya persatuan.
31.2. Mereka memutlakkan kebenaran hanya terdapat pada dirinya, sedangkan yang ada pada orang lain, dianggapnya kurang tepat bahkan disalahkan. Dan biasanya, kelompok ini (dalam hal keagamaan), ketika melihat amalan atau prinsip orang lain yang tidak cocok dengan fikirannya, cepat-cepat menilainya sebagai amalan yang keluar  dari sunnah rasul (bid’ah). Padahal, baru tidak cocok dengan pemikirannya saja. Dan sering, dalam menghadapi orang yang tidak sejalan dengan dirinya, mereka pandai mengajak masarakat untuk mengikuti gerakannya, mereka pandai mengelabuhi masarakat dengan memakai kalimat suci, misalnya “Demi Kemurnian Islam, Demi Menjaga Tauhid Ummat, Demi Wong Cilik, dan lain sebagainya”. Wallahu A’lam
Jika kelompok paling terakhir sekali ini, yang dijadikan rujukan oleh Gus, maka kami tidak perlu banyak berkomentar lagi tentang siapa sebenarnya sampeyan, Gus. Serta tidak perlu kami menanggapi kejanggalan tersebut.
Sedangkan kejanggalan sampeyan kami tanggapi, karena kami ber-khusnudhdhon bahwa Gus adalah minannahdliyyin.
q.   Dan kami juga bertanya :
Mengapa hanya “KAMI”, dan bukan “KITA SEMUA” yang dinilai membahayakan orang awam (meminjam istilah awam yang dipakai Gus) ?.
Ataukah cara Gus seperti itu –, merupakan ekspresi dari beberapa strategi bertahap untuk menghalau kaum sufi sunni, serta penganut aqidah ahlussunnah waljamaah (al-Asyaa’irah) dari bumi Indonesia ?.
r.       “KITA SEMUA” sering mengajarkan kalimat yang semakna dengan Qs. as-Shoffat : 96, kepada siapa saja yang mau menerimanya, bahkan kepada manusia dibawah awam (meminjam istilah awam yang dipakai Gus Thoifur).  Misalnya, antara lain :
1.      jika seseorang sedang memberikan janji kepada orang lain, sepatutnya disertai dengan ucapan “INSYAALLAH / jika Alloh menghendaki”.[8] Kata-kata ini, diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, oleh guru agama kepada anak didik seusia TK, SD, SMP atau sedarajat. Sehingga kata-kata tersebut, telah membudaya dimasyarakat.
2.      Redaksi (لاحول ولا قوة الاّ بالله العلي العظيم / tiada daya dan uapaya kecauali atas daya dan upaya Allah) juga telah memasarakat. Bahkan, terdapat mereka yang mengajarkannya, atau orang awam yang menjadikan wirid dengan bilangan tertentu.
@ Kami bertanya : Gus, “tidakkah makna kedua kalimat suci ini sepadan dengan makna Qs. as-Shaffat : 96 diatas” ?.
Kalau Gus mengatakan TIDAK, atas dasar apa serta rujukan dari mana ?. Kalau mengatakan : YA, mengapa Gus membiarkan kalimah suci tersebut dibudayakan dan dimasarakatkan, serta tidak menganggap bahaya bagi awam ?.
s.       Orang awam mengamalkan thariqah saja dibolehkan, apalagi mengahayati makna Qs. as-Shaffat : 96 diatas yang merupakan realisasi rukun iman.
Berkaitan dibolehkannya orang awam mengamalkan tahriqah, dapat dilihat dalam buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU, terbitan Khalista Surabaya tahun April 2011 M, pada permasalahan ke 115 tentang “Tidak Mengetahui Syarat Rukunnya Wudlu Memasuki Thariqah”  :
S.       Bolehkah orang awam yang tidak mengetahi syarat rukun wudlu, shalat dan sebagainya, memasuki thariqah mu’tabarah ?. Karena biasanya mereka tidak mau mempelajari pengetahuan agama sesudah masuk thariqah.
J. Boleh, apabila mempunyai keyakinan atau pikiran bahwa sesudah masuk rhariqah akan dapat memepelajari pengetahuan agama, akan tetapi bila tidak seperti tersebut dalam soal, maka hukumnya tidak boleh, bahkan lebih dahulu wajib mempelajari dasar-dasar pokok agama (ushuluddin). Dan kemudian baru baru perinciannta (hokum ibadahnya)”. orang yang sangat awam memasuki amalan thariqah, selama setelahnya mempejari ilmu syariat yang diwajibkan secara  garis pokoknya.
t.     Sebagai bahan pertimbangan, perlu Gus diketahui; bahwa disamping kami melaksanakan penyiaran shalawat Wahidiyah, kami juga melaksanakan pembinaan secara intensif, agar para pengamal Wahidiyah dapat melaksanakan secara tepat terhadap prinsip LILLAH (syariat) dan BILLAH (hakikat). Diantara pembinaan yang kami lakukan :
1.      Kami dirikan Yayasan Perjuangan Wahidiyah dari pusat sampai daerah.
2.      Memberikan motivasi kepada pengamal Wahidiyah agar – disamping melakukan ibadah wajib dan kegiatan kemasarakatan -, tekun melaksanakan mujahadah Wahidiyah (yaumiyah, usbuiyah, syahriyah, rub’us sanah, nisfus sanah, , kubro dan lainnya) untuk memohon hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw, dan nadzrah Ghauts Hadzaz Zaman, yang manfaatnya diniati untuki diri sendiri, keluarga dan umat masarakat.
2.                 Penjelasan terhadap penyataan : karena tidak di jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat atau hakikot”.
Kami menjawab :
a.        Siapapun yang membaca buku dengan seksama, tidak akan mengeluarkan pernyataan seperti pernyataan sampeyan Gus. Dan pernyataan sampeyan diatas, adalah “tafsir sentimen”.  
b.       Banyak keterangan dalam kitab Kifayatul Awam, ketika membahas hakikat namun tanpa ada keterangan “hal ini dalam pandangan hakikat”.
c.        Dalam buku kami, memang kadang tidak menyebutkan kalau bahasan tersebut sebagai bahasan syariat atau hakikat. Hal ini dikandung maksud , menurut kami  :
1.      pemilihan istilah syariat dan hakikat hanya digunakan untuk memudahkan “pembahasan” saja, dan bukan pemilahan dalam “penerapan”. Sedangkan dalam penerapan keduanya, ya tidak ada syariat dan tidak ada hakikat. Yang ada, hanyalah sunnah Rasulullah Saw yang diamalkan oleh anggota batin/ hati (disebut sebagai hakikat), dan oleh anggota lahir (disebut sebagai syariat).
2.      sebab dari pemilahan tersebut, dengan tanpa disadari, sering menimbulkan pemilahan dalam praktek. Artinya mana yang harus didahulukan, syariat atau hakikat.
3.      dan akibat pemilahan tersebut, juga menimbulkan dua kubu. Kubu syariat dan kubu hakikat, yang kadang masing-masing mendakwakan diri paling istimewa. Padahal, semestinya tidak terdapat dua kubu. Yang  ada, dan  yang istimewa, adalah menerapkan keduanya.
d.       Kami bertanya : mengapa Gus sengaja hanya mengambil pernyataan pada alenia tersebut, tanpa mengkombinasikan dengan keterangan sebelum dan sesudahnya. Dan cara inilah yang menjadikan Gus, kacau dalam pemikiran dan kesimpulan. Namun, wajar. Sebab dimanapun yang namanya tafsir sentiment, ya ......, begitulah.
e.        Gus sengaja memotong penjelasan sebelumnya (lihat kembali halaman 3 – 5), tentang penjelasan dan penerapan prinsip LILLAH. Yang mana sebagai gambaran syariat. Sedangkan ayat diatas sebagai gambaran dari hakikat.
Dalam hal ini kami bertanya lagi; maaf “apakah Gus agak condong kepada paham  qadariyah ?”.
f.         Pernyataan Gus; “tidak di jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat atau hakikot”, yang Gus jadikan sebagai alasan untuk menguatkan kejanggalan terhadap buku kami, dengan jelas Gus hanya mencari-cari alat atau alasan dengan sedapat-dapatnya ..., yang penting dapat dipakai untuk mengkonter kami. 
Lain itu pula, pernyataan Gus diatas, menunjukkan “cara berpikir” Gus yang kurang jelas. Sebab, uraian dalam buku kami sudah sangat jelas, mana uraian yang membahas “syariat” dan mana uraian yang membahas “hakikat”.
Dalam hal ini, kami bertanya kepada diri sendiri, mungkinkah Gus Thoifur adalah orang yang tidak bisa membedakan antara syariat dan hakikat ?. Setelah sejenak kami berpikir, hati kecil kami menjawab : Tidak mungkin orang sekelas Gus Thoifur, tidak dapat membedakan antara syariat dan hakikat. Pikiran kami tergelitik kembali dan bertanya lagi; jika dia mengetahuinya, mengapa bergaya seperti orang yang bodoh, atau memang bodoh beneran ?. Sampai pertanyaan ini, hati kami belum dapat memberikan jawaban.
g.        .Buku kami kepada pengamal Wahidiyah, mengajarkan agar memperhatikan amalan lahiriyah (syariat). Dapat dilihat pada halaman 4, tertulis, Qs. al-Qashash 50
 وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي القَوْمَ الظَالِمِيْنَ
 Dan siapakah orang yang lebih sesat, diantara orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, dengan tidak mendapat petunjuk Allah sedikitpun ?. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dlalim.
Dan, ada halaman 4 -5, tertulis :
Orang yang tidak LILLAH namanya LIGHAIRILLAH berbuat berbuat tidak karena Allah, melainkan karena selain Allah. Istilah Wahidiyah disebut LINAFSIH, berbuat atau beramal hanya karena menuruti keinginan dan kemauan hawa nafsunya. Kelihatan tha’at pada lahirnya saja. Sedangkan batinnya adalah menuruti nafsu, berarti ia diperalat oleh nafsunya sendiri !. Orang yang begini inilah inilah yang termasuk golongan orang/ kaum yang dlalim yang tidak akan mendapat petunjuk dari Allah
Pada Halaman 5, tertulis : أَبْغَضُ إِلَهٍ عُبِدَ عِنْدَ اللهِ فِي الأَرْضِ هُوَ الهَوَىBerhala sesembahan dibumi yang paling dimurkai dan dikecam oleh Allah adalah hawa nafsu (HR. Thabrani dari Abi Umamah).
“Kesimpulannya, orang yang beramal ibadah hanya menuruti kamauan nafsunya sendiri, dia adalah hamba dari nafsunya, dia mempertuhankan nafsunya tidak merasa. Oleh karena nafsu itu justru yang paling dimurkai oleh Allah, maka dengan sendirinya orang yang mengikuti nafsu itulah yang paling dimurkai oleh Allah “.
Pada halaman 10  :  
 “LILLAH – BILLAH harus diterapkan serempak bersama-sama !. Hanya LILLAH saja tanpa BILLAH, berbahaya !. Bahayanya yaitu antara lain ‘ujub, riya, takabbur dan sebagainya. Begitu juga hanya BILLAH saja tanpa LILLAH menjadi batal, karena tanpa menjalankan perintah dan menjauhi larangan ALLOH”.
h.       Gus juga sengaja tidak mau memahami keterangan tentang faedah peningkatan akhlak batin kepada Alloh dari prinsip BILLAH (pada halaman 9) :
 Orang yang tidak merasa BILLAH otomatis BINAFSIH, dan kalau BINAFSIH otomatis mempunyai rasa ujub, riya, takabbur dan sebagainya yang kesesmuanya ini merusak amal tersebut tidak diterima oleh Alloh. Masih untung jika tidak diterima begitu saja, akan tetapi disamping tidak diterima amal yang dikotori dengan sifat ujub, riya, takabbur dan sebagainya itu kelak diakhirat dirupakan siksa untuk menyiksa orang yang beramal !.
i.          Gus sengaja menutup mata dan pikiran, dan sengaja menyimpangkan prinsip kami, dengan tujuan untuk membenarkan kejanggalannya sendiri.
Penjelasan yang sengaja tidak diperhatikannya, adalah penjelasan pada buku kami (BUKU KULIAH WAHIDIYAH, halaman 107).
Hal tersebut tidak boleh diartikan bahwa kita diperbolehkan melakukan perbuatan maksiat asal sudah bisa BILLAH. Tidak, tidak berarti begitu. Perkara boleh atau tidak, itu bidang syariat bidang LILLAH. Sedang BILLAH adalah bidang iman, bidang TAUHID. Kita harus mengisi segala bidang !. Kita isi sepenuh mungkin. Didalam bidang syariat, maksiat tetap maksiat, dilarang menjalankannya. Dicegah dan harus dihindari sekuat mungkin. Apa bila terpaksa menjalankan maksiat, harus diakui itu terlarang tidak boleh dikerjakan. Maka harus cepat-cepat menghindar dan bertaubat. Di dalam kita menghindarkan diri dari maksiat dan bertaubat itulah yang harus disertai niat LILLAH disamping sadar BILLAH senantiasa. Begitu seharusnya.
3.     Penjelasan kami terhadap pernyataan : “dan pernyataan itu tidak punya adab terhadap ALLOH”.
Kami menjelaskan :
a.        Gus, pernyataan diatas, mengindikasikan ada udang (tujuan) dibalik batu pernyataan (kejanggalan).
b.       Kalimat Gus diatas, aslinya suci. Namun, diarahkan kepada kami (yang memiliki dasar yang mu’tabar dalam aqidah ahlusssunnah wal jamaah), maka kami bertanya : sejauh itukah, sampeyan terpeleset, Gus ?.
c.        Seseorang dapat dikatakan “tidak punya adab kepada Allah”, antara lain :
1.      memutar balikkan antara yang hak dan yang benar.
2.      beramaliyah syariat saja, atau hakikat saja.
3.      Ketika sedang membahas agama, mendahulukan kesimpulan nafsu.
4.      menghalang-halangi berjalannya kebenaran serta menggantinya dengan kedurhakaan.
5.      ketika berdialog tentang permasalahan Islam, tidak mencari kebenaran, melainkan mencari kemenangan.
6.      berkeyakinan bahwa Allah Swt bukan pencipta segala sesuatu.
7.      Lebih cinta, malu dan takut kepada makhluk dari pada kepada Allah.
d.       Sekedar untuk menambah wawasan kepada Gus, dan demi mhilangnya tafsir sentimen, kami menambahkan beberapa keterangan. Antara lain :
1.        Siapapun akan mengalami kegagalan dalam memahami Islam secara utuh (syariat dan hakikat), selama tidak memiliki guru yang mumpuni.
2.        Ternyata Gus kurang memahami (atau pura-pura tidak memahami) terhadap istilah-istilah kaum sufi sunny yang berkaitan dengan LILLAH – BILLAH.
Syeh Ahmad Zaini Dahlan Ra dalam kitabnya Taqriib al-Ushul li Tashiil al-Wushul li Makrifatillah wa ar-Rasuul halaman 46, menjelaskan :
وَالشَرِيْعَةُ وُجُوْدُ الأَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُ الأَفْعَالِ بِاللهِ
        Syariat adalah wujudnya perbuatan karena Allah, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap perbuatan (muncul) sebab Allah.
3.        Untuk memahami arah perjuangan kami (Perjuangan Wahidiyah) secara benar, tidak cukup hanya dengan menganalisa buku yang kami terbitkan saja. Dan untuk memahaminya secara tepat, paling tidak dengan :
3.1.  Mengamalkan shalawat Wahidiyah.
3.2.  Bertanya kepada ulama yang ahli tasawuf.
e.        Guru Pembimbing Ruhani pengamal Wahidiyah, Beliau Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, dalam salah satu fatwa amanatnya, menjelaskan :
1.        Supaya tuntas dalam membahas suatu ilmu (baik syariat maupun hakikat), dilaksanakan dengan pembahasan yang terfokus dan sampai akar permasalahan yang terkecil.
2.        Sedangkan dalam pelaksanaannya, syariat dan hakikat harus dijalankan bersama-sama. Antara keduanya, tidak boleh dipilih salah satu.
3.        Penggabungan syariat dan hakikat, harus wujud dalam prilaku, bukan pengetahuan untuk sekedar pengetahuan. Maka kepada para da’i dan muballigh Wahidiyah dimanapun berada, dalam membina pengamal Wahidiyah, lebih mengutamakan dalam pemberian contoh dalam kehidupan sehari-hari.
4.        Metode untuk memahami wahidiyah, adalah metode hidayah. Maka pengamal dimotifasi agar tekun melaksanakan semua jenis mujahadah yang telah diberikan oleh Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, bahkan kalau diberi kemampuan oleh Alloh Azza wa Jalla, sangat baik disertai riyadloh.
f.         Semua buku yang kami terbitkan (demikian pula seluruh cara dan system dakwah yang kami laksanakan), bertujuan mengajak semua pengamal Wahidiyah, agar dapat menyadari pentingnya penggabungan serta pengamalan prinsip syari’at (fiqih) dan hakikat (tasawuf).
Dengan kata lain, bersikap tawassut antara syariah dan hakikah, sebagaimana cerminan dari ajaran ahlus sunnah wal jamaah.
Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Raudlah at-Thalibin, pada bab 5 Bayaan Ma’na at-Tauhid wa al-Ma’rifah, menerangkan : [9]
إِعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ الأهْوَاءِ المُخْتَلِفَةَ سِتُّ فَرْقٍ. وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا ضِدَّانِ وَهِيَ : التَشْبِيْهُ وَالتَعْطِيْلُ ضِدَّانِ, وَالجَبْرُ وَالقَدَرُ ضِدَّانِ, والرَفْضُ وَالنَصْبُ ضِدَّانِ.  وَكُلٌّ مِنْ هَؤُلاَءِ مُنْحَرِفُوْنَ عَنِ الصِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَالفِرْقَةُ النَاجِيَةُ الوَسَطُ وَهُمْ أَهْلُ السُنَّةِ وَالجَمَاعَةِ.  فَمَنْ نَفِيَ المَشِيْئَةَ وَالكَسْبَ عَنْ نَفْسِهِ فَهُوَ جَبَرِيٌّ, وَمَنْ نَسَبَهُمَا إلَى نَفْسِهِ فَهُوَ قَدَرِيٌ, وَمَنْ نَسَبَ المَشِيْئَةَ إِلَى اللهِ وَالكَسْبَ إِلَى العَبْدِ فَهُوَ سُنِّيٌّ.
           Ketahuilah. Sesungguhnya ahli pengikut hawa nafsu yang berbeda-beda ada 6 kelompok. Dan setiap 2 kelompok dari enam tersebut saling bertentangan: tasybih dan ta’thil bertentangan, jabariyah dan qadariyah saling bertentangan, dan rafidloh saling bertentangan.Dan setiap kelompok dari mereka tersimpang dari jalan yang lurus.
Sedangkan kelompok yang selamat, mengambil jalan tengah (tawassuth), yakni kelompok ahlus sunnah wal  jamaah. Barangsiapa yang meniadakan kehendak dan perbuatan dari dirinya, maka dialah penganut  jabariyah. Dan barang siapa yang menetapkan keduanya (kehendak dan perbuatan) kepada dirinya, maka dialah penganut qadariyah. Dan barang siapa menetapkan kehendak pada Allah dan perbuatan kepada dirinya, maka dialah penganut sunniy (ahlus sunnah wal jamaah.                               
 
Kesimpulan  :
a.           Kejanggalan Gus, terlahir dari pemikirannya sendiri, bukan sebab dari buku kami.
b.          Setiap mukallaf wajib memahami dan menerapkan makna rukun iman keenam.
c.           Guru Pembimbing kami, (Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo), membimbingkan:
1.           LILLAH – BILLAH itu untuk dipraktekkan. Bukan untuk dijadikan bahasan saja, apalagi diperdebatkan secara ilmiyah.
2.           Mampu mempraktekkan keduanya adalah hidayah Allah Swt. Tidak ada jalan untuk meraih hidayah, kecuali berdoa secara sungguh-sungguh serta dibimbing oleh Guru yang mumpuni.
3.           Kebanyakan dari mereka yang hanya memperdebatkan keduanya – disamping membuang-buang waktu -, sering terjerumus kedalam jebakan nafsu/ setan.
--------------------------
2.           Tanggapan terhadap kejanggalan kedua.
Pada poin ini Gus Thoifur  menyatakan :
Di dalam buku KULIAH WAHIDIYAH tepatnya pada halaman 127-128 terdapat ajaran ISTIGHROQ AHADIYAH / LAA MAUJUDA ILLALLOH (tiada yang wujud selain ALLOH) padahal mengucapkan LAA MAUJUUDA ILLOH saja harom syar'an karna mengandung iham (salah faham bagi orang awam) apalagi mempraktekkan seperti ajaran wahidiyah.
  dan dalil yang di gunakan
"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) ALLOH tuhan apapun yang lain. tidak ada tuhan( yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali ALLOH. Bagi-Nyalah segala penentuan,dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.(alqosos­ 88).
Kami menjelaskan :
a.      Dalam hal pelaksanaan ISTIGHRAQ, kami TIDAK SEPERTI anggapan yang sampeyan tuduhkan kepada kami. Sedangkan kejanggalan oleh Gus tentang kami, hanyalah sebagai pengalaman sampeyan sendiri dalam memahami makrifat yang berasal dari kelompok non kaum sufi sunniy.
b.      Jika Gus dalam menilai janggal kepada kami, tidak ada muatan lain, tentu akan membaca buku kami secara tuntas. Dan yang kemudian, akan dapat memahami prilaku istighroq kami yang berdasar aqidah ahlussunnah waljamaah.
c.      Jika Gus hanya memahami makna redaksi tersebut sesuai pemahaman sendiri. Maar, kebanyakan orang bodoh yang tinggi ego itu, memiliki sikap seperti sampeyan.  
@ Kami bertanya : mengapa hanya buku kami yang dinilai harom menulis kalimat LAA MAUJUUDA ILLALLOH ?.
Padahal ada pihak lain, yang menulis, mengajarkan dan mewiridkan kalimat tersebut, tidak diharomkan. ANEH SAMPEYAN NIKI GUS.
Ataukah, pihak lain terlewatkan dari pengamatan Gus, hingga tidak mengharamkannya ?.  Misalnya, antara lain :
1.      Shalawat Kubro-nya Syeh Abdul Qadir Jailani Ra yang banyak diamalkan oleh masarakat awam dan non awam. Didalamnya terdapat redaksi yang artinya sepadan dengan LAA MAUJUDA ILLALLAH :
أَنْ تُحَقِّقَنَا بِهِ ذَاتًا وَصِفَاتًا وَأَسْمَاءً وَأَفْعَالاً وَأَثَارًا حَتَّى لاَ نَرَى وَلاَ نَسْمَعَ وَلاَ نُحِسَّ وَلاَ نَجِدَ إِلاَّ إِيَّاكَ
Sekiranya PADUKA (Ya Allah) berkenan men-tahqiq-kan (dapat menyatakan senyata-nyatanya) kami sebab beliau (Rasulullah Saw), baik secara dzat, sifat, asma, perbuatan maupun atsar/ bekas; sehingga kami tidak melihat, tidak mendengar, tidak merasa dan tidak menemukan, KECUALI HANYA PADUKA.
2.      Shalawat Masyisyiyah, juga terdapat redaksi yang sama dengan makna Laa Maujuda Illallah.
وَزُجَّ بِي فِي بِحَار الأَحَدِيَةِ وَانْشُلْنِي مِنْ أَوحَالِ التَّوْحِيْدِ وَأَغْرِقْنِي فِي عَيْنِ بَحْرِ الوَحْدَةِ حَتَّى لاَ أَرَى وَلاَ أَسْمَعَ وَلآَ أَجدَ وَلاَ أُحِسَّ إِلاَّ بِهَا.
Dan doronglah dengan kami kedalam lautan AHADIYAH, dan turun (keluar)-kanlah kami dari lumpur (kesesatan) tauhid. Dan tenggelamkanlah kami kedalam kenyataan lautan ke-Esa-an MU. Hingga aku tidak melihat, tidak mendengar, tidak menemukan dan tidak merasa kecuali didalam samudra ke-Esa-an-Mu.
3.      Dalam wirid Dzikrul Ghafilin-nya Gus Mik, Mbah Hamid Pasuruan dan Mbah K. Ahmad Siddiq Jember. Didalamnya terdapat redaksi :
لاَمَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَطْلُوْبَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ
Tidak ada yang disembah kecuali Alloh, Tidak ada yang dituju kecuali Alloh, Tidak ada yang dicari kecuali Alloh, Tidak ada yang maujud kecuali Alloh.
d.      Para Ulama telah memutuskan, kata “maujud” boleh disandarkan kepada Allah. Dengan kata lain, dibolehkan penambahan kalimat pada maujud, dengan tujuan pengautan makna, misalnya LAA MAUJUUDA ILLALLOH. [10]
e.4. Dalam kitab Sirajut Tholibin juz I halaman 52, tertulis :
وَالحَاصِلُ أَنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ وَجْهَيْنِ : وَجْهٌ إِلَى نَفْسِهِ وَوَجْهٌ إِلَى رَبِّهِ,  فَهُوَ بِاعْتِبَارِ وَجْهِ نَفْسِهِ عَدَمٌ,  وَبِاعِتِبَارِ وَجْهِ اللهِ مَوْجُوْدٌ,  فَإِذَنْ لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ
      Walhasil, sesungguhnya bagi semua sesuatu memiliki dua sisi (keadaan): sisi kepada dzat sesuatu, dan sisi kepada Tuhannya. Dilihat dari sisi sesuatu tersebut, adalah ketiadaan (keberadaannya semu), sedangkan dilihat dari sisi Allah, ia wujud (karena diwujudkan-Nya). Dengan demikian, tidak yang wujud secara hakiki, kecuali Allah.[11]
e.5. Dalam kitab Jamiul Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi Ra pada bab “adz-dzikr”, diterangkan tentang makna LA ILAHA ILLALLAH :
(لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ) أَي لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ اللهُ, أَوْ لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ
Kami tulis beberapa contoh diatas, berkaitan dengan pengucapan LA MAUJUDA ILLALLAH, yang menurut Gus, harom syar’an, adalah hukum buatan Gus sendiri, yang didasarkan hanya dari nash atau DALIL PERSEPSI.
Sedangkan siapapun orangnya, dalam memahami redaksi tersebut, selama belum memahami arah dan maksudnya, harus atau (akan) bertanya kepada Guru yang mumpuni. Dan bukan ditanyakan kepada orang yang tidak ahli, apalagi ditanyakan kepada orang yang didalam hatinya terdapat perasaan jahil kepada pengamal wirid MAUJUDA ILLALLAH !.
Berkaitan dengan ini, perlu sejenak Gus membuka kembali buku Ahkamul Fuqaha, keluaran LTN PBNU, terbitan Khalista Surabaya, tahun April 2011, pada bahasan ke: 116 (tentang “menekuni membaca al-Qur’an dan lain-lain termasuk thariqah mu’tabarah”) dan ke: 117 (tentang derajat antara thariqah), yang disitu diterangkan :
·           S. Apakah menetapi membaca al-Qur’an, membaca Dalailul Khairat dan mempelajari kitab Fathul Qariib atau kitab Kifayatul Awam itu termasuk thariqah Mu’tabarah ?.
J. Ya. Demikian itu termasuk thariqah mu’tabarah.
Keterangan, dari kitab:
Salalim Fudhala’ Syarh Hidayatul Adzkiya’ {Muhammad Nawawi al-Jawi, Salalim Fudhala’ Syarh Hidayatul Adzkiya’ pada Kifayah al-Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’ (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), 13.} ..................... .
·           S. Apakah thariqah Tijaniyah itu termasuk thariqah yang benar dan mu’tabarah ? Manakah yang lebih utama ? Tharriqah Naqsyabandiyah, Syattariyah, Qadiriyah atau lainnya ?. Aapakah perbedaannya thariqah dan syariah ?.
J. Thariqah Tijaniyah itu mempunyai urutan langsung (sanad muttashil)  sampai kepada Rasulullah Saw dan merupakan thariqah yang sah dalam agama Islam dan semua thariqah mu’tabarah  itu tidak ada perbedaannya satu sama lain. Semua wiridan dari tahriqah Tijaniyah itu sah (benar) seperti dzikirnya, shalawatnya dan istighfarnya, begitu juga pernyataannya dan syarat-syaratnya yang sesuai dengan agama (syara’). Adapun yang tidak sesuai apabila dapat dirakwilkan, maka harus ditakwilan pada arti yang sesuai dengan agama dan terserah kepada yang ahli. Bila tidak bisa dan ternyata bertentangan dengan agama dan tidak dapat dirakwilkan, maka hal itu salah, dan tidak boleh diajarkan kepada golongan awam supaya tidak tersesat dan menyesatkan. 
Keterangan, dari kitab:
1.               al-Fatawa al-Haditsiyah {Ibnu Hajar al-Haitami, (Mesir. Mushthafa al-Halabi, 1390 H/ 1971 M), h. 331.}.  ................................ .
2.               Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah { Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah, (Surabaya : al-Hidayah, t.th), h.4.}. ....
Syaikh al-Shawi berkata : syariat adalah hukum-hukum yang Rasulullah Saw bebankan kepada kita dari Allah Azza wa Jalla berupa hal-hal yang wajib, sunnah, haram dan mubah. Sedangkan thariqah adalah adalah pengamalan kewajiban-kewajiban dan kesunahan-kesunahan, meninggalkan larangan-larangan, dan menghindari dari hal mubah yang tidak dibutuhkan, bersikap sangat hati-hati seperti dengan wira’i dan riyadhah  antara lain ibadah tengah malam, berlapar-lapar dan membisu.
e.      Gus sengaja melakukan penyimpangan kesimpulan dari arah dan tujuan kami yang semestinya. Misalnya :
1.      Tidak mau memahami tujuan mujahadah yang dilakukan secara rutin oleh pengamal Wahidiyah.
2.      Tidak mau melihat system yang ada dalam jamaah Wahidiyah yang senantiasa dibimbing.
3.      Tidak mau melihat praktek pengamal Wahidiyah yang berada di PP Kedunglo al-Munadzdzarah, atau di pondok-pondok pesantren diluar Kedunglo yang telah mengamalkan Wahidiyah.
4.      Terlalu men-genaralisasikan sebagian pengamal Wahidiyah (yang sangat-sangat kecil jumlahnya), yang menyimpangkan makna dari aslinya, kepada sebagian besar pengamal Wahidiyah yang mengikuti tuntunan.
f.       Memang orang seperti Gus, terjadi sajak zaman Rasulullah Saw. Misalnya, sejarah seseorang yang bernama (kitab syarahnya Imam an-Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim). Setelah menjadi pengikut Rasulullah Saw, tiba-tiba Dzul Khuwaitsirah menjadi munafiq dan berprilaku ekstrim, dan juga yang dari keturunannya terlahir kelompok khawarij (pembunuh Sayidina Ali Karamallahu wajhah). Dan pula, para penerus Dzul Khuwaishirah suka mengkafirkan sesama muslim.
Demikian pula sejarah telah mencatat, kurun waktu setelah zaman Rasulullah Saw dan para sahabat Ra, juga terdapat sebagian muslim yang menyimpangkan ajaran Islam, dan dibawa kepada non  ahlussunnah wal jamaah.
g.      Gus sebagaimana kejanggalan sebelumnya, juga tetap sengaja menutup mata dari keterengan yang ada dalam buku kami pada halaman 127 dan 129.
Dengan jelas hal ini menunjukkan, Gus memiliki niatan diluar agama. Oleh karenanya mari kita lihat redakasi dalam halamen tersebut :
                        Artinya, karena kuatnya konsentresi pada SATU yakni ALLAH, maka yang lain atau makhluk, tidak kelihatan. Tidak kelihatan pandangan mata hati. Bukan pandangan mata lahir. Yang kelihatan hanya ALLAH. Dirinya sendiripun tidak kelihatan. Sehingga mudahnya dikatakan, selain Allah tidak wujud, yang wujud hanya ALLAH” (hlm 127).
Dan (pada halaman 129) :
Ada lagi yang memakai istilah manunggaling kawulo lan Gusti = menyatunya hamba dengan Tuhan. Dalam ilmiyah tasawuf ada yang memakai istilah “ittihad”, Ittihad bihulul (kemanuggalan dalam bentuk penjelmaan Tuhan ke dalam diri manusia) dan Ittihad bi wahdatil wujud (kemanunggalan manusia dalam diri Tuhan).[12] Akan tetapi, kami berpendapat istilah-istilah tersebut sangat tidak tepat, terlalu jauh dari kenyataan yang haqiqi. Sebab didalam istilah “manunggal” atau istilah “ittihad” masih ada dua unsur : yaitu kawulo dan Gusti atau manusia/ hamba dan Tuhan. Padahal hakikatnya hanya SATU !. ALLAH TUHAN !. Titik”.
                        Makna redaksi diatas (baik halaman 127 maupun 129), adalah dalam ranah saat DZIKRULLAH, bukan ranah saat berintegrasi dengan makhluk (hablun minannas/ hubungan social masarakat), yang berada  diluar saat dzikrullah.
Kami uraikan makna  redaksi diatas :
1.      karena kuatnya konsentresi pada SATU yakni ALLAH”.
Dalam ilmu tauhid, ketika memusatkan perhatian baik dzikir kepada ALLAH atau membahas kekuasaan-Nya, tidak boleh ada yang lain, dan kalau masih ada yang lain, namanya belum dzikrullah secara murni.
2.      maka yang lain atau makhluk, tidak kelihatan. Tidak kelihatan pandangan mata hati. Bukan pandangan mata lahir. Yang kelihatan hanya ALLAH. Dirinya sendiripun tidak kelihatan”,
Tidak kelihatan oleh mata hati atau mata akal. Karena yang memiliki wajibul wujud hanya ALLAH, sedangkan makhluk termasuk diri sendiri adalah mumkinul wujud.
3.      Akan tetapi, kami berpendapat istilah-istilah tersebut sangat tidak tepat, terlalu jauh dari kenyataan yang haqiqi”.
Belum meng-Esa-kan ALLAH secara hakiki, sebab masih terjebak syirik dalam dzikrullah.
4.       “Sebab didalam istilah “manunggal” atau istilah “ittihad” masih ada dua unsur : yaitu kawulo dan Gusti atau manusia/ hamba dan Tuhan”.
Sebab keberadaan Allah, tanpa ittihad dan hulul.
5.      Padahal hakikatnya hanya SATU !. ALLAH TUHAN !. Titik !”.
Redaksi ini dipraktekkan ketika sedang melaksanakan “DZIKRULLAH”, dan bukan diluarnya.
Gus, coba bandingkan dengan buku Demensi Dooktrinal DIFA ‘07, sama atau tidak ungkapannya.
 “dimana doktrin ittihad dan hulul dalam dunia tasawuf sejatinya tidak pernah ada selain muncul dari ungkapan-ungkapan yang lebih bersifat “pengakuan” atau bahkan “tuduhan”. Sebab puncak dari ajaran tasawuf adalah peng-Esa-an Allah (tauhid) dengan menafikan semesta wujud selain Dia (Huwa) yang melampui doktrin hulul dan ittihad yang  masih melihat dialitas wujud yang lantas salah satunya masuk (hulul) atau menyatu (ittihad) pada yang lain”.
@ Kami bertanya : Sama atau tidak ?. Kalau jawabannya TIDAK, kami bertanya : ampaeyan mengerti tidak dengan bahasa Indonesia ?. Kalau jawaban : YA,SAMA. Kami bertanya : mengapa hanya kami yang sampeyan janggalkan, sedangkan kepada buku Demensi Dooktrinal, tidak menjanggalkan ?.
h.      Berkaitan dzikrullah diatas, Guru kami, Beliau al-Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo kepada para pengamal Wahidiyah, sering menjelaskan :
1.      Manusia adalah makhluk yang lemah, demikian pula perbuatan anggota jasmaninya termasuk lisan, fikiran dan hati.
2.      Berkaitan dengan perbuatan lisan atau hati, setiap lisan, ketika sedang mengucapkan hurup A, maka tidak mungkin ada hurup yang wujud pada lisan, selain hurup A.
3.      Dan, ketika lisan sedang mengucapkan suatu kalimat, misalnya RUMAH, pasti tidak mungkin ada kalimah lain yang wujud dalam lisan, selain kalimat RUMAH. 
4.      Demikian pula hati dan pikiran manusia. Ketika sedang mengingat dan memikirkan sesuatu dengan sungguh-sungguh, sudah tentu tidak mungkin ada sesuatu yang wujud didalam hati, selain sesuatu tersebut.
5.      Dan, ketika seseorang sedang asyik membicarakan sesuatu, maka waktu  itu, ia lupa kepada dunia lainnya, dan bahkan terkadang kepada dirinya.
6.      Demikian pula, ketika hati dan pikiran sedang mengingat/ memikirkan ALLAH (lebih-lebih disertai dengan sebagian saja dari kebesaran dan keagungan-NYA), tidak mungkin ada yang wujud dalam hati atau pikiran, selain DIA (ALLAH)
i.        Untuk menganggap janggal pada buku kami, Gus sengaja tidak mau melihat penjelasan sesudahnya pada halaman 130. 
Lengkapnya redaksi adalah :
Ini tidak berarti mengurangi nilai ibadah haji, lalu kita hanya Istigroq saja tidak menjalankan haji, tidak melakukan shalat dan sebagainya, sama sekali tidak begitu !. Segala bidang harus kita isi sepenuh mungkin !. Ibadah termasuk rukun Islam kelima wajib dijalankan oleh siapa saja yang ada kemampuan !. Tidak boleh diganti  dengan jenis ibadah lainnya !. Lebih-lebih lahir diganti dengan ibadah batin, sama sekali tidak dibenarkan. Ibadah lahir harus dijalankan menurut semestinya, disamping ibadah batin tidak boleh ditinggalkan. Siyaqul kalam kalimah diatas hanya sebagai kalam khobar memberitahukan kebaikannya istigroq. Dan disini kita berbicara soal nilai, bukan membahas soal hokum. Harus ada pembedaan atau pembidangan dalam pendekatannya. Masalah nilai tidak bisa didekati dengan kacamata hokum, sekalipun mungkin bisa saja terjadi interaksi (saling pengaruh mempengaruhi) bahkan interdepensi (saling brkaitan) antara masalah nilai dan hokum. Banyak keterangan agamis yang serupa dengan kata-kata diatas. Dan memang akal fikiran atau rasio tidak mampu menjangkau dengan membuat analisa-analisa dan ataupun membuat logikanya”.  
j.        Berkaitan pernyataan pada halaman 130 diatas, Guru kami Beliau al-Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo kepada para pengamal Wahidiyah, sering menjelaskan :
1.      Pengamal Wahidiyah atau siapapun yang mengaku makrifat kepada Alloh, namun tidak bersyariat sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasululloh Shallallohu Alaihi Wasallam, berarti ia telah tertipu oleh nafsunya.
2.      Sedangkan, ketika keadaan hablun minannas, pengamal Wahidiyah harus melaksanakan segala bidang tugas. Tugas sebagai kepala keluarga, wajib dilaksanakan sepenuhnya. Tugas sebagai bangsa dan rakyat Indonesia, wajib dilakukan sebaik-baiknya.
3.      Pengamal Wahidiyah sebagai masarakat, bangsa Indonesia, warga dunia, wajib berdoa agar masarakat, bangsa ini segera mendapat perolongan dan hidayah Alloh Ta’ala, serta segera keluar dari krisis yang multidemensi.
4.      Pengamal Wahidiyah, sebagai rakyat, bertugas mendoakan agar para pejabat pemerintah (dari Pak RT, Pak Lurah, Pak Camat sampai Bapak Presiden mendapat hidayah dan pertolongan Alloh Ta’ala, hingga dapat membawa bangsa dan negara ini sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.
5.      Pengamal Wahidiyah, yang menduduki jabatan, harus mendoakan kepada rakyat dan bawahannya, agar sadar menjalankan tanggung jawabnya.
k.      Pernyataan Gus diatas, menunjukan kurangnya Gus dalam membaca dan menyimak buku atau kitab para tokoh dan ulama yang telah mengulas AHADIYAH :
1.      Buku Dialoq Tasawuf Kiai Said (Bapak Prof. KH. Saad Agil Siraj) oleh LTN PBNU.
2.      Buku Demensi Dokrinal,  DIFA ’07 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP Lirboyo Kediri.
3.      Buku Nur Muhammad Pintu Menuju Allah-nya Prof. Dr. KH Sahabuddin (mantan wakil rais Syuriah NU Sulawesi Selatan).
4.      Buku Pengantar Tasawuf-nya Prof. Abu Bakar Aceh.
5.      Kitab Asrarul Insan-nya Syeh Nuruddin ar-Raniriy Aceh.
6.      Kitab Sirus Salikin-nya Syeh Abdus Shamad al-Falimbani.
7.      Kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya Imam al-Qusyairi Ra.
8.      Kitab al-Madlnun Bih-nya Imam al-Ghazali Ra. Beliau menerangkan :
فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ. والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ.
Makna al-Wahid (Esa), adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan makna al-Ahad, adalah ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat kepada-Nya. Shamadiyah (ketergantungan seseorang kepada Allah ketika berinteraksi dengan makhluk), merupakan bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah. [13]
9.      Kitab Thabaqat al-Kubra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, juz II, manaqib ke 315. Beliau menerangkan :
الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِ وَالآحَدُ لاَيَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَة الوَاحِدُ فَإِذَا تَعَدَّدَ الوَاحِدُ تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِ الدَائرَةِ وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ حَقِيْقَةَ وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِرِ. فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَوَحَّدَهُ اللهُ فَصَارَ وَاحِدًا عَارِفا بِاللهِ وَللهِ.
Al-Wahid, berbilang dalam penampakannya kepada makhluk. Sedangkan al-Ahad tidak menunjukkannya. Karena al-Ahad merupakan ringkasan dari al-Wahid. Ketika penampakan al-Wahid menunjukkan jumlah bilangan, maka turunnya (sinar) al-Wahid bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud. Ketika keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud ini sebagai hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah yang merupakan ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh Allah, dan Allah telah memberinya (ilmu) tauhid, maka Allah telah menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang benar-benar sadar BILLAH dan LILLAH.
10. Kitab Jamiul Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi Ra. Beliau menerangakan : [14]
عَبْدُ الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسْمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ وَحِيْدُ الوَقْتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى بِالأَحَدِيَةِ
Abdul Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
l.        Dan tentang rujukan Gus (kitab Sirajut Thalibin-nya al-Mukarrom al-Maghfur lah Mbah KH. Ihsan Dahlan al-Jampesi al-Kadiri), sebagai bahan untuk menguatkan pendapatnya, ternyata salah dalam mengartikannya.
Yakni redaksi (وهذا اللفظ), semestinya bukan kepada makna LAA MAUJUUDA ILLALLOH, tapi kepada (أنا الله : aku adalah Allah,  atau   : مافي الجبة إلاّ اللهtidak ada dalam jubah kecuali Allah). Namun, didorong oleh ketidak pamahan Gus dalam memahami makna, hingga menilai janggal buku kami.
Dan Redaksi (لكن القوم تارة تغلبهم الاحوال فيؤل ما يقع منهم بما يناسبه : Akan tetapi, kadang sebagian kaum, diri mereka dikuasai oleh beberapa hal (kondisi batiniyah yang luar biasa), maka ucapan tersebut “harus” ditakwilkan dengan sesuatu yang pantas dengan kaum itu.
Dan makna “sesuatu yang pantas bagi kaum itu” adalah harus dikaitkan dengan amaliyah lahiriyah mereka yang mengucapkan kalimat tersebut. Yaitu mereka bersyariat atau tidak, kalau bersyariat, harus “ditakwilkan” kepada sesuatu yang seseuai dengan akidah agama. Dan kalau mereka tidak bersyariat, harus ilihat kepada waktu mengucapkan kalimah tersebut, yakni mereka dalam keadaan ghalabah atau ghaibubatul aqli.
Sedangkan arti “harus”, dari uraian kami diatas, kami mengikuti teks yang ada pada keputusan Muktamar NU (sebagaimana yang telah kami nukilkan).
Sedangkan tentang ta’wil yang sesuai dengan  kaidah syariat dari ucapan  (أنا الله atau مافي الجبة إلاّ الله)  diatas, adalah sebagaimana yang dikupas, antara lain dalam :
l.1.  Kitab yang sama (Sirajut Thalibin, juz I) pada halaman 50 – 52.
l.2. Kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Imam Suyuti Ra juz II, pada bab 59 (“tanzihul i’tiqad”).
l.3.  Kitab Taqribul Ushul-nya Syeh Ahmad Zaini Dahlan, halaman 37 -38
l.4.  Dialok Tasawuf Kiai Said-nya LTN PBNU, pada bagian I (Aqidah),
l.5. Demensi Doktrinal-nya DIFA ’07 Madsarasah Hidayatul Mubtadi-ien PP Lirboyo Kediri bagian I, yang diberi kata pengantar oleh al-Mukarrom Bapak KH. Masduqi Mahfudh (Rais ‘Am Syuriyah NU Jawa timur).
Kesimpulan,
a.       Kejanggalan Gus, terlahir dari pemikirannya sendiri, bukan dari buku kami.
b.       Wahidiyah - Ahadiyah adalah tauhid yang berdasar aqidah ahlussunnah wal jamaah.
c.        Guru Pembimbing kami, Beliau Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, mengajarkan : bahwa ISTIGHROQ AHADIYAH/ LAA MAUJUDA ILLALLAH yang kami praktekkan, adalah dalam ranah DZIKRULLAH.
-----------------------------
3.           Tanggapan terhadap kejanggalan ketiga.
Pada poin ini kami nukilkan pernyataan Gus Thoifur  :
Pada halaman 38,39 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH disitu membuat syari'at nidak berdiri dengan menghadap empat arah bahkan mewajibkan hal tersebut, yang kami janggalkan adalah dalil yang di pakai (yaitu surat ali imron ayat 95,98 dan surat alhaj ayat 27), padahal tidak semua syariat yang di turunkan kepada Nabi sebelum Nabi MUHAMMAD SAW. Itu secara otomatis menjadi syariat bagi ummatnya Nabi MUHAMMAD SAW, buktinya ketika di zaman Nabi ADAM AS. diantara putra beliu boleh nikah dengan putra yang lain tetapi di dalam syariat Nabi kita hal tersebut di haramkan.
Kami menjelaskan :
a.      Nida’ empat arah, merupakan diantara bagian dari metode/ cara “da’wah” kami kepada semua manusia dimananpun mereka berada secara batiniyah. Dan sekaligus berdoa agar Allah Azza wa Jalla berkenan menyampaikan kedalam hati mereka, serta memberikan hidayah kepada meraka.
Sunnah Rasulullah Saw menganjurkan kepada ummat penerus risalahnya untuk membuat metode/ system yang baik, dengan syarat tidak bertentangan dengan sunnah pokok. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [15]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ  وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I/ 442 diterangkan  : وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ  : Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat).[16]
b.       Mulanya amalan (dakwah/ khotbah secara batiniyah) ini dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim Alaihis Salam, ketika diperintah memanggil seluruh manusia agar melakukan ibadah haji. Dan kemudian diambil oleh Beliau Hadlratul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Sholawat Wahidiyah, sebagai tabarrukan dan tawassul kepada Nabiyullah Ibrahim Alaihis Salam.
c.      Syariat kaum dahulu, dapat menjadi syariat Islam dengan beberapa syarat : [17]
c.1.  tercantum dalam al-Qur’an atau hadis.
c.2.  terdengar dari berita yang tidak mungkin ada peluang kebohongan.
c.3. adanya kesaksian dari dua orang yang telah beragama Islam yang mengetahui secara langsung penetapan syariat tersebut.
c.4.  Tidak adanya kontradiksi antara dua syariat yang berbeda.
c.5. Hukum tersebut telah ditetapkan (diamalkan) oleh syariat terdahulu dan belum dihapus atau diganti dengan syariat kita.
d.      Tentang dakwah batiniyah Nabiyullah Ibrahim As ini juga djabarkan oleh :
d.1. Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dalam kitabnya al-Ghunyah, juz II pasal “dzikr yaum at-tarwiyah” menerangkan makna Qs. al-Haj : 27 :
قَوْلُهُ تَعَالَى : (وَأَذِّنْ فِي النَاسِ بِالحَجِّ) أَي نَادِيًا إِبْرَاهِيْم ذُرِّيَتَكَ وَغَيْرَهُمْ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ بِالحَجِّ (يَأْتُوكَ رِجَالاً) أَي يَجِيْئُونَ إِلَيْكَ رِجَالاً عَلَى أَرْجُلِهِمْ (وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) أَي يَعْنِي رُكْبَانًا عَلَى الإبِلِ (يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ) يَعْنِي مِنْ كُلِّ أَرْضٍ بَعِيْدَةٍ وَطَرِيْقٍ بَعِيْدٍ. قَالَ اللهُ تَعَالَى ذَالِكَ لإبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَلاَمُ حِيْنَ فَرَاغَ مِنْ عِمَارَةِ البَيْتِ الحَرَامِ, وَقَالَ : إِلَهِي مَنْ يَقْصُدُ هَذَا البَيْتَ ؟. فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي النَاسِ بِالْحَجِّ. فَصَعِدَ أَبَا قُبَيش, فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ : يَأَيُّهَا النَاسُ أَجِيْبُوا رَبَّكُمْ, إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَحُجُّوا بَيْتَهُ. فَسَمِعَ نِدَاءَ إِبْرَاهِيْمَ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ وَمَنْ فِي أَصلاَبِ الرِجَالِ وَأَرْحَامِ النِسَاءِ. فَالتَلْبِيَةُ اليَوْمَ هِيَ جَوَابُ نِدَاءِ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَلاَمُ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ, فَأَجَابُوا كُلُّهُمْ : لَبَّيْكَ. فَمَنْ أَجَابَ ذَالِكَ اليَوْمُ فَلاَ يَخْرُجُ مِنَ الدُنْيَا حَتَّى يَزُورُ هَذَا البَيْتَ.
                        Firma Allah Ta’ala : (وَأَذِّنْ فِي النَاسِ بِالحَجِّ) maksudnya : Jadilah kamu sebagai pemanggil (nida), wahai Ibrahim, kepada keturunanmu dan lainnya dari anak Adam yang beriman, untuk beribadah haji. (يَأْتُوكَ رِجَالاً), mereka akan datang kepadamu dengan berjalan diatas kaki mereka, (وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ) dan dengan berkendaraan dengan unta, (يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ) yang dating dari segala penjuru bumi (daerah) yang jauh dan jalan yang jauh.
Allah Ta’ala menfirmankan ayat tersebut kepada Nabi Ibrahim, ketia ia telah selesai merenofasi Baitul Haram. Nabi Ibrahim berkata : Wahai Tuhanku, siapakah orang yang akan bermaksud untuk (ziyarah) ke Bait (Ka’bah) ini ?. Kemudian (DIA) memerintahkan Ibrahim Alaihis Salaam, memanggil manusia untuk beribadah haji. Maka, Ibrahim naik ke gunung Abi Qubais, dan memanggil dengan suara yang tinggi (keras) : Wahai manusia, jawablah (panggilan) Tuhan-mu. Sesungguhnya DIA memerintahkan kepadamu semua untuk beribadah haji ke rumah-Nya.
Dan, panggilan Ibrahim ini didengar oleh semua orang mukmin lelaki dan mukmin wanita yang ada diatas bumi, didalam sulbi lelaki dan dalam rahim wanita. Dan “talbiyah” saat sekarang ini (dari setiap orang yang melaksanakan ibadah haji), merupakan jawaban kepada panggilan Nabi Ibrahim As dari perintah Tuhannya. Dan mereka semua menjawab  (dengan) : لَبَّيْكَ : (Ya Tuhan), aku memenuhi panggilanmu”.
Dan, barang siapa yang pada hari itu menjawabnya, maka ia tidak keluar dari dunia (wafat) sehingga ia dapat mnenziarahi baitullah ini.
d.2. Dalam kitab tafsir al-Jalalin-nya Imam Suyuthi Ra, menerangkan tafsir ayat 27 surat aj-haj :
فَنَادَى إِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ عَلَى جَبَلْ أَبِي قُبَيْش : يَاأَيُّهَا النَاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ بَنَى بَيْتًا وَأَوْجَبَ عَلَيْكُمُ الحَجَّ فَأَ جِيْبُوْا رَبَّكُمْ. وَالتَفَتَ يَمِيْنًا وَشِمَالاً وَشَرْقًا وَغَرْبًا.
Nabi Ibrahim Alaihi as-Shalatu wa as-Salaam, memanggil dari atas gunung Abi Qubaisy  : Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian telah selesai mendirikan al-bait (Ka’bah), serta mewajibkan kalian berhaji, maka penuhilah (panggilan) Tuhanmu. (Nabi Ibrahim) menoleh selatan, utara, timur dan barat.
e.      Imam Abul Barakat Abdullah Mahmud an-Nasafi dalam kitab tafsirnya (Madaarik at-Tanziil wa Haqaaiq at-Ta’wil) menjelaskan :
وَلَمَّا نَزَلَ قَوْلُهُ تَعَالَى : (وَللهِ عَلَى النَاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلّيْهِ سَبِيْلاً), جَمَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهْلَ الأَدْيَانِ كُلَّهُمْ فَخَطَبَهُمْ, وَقَالَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى كَتَبَ عَلَيْكُمُ الحَجَّ, فَحَجُّوْا. فَأَمَنَتْ بِهِ مِلَّةً وَاحِدَةً وَهُمْ المُسْلِمُوْنَ وَكَفَرَتْ بِهِ خَمْسُ مِلَلٍ.قَالُوْا: لاَنُؤْمِنُ بِهِ وَلاَ نُصَلِّي بِهِ
                        Dan ketika turun firman Allah Ta’ala : ((وَللهِ عَلَى النَاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلّيْهِ سَبِيْلاً, Rasulullah Saw mengumpulkan semua ahli agama, seraya berkhotbah. Beliau bersabda : “Sesungguhnya Alloh Ta’ala mewajibkan haji kepada kamu semua melaksanakan ibadah. Maka, berhajilah kamu semua”.
                        Dan, berimanlah kepada ajakan tersebut, satu agama saja, mereka adalah orang-orang Islam. Dan yang lima agama mengkufurinya, dan mereka berkata :”kami tidak percaya dengan baitullah serta tidak akan sholat didalamnya”.
f.       Fatwa masyhur dalam kaidah fiqhiyah “Asal mula hukum segala sesuatu adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarang”. [18]
الأَصْلُ فِي ألأَشْيَا الإِبَاحَةُ إِلاَّ   إِنْ دَلَّ لِلحصْرِ دَلِيلٌ قُبِلاَ
Asal hukum sesuatu adalah boleh/ halal, selama tidak ada dalil yang melarang.
Dalam kaidah fiqih lainnya, anatara lain :
f.1. Dalam kitab Ilmu Ushuul al-Fiqh-nya Abdul Wahhab Khalaf, pada bahasan syariat kaum sebelum kita, diterangkan :
فَقَالَ جُمْهُوْرُ الحَنَفِيَّةِ وَالمَالِكِيَّةِ وَالشَافِعِيَّةِ  : أَنَهُ يَكُوْنُ شَرْعًا لَنَا وَعَلَيْنَا إتْبَاعُهُ, مَا دَامَ قَدْ قَصَّ عَلَيْنَا وَلَمْ يَرِدْ فِي شَرْعِنَا مَا يُنْسِخُهُ, لأَنَّهُ مِنَ الأَحْكَامِ الإِلَهِيَّةِ التِي شَرَعَهَا اللهُ عَلَى أَلْسِنَةِ رُسُلِهِ. وَقَالَ بَعْضُ العُلَمَاءِ : إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ شَرْعًا لَنَا لأَنَّ شَرِيْعَتِنَا نَاسِخَةٌ لِلشَرَائِعِ السَابِقَةِ, إِلاَّ إِذَا وَرَدَ فِي مَا يُقَرِّرُهُ. وَالْحَقُّ المَذْهَبُ الأَوَّلُ, لأَنَّ شَرِيْعَتِنَا إِنَّمَا نَسَخَتْ مِنَ الشَرَائِعِ السَابِقَةِ مَايُخَالِفُهُ فَقَطْ.
  Jumhur ulama hanafiyah, malikiyah dan syafi’iyah berpendapat : Sesungguhynya (sayriat kaum sebelum kita) menjadi syariat kita, dan kita patut mengikutinya, selama syariat tersebut, jelas diceritakan (bukan mereka-reka) kepada kita, serta didalam syariat kita tidak adan yang menghapuskannya. Karena ia termasuk bagian dari hokum-hukum Tuhan yang disyariatkan Allah melalui lisan para rasul-Nya.
Sebagian ulama berpendapat : Sesungguhnya (syariat sebelum kita) tidak dapat dijadikan syariat bagi kita. Karena syariat kita (Islam) menjadi penghapus kepada syariat yang dulu, kecuali ada dalil yang menetapkan sebagai syariat kita.
Dan yang benar, adalah madzhab pertama. Karena syariat kita, jika menghapus syariat kaum yang dulu, hanya kepada syariat yang bertentangan saja.
Jika, seandainya Gus berdalih memilih madzhab : Syariat kaum dulu tidak menjadi syariat bagi kita, itupun KURANG TEPAT. Sebab, penjelasaan selanjutnya, menerangkan  : kecuali ada dalil yang menetapkan sebagai syariat kita. Diantara dalil yang menetapkannya, adalah :  قُل صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ المُشْرِكِيْنَ: Katakanlah (Muhammad) : Maha Benar Allah. Maka ikutilah agama Ibrahim, dengan lurus. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.
f.2. Dalam kitab Syarah Jam’ul Jawami’-nya Imam Jalaludin al-Mahalli, pada bab 5 bahasan Istidlal, diterangkan :
 وَ المُخْتَارُ إِنَّهُ لاَيَكُوْنُ شَرْعًا لَنَا, قِيْلَ إِنَّ شَرْعَ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعٌ لَنَا مَالَمْ يَرِدْ مَايُخَالِفُهُ
Dan pendapat yang terpilih : Sesungguhnya syariat  kaum sebelum kita, tidak dapat menjadi syariat bagi kita. Dan pendapat lain : Sesungguhnya syariat kaum sebelum kita, menjadi syariat bagi kita,  selama tidak ada dalil yang menentangnya.
f.3. Jam’ul Jawami’-nya Imam Tajuddin as-Subki, pada bab kelima (Istidlal), diterangkan : وَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ المَفْضُوْلِ مِنَ المُجْتَهِدِيْنَ  : Boleh hukumnya, taqlid (mengikuti) pendapat ulama yang diungguli (yang kurang masyhur) dari para penggali hukum.
g.      Sedangkan pernyataan Gus “bahkan mewajibkan hal tersebut”, merupakan BUATAN Gus sendiri.
Karenanya, kami bertanya, “darimana Gus memiliki kesimpulan semacam itu (menuduh orang dengan sesuatu yang tidak ada pada tertuduh) ?.
Kepada pengamal Wahidiyah, kami tidak pernah “MEWAJIBKAN” pelaksanaan nidak empat arah tersebut.
h.      Dan pernyataan Gus (buktinya ketika di zaman Nabi ADAM AS. diantara putra beliu boleh nikah dengan putra yang lain tetapi di dalam syariat Nabi kita hal tersebut di haramkan) ini, menunjukkan dengan jelas dan nyata senyata-nyatanya, kalau Gus kutang menguasai kaidah hukum Islam, namun berani mengambil keputusan secara sembrono (bahkan cenderung salah).
Dan yang lebih menampakkan kesembronoan Gus dalam memahami sebagian hukum Islam, adalah ketika menggunakan syariat Nabi Adam As (nikah antar saudara), untuk diqiyaskan kepada cara dakwah kami. Padahal al-Qur’an dengan jelas telah merevisi (me-nasakh) syariat tersebut, dan menggantinya dengan syariat baru. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt,  Qs. an-Nisa : 23 : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ : Diharamkan kepadamu semua (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak kamu dan sadara kamu (kabung, seayah atau seibu).
-----------------------------
4.           Tanggapan terhadap kejanggalan keempat.
Pada poin ini Gus Thoifur  menyatakan :
Pada halaman 37 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH di sebutkan bahwa dalil "KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK MENANGIS" adalah alquran s. annajmu 59-61 dan hadits:
Jika kita memahami hadits tersebut "Orang yang di dunia berbuat maksiat dengan tertawa maka besok di akhirot masuk neraka dengan menangis", jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK NERAKA tidak di dunia, kenapa WAHIDIYAH mengecam yang tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?
Kami menjelaskan  dengan cara memahami arah makna pernyataan Gus:
1.      jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK NERAKA tidak di dunia,
2.      kenapa WAHIDIYAH mengecam yang tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?.
1.            Pernjelasan terhadap pernyataan :  jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK NERAKA tidak di dunia”.
a.        Inilah kerangka berpikirnya Gus Thoifur yang “membingungkan” dalam memahami hadis diatas.
Redaksi hadis yang dimaksud adalah : مَنْ أَذْنَبَ وَهُوَ يَضْحَكُ دَخَلَ النَارَ وَهُوَ يَبْكِي  : Barang siapa berbuat dosa sedangkan ia masih semapat tertawa, maka dia masuk neraka dengan menangis (lihat dalam buku dan halaman yang sama).
Makna hadis diatas, pertama : menangisnya orang diakhirat bukan karena penyesalan taubat. Tapi karena penyesalan yang sudah tidak ada artinya serta karena siksaan yang pedih dari Allah. Sedangkan menangis didunia yang kami bimbingkan kepada pengamal Wahidiyah, bukan karena mendapat siksa dari Allah, akan tetapi lebih disebabkan karena ingin penyesalan taubat serta untuk mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.
Akal yang sehat, tidak akan menyamakan “penyebab” tangisan diakhirat dengan “penyebab” tangisan orang bertaubat didunia. Tangisan DIDUNIA (sebelum datangnya hari pembalasan diakhirat), lebih disebabkan pertaubatan kepada Allah, serta takut akan murka-Nya DIAKHIRAT. Sedangkan tangisan orang berdosa diakhirat, disebabkan siksaan dan penyesalan yang tiada berarti, serta pedihnya siksaan.
Kedua,  agar diakhirat tidak menangis karena siksaan dan penyesalan yang tiada berarti lagi, maka penyesalan, bertaubat lebih dapat menangis kepada Allah DIDUNIA, merupakan diantara sarana awal dalam perbuatan yang nasuha.
b.        Redaksi Qs. an-Najm : 59 – 61  (dengan kami sertai tafsiran Imam Nasafi) :
(أفَمِنْ هَذَا الحَدِيْثِ) أي القرأن (تَعْجَبُوْنَ) إنكارا (وَتَضْحَكُوْنَ) إستهزاء (وَلاَ تَبْكُوْنَ) خشوعا (وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ)
            (Apakah dari pemberitaan ini) yakni al-Qur’an (kamu merasa heran) disertai ingkar (dan kalian mentertawakan) dengan disertai penghinaan (dan kalian tidak menangis) yang disertai khusyu’. (Sedangkan kamu semua memang pelupa).
Diantara makna ayat diatas, pertama : tertawa yang disertai menghina dan tidak menangis yang disertai ketundukan dari orang yang kurang/ tidak mempercayai isi al-Qur’an,[19] adalah DIDUNIA, bukan DIAKHIRAT. Kedua, diantara tanda-tanda orang yang percaya kepada murka Allah dihari pembalasan, adalah saat terpeleset kedalam kemaksiatan cepat-cepat memiliki rasa malu, takut kepada-Nya, karena mereka percaya seyakin-yakinnya akan datangnya hari pembalasan. Kepercayaan yang mendalam akan adanya siksa neraka, dapat menyebabkan penyesalan yang disertai cucuran airmata DIDUNIA.
Tentang pentingnya menangis didunia terhadap kedurhakaan diri, telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw (yang ma’shum) melalui doanya.
Diriwayatkan dari Bakir Ibn Abdullah al-Asyaj, Rasulullah Saw bersabda :[20]
  أللهُمَّ ارْزُقْنِي عَيْنَيْنِ هَطَالَتَانِ  :  Ya Allah, berilah aku dua mata yang mudah menangis.
                        Isyarat yang dapat dipetik dari hadis ini : pertama, menangis karena dosa, merupakan bagian dari fadlol Allah Ta’ala. Kedua, manusia terbaik yang terjaga darti dosa saja berdoa agar diberi kemampuan untuk menangis karena Allah, apalagi ummatnya yang tidak memiliki kema’shuman sedikitpun.
HR. Bukahri dari Abdullah Ibn Mas’ud Ra, Rasulullah Saw bersabda : [21]
إِنَّ المُؤْمِنُ يَرَى ذَنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلِ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذَنُوبَهُ كَذُبَابِ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
Sesungguhnya orang yang beriman adalah (orang) yang dapat melihat dosa-dosanya bagaikan orang yang duduk dibawah gunung, dia takut akan kejatuhan gunung. Sedang orang yang durhaka, dalam melihat dosa-dosanya bagaikan orang melihat lalat yang menempel diatas hidungnya dan yang mudah diusir.
HR. Bukari,  dari Anas bin Malik Ra, Rasulullah Saw bersabda   : [22]
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاأَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا. قَالَ: فَغَطَّى أَصْحَاب رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عَليهِ وَسَلَّمَ وُجُوهَهُم لَهُمْ خَنِيْنٌ
Jika kamu semua mengetahui seperti apa yang aku ketahui, pasti kamu semua sedikit tertawa dan banyak menangis.
Sahabat Anas berkata : Kemudian semua sahabat Rasulullah Saw menyembunyikan wajahnya (karena malu), dan menangis bersenggukan.
Dalam kitab Risyalah al-Qusyairiyah bab ke 8 (al-Khauf), terdapat keterangan :  لَيْسَ الخَائِفُ الذِي يَبْكَي وَيَمْسَحُ عَيْنَيْهِ, إِنَّمَا الخَائِفُ مَنْ يَتْرُكُ مَا يَخَافُ أَنْ يُعَذَّبُ عَلَيْهِ: Orang yang takut kepada Allah itu, bukanlah orang yang menangis dan mengusak kedua matanya, akan tetapi orang yang meninggalkan perbuatan dosa yang mana ia takut akan disiksa sebab dosa itu.
Penekanan keterangan ini bukan untuk menafikan kebaikan menangis. Namun, lebih tertuju kepada berhentinya perbuatan dosa.  Artinya, perbuatan menangis adalah perintah (karena banyak dalil yang memerintahkannya), dan perbuatan meninggalkan kedurhakaan lebih mendapat perhatian karena lebih  diperintahkan oleh syariat Islam.
Dan dalam kitab As-Syifa Syeh Abul Fadlol al-Yahshubi, redaksi hadis terdapat penambahan : [23]
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاأَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا  وَمَا تَلَذَّ ذْتُمْ بِالنِسَاءِ وَلَخَرَجْتُمْ  إِلَى الصَعَدَاتِ تَجْأَرُونَ إِلَى اللهِ
Dan kamu semua tidak terlalu berpuas-puas dengan wanita ditempat tidur, dan pasti kamu semua keluar menuju tempat yang ramai, kemudian kamu mengeraskan suara (untuk menangis).
Arti kata ( الصعَدَاتِ = as-sha’adaat), adalah : jalan atau tempat yang ramai dan yang banyak dilewati manusia, sehingga manusia dapat ikut bertaubat dan menangis kepada Allah Swt. Sedangkan asal arti kata taj-aruun adalah : agak mengeraskan suara.[24]          
HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibn Umar Ra, Rasulullah Saw bersabda : [25]
لاَتَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلاَءِ المُعَذَّبِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَكُونُوا بَاكِيْنَ, فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِيْنَ فَلاَ تَدْخُلُواعَلَيْهِمْ لاَيُصِيْبُكُمْ مَاأَصَابَهُمْ.
Janganlah kamu semua masuk kedalam lingkungan orang-orang yang berbuat dosa, kecuali kamu menangis. Jika kami tidak menangis, janganlah kamu memasukinya, kamu tidak akan mendapatkan musibah seperti yang menimpa mereka.
HR. Bukhari,  Rasulullah Saw bersabda : [26]
مَنْ ذَكَرَ اللهُ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يُصِيْبَ الأَرْضُ مِنْ دُمُوعِهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
Barang siapa yang ingat kepada Allah kemudian mengalir airmatanya dari takut kepada
Allah hingga bumi kejatuhan airmatanya, maka Allah tidak akan menyiksanya dihari kiamat.
c.        Gus sengaja tidak mau merenungkan dalil tentang menangis buku kami. Hal ini karena Gus hanya mencari celah untuk mengkonter kami. Dan kemudian setelah membaca ayat tersebut pada buku kami, ia merasa mendapatkan celah untuk menyatakan kejanggalan ?.
Padahal etika orang yang melakukan “bedah buku” dengan cara yang baik, adalah,  seandainya..... dan seandainya jika kami kurang tepat (menurut Gus) dalam menggunakan sebagian dalil saja, maka, tidak patut Gus me-generalisakan ketidak tepatan kepada dalil-dalil yang lain  yang jumlahnya lebih banyak.
Mengkaji sebuah buku, tidak boleh didahului oleh rasa senang atau tidak senang, sebab cara ini akan melahirkan kesimpulan yang tidak obyektif. 
Berkaitan dengan hasil kesimpulan yang tidak obyektif dari Gus, ada baiknya sejenak mengingat kembali kata-kata mutiara ushul fiqh yang sering disampaikan oleh al-Mukarrom Bapak KH. Abdur Rahman Wahid (mantan ketua umum PBNU) dalam beberapa kesempatan : لاَ يُعْتَبَرُ قَوْلُ مُجْتَهِدٍ  عَلَى خَصْمِهِ  :Ttidak dapat diterima penilaian mujtahid (penyimpul hukum), kepada lawan (orang yang tidak disenangi)-nya.
Semestinya Gus, jika menganggap JANGGAL terhadap amalan menangis DIDUNIA karena malu dan takut kepada Allah, seharusnya menunjukkan dalil yang tegas-tegas melarangnya. Namun, karena Gus tidak mendapatkan adanya dalil yang melarangnya, maka Gus terpaksa menggunakan dalil persepsi.
Semestinya, jika Gus mau membuka kitab yang ditulis oleh para waliyullah Ra, sangat banyak hadis yang menganjurkan tentang pentingnya menangis karena Allah Swt didunia. Dan karena pentingnya menangis, hingga sebagian ulama dalam membahasnya membuat bab tersendiri. Misalnya, Imam Nawawi dalam kitab Riyadlus Shalihin, Syeh Kamsykhanawi dalam kitabnya Jami’ al-Ushul, Imam Suhrawardi dalam kitabnya Awarif al-Ma’arif.
Ataukah Gus – semestinya -, menyalahkan juga kepada para ulama yang menganjurkan menangis karena Allah dalam kitab yang mereka tulis ?. Atau bahkan menyalahkan para ulama salafus shalih yang sering menangis karena takut Alloh ?.
Jika jawabannya, Ya, maka kami menguckan na’udzu billah.
Syeh Jamaluddin Muhammad al-Aidrus Ra, menerangkan : [27]
وَكَانَ شَاْنُ الصَلِحِيْنَ الأَوَّلُ كَثْرَةَ البُكَاءِ وَالخَشْيَةِ مِنَ اللهِ مَعَ حُسْنِ أَعْمَالِهِمْ وَكَرَمِ أَخْلاَقِهِمْ
                            Keadaan (sikap) para shalihin yang pertama, banyak menangis dan takut kepada Allah, dengan disertai baiknya amal serta mulianya akhlak mereka.
Rasulullah Saw bersabda : [28]   النَدَمُ تَوبَةٌ: menyesal itu be taubat.
Sehubungan dengan hadis ini, Syeh Abdul Qadir Jailani Ra, mengatakan :
وَعَلاَمَةُ صَحَّةُ النَدَمِ : رِقَّةُ القَلْبِ, وَغَزَارَةُ الدَمْعِ.  وَلِهَذَا رُوِيَ عَنِ النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : جَالِسُوا التَوَّابِيْنَ فَإِنَّهُمْ أَرِقُّ أَفْئِدَةٍ.
Tanda-tanda benarnya penyesalan : halus (peka)-nya hati, derasnya airmata. Dan
 karenanya diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda :“Duduklah kamu semua bersama orang-orang yang bertaubat. Sesungguhnya mereka sehalus-halusnya perasaan”.
                        Dan perlu juga Gus ingat-ingat kembali, bahwa malas mendirikan shalat, suka berbuat riya’ dengan amal kebaikannya, dan tidak ingat kepada Allah Swt kecuali sedikit sekali, merupakan cirri-ciri orang menuafiq, Qs. an-Nisa : 142 :
إِنَّ المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلْيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, (tapi) Allahlah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika mendirikan shalat, mereka mendirikan dengan malas  serta pamer kepada manusia, sera mereka tidak ingat Allah kecuali sedikit.
Ayat ini menjelaskan; seseorang masih dinilai munafiq,[29]ketika melaksanakan shalat hatinya tertutup dari kebesaran dan keagungan Allah Swt. Mereka tidak memiliki perasaan malu dan tidak takut kepada-Nya, ketika hatinya ujub dan riya, serta sangat sedikit ingat kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman, Qs. al-Anfaal : 35 :
Maksud ayat diatas diperjelas oleh sabda Rasulullah Saw : [30]
مَنْ لَمْ تَنْتَهِ  صَلاَتُهُ عَنِ الفَخْشَاءِ وَالمُنْكَر لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka
 ia tidak akan bertambah,  kecuali jauh  dari Allah.
2.    Penjelasan terhadap pernyataan : kenapa WAHIDIYAH mengecam yang tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?.
Kami menjelaskan :
a.      Gus benar-benar tidak obyektif dalam memberi kesimpulan. Karena arah kecaman dalam buku kami bukan pada “dalam mujahadah”, namun dipahaminya “dalam mujahadah”.
Kami bertanya kepada Gus, dengan mohon jawaban secara jujur; apakah sampeyan memang tidak bisa menganalisa (bedah) buku, atau ada tujuan lain, sedangkan gaya bedah buku hanya sebagai kedok belaka ?.
b.      Gus SETUJU atau TIDAK, bukan menjadi tujuan kami, bahwa didalam syariat Islam terdapat ajaran khauf dan raja’, yang keduanya harus diterapkan secara seimbang (tawassut), tidak boleh khauf saja atau raja’ saja. Karena keduanya merupakan sunnah Rasulullah Saw. Khauf, adalah takut kepada Allah Ta’ala ketika seseorang melihat dirinya melanggar larangan-Nya. Sedangkan raja’, adalah merasa yakin akan mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia telah melaksanakan perintah-perintah-Nya. Dan keduanya kami bimbingkan secara seirama.
c.      Dan, ketika kami sedang membahas khauf (baik dalam tulisan atau ceramah), kami cantumkan tentang ancaman orang berdosa namun tidak malu dan takut serta menangis karena Allah Swt. Dan ketika sedang membahas raja’, kami cantumkan tentang bershalawat kepada Rasululullah Saw pasti diterima oleh Allah Swt, tentang fadlilahnya amalan lainnya (baik yang wajib maupun yang sunnah), lihat buku Pedoman Pokok-Pokok Ajaran Wahidiyah, terbitan tahun Desember 2010, halaman 35 – 38 (tentang “Dasar, Fadlilah, Kebaikan, Dan Adab Membaca Shalawat”), halaman 43 -46 (tentang “Hadiah Tsawabul A’mal”) dan halaman 47 – 55 (tentang “Tanggung Jawab Penyiaran”).
-------------------------
5.           Tanggapan terhadap kejanggalan kelima.
Pada poin ini Gus Thoifur menyatakan  :
Pada halaman 21 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH di situ terdapat keterangan bahwa yang mengangkat sulthonul auliya' atau qutbul aqthob atau ghoutsuzzaman adalah ALLOH sendiri dan tidak ada keterangan-keterangan tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah, tetapi kenapa WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN sebagaimana tertera dalam majalah Aham (edisi 94 TH.x Robi'ul awal 1432/2011), atas dasar apa beliau menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah adalah sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman, dan juga beliau sendiri melanggar prinsip pokok ajaran wahidiyah.
Kami menjelaskan  :
Untuk menjelaskannya, pernyataan Gu,s terbagi kedalam 3 bagian sesuai urutan:
1.      yang mengangkat sulthonul auliya' atau qutbul aqthob atau ghoutsuzzaman adalah ALLOH sendiri dan tidak ada keterangan-keterangan tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah
2.      tetapi kenapa WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN atas dasar apa beliau menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah adalah sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman.
3.      dan juga beliau sendiri melanggar prinsip pokok ajaran wahidiyah
1.      Penjelasan pernyataan satu :
yang mengangkat sulthonul auliya' atau qutbul aqthob atau ghoutsuzzaman adalah ALLOH sendiri dan tidak ada keterangan-keterangan tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah.
Kami menjelaskan :
a.      Keberadaan al-Ghauts Ra - yang setiap beliau Ra wafat, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya untuk menggantikan kedudukannya -, merupakan pemberitaan hadis Rasulullah Saw (yang shahih) dari jalur Abdullah bin Mas’ud Ra yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Abu Nuaim al-Isfahani. Hadis ini tertulis dalam berbagai kitab. Antara lain : Hilyatul Auliya (Abu Nuaim) dan Tarikh Damsyiq (Ibnu Asakir) sebagai sumber aslinya, al-Hawi lil Fatawi-nya Imam Suyuti, Tafsir Sirajut Thalibin-nya Syeh al-Khathib as-Syarbini, Syawahidul Haq-nya Syeh Yusuf an-Nabhani, Tanwir al-Qulub-nya Syeh Amin al-Kurdy,  Kasyful Khifa’-nya Syeh al-‘Ajuluni dan masih banyak kitab lainnya.
b.      Kemudian, berkaitan dengan redaksi pernyataan Gus Thoifuruntuk dapat mengenalnya secara lahiriyahdiatas, yang dimaknainya dengan “Allah tidak pernah memberitakan nama dan pribadi Waliyullah. Ini berarti, Gus memiliki gaya berpikir seperti mereka yang suka mem-bid’ah-kan amalan orang lain. Maksudnya, baru tidak cocok dengan kesimpulan atau pemikiarannya, disimpulkan dengan tidak cocok dengan sunnah Rasulullah Saw.
Kami bertanya kepada Gus, bukankah ini merupakan arogansi ilmiyah ?.
c.      Dengan pernyataan Gus kami susah untuk memahami aqidah yang dipegangi oleh Gus. Apakah sampeyan termasuk orang yang mempercayai adanya al-Ghauts sebagaimana keterengan dalam hadis, atau kelompok yang mengingkarinya ?.
Mengapa hal ini kami tanyakan :
c.1. karena secara kelembagaan, Gus berada dalam jam’iyah NU, yang didalamnya terdapat Jam’iyah Ahlit Thariqah an-Nahdliyah, yang mana meyakini keberadaan al-Ghauts setiap saat.
c.2. Namun kok ..., Gus mimiliki pemikiran seperti itu, yang tidak masyhur sebagaimana dalam adat NU. Yakni untuk mempercayai seseorang sebagai al-Ghauts, lantas mencari cirri-ciri/ bukti lahiriyah.
c.3. Padahal, dalam kaidah Islam tidak ada keterangan secara khusus terhadap pertanda lahiriyah tentang ke-wali-an seseorang (dalam arti tidak dimiliki oleh yang lain). Sedangkan sifat lahiriyah alim, abid, wirai dan lainnya itu sebagai tanda-tanda umum termasuk mukmin yang ‘Amil dan Shalih.
Orang kafir Quraisy, waktu itu, ingkar dengan kerasulan Nabi Muhammad Saw, disebabkan – menurut mereka -, tidak adanya tanda-tanda secara lahiriyah yang melekat pada pribadi Beliau Saw. Mereka menuduh Beliau Saw sebagai manusia yang “mengigau dan gila hormat”, serta mereka tidak bisa membedakan kerasulan dengan kekuasaan, atau kenabian dengan penghormatan.
Cirri-ciri batiniyah para waliyullah Ra hanya dapat dipahami oleh orang yang mengalaminya, atau oleh mereka yang dikehendaki-Nya, atau bersifat husnudhdhon, karena melihat dari segi amal lahiriyah, ilmu serta sikapnya.
Didalam al-Qur’an, hadis maupun fatwa para ulama banyak sekali keterangan tentang cirri-ciri waliyullah, baik lahir maupun batin. Namun cirri-ciri tersebut, bagi mereka yang mengingkari keberadaan waliyullah atau al-Ghauts masih -, masih dapat dimaknai bukan cirri-ciri waliyullah, namun sebagai cirri semua orang shaleh. Diantara cirri-ciri tersebut :
c.3.1. Allah Swt berfirman, QS. Yunus, 62–64 :
 اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن. لَهُمُ البُشْرَى فِي الحَيَاةِ الدُنْيَا وَالأَخِرَةِ لاَ تَبْدِيْلَ لِكَلمَاتِ اللهِ ذَالِكَ هُوَ الفَوْزُ العَظِيْمُ.
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu  tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah). Bagi mereka anugarah al-Busyra (sesuatu yang menggembirakan) didunia dan akhirat. Tidak ada perubahan pada kalimat (ketentuan) Allah. Dan yang demikian merupakan fadlal yang agung.
Dalam hadis, dijeleskan makna لَهُمُ البُشْرَى فِي الحَيَاةِ الدُنْيَا : Bagi mereka anugarah al-Busyra (sesuatu yang menggembirakan) didunia, adalah “rukyah shalihah”. Rasulullah Saw bersabda : الرُؤْيَا الصَالِحَةِ يَرَاهَا المُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ : pengalaman ruhani (mimpi) yang baik, yang orang muslin melihatnya atau dilihatkan kepadanya
(HR.Tirmidzi, Thabrani dan Ahmad, kitab Risyah al-Qusyairiyah, bahasan rukyal qaum).
Ayat diatas menjelaskan cirri-ciri waliyullah :
c.3.2. beriman dan menjalankan syariah Islam (bertaqwa), dan otomatis dengan ikhlas (sebagai ciri, lahiriyah).
c.3.3. Tidak memiliki rasa gundah gulana. Namun sering juga sifat ini, orang lain papat membaca dari sikpanya. (sebagai cirri, batiniyah)
c.3.4. Mendapatkan “anugrah busyro/ anugrah kebahagian” didunia (sebagai cirri, batiniyah). Dikatakan cirri batiniyah, karena hanya beliau yang tahu, yang mengalami dan yang merasakan. Namun, kadang juga orang lain dapat memahaminya; melalui pemberitahuan dari Rasulullah Saw dalam mimpi, atau oleh waliyullah lain yang sedang majdzub).
d.      Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali ad-Daqaq) Qs wa Ra, berkata  :
 إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ  الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua pondasi : pertama, secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai dengan syariah (Islam), kedua, secara batiniyah, senantiasa tenggelam dalam nur hakikat.
e.      Syeh Ihsan Muhammad Dahlan dalam kitabnya Sirajut Thalibin-nya juz I halaman 15, menerangkan siapa waliyullah itu :
وَالأَوْلِيَاءُ جَمْعُ وَلِيٍّ : وَهُوَ العَارِفِ بِاللهِ وَصِفَاتِهِ حَسْبَمَا يُمْكِنُ المُوَاظِبُ عَلَى الطَاعَاتِ المُجْتَنِبُ المَعَاصِي المُعَرِّضُ عَنِ الإِنْهِمَاكِ فِي اللَّذَاتِ وَالشَهَوَاتِ.
Auliya’ adalah kata jama’ dari wali : yaitu orang yang makrifat kepada Allah dan sifat-sifat-Nya (Billah), yang tekun menjalankan ketaatan, yang menjauhi maksiat dan yang berpaling dari tipuan kelezatan dunia dan syahwat.
f.       Demikain pula Imam Suyuti dan Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam kitab masing-masing, menerangkan tentang cirri batiniyah waliyullah :
لَمْ تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat dinamakan wali quthub, wali autad dan   waliyuulah,  kecuali  telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw (Birrasul).
(Kitab Sa’adatud Daraini, Syeh Yusuf an-Nabhaniy hlm 431 dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam J Suytuthi, juz II, dalam bahasan ke 70).
g.      Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Ghunyah, juz II pada bab “maa yajibu ‘alal mubtadi”, menerangkan  : [31]
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya.
h.      Lain itu pula, sering seorang ulama berdasar kasysyaf-nya dapat mengetahui bahwa Gurunya atau si Fulan adalah waliyullah kelas tinggi, seperti kassyaf yang dialami oleh Syeh Abdul Wahhab a-Sya’rani Ra. Beliau mengetahui kalau Guru ruhaninya (Syeh Ali al-Khawas Ra) serta Guru dari gurunya (Syeh Ibrahim al-Matbuli Ra) adalah waliyullah tinggkat tinggi, dengan bukti sering bersama dengan Rasulullah Saw seraya  menimba ilmu.
Pemahaman kassyaf semacam ini banyak diperoleh para ulama kaum sufi tentang pribadi para Pendiri Thariqah atau Guru Mursyid dalam setiap thariqah, baik Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadzaliyah, Kubrawiyah, Tijaniyah, Idrisiyah, Syattariyah dan lain sebagainya.
Kami bertanya kepada Gus
Apakah kepada para Guru Mursyid thariqah yang menceritakan dan meyakini para Pendiri thariqah adalah al-Ghauts, “akan ditanya juga seperti pertanyaan kepada kami” ?.
Kalau jawabannya, TIDAK, berarti Gus tidak jujur dan fair dalam hal keagamaan. Mengapa kepada kami bersikap begitu,  sedangkan kepada jamaah lain tidak. Dan kalau jawabannya, YA, meskipun masih dalam batin, berarti Gus Thoifur perlu ditolong, agar virus-virus keingkaran kepada waliyullah, dapat segara sirna dari hatinya. Dan lebih lagi jika jawaban YA, dengan diucapkan, maka untuk memberi penjelasan kepadanya dengan berapa dalil dan dasar, tidak akan diterima. Maka ya cukup dengan “bacalah Gus, kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama sunny sufi kita, atau ingat-ingatlah kembali fatwa dan nasehat yang disampaikan oleh para Ulama NU yang telah mendahului kita.
Secara lahiriyah, waliyullah adalah manusia biasa sebagaimana umumnya manusia yang membutuhkan makan, minum, berkeluarga dan pertolongan orang lain, serta mengalami sakit, sehat, lemah, kuat dan sebagainya). Banyak diceritakan dalam kitab-kitab sufi dan oleh para muballig dimasarakat yang menerangkan; ada seorang Waliyullah yang lahiriyahnya miskin, tampak bodoh, bahkan cacat fisiknya.
Dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami Ra diterangkan :
Adalah Ibnus Saqa. [32] Beliau seorang ulama yang memiliki cirri lahiriyah yang sangat mengagumkan, dan lagi sangat terkenal. Beliau juga ahli debat yang tidak ada tandingannya, bahkan sampai-sampai para tokoh non muslim-pun mengakuinya, karena mereka senantiasa kalah berdebat dengan Ibnus Saqa. Semua masarakat kota Bagdad (yang awam maupun non awam) mengakui kealimannya.
Namun, akhirnya Ibnus Saqa MATI dengan mati dalam keadaan tidak beriman, dan Na’udzu Billah.
Keadaan tragis yang dialami oleh Ibnu Saqa tersebut, disebabkan oleh sikap su’ul adab-nya kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadzani Ra (kemudian selanjutnya kami tulis dengan Syeh), yang secara lahiriyah tidak tampak pertanda ke-Ghautsiyah-an Beliau Ra.
Waktu itu, Ibnus Saqa sangat ingin bertemu dengan Syeh. Namun pertemuannya itu, hanya untuk mencoba sejauh mana ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh Syeh.
Syeh adalah guru dari al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra). Dan karenanya, Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (yang memahami secara batiniyah tentang keberadaan Syeh), ketika sedang menghadap kepangkuan Syeh, tidak ada yang diharapkan, kecuali untuk mohon doa restu Syeh, serta menata adab yang setepat-tepanya.
i.        Semua orang yang diceritakan sebagai “waliyullah”, tidak ada keterangan-keterangan tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah.
Namun, sangat banyak kaum muslim sunniy diseluruh dunia (termasuk Indonesia atau warga NU), yang juga menceritakan nama seseorang yang diangkat oleh Allah sebagai Waliyullah dan al-Ghauts Ra. Mungkin, seandainya mereka ditanya, atas dasar apa, tentu mereka tidak bisa menceritakan
Secara umum, dapat mengetahui nama pribadi waliyullah, melalui pengalaman ruhani yang baik. Dan, banyak hadis yang telah menjelaskannya. Antara lain :
i.1. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda (Risyalah Qusyairiyah : 318) :
إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ العَبْدَ قَالَ لِجِبْرِيْلَ : يَاجِبْرِيْلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبْهُ, فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِي جِبْرِيْلُ فِي أَهْلِ السَمَاءِ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحَبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَمَاءِ.
Ketika Allah Azza wa Jalla mencintai seseorang, DIA bersabda kepada Jibril : hai Jibril, sesungguhnya AKU si  Fulan maka cintailah dia. Dan Jibril mencintainya dan memanggil-manggil  warga langit : sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencintai si Fulan, maka vintailah dia. Kemudian warga langit mencintainya.
i.2. Penjelasan dalam kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Imam Suyuthi, tentang waliyullah, menerangkan :
i.2.1. cirri-ciri batiniyah tanpa lahiriyah (dalam juz II pada bab 69) :
-                 Bilal al-Khawash bertemu Nabi Khidlir yang mengatakan : Imam Syafii wali Autad. Dan Imam Hambali merupakan tokoh yang shidiq.
-                 HR Imam Ahmad dan al-Baihaqi dari Jalis Wahab bin Munabih : Ia berkata : Aku mimpi bertemu Rasulullah Saw. Aku bertanya : Ya Rasulullah dimanakah wali abdal dari ummatmu ?. Beliau memberikan isyarah dengan tangannya kea rah daerah Syam. Saya bertanya : Ya Rasulallah, bagaimana didalan Iraq, adakah seseorang diantara mereka ?. Beliau bersabda : Ya, Muhammad bin Wasi’ Hassan bin Abu Sinan  dan Malik bin Dinar yang berjalan dengan seprti kezuhudan Abu Dzar pada masanya.
i.3. cirri-ciri lahiriyah (juz II pada bab 69) : Imam Sahal bin Abdullah berkata : Wali abdal menjadi wali abdal dengan 4 perkara; sedikit berbicara, sedikit makan, sedikit tidur, uzlah (sedikit membaur) dengan masarakat.
i.4. Dan pada bahasan ke 62, diterangkan cirri-ciri batiniyah :
أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَئِمَّةِ الشَرِيْعَةِ نَصُّوا عَلَى أَنَّ مِنْ كَرَامَةِ الوَلِيِّ أَنْ يَرَي النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَجْتَمِعُ بِهِ فِي اليَقَظَةِ وَيَأْخُذُ عَنْهُ مَا قَسِمَ لَهُ مِنْ مَعَارِفٍ وَمَوَاهِبٍ.
Sesungguhnya jamaah dari para  pimpinan syariah (Islam) telah men-nash (nenentukan dengan pasti)-kan; sesungguhnya diantara karomah waliyullah, adalah sekiranya dapat melihat (bertemu) Nabi Saw, berkumpul dengan beliau serta mengambil sesuatu dari beliau seseui bagian untuk dirinya berupa kemakrifatan dan macam pemberian (dari Allah).
j.        Diantara Kiai yang pertama kali mendapatkan pengalaman ruhani tentang Beliau Hadlratul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Qs wa Ra sebagai al-Ghauts atau Sultanul Auliya adalah  al-Mukarrom Mbah KH. Jazuli Ra Pengasuh Pondok Ploso Kediri (Ramanda al-Maghfurlah Gus Mik) Pengasuh PP “al-Falah” Ploso Mojo Kediri.
k.      Beberapa pengamal Wahidiyah mimpi bertemu Rasulullah Saw yang bersabda (yang inti sarinya) : Kiyai Abdul Majid Shahibus Shalawatil Wahidiyah itu Sulthanul Auliya.
Diantara pengamal yang mendapatkan pengalan ruhani yang baik tentang ke-Ghautsiyah-an Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah :
k.1.  Al-Maghfurlah Bapak KH. Muhammad Asyik Sirodj Mabruri (Pengasuh PP “Subulas Salam”, Selobekiti Wonosari Malang).
k.2. Al-Maghfurlah Mbah Kiyai Mustain (Pengasuh PP “Athfal Islam” Pecangaan Wetan Jepara Jawa tengah).
k.3.  Bapak KH. Ihsan Mahin (Pengasuh PP “at-Tahdzib” Ngoro Jombang).
2.      Penjelasan terhadap pernyataam :
tetapi kenapa WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN atas dasar apa beliau menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah adalah sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman.
Kami menjelaskan :
a.    Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menyatakan Ghautsiyah-nya Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Muallaif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, berdasar :
a.1.  Pengalaman ruhani para pengamal Wahidiyah dari beberapa daerah.
a.2. Rukyah Shalihah dari al-Maghfurlah Mbah KH. Jazuli Usman (Pengasu PP “al-Falah” Ploso Mojo Kediri).
b.   Pernyataan Gus (kenapa WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN), menunjukkan Gus kurang adil dalam bersikap.
c.    Mengapa pernyataan “kejanggalan” seperti itu, tidak diarahkan juga kepada  “kita semua” atau kepada lain dari kami (jamaah thariqah, atau jamaah manaqib Syeh Abdul Qadir Jailani Ra) yang meyakini kewalian seseorang, atau menyatakan bahwa pendiri sebuah tarekat adalah al-Ghauts Ra
Dan mengapa Gus tidak menanyakannya, atas dasar apa mereka meyakini hal tersebut ?.  Misalnya  :
c.1. Kita semua sebagai warga NU, berani menyatakan bahwa para WALI SONGO adalah waliyullah, al-Mukarrom Hadlratus Syeh Mbah Kholil al-Maghfurlah Bangkalan Madura, Mbah Syamsuddin Batuampar Madura adalah waliyullah.
c.2. Kami dan masarakat dilingkungan daerah kami, berani menyatakan bahwa Hadlratul Mukarrom Mbah Hamid Pasuruan adalah waliyullah.
c.3. Masarakat jawa tengah banyak yang menyatakan; al-Mukarrom Mbah Hasan Mangli Megelang dan Mbah Hamid Kajoran Magelang adalah waliyullah.
c.4. Masarakat jawa barat banyak yang menyatakan; Syeh Muhyi Pamijahan adalah waliyullah.
c.5. Masarakat Banten dan umumnya kaum sunny Insonesia, banyak yang menyatakan; al-Mukarrom Syeh Nawawi al-Bantani adalah waliyullah.
c.6. Dalam wirid Dzikrul Ghafiliin-nya al-Mukarrom Gus Mik, juga menyebut; Sulthonul Auliya al-Awwal (al-Ghauts yang pertama), Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra adalah al-Ghauts, al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra adalah wali Quthub al-Ghauts, dan Syeh Abdus Salam bin Masyisy Ra adalah al-Quthbu al-Kabir (al-Ghauts).
c.7.Buku Permasalah Thariqah, menyebutkan bahwa Syeh Abdul Qadir al-Jailani dan Syeh Umar adalah alGhauts Ra.
c.8.Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawi al-Haditsiyah, menyataakan; Syeh Abu Ya’qub Yusuf al-Hamdzani Ra (w. 538 H, guru Syeh Abdul Qadir al-Jailani) adalah al-Ghauts Ra.
c.11.Syeh Amin al-Kurdi (w. 1332 H) dalam kitabnya Tanwir al-Qulub, menyatakan bahwa gurunya (Syeh Umar al-Faruq as-Sirhindy Ra) adalah Sulthanul Auliya/ al-Ghauts Ra.
c.12.Para pengamal tarekat naqsyabandiyah menyatakan Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi Ra, Syeh Amir Kulal Ra (guru Imam Naqsyabandi) dan Syeh Baba as-Samasy (guru Syeh Kulal) adalah Sulthanul Auliya (al-Ghauts).
c.13.Pengamal tarekat tijaniyah menyatakan Syeh at-Tijani Ra adalah al-Ghauts Ra.
c.14.Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam kitabnya Syawahid al-Haq, dan para pengamal tarekat syadzaliyah berani menyatakan; Syeh Abul Hasan Syadzali (w. 658 H), Syeh Abul Abbas al-Mursyi (murid Imam Syadzali) dan Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (murid Imam Mursyi) adalah al-Ghauts Ra. Demikain pula dalam kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra, sangat banyak menyebutkan nama-nama al-Ghaus Ra.
c.15.Dalam kitab Mawahib as-Saniyah-nya [33] al-Faadlil al-Muhaqqiq Syeh Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi as-Syafi’i (syarh faraidul bahyah-nya al-Allaamah Syeh Abu Bakar al-Ahdali al-Yamani), dalam muqaddimah, diterangkan; bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah “ الشَيْخ الوَلِيُّ غَوْثُ الوُجُوْد/ as-Syeh al-Waliyu Ghautsul Wujud”. Dengan alasan : لأَنَّهُ دَالٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى  : Karena Beliau orang yang menunjukan kepada Allah.
c.16.Dalam kitab Nafahah ar-Rabbaniyah al Sab’ah Rasail Mirghaniyah-nya Syeh Muhammad Usman al-Mirghani, dijelaskan nama beberapa al-Ghauts Ra. Dainatarannya : Imam a-Taazi, Syeh Ahmad bin Idris, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag, Syeh Rahatullah, Syeh Abu Abbas al-Mursi Ra.
3.      Penjelasan terhadap pernyataam :
dan juga beliau sendiri melanggar prinsip pokok ajaran wahidiyah.
Kami menjelaskan :
a.      Kami sebagai pengamal Wahidiyah, yang memahami prinsip-prinsip Wahidiyah, meberitahukan kepada Gus, bahwa informasi tentang Ghautsiyah Mbah KH. Abdul Madij Ma’ruf Qs wa Ra oleh Beliau al-Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, “tidak melanggar ajaran Wahidiyah”
b.      Dan Gus Thoifur yang belum menjadi pengamal Wahidiyah, bersikap seperti telah menjadi pengamal Wahidiyah. Yakni membedakan antara melanggar dan tidak terhadap ajaran Wahidiyah.
c.      Jika penjelasan kami diatas yang berdasar kaidah darai para ulama sunny sufi, jika masih dianggap kurang tepat, apa dasar dan darimana ?. -------------
6.           Tanggapan terhadap kejanggalan keenam.
Pada poin ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada halaman 144 KULIAH WAHIDIYAH Ada keterangan bahwa ghautsu zaman di karuniai hak dan wewenang yang disebut JALLAB - SALLAB yang mana arti jallab= menarik mengangkat meningkatkan iman dan drajat seseorang, sallab = mencabut/ melorot martabat iman seseorang, mana dasar atau dalilnya padahal nabi saja tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
Dalam menjelaskan kejanggalan keenam, uraian kami bagi menjadi 2 bagian : pertama, penjelasan terhadap pernyataan mana dasar atau dalilnya, kedua, penjelasan terhadapa pernyataan padahal nabi saja tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
1.                  Penjelasan terhadap pernyataan, mana dasar atau dalilnya.
a.      Pernyataan ini, menunjukkan Gus lupa - paling tidak -, dengan kitab (Kifayatul Awam, manaqib Syeh Abdul Qadir Ra) yang pernah dipelajari ketika masih nyantri. Atau sebagai petunjuk bahwa Gus telah lupa (belum mengerti) terhadap keputusan Muktamar Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Mahdliyah, yang berkaitan dengan “hal yang semakna” dengan kata SALLAB -JALLAB.
Kalau memang tidak lupa, apakah Gus juga menganggap JANGGAL kepada kitab-kitab itu, dan serta keputusan muktamar tersebut ?.
Kalau jawabannya, YA. Kami bertanya, bagaimana cara Gus hnigga dapat menjadi pengurus NU, khususnya didaerah Kencong ?
Kalau jawabannya, TIDAK. Kami bertanya, apa tujuan dari semua gerakan Gus, yang berkaitan menilai janggal kepada kami  ?. 
b.      Secara tersirat, Qur’an dan hadis telah menjelaskan adanya karomah jallab dan sallab yang dimiliki oleh para waliyullah, dan khususnya al-Ghauts Ra. Pemahaman adanya karomah ini terimplemantasi dalam sikap para pelaku tasawuf, atau oleh para santri dalam setiap pesantren di Indonesia, mereka sangat menjaga adab kepada kiai, agar dapat barokahnya dan tidak kuwalat..
c.      Makna “sallab”, para pembesar ulama kaum sufi telah menulisnya dalam kitab yang mereka tulis, meskipun dengan bahasa lain yang semakna dengan keduanya. Misalnya; Imam Ghazali Ra (kitab Miskat al-Anwar, al-Madlnun bih dan lainnya); Imam Sya’rani Ra (kitab al-Anwarul Qudsiyah, Thabaqat al-Kubra dan lainnya); Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitab al-Ghunyah, al-Fathur Rabbani dan lainnya), Syeh Ahmad Kamasykhanawi (kitab Jami’ al-Ushul); Syeh Ahmad bin Mubarok (kitab al-Ibriz); Syeh Surawardi (kitab Awarif al-Ma’aarif; Syeh Ahmad Zaini Dahlan Ra (kitab Taqribul Ushul), dan para ulama sufi lainnya.
d.      Makna ‘sallab” sepadan dengan arti KUWALAT atau KESIKU. Setiap kiai, ulama waliyullah atau al-Ghaus Ra diberi karomah oleh Allah Swt berupa sallab.
e.      Awal mula penjelasan tentang karomah “SALLAB” yang dimiliki oleh orang tua, para kiai, ulama, waliyullah dan al-Ghauts Ra, baik secara tersurat atau tersirat terdapat dalam  :
e.1. Tidak beradab kepada Rasulullah Saw menjadikan amal lahir atau batin tercabut nilainya. Allah Swt berfirman, Qs. al-Hujurat : 2 :
يَأَيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوْا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُوْنَ.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suaramu diatas suara Nabi dan janganlah kalian mengeraskan ucapanmu kepadanya (Nabi), sebagaimana kekerasan (ucapan) sebagian kalian kepada lainnya. (Sekiranya) terhapus amal kalian sedangkan kamu semua tidak menyadari.
c.2. HR. Imam Bukhari Rasulullah Saw bersabda :   مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ أَذَنْتُهُ بِالحَرْبِ
e.3. Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra, dalam fatwanya tentang karomah yang dimilikinya :  أَنَا نَارُ اللهِ المُوقَدَةُ أَنَا سَلاَّبُ الأَحْوَالِ : Aku ibarat apinya Allah yang dinyalakan. Aku adalah pencabut / menurunkan hal {kebalikan maqam} para salik {orang yang jiwanya menuju Allah}.
            Al-Maghfurlah Mbah KH. Muslih Abdur Rahman (mantan rais jam’iayah ahlit thariqah an-nahdliyah) dalam kitabnya Nurul Burhan (terjemah bahasa jawa terhadap manaqib Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra), dijelaskan :
(أَنَا نَارُ اللهِ المُوقَدَةُ) أَي فمن أذَانِي وَأصَابَنِي بما يؤذيني فقد هلك لأن النار إذي أصابت شيئا أحرق وهلك  (أَنَا سَلاَّبُ الأَحْوَالِ) أي كثير الإزالة مقامات العباد والأولياء الذين لم يتأدبوا بالأدب الكاملة.
e.4. Para waliyullah zaman al-Ghauts Syeh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra menjelaskan; para salik dan murid sangat menjaga adab terhadap para waliyullah dan khususnya al-Ghaus Ra. Sebab, jika mereka su’ul adab kepada al-Gahuts Ra, dapat menyebabkan tercabutnya iman  (سَلْبُ الإِيْمَانِ : pencabut/ menurunkan iman).
c.5. Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Ra berkata : sering para waliyullah itu menyelenggarakan sidang. Persidangan ini kadang dipimpin oleh Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra, dan kadang oleh al-Ghauts sendiri tanpa Rasulullah Saw. 
Syeh Ibnu Mubarok bertanya kepada: “ketika mereka mengikuti siding, bagaimana ahlak para waliyullah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra :
Syeh Ad-Babbag Ra berkata :
لاَيَقْدِرُ أَنْ يُحْرَكَ شَفَتَهُ السُفْلَى لِلمُخَالَفَةِ فَضْلاً عَنِ النُطْقِ بِهَا, فَإِنَّهُ لَوْ فَعَلَ ذَالِكَ لَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ  مِنْ سَلْبِ الإِيْمَانِ, واللهُ أَعْلَم
Tidak mampu mengerakkan bibirnya yang bawah untuk menentang (beliau),  apalagi berbicara. Sesungguhnya sekiranya waly melakukan hal seperti itu, pasti ia takut kalau tercabut imannya. Wallahu a’lam. (kitab al-Ibriiz-nya Syeh Ahmad Mubarok, hlm ; 337).
e.6. Syeh Ibrahim al-Baijuri (kitab Kifayatul Awam, pada bahasan sifat wajib Allah Swt yang keenam “Wahdaniyah”)  :
وَأَمَّا مَا يَقَعُ مِنْ مَوْتِ شَخْصٍ أَوْ إِيْذَائِهِ عِنْدَ اعْتِرَاضِهِ مَثَلاً عَلَى وَلِيٍّ مِنَ الأَوْلِيَاءِ فَهُوَ بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى عَنْ غَضَبِ الوَلِيِّ عَلَة هَذَا المُعْتَرِضِ.
            Sedangkan ketika terjadi kematian atau sakitnya seseorang, misalnya disaat ia menentang wali dari para waliyuulah, adalah sebab merupakan ciptaan (kehendak) Allah Ta’ala, bersamaan dengan marahnya waliyullah tersebut terhadap seseorang yang menentangnya.
            c.7. Dalam buku Permaslahan Thariqah (kumpulan keputusan mu’tamar jam’yah ahlit Tahriqah al-mu’tabarah an-nahdliyah) pada permaslahan 38, ‘memuji dan mencela wali”.
S. Bagimana hukumnya memuji sebagian wali, disamping itu mencela wali yang lain
J. Adapun memuji tanpa membikin-bikin dan tidak bohong, maka tidak mengapa, bahkan disunnahkan. Adapun mencela sebagian wali, hukumnya haram, bahkan menjadi dosa besar, dan kadang menyebabkan kufur.
            Keterangan dari kitab :
a.  Tabshiratul Fashilin, 2.
b.  Syarah al-hikam II/2.
تبصرة الواصلين عن أصول الواصلين في صحيفة 2, ونص عبارته : وَعَلَى الطَاعِنِيْنَ نَدَامَةٌ وَخُسْرَةٌ وَسَبَبُ سُوْءُ الخَاتِمَةِ. وَعَنْ أَنَسٍ وَأَبِي هريرة  : مَنْ أَهَانَ لِي, وروي,  مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَرَزَنِي بِالمُحَارَبَةِ, وفي رواية فَقَدْ أَذَنْتُهُ بِالحَرْبِ. 
Tabshiratul Fashilin, 2 : orang yang menghina wali tersebut menyesal dan merugi dan karena hinaannya itu ia akan mati su’ul khatimah. Diriwayatkan dari Anas dan Abu Hurairah (didalam hadis qudsi, Allah berfirman : Siapa yang menghina wali-KU (menurut riwayat lain): Siapa yang memusuhi wali-KU maka sungguh AKU menyatakan perang terhadapnya.
وفي الجزء الثاني من شرح الحكم صحيفة 2, ما نص : مَنْ خَالَفَهُمْ بَعْدَ عِلْمِهِ كَفَرَ.
Syarah al-Hikam juz II hal. 2 : Siapa yang memusihi mereka (para wali) setelah tahu bahwa mereka itu para wali, maka menjadi kafir.
f.           Sedangkan kata “JALLAAB”, sepadan dengan makna kata “barokah” atau “doa restu” dari ulama, kiai, waliyullah dan al-Ghauts Ra.
f.1. Beradab secara tepat kepada Rasulullah Saw menyebabkan iman dan taqwa menjadi naik (tersallab). Allah Swt berfirman, Qs. al-Hujurat : 3 :
إِنَّ الذِيْنَ يَغُضُّوْنَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ أُولَئِكَ الذِيْنَ امْتَحَنَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ لِلتَّقْوَى, لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيْمٌ.
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya disisi Rasulullah, merekalah orang yang hatinya diuji oleh Allah untuk taqwa.  Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
f.2. Makna kedua hadis berikut ini, sebagai pemberitaan dari Rasulullah Saw tentang jallabnya kiai, waliyullah dan al-Ghauts Ra. 
 إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah. [34]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat. [35]
Fatwa Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra berikut ini, merupakan ulasan tentang karomah jallab-nya al-Ghauts Ra :
أَنَا بَحْرٌ بِلاَ سَاحِلٍ.  يَا رِجَالُ, يَا أَبْطَالُ, يَا أَطْفَالُ هَلُمُّوا إِلَيَّ وَخُذُوا عَنِ البَحْرِ الذِي لاَ سَاحِلَ لَهُ.
            Aku adalah lautan tanpa tepi .... Hai para wali yang menjadi tokoh, hai para wali yang gagah berani, hai para wali yang majdub (seperti balita), kemarilah kepadaku, ambillah dari lautan yang tiada bertepi.
2.   Penjelasan terhadap pernyataan :
padahal nabi saja tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
Agar tidak terbawa nafsu, dalam membahas kedudukan antara makhluk dan Allah Swt,
 sebelum menguraikan penjelasan, ada baiknya kita (termasuk Gus), sejenak merenungkan aqidah kita (ahlussunnah waljamaah) :
Didalam akidah Islam (boleh dibaca dengan sunny sufi), tidak ada makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra) yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan manfaat atau menolak kerugian. Jika makhluk (khususnya Rasulullah Saw, al-Ghauts Ra, waliyullah dan kiai) dapat mendatangkan manfaat atau menolak kemadlaratan, baik untuk dirinya atau untuk lainnya, semua itu terjadi semata-mata hanya atas kehendak dan izin dari Allah Swt. Sebagaimana yang tercermin dalam :
1.                 Firman Allah Swt, Qs. al-A’raf : 108 :  قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.:
Katakanlah (Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan untuk diriku, kecuali sesuatu yang telah dikehendaki oleh Allah.
            Sebagai manusia, Rasulullah Saw tidak dapat mendatangkan manfaat dan menolak kerugian baik untuk dirinya atau lainnya. Namun sebagai rasul, Beliau diberi kekuatan mukjizat oleh Allah Swt, baik hissiy atau maknawi, yang dapat digunakan untuk memberikan syafaat.
2.                 Firman Allah Swt, Qs. Ali Imran  : 126 :  ومَا النَصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ: Tidak ada pertolongan kecuali dari sisi Allah Yang Maha Agung lagi Maha bijaksana.
                        Sumber dan asal semua pertolongan hanyalah datang dari Allah Swt belaka. Makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra) tidak dapat mendatangkannya.
3.                 Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 255  :  مَنْ ذَا الَذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ: Tidak ada sesuatu (seseorang) dapat menolong disisi-Nya, kecuali atas izin-Nya.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsir-nya menjelaskan bahwa ayat ini, mengabarkan adanya syafaat dari mahluk dengan izin Allah Swt.
    هُوَالخَالِقُ لكُلَّ شَيْئٍ, المُدَبِّرُ لِكُلِّ شَيْئٍ, القَادِرُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ  .فَلاَ وَلِيَّ لِخَلْقِهِ سِوَاهُ وَلاَ شَفِيْعَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ
Allah Dzat yang Mencipta segala sesuatu, Yang mengatur segala sesuatu, Yang berkuasa diatas segala sesuatu. Tidak ada penguasa selain Dia dan tidak ada penolong kecuali setelah mendapat izin-Nya.
          Kami menjelaskan :
a.      Karena tidak ada pernyataan lain yang berkaitan dengan pernyataan ini, kecuali yang menguatkannya, maka pernyataan Gus ini kurang jelas arahnya. Mengapa ?.
Gus tidak menjelaskan pernyataan tersebut dari pandangan syariat atau hakikat. Padahal, sampeyan Gus, dalam “kejanggalan pertama” menyatakan (karena tidak di jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat atau hakikot), kenapa dalam kejanggalan keenam Njenengan melanggar prinsip sendiri ?.
Kepada orang lain Gus menggunakan, kepada diri sendiri tidak menggunakan. Kami semakin mengerti arah Gus, menulis pernyataan kejanggalan kepada kami. Yakni, hanya berdasar inters dan bukan berdasar kaidah islamiyah.
Dalam hal ini, kami juga bertanya, apakah Gus lupa dengan buku yang dikeluarkan oleh LBM NU Jember, dengan judul “Membongkar Kebohongan Mantan Kiai NU”. Buku ini menjelaskan kedudukan Allah Swt dan Rasulullah secara jelas dan gamblang.
Dan, kados pundi njenengan niki Gus ?, Sampeyan orang sunny (NU) tulen, nopo sampun berpaham wahhabi, Gus ?. Maaf, ini sekedar bertanya. Sebab tentang siapa Gus, masarakat daerah Kencong lebih mengetahui daripada kami.
b.      Dari pandangan syariat, memang Rasulullah tidak memiliki kemampuan dalam hal SALLAB – JALLAB. Namun dalam pandangan hakikat, beliau dimilikinya.
Makna dari Qs. al-Qashash : 56, adalah pandangan hakikat.
إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالمُهْتَدِيْنَ
Sesungguhynya engkau (Muhammad), tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai. Akan tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah. Dan Dia yang lebih mengetahui kepada orang-orang yang mendapatkan  hidayah.
Sedangkan makna dari Qs. as-Syuraa : 52, adalah dalam pandangan syariat.
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
Dan sesungguhnya engkau  (Muhammad), pasti dapat memberikan hidayah kepada jalan yang lurus.  Jalannya Allah Dzat yang bagi-Nya segala apa yang dilangit dan dibumi. Ketahuilah, hanya kepada-Nya segala urusan kembali.
c.      Tentang makna kedua ayat ini, Syeh Ahmad Zaini Dahlan dalam kitabnya Taqribul Ushul, halaman 57, menjelaskan :  ayat pertama memberitakan hanya Allah Swt yang menciptakan atau memberikan hidayah. Sedangkan ayat kedua, menjelaskan bahwa Rasululah Saw sebagai perantara sampainya hidayah kepada makhluk.
Keterangan yang sepadan, terdapat dalam kitab Jami’ al-Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi, pada bagian “mutammimat”, bahasan al-waridat dalam pandangan ahlussunnah wal jamaah.
d.      Berkaitan dengan makna Qs. al-Qashash : 56, Syeh Abdul Wahhab Sya’rani  dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah, bahasan “sifat Syeh yang wajib dihormai”, menjelaskan; karomah jallaab tidak dapat diterima oleh orang yang hatinya kosong dari mahabbah kepada mursyid/ kiai/ ulama serta enggan mengikuti petunjuknya.
لَكِنْ يُشْتَرَطُ مَعَ ذَالِكَ صِدْقُ المُرِيْدِ وَعَمَلِهِ بِإِشَارَةِ شَيْخِهِ.
Akan tetapi (jallaab) disyaratkan adanya kepercayaan murid kepada Syeh serta menlaksanakan petunjuknya.
e.      Makna yang sepadan dengan makna Qs. as-Syura : 52, terdapat pada :
e.1. Qs. al-Anbiya’ : 73 :
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَلاَةِ وَإِيْتَاءَ الزَكَاةِ  وَكَانُوْا لَنَا عَابِدِيْنَ
Dan Kami jadikan mereka pimpinan yang memberikan hidayah dengan perintah Kami. Dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat baik, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat serta kepada Kami mereka menyembah. (Ayat yang sepadan arti, lihat Qs. as-Sajdah  : 24). 
e.3. Qs. Yusuf : 24  :
     وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُوْءَ وَالفَخْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا المُخْلَصِيْنَ
            Dan sungguh ketika dia (Zulaikha) terkesima dengannya (Yusuf) dan dia (Yusuf) juga terkesima dengannya (Zulaikha), jika sekiranya dia tidak melihat bukti  dari Tuhannya, agar Kami menghindarkannya (Yusuf) dari perbuatan jahat dan keji. Sesungguhnya dia (Yusuf) dari hamba Kami yang dibersihkan.
                      Dalam tafsir Shawi dijelaskan; bahwa sahabat Ibnu Abbas Ra menjelaskan : burhan (bukti) dari Tuhan dalam ayat ini,  adalah kehadiran Nabi Ya’qub As secara ruhani kedalam ruangan Nabi Yusuf As.  اِنْفَرَجَ سَقْفُ البَيْتِ فَرَأَى يَعْقُوْبَ عَاضًا إِصْبَعِهِ  Terbuka atap rumah, dan Nabi Yusuf melihat Nabi Ya’qub yang menggigit jarinya.
Kehadiran Nabi Ya’qub As secara ruhani kedalam kamar Nabi Yusuf As dan Zulaikha, menyebabkan perbuatan jahat mereka tidak terlaksana. Perbuatan Nabi Ya’qub As tersebut dapat dikategorikan kepada sifat sallab (mencabut) terhadap nafsu syahwat maksiat, dan jallab (meningkatkan) iman dan taqwa Nabi Yusuf As kepada Allah Swt.
f.       Dalam kitab-kitab sufi juga telah menerangkannya.
f.1. kitab Awarif al-Ma’arif-nya Imam Suhrawardi, diterangkan bahwa Syeh Mutlaq ini adalah :
فَالشَّيْخُ يُعْطِي بِاللهِ وَيمْنَعُ بِاللهِ. بَلْ هُوَ مَعَ مُرَادِ الحَقِّ وَالحَقُّ يَعْرِفُهُ مُرَادَهُ فَيَكُوْنُ فِي الاَشْيَاءِ بِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى لاَبِمُرَادِ نَفْسِهِ. فَإِنْ عَلِمَ أَنَّ اللهَ يُرِيْدُ مِنْهُ الدُخُولُ فِي صُورَةٍ مَحْمُودَةٍ دَخَلَ فِيْهَا لِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى
Maka Syeh tersebut, memberi dengan (pemberian) Allah, dan menolak dengan (penolakan) Allah. Bahkan dia bersama kehendak Allah dan Allah mengetahui segala kehendaknya. Maka kehendak Syeh dalam segala sesuatau dengan kehendak Allah Swt bukan dengan kehendaknya sendiri. Maka jika (Syeh) mengetahui bahwa menghendakinya masuk dalam bentuk yang mahmudah  maka ia berada dalam seluruh Kehendak Allah Swt.
Atas kehendak Allah Swt, Syeh Kamil Mukammil, memancarkan ilham Allah yang diterimanya kedalam jiwa para murid.
فاَلشَيْخُ لِلْمُرِيْدِيْنَ أَمِيْنُ الالْهَامِ كَمَا أَنَّ جِبْرِيْلَ أَمِيْنُ الوَحْيِ. فَالشَيْخُ مُقْتَدٍ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ظَاهِرًا وَبَاطِنًا لاَيَتَكَلَّمُ بِهَوَى النَفْسِ
     Syeh kepada murid terpercaya dalam penyampaian ilham (Allah) sebagaimana Jibril terpercaya dalam penyampaian wahyu.  Syeh mengikut Rasulullah Saw secara lahir dan batin.
 Syeh berbicara tidak dengan hawa nafsunya.
f.2. Imam al-Ghazali Ra, dalam kitabnya Misykatul-Anwar pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan  :
  وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي إِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ, وَكذَالِك العُلَمَاءُ
Dan “Nur ilahiyah” ini diwujudkan khusus untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan Muniran (pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita, demikian pula ulama (khusushan, al-Ghauts Ra).
f.3. Kitab Jami al-Ushuul-nya Syeh Kamsykhanawi Ra, dalam bahasan “madhahir al-auliya wa maraatibihim fii al-asma’ al-ilahiyah” , menjelaskan  :
عَبْدُ المُعِزِّ : هُوَ مَنْ تَجَلَّى الحَقُّ لَهُ بِاسْمِهِ المُعِزِّ, فَيُعِزُّ مَنْ أَعَزَّهُ اللهُ بِعِزَّتِهِ مِنْ أَوْلِيَائِهِ.
(Waliyullah yang bergelar) Abdul Mu’iz  (hamba Dzat Yang meninggikan) : dia adalah orang yang Allah bertajalli kepadanya dengan asma al-Mu’iz (Yang Meninggikan). Dan melalui walyullah, Allah meninggikan / menaikkan derajat seseorang yang dikehendaki-Nya.
عَبْدُ المُذِلِّ : هُوَ مَظْهَرُ صِفَةُ الإِذْلاَلِ, لِيُذِلَّ بِمَذْلِيَةِ الحَقِّ كُلَّ مَنْ أَذَلَّهُ اللهُ مِنْ أَعْدَائِهِ بِاسْمِهِ المُذِلِّ الذِيْ تَجَلَّى بِهِ لَهُ.
(Waliyullah yang bergelar) Abdul Mudzil (hamba Dzat Yang Merendahkan) : dia adalah tempat penampakan sifat menghinakan. Dengan melalui (waliyullah) yang menjadi tempat menghinakannya Allah kepada orang yang dihinakan-Nya, (yang terdiri) dari musuh-Nya. Dengan asma al-Mudzil yang ditajallikan kepada mukmin yang bergelar Abdul Mudzil.
f.4. Kitab al-Anwarul Qudsiyah (Imam Sya’rani Ra) bab “ikatan hati murid kepada qalbu Guru Mursyid :
وَمِنْ شَاْنِهِ دَوَامُ رِبْطُ قَلْبِهِ مَعَ الشَيْخِ وَالإِنْقِيَادُ لَهُ وَرُؤْيَةُ اعْتِقَادِهِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَ جَمِيْعَ أَمْدَادِهِ لاَيَخْرُجُ إِلاَّ مِنْ بَابِ شَيْخِهِ. وَأَنَّ شَيْخَهُ هُوَ المَظْهَرُ الذِيْ عَينُهُ اللهُ تَعَالَى لِلإِفَاضَةِ عَلَيْهِ مِنْهُ. وَلاَ يَحْصُلُ لَهُ مَدَدٌ وفَيْضٌ إِلاَّ بِوِاسِطَتِهِ.
Diantara etika murid : melestarikan ikatan batin murid kepada Guru ruhani, tunduk kepada perintahnya, memiliki i’tikad sesungguhnya Allah Swt menjadikan seluruh pemeliharaan terhadap dirinya, tidak akan keluar kecuali melalui pintu Guru ruhaninya. Dan Guru ruhani tersebut merupakan tempat penampakan pemeliharaan-Nya kepada murid. Dan tidak dapat meraih nikmat imadad dan pancaran makrifat, kecuali melalui Guru ruhaninya.
g.      Kemudian dalam penggunaan sehari-hari, kata jallaab dan sallaab memiliki dua makna : makna umum yang dimiliki oleh setiap makhluk, dan makna khusus yang ditujukan kepada para waliyullah, al-Ghauts Ra dan Rasulullah Saw.
Makna umum; air dapat men-salaab (merampas) rasa haus, serta dapat men-jalaab (mendatangkan) kesegaran tenggorokan atau tubuh; api dapat men-jalaab (mendatangkan, membuat) masakan menjadi masak, serta dapat men-salaab air (berubah menjadi uap), racun dapat men-sallaab nyawa manusia yang kemudian menjadi mati. Dokter dapat meningkatkan/ menambah (jallab) penyakit serta dapat mencabut/ menghilangkan (sallab) penyakit pasien.
Jika seseorang memahami kekuatan air, api, racun atau dokter tersebut keluar dari diri mereka sendiri (tanpa izin dan kehendak dari Allah Swt, tanpa didasari prinsip billah - dalam istilah wahidiyah), maka dalam pandangan ahlus sunnah wal jamaah; iman orang tersebut masih bercampur dengan paham syirik.
h.      Sedangkan makna khusus, sallab jallaab sebagai karomah yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan sangat berkaitan sekali dengan sesuatu yang gaib, seperti seorang dukun/ paranormal doa mantranya dapat meningkatkan (jallaab) rasa sakit atau dapat menghilangkan/ mencabut (sallab) penyakit pasiennya. Demikian pula kondisi ahwal/ derajat setiap salik atau keimanan seseorang bisa naik atau turun berkat ma’unah atau karomah para kiai, ulama atau waliyullah Ra.
Misalnya, bila dalam lingkungan suatu kaum terdapat seorang ulama atau kiyai, maka iman masarakat akan meningkat, atau bila dalam lingkungan masarakat terdapat tempat maksiat, atau pelaku maksiat yang pandai mempengaruhi orang lain, maka iman sebagian masarakat akan melorot. Jika hal ini dipahami dengan paham yang syirik, maka timbul kesimpulan bahwa iman manusia dapat naik atau turun bukan disebabkan oleh kekuasaan Allah Swt, namun oleh kondisi manusia atau oleh lingkungan. Dengan demikian, karomah sallab jallab akan ternilai keluar dari syariat Islam (sesat). Dan ternilai ajaran yang benar, bila dipandang dengan iman yang bersih dari paham syirik.
i.        Setiap waliyullah, ulama, kiai, bahkan para pejuang (dalam segala bidang) diberi karomah jallab dan sallab oleh Allah Azza wa Jalla. Misalnya :
1)     Bangsa Indonesia (khususnya dijawa) mengenal iman dan Islam berkat perjuangan (jallab) dari para Wali Songo.
2)     Banyak dari para masyayikh kita (khususnya di Jawa), yang menjadi pejuang Islam (waliyullah, ulama dan kiai) berkat perjuangan dan karomah doa (jallab) dari Hadlartus Syeh  al-Maghfurlah Mbah KH. Kholil (nafa’anallohu bi ‘uluumihi) Bangkalan Madura.
3)     Jika dilingkungan suatu tempat atau daerah terdapat pondok pesantren, sudah tentu iman para santri dan masarakat, akan menjadi tertata dan naik ketingkat yang lurus (shirothol mustaqim). Hal ini tentu disebabkan oleh karomah jallab dan doa restu dari Mbah Kiai Pengasuh pesantren tersebut.
4)     Bangsa Indonesia, naik (terjallab) setatusnya dari terjajah menjadi merdeka.
----------------------
  
7.           Tanggapan terhadap kejanggalan ketujuh.
Pada poin ini kami nukilkan pernyataan Gus Thoifur  :
Pada hatam 8 PEDOMAN POKOK-POKOK WAHIDIYAH menggunakan ayat:
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ – ال عمران : 101
"Dan barang siapa yang berpegang teguh sadar BILLAH maka sungguh ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (fersi wahidayah).
Ayat tersebut di jadikan dalil "KEBAIKAN DAN KEUNTUNGAN SADAR BILLAH (sadar dalam segala perbuatan dohir batin senantiasa merasa bahwa yang menggerakkan dan menciptakan adalah alloh baik dalam ketoatan atau maksiat), padahal dalam kitab-kitab tatsir yang dimaqsud ayat tersebut adalah "BARANG SIAPA YANG BERPEGANG TEGUH PADA AGAMA ALLOH MAKA TELAH MENDAPAT HIDAYAH (PETUNJUK) MENUJU KE JALAN YANG BENAR, bukan masalah keuntungan dan kebaikan sadar BILLAH.
Kami menjelaskan :
a.      Dengan pernyataan (“padahal dalam kitab-kitab tatsir yang dimaqsud ayat tersebut adalah "BARANG SIAPA YANG BERPEGANG TEGUH PADA AGAMA ALLOH MAKA TELAH MENDAPAT HIDAYAH (PETUNJUK) MENUJU KE JALAN YANG BENAR, bukan masalah keuntungan dan kebaikan sadar BILLAH”.) diatas, tampaknya Gus Thoifur untuk mendukung kemauannya dalam menyalahkan buku kami, berani menyempitkan makna kata بِالله pada ayat tersebut. Yang mana hanya dimaknainya dengan makna “PADA AGAMA ALLOH”.
Dengan dasar dan dalil apa dan darimana, Gus Thoifur berani menyempitkan makna firman Allah Azza wa Jalla tersebut ?.  Padahal gaya berpikir dan bersikap seperti ini bukan tradisi ulama NU.
Dalam memahami ayat tersebut, tampaknya Gus Thoifur ingin mengajak kita dan kepada siapapun yang mau, untuk mengikuti tafsirnya yang hanya merujuk kepada kitab tafsir Shafwah at-Tafasir Ali as-Shabuni (dosen fakultas Syariah pada Universitas Abdul Aziz Makkah al-Mukarramah, dalam) saja. Dan dianggapnya janggal bila seseorang mengikuti tafsiran ulama lain yang telah mashur.
Dalam kitab tafsirnya Shafwah at-Tafasir, Ali as-Shabuni menerangkan :
(وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ) يتمسك بدينه الحق الذي بيَّنه بأياته على لسان رسوله فقد اهتدى إلى أقوم طريق.
b.      Sedangkan sebagai dasar kami dalam memaknai redaksi بِاللهِ dalam ayat 101 surat Ali Imran, dengan makna sebagaimana dalam buku kami (SADAR BILLAH), antara lain :
·     Dalam kitab tafsir Madaarik at-Tanziil-nya Syeh Abul Barakat an-Nasafi, memberikan makna ayat tersebut dengan makna yang agak luas  :
(وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ) ومن يتمسك بدينه أو بكتابه أو حث لهم على الإلتجاء في دفع شرور الكفار ومكايدهم (فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ) أرشد إلى دين الحقِّ أو ومن يجعل ربه ملجاء ومفزعا عند التشبه يحفظه عن التشبه
  (وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ) Dan barang siapa berpegang teguh dengan agama Allah atau kitab-Nya, atau sebagai dorongan kepada mukmin agar berlindung (kepada-Nya) dalam menolak kejahatan dan tipu daya orang kafir. (فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ) diberi petunjuk kepada agama yang benar, atau barang siapa yang menjadikan Tuhannya sebagai tempat berlindung dan berteduh ketika mengalami tasyabuh, maka (Allah) akan menjaganya dari ketasyabuhan.
·     Dalam kitab tafsir Sirajul Munir-nya Syeh Khathib as-Syarbini, diterangkan :
(وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ) وَمَنْ يَتَمَسَّكُ بِدِيْنِهِ أَوْ يَلْتَجِئُ إِلَيْهِ فِي مَجَامِعِ أُمُورِهِ (فَقَدْ هُدِيَ) حَصَلَ لَهُ الهُدَى (إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
      (وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ) Dan barang siapa berpegang teguh dengan AGAMA-Nya, atau mengungsi kepada-Nya dalam semua urusannya.
·     Dalam kitab Jami’ al-Ushul-nya Syeh Kamsykhanawi Ra dalam bab “uzlah” diterangkan :
ولا تَغْتَر باِعْتِزَالِ بَدَنِكَ وَالقَلْبُ مَعَهُمْ فَاهْرُبْ إِلَى اللهِ فَإِنَّ مَنْ هَرَبَ إِلَى اللهِ أَوَّاهُ اللهِ وَحَفَظَهُ, وَصِفَةُ الهُرُوبِ إِلَى اللهِ بِالكَرَاهَةِ لِجَانِبِهِمْ وَالمَحَبَّةُ لِجَانِبِ الحَقِّ بِاللجَاءِ إِلَيْهِ وَالإِعْتِصَامِ بِهِ (وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
Janganlah tertipu dengan penyendirian (uzlah) badanmu (dari manusia) sedangkan hati bersama mereka. Maka cepat-cepat larikanlah (hatimu) kepada Allah. Sesungguhnya orang berlari kepada Allah, adalah orang yang berlindung dengan perasaan merendah kepada Allah, dan DIA akan menjaganya. Sifat atau keadaan berlari kepada Allah itu, ketika berada dilingkungan manusia (makhluk), dengan cara dipaksakan. Sedangkan mahabbah/ cinta pada keharibaan Dzat yang Haq, dengan cara berlindung kepada-Nya serta memohon penjagaan kepada/ dengan-Nya (bihi : BILLAH) (وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
c.      Dan pula kata بِالله, baik pada ayat tersebut atau pada beberapa ayat lainnya, – disamping diartikan dengan agama Alloh - dapat juga diartikan dengan ILMU/ MA’RIFAT/ SADAR BILLAH.
Dalam kitab Jam’ul Jawami’ juz I, bahasan makna hurup ba’, memiliki beberapa makna; antara lain : al-ilshaq (baik dalam artian majaz atau hakikat), al-isti’anah, as-sababiyah, al-mushahabah serta at-taukid.
Pemberian makna seperti ini sangat penting. Hal ini terbukti dilakukan oleh para ulama mufassir hadis dan ayat al-Qur’an. Misalnya :
1)                     “Makrifat/ sadar billah, yang maknanya diambil kata بِالله merupakan prinsip utama kaum sufi. Dan karenanya, ulama sufi, disebut “AL-‘ARIF BILLAH”.
2)                     Dapat juga kata بِاللهِ merupakan ringkasan dari  لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
3)                     Dan Imam Bukhari (Shahih pada “kitab iman”), Rasulullah Saw, menerangkan adanya “ilmu/ makrifat billah”, dalam  bab  : قَوْلُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِاللهِ . Dan Imam Bukhari memaknainya dengan makrifat billah : وَأَنَّ المَعْرِفَةَ فِعْلُ القَلْبِ : dan sesungguhnya makrifat itu perbuatan hati, meskipun dapat pula dimaknai dengan “Aku orang yang paling mengetahui diantara kamu semua tentang agama Alloh”.
Dan dalam kitab ar-Risyalah al-Qusyairiyah-nya Imam al-Qusyairi pada bahasan ke 45 (al-ma’rifah billah), dijelaskan :
المَعْرفَةُ عَلَى لِسَانِ العُلَمَاءِ هِيَ العِلْمُ. وَكُلُّ عَالِمٍ بِاللهِ تَعَالَى عَارِفٌ, وَكُلُّ عَارِفٍ عَالِمٌ.
Ma’rifah dalam bahasa ulama adalah ilmu. Setiap orang yang alim BILLAH TA’ALA adalah orang ma’rifat, dan setiap orang ma’rifat adalah orang alim.
4)                     HR. Bukhari dalam kitab iman Rasulullah Saw ditanya oleh seseorang : Apakah perbuatan yang paling utama ?. Beliau bersabda :
إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ, قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟. قَالَ : الجِهَادُ فِي سِبيْلِ اللهِ. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟. قَالَ : حَجٌّ مَبْرُورٌ
              Iman Billah dan Birrasul. Ditanyakan : kemudian apalagi ?. Beliau bersabda : berjuang dijalan Allah. Ditanyakan : kemudian apalagi ?. Beliau bersabda : haji yang mabrur.
5)                     HR. ad-Dailami dari Baginda Aisyah Ra (istri Baginda Nabi Shallallohu Alaihi Wasallam), [36] yang menerangkan; penyangga agama adalah MAKRIFAT  BILLAH.
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ دِعَامَةَ البَيْتِ أَسَاسُهُ, وَدِعَامَةَ الدِيْنِ المَعْرِفَةُ بِاللهِ تَعَالَى وَاليَقِيْنُ والعَقْلُ القَامِعُ. فَقُلْتُ : بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي, مَا العَقْلُ القَامِعُ ؟. قَالَ : الكَفُّ عَنْ مَعَاصِي اللهِ وَالحِرْصُ عَلَى طَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Nabi Saw bersabda : Sesungguhnya penyangga rumah adalah pondasinya. Sedangkan pengangga agama adalah ma’rifat billah, keyakinan dan akal yang mengendalikan.
6)                     HR. Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda :

قَال الله تَعالَى : فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ سَاَلَنِي اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.   

Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya digunakan untuk mendengarkan, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan untuk menggenggam, menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.

 

7)                     Dalam Sunan ad-Darimi (juz I nomer hadis : 359), diterangkan : Imam Sofyan Tsaury, memaknai kata  بِاللهِ  dengan “makrifat/ ilmu” :
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ : عَالِمٌ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
8)                     Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Fathur Rabbani, pada majlis ke 62 (bab “tauhid”), menerangkan  : يَابُنَيَّ عَلَيْكَ بِاللهِ لاَتَشْتَغِلْ بِغَيْرِهِ الدَارُ دَارُهُ وَالأَرْزَاقُ خَلْقُهُ  : Wahai anakku, wajib bagi kamu (berpegang kepada ilmu) BILLAH. Dan janganlah kamu sibuk dengan selain-Nya, karena dunia ini adalah dunia-Nya dan rizqi adalah makhluk-Nya.
9)                     Makna kata بِالله dapat pula diartikan dengan berlindung/ mengungsi kepada kekuasaan Alloh Subhanahu Wata’ala. Qs. an-Nahl : 97 :
وَإِذَا قَرَأْتَ القُرْأَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَيْطَانِ الرَجِيْمِ.
                         Dan ketika kamu membaca al-Qur’an, berlindunglah kamu kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.     ----------------------
  
8.           Tanggapan terhadap kejanggalan delapan.
Pada poin ini kami nukilkan pernyataan Gus Thoifur  :
Pada halaman 9 PEDOMAN POKOK-POKOK WAHIDIYAH menggunakan ayat:
            وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ – يوسف : 106
"Dan sebagian besar dari mereka tidak sadar BILLAH melainkan mereka masih mempersekutukan ALLOH" (fersi wahidiyah).
Ayat tersebut di jadikan dalil KERUGIAN DAN KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH, dan disitu wahidiyah menjelaskan bahwa orang yang tidak sadar BILLAH masih tergolong orang yang syirik khofi.
Sebelum menjelaskan kejanggalan Gus, sejenak kita mengingat fatwa Imam as-Suyuti Ra (kitab al-Haawi lil Fatawi juz II bab tasawuf) :
فَإِنَّ الخَوَاص يَطْلِقُوْنَ لَفْظَ الكُفْرِ وَالفُسُوقِ عَلَى مَالاَ يُطْلِقُهُ الفُقَهَاءُ.
Sesungguhnya, kaum khawash memutlakkan kata kufur dan fusuq kepada makna yang tidak digunakan oleh kaum fuqaha. 
Kami menjelaskan  :
Alasan kami menjadikan ayat tersebut sebagai dalil KERUGIAN DAN KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH, antara lain :
a.      Al-Mukarrom Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, dalam salah satu fatwanya dalam pengajian kitab al-Hikam, menjelaskan : “sadar BILLAH merupakan inti dari benih iman kepada Allah Swt.  Karena dengan sadar BILLAH, seseorang akan mudah memiliki sifat-sifat hati yang terpuji. Misalnya; syukur, sabar, ridla, qana’ah, tawakal, malu dan taubat, mahabbah, ikhlas, makrifat dan sifat-sifat yang terpuji lainnya.
1)     Ketika mendapatkan nikmat, cepat bersyukur serta takut meng-kufuri-nya, karena ia menyadari nikmat yang diterima semata-mata atas karunia-Nya semata.
2)     Ketika ada musibah, cepat sabar dan ridla, karena ia menyadari bahwa musibah itu datangnya dari Allah untuk menguji keimanannya. Sedangkan berusaha keluar dari musibah, semata-mata karena mengikuti perintah-Nya, dan hilangnya musibah adalah fadlol-Nya.
3)     Ketika melihat orang lain mendapatkan nikmat, cepat memiliki sifat qanaah, karena ia menyadari pengatur dan pembagi rizki hanyalah Allah sendiri, sedangkan manusia hanya berusaha, dan Tuhan yang menentukan.
4)     Ketika sedang malakukan ikhtiar tentang kebaikan (bekerja, mengatur keluarga atau lingkungan), jiwa memiliki perasaan tawakkal kepada-Nya, karena ia menyadari keberhasilan hanya dalam kekuasaan dan ridla-Nya.
5)     Ketika seseorang sedang terpeleset kedalam perbuatan maksiat, ia cepat memiliki rasa malu (haya’) kepada Allah dan segera ber-taubat, karena ia menyadari Allah Maha Dekat lagi Maha Melihat dan lagi Maha Mengetahui lahir batin makhluk.
6)     Ketika beribadah, mudah memiliki sifat ikhlas, karena ia menyadari, bahwa dirinya  dapat beribadah atas pertolongan-Nya.
7)     Ketika bersama makhluk seseorang cepat sadar kepada Allah, karena semua makhluk , tidak ada yang terlepas dari kekuasaan-Nya.
8)     Dan masih banyak sifat hati terpuji lainnya yang muncul dari SADAR BILLAH.
b.      Kata BILLAH ketika dirangkai dengan SYIRIK, bermakna : menyekutukan Allah dengan makhluk. Yakni, tanpa Dia, segalanya menjadi tiada. Dengan demikian, orang yang musrik hatinya, adalah orang yang tidak menyadari bahwa segalanya sebab Dia, atau dengan kata lain; segalanya sebab makhluk itu sendiri.
Seperti keterangan dalam fatwa para ulama : 
b.1. Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitab al-Fathur Rabbani, pada majlis ke 38), menerangakan : لاَ يَنْفَعُكَ تََوْحِيْدُ اللِسَانِ مَعَ شِرْكِ القَلْبِ  : Tidak memberikan manfaat kepadamu, tauhid nya lisan dengan disertai syiriknya hati.
b.2. Dalam kitab Syarah al-Hikam-nya Syeh Ibnu Ibad (pada kalam hikmah al-a’maal shuwar qaa-imah, wa arwaahuha wajudul ikhlash fiihaa), dijelaskan :
صَحِّحْ عَمَلَكَ بِالإِخْلاَصِ وَصَحِّحْ إِخْلاَصَكَ بِالتَبَرِّي مِنَ الحَوْلِ وَالقُوَّةِ
            Benarkan amalmu dengan ikhlas, dan benarkan ikhlasmu dengan pembebasan dari daya dan kekuatan (makhluk)  .
b.3. Imam Ghazali (kitab Raudlatut Thalibin, pada muqaddimah), menjelaskan :
إِعْلمْ أَنَّ إِنْقِطَاعِ الخَلْقِ عَنِ الحَقِّ بِوَقُوْفِهِمْ مَعَ الخَلْقِ وَمَعَ أَنْفُسِهِمْ وَرُؤْيَتِهِمْ أَفْعَالَهُمْ وَانْحِرَافِهِمْ عَنِ العَقِيْدَةِ الصَحِيْحَةِ. إِعْلَمْ أَنَّ الوَقُوْفَ مَعَ الخَلْقِ حِجَابٌ عَنِ الحَقِّ وَرُؤْيَةُ الأَفْعَالِ شِركٌ, لأَنَّ أَفَعَالَ العِبَادِ مُضَافَةٌ إِلَى اللهِ تَعَالَى خَلْقَا وَإِيْجَادًا وَإِلَى العَبْدِ كَسْبًا لِيُثَابَ عَلَى الطَاعَةِ وَيُعَاقِبَ عَلَى المَعْصِيَةِ.
Ketahuilah, sesungguhnya terputusnya makhluk dari Dzat Yang Maha Nyata, disebabkan berhantinya mereka bersama makhluk dan bersama nafsunya, serta melihatnya mereka terhadap af’alnya serta penyimpangan mereka dari aqidah yang benar.
Ketahuilah, sesungguhnya berhenti bersama makhluk merupakan hijab kepada Tuhan, dan melihat perbuatannya adalah syirik (menyekutukan Allah dengan dirinya sendiri). Karena perbuatan hamba disandarkan kepada Allah baik penciptaannya maupun pewujudannya. Sedangkan penyandaran perbuatan kepada hamba merupakan kasab untuk menerima pahala atas ketaatan dan menerima siksa atas kemaksiatan.
                        Berdasar beberapa keterangan diatas, janggalkah bila kami menjadikan Qs. Yusuf : 106, sebagai dalil motivasi terhadap KERUGIAN DAN KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH.
Kalau masih dianggap janggal oleh Gus, kami bertanya, atas dasar apa ?.
c.      Syeh Abul Barakat Abdullah Mahmud an-Nasafi, (tafsir Madaarik at-Tanzil), menjelaskan makna iman BILLAH berkorelasi dengan kemusyrikan  :
(وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ – يوسف : 106)
أي فِي إِقْرَارِهِ بِاللهِ, وَبِأَنَّهُ خَلَقَهُ وَخَلَقَ السَمَاوَاتِ وَالأَرْضَ إِلاَّ وَهُوَ مُشْرِكٌ بِعِبَادَةِ الوَثَنِ. وَقَالَ الجُمْهُوْرُ : أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي المُشْرِكِيْنَ. لأَنَّهُمْ يُقَرِّرُوْنَ بِاللهِ خَالِقَهُمْ وَرَازِقَهُمْ. وَإِذَا حَزِبَهُمْ أَمْرٌ شَدِيْدٌ يَدْعُوْنَ اللهَ وَمَعَ ذَالِكَ  يُشْرِكُوْنَ بِهِ غَيْرَهُ. وَمِنْ جُمْلَةِ الشِرْكِ مَايَقُوْلُهُ القَدَرِيَّةُ مِنْ إِثْبَاتِ قُدْرَةِ التَخْلِيْقِ لِلعَبْدِ. وَالتَوْخِيْدُ المَحْضُ مَايَقُوْلُهُ أَهْلُ السُنَّةِ, وَهُوَ أَنَّهُ لاَخَالِقَ إِلاَّ اللهُ.
Artinya, (kemusyrikannya) dalam pengakuannya kepada Allah (billah), dan sesungguhnya Allah-lah yang menciptakannya, dan menciptakan langit dan bumi, namun dia menyekutukan dengan penyembahan berhala.[37]
Dan jumhur ulama mengatakan bahwa ayat tersebut turn kepada kaum musyrikin. Karena, dan  sesungguhnya mereka mengikrarkan iman kepada Allah (billah) yang menciptakan mereka dan yang member rizki mereka. Dan ketika mereka ditimpa perkara yang berat, mereka berdoa kepada Allah. Dan bersamaan itu pula mereka menyekutukan-Nya dengan lain-Nya. Dan dari bagian syirik adalah pemahaman yang diucapka oleh kaum QADARIYAH, yang menetapkan kekuasaan penciptaan perbuatan pada hamba.
Sedngkan tauhid yang murni adalah pemahaman yang diucapkan oleh kaum ahlussunnah, yakni “tidak ada pencipta kecuali Allah”.
d.      Tidak sadar atas kehendak-Nya (BILLAH), termasuk bagian dari perbuatan syirik. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs. an-Nahl : 53 - 54  :
وَمَا بِكُمْ مِن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمْ الضُرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ. ثُمَّ إذَا كَشَفَ الضُرُّ عَنْكُمْ إِذَا فَرِيْقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ مُشْرِكُونَ
Nikmat apa saja yang kamu peroleh, datangnya dari Allah. Dan apabila kamu mengalami kesulitan kepada-Nya kamu minta pertolongan. Kemudian apabila Tuhan menghilangkan kesulitan itu padamu, maka sebagian dari kamu, dengan Tuhannya mempersekutukan.
e.      Imam Ahmad As-Shawi (Hasyiah ala al-Jalaalain), terhadap Qs. Yusuf : 106,  menjelaskan : 
وَمَا يَعْتَرِفُ أَكْثَرُهُمْ بِالتَوْحِيْدِ حَيْثُ يَقُوْلُوْنَ اللهُ هُوَ الخَالِقُ الرَزَّاقُ المُعْطِي المَانِعُ وَغَيْرُ ذَالِكَ
Kebanyakan mereka tidak memahami dengan tauhid, disaat mereka mengucapkan : Allah adalah Pencipta, Pemberi rizki, Pemberi, Penolak dan lain sebagainya  إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ) : kecuali mereka pada musyrik)
f.       Syeh Khathib as-Syarbini (kitab tafsir Sirajul Munir), tentang makna BILLAH adalah, بِأَنَّهُ الخَالِقُ الرزَاقُ : Sesunggunya Dia Dzat Pencipa dan Pemberi rizqi :
(وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ) حَيْثُ يُقِرُّوْنَ بالله بِأَنَّهُ الخَالِقُ الرزَاقُ (إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ)
            : وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ)  tidak iman kebanyakan mereka(, disaat mereka mengikrarkan Billah, Sesunggunya Dia Dzat Pencipa dan Pemberi rizqi إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ) : kecuali mereka semua musyrik(
Dengan ketarangan diatas, oleh Gus masih dianggap JANGGAL, kami bertanya, apakah aqidah Gus tidak sebagaimana aqidah kaum asy’ariyah ?.
g.      Rasulullah Shallallohu Alaihi Wasallam  bersabda :
·        HR. Imam Ahmad bin Hanbal : [38]   إِتَّقُوا الشِرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَمْلِ  Takutlah kamu semua akan syirik. Sesungguhnya syirik itu lebih lebih samar daripada semut hitam diwaktu malam.
·        HR. Imam Nasai : [39]  الشَهْوَةُ الخَفِيَةُ وَالرِيَاءُ شِرْكٌ   : Keinginan (kemauan) yang sama , merupakan perbuatan syirik.
·        HR. Imam Ibnu Majah : [40]
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الإِشْرَاكُ بِاللهِ أَمَّا إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلاَ قَمَرًا وَلاَ وَثَنًا
ولَكِنَّ اعْمَالاً لِغَيْرِ اللهِ وَشَهْوَةً خَفِيَةً.
Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari sesuatu yang aku khawatirkan terhadap ummatku adalah syirik kepada Allah.Sedangkan aku tidak mengatakan mereka menyembah matahari, bulan dan berhala. Akan tetapi amal yang (dilakukan) karena selain Allah dan syahwat (keinginan) yang tersembunyi.
-----------------------
9.           Penjelasan terhadap hal yang pernah dipermasalahkan.
       I.            Garansi terhadap kepastian mendapatkan maziyah shalawat Wahidiyah.
                       
            Sebelum  menjelaskan jawaban, sejenak kita mengingat kembali fatwa Imam Syafi’i dan Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Imam Syafi’i mengatakan : [41]
   وَاُحِبُّ أَنْ يُكَثِّرَ الصَلاَةَ عَلَيْهِ عَلَى كُلِّ الحَالاَتِ. لأَنَّ ذِكْرَ اللهِ بِالصَلاَةِ عَلَيْهِ إِيْمَانٌ بِاللهِ وَِعِبَادَةٌ لَهُ
Dicintai (oleh Allah), sekiranya seseorang dapat memperbanyak shalawat kepada Nabi Saw didalam segala keadaan. Karena sesungguhnya dzikir kepada Allah dengan bershalawat nabi adalah(realisasi) dari iman kepada Allah seta ibadah kepada-Nya.
Syeh Yusuf an-Nabhani menjelaskan :[42]   أنَّهَا تُوصِلُ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ: sesungguhnya (shalawat nabi) itu dapat me-wushul-kan kepada Allah tanpa guru.
          Kami menjelaskan :
a.        Garansi terhadap sesuatu yang dipromosikan, agar masarakat dapat mengerti manfaatnya, merupakan adat dalam kehidupan. Sebagai contoh, hampir semua lembaga pendidikan atau pesantren, mencantumkan garansi (baik dalam brosur yang diedarkan, atau melalui lisan para pengelola yang diceritakan dari orang keorang), bahwa setiap mahasiswa, siswa atau santri yang mengikuti pendidikan didalam lembaga tersebut, akan menjadi orang yang baik dan berkualitas.
Dan ........, bagi mereka yang memiliki “tafsir sentimen”, atau mereka yang tidak memiliki memiliki niatan baik, akan berpikir bahwa lembaga/ pesantren tersebut termasuk kelompok yang berpikir sesat atau janggal. Karena telah mengaku memiliki sifat seperti sifat Allah Swt.
Menurut pemilik tafsir sentimen, “yang membuat manusia pandai dan berkualitas adalah Allah Swt, dan bukan manusia atau lembaga pendidikan. Dan karenanya, lembaga tersebut, harus dihujat dengan hujatan yang setimpal, bahkan kalau dapat dukungan dari masarakat, lembaga tersebut harus disingkirkan.
b.        Semestinya, hamper setiap ulama salafus shalih, memberikan jaminan (garansi) selamat dari neraka, terkabulnya hajat, terampuninya dosa, kepada seseorang yang mengamalkan amalan yang dita’lifnya.
Namun, yang perlu diperhatikan disini, garansi dari para ulama tersebut :
b.1.   Bersifat “tahaddus bin ni’mah” saja, karena pengalaman mereka yang telah mengamalkan amalan yang dipromosikan, benar-benar merasakan manfaatnya.
b.2.  Disandarkan kepada keterangan dari beberapa hadis yang berkaitan dengan manfaat bacaan “kalimat suci” atau “shalawat” yang mereka amalkan.
            Misalnya, semua amalan shalawat (baik maktsurah atau yang tidak maktsurah), “pasti” akan diterima Allah Swt. Dari kata ‘pasti” tersebut, lahirlah garansi.
b.3.   Senantiasa berprinsip Laa Haula Wala Quwwata Illa Billah.
Sebab para ulama tetap memahami, bahwa ujung-unjungnya, diterima atau tidaknya amal tergantung kepada rahasia kebijaksanaan Allah Swt. Sedangkan Rasulullah Saw atau para ulama, memberikan garansi tersebut karena adanya perintah dari-Nya yang tercermin dalam wahyu baik yang tertulis pada al-Qur’an maupun al-Hadis.
            Jadi, garansi tersebut bukan keluar dari nafsu muallif yang berkeinginan agar ta’lifannya menjadi manis dan laris, akan tetapi lebih disebabkan oleh keterangan yang diambil dari hadis Rasulullah Saw.
Diantara para ulama Ra tersebut, adalah :
a.      Para waliyullah Ra, yang menyusun system dan wirid thariqah, hizib maupun macam-macam jenis riyadlah dengan wirid asma’.
b.      Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra.
Dalam kitab al-Lujain ad-Dani, diterangkan tentang fatwa Syeh Ra :
            مَا مَرَّ مسلِمٌ عَلَى بَابِ مَدْرَسَتِي إِلاَّ خَفَّفَ اللهُ عَنْهُ العَذَابَ يَوْمَ القِيَامَةِ.
                        Tidak ada orang Islam yang melewati pintu madrasah (system pendidikan)-ku, kecuali Allah meringankan siksaan baginya dihari kiamat.
Gaya bahasa yang dipakai oleh Syeh Ra ini, menggunakan gaya “nafi” (tidak ada seorang muslim yang melewati madrasahku) dan “itsbat” (kecuali Allah akan meringankan siksaannya  diakhirat). Gaya seperti ini, bertujuan kepastian (garansi).
Garansi ini benar-benar terbukti. Yakni, dikisahkan; suatu saat terdapat kuburan seseorang yang sering mengeluarkan jeritan kesakitan. Setelah Syeh Ra mendapat laporan dari masarakat, beliau mengunjungi kuburan tersebut, dan berfatwa : وَلاََ بُدَّ أَنْ يَرْحَمَهُ اللهُ تَعَالَى. إِنَّ هَذَا زَارَنِي مَرَّةً : Sesungguhnya orang ini pernah berziarah kepadu sekali saja, dan sebagai ketentuan, Allah Swt akan merahmatinya. Dan retelah dikunjungi Syeh Ra kuburan itu tidak mengeluarkan jeritan lagi.
Dalam fatwa lain Syeh Ra menjelaskan kemampuan dan tanggung jawab (garansi)-nya :
أَنَا لِكُلِّ مَنْ عَثُرَ مَرْكُوْبُهُ مِنْ جَمِيْعِ أَصْحَابِي وَمُرِيْدِي وَمُحِبِّي إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ اخُذُ بِيَدِهِ كُلَّمَا عَثَرَ حَيًّا وَمَيْتًا. فَإِنَّ فَرَسِي مُسْرَجٌ وَرُمْحِي مَنْصُوْبٌ وَسَيْفِي مَشْهُوْرٌ وَقَوْسِي مَوْتُوْرٌ لِحِفْظِ مُرِيْدِيْ وَهُوَ غَافِلٌ.
Aku, sebagai penolong bagi orang-orang yang terpeleset dalam sesuatu (amalan) yang dikendarai (amalkan)-nya dari semua sahabatku, muridku, orang-orang yang mencintaiku sampai hari kiamat. Baik terpelesetnya pada waktu masih hidupnya atau sudah matinya. Karena kudaku telah aku persiapkan, panahku telah aku pasang, pedangku telah aku angkat dan busurku telah aku kencangkan, untuk menjaga dan membela murid-muridku. Karena, mereka memang banyak lupa (salah).
Bahkan dalam kitab “Terjemah al-Lujain ad-Dani-nya al-Maghfurlah Mbah KH. Muslih Abdur Rahman, juz II, menambah penjelasan : Bahwa Syeh Ra pernah bertanya kepada malikat Malik (penjaga neraka) : Hai, malaikat Malik, apakah ada dari salah satu sahabatku dan muridku yang menghuni neraka ?. Malik menjawab : Tidak ada !. Syeh berkata : Demi sifat kemenangan Tuhan-ku, demi sifat Jalal-Nya, sesungguhnya tangan (syafa’at/ perlindungan)-ku kepada semua murid-muridku, seperti perlindungan langit kepada bumi. Jika murid-ku tidak ada yang baik karena sangat awamnya, maka aku telah menjadi kebiakan.  Dan demi sifat kemenangan Tuhan-ku, demi sifat Jalal-Nya, kedua kakiku ini tidak pernah berhenti berjalan untuk menghadap Allah Swt, hingga kamu (murid-muridku) semua dimasukkan kedalam surga(teks asli berbahasa jawa, dan kami terjemahkan kedalam bahasa Indonesia).
Garansi Syeh Ra ini, dijadikan prinsip roja oleh para pengamal thariqat “qadiriyah” dan para pengamal “wirid manaqib Syeh Ra”.
c.      Syeh Muhammad Abil Hasan al-Bakri Ra dengan Shalawat Fatih-nya :
اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَالنَاصِرِ الحَقَّ بِالحَقِّ وَالهَادِي
 إِلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيْمِ
Garansi dari Muallif :
أَنَّ مَنْ صَلَّى بِهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي عُمْرِهِ لاَيَدْخُلُ النَّارَ. مَنْ قَرَأَ هَذِهِ الصَلاَةَ مَرَّةً وَاحِدَةً فِي عُمْرِهِ وَدَخَلَ النَارَ يَقْبِضُنِي بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى.
Sesungguhnya, arang siapa yang membaca shalawat ini sekali saja dalam umurnya, maka ia tidak akan masuk neraka. Barang siapa yang membaca shalawat ini sekali saja dalam umurnya, dan ia masuk neraka, maka ia dapat menggenggam (menuntut)-ku disisi Allah (pada hari kiamat)
Garansi, Imam Shawi berkata :
وَأَنَّ مَنْ وَاظَبَ كُلَّ يَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ اِنْكَشَفَ لَهُ كَثِيْرٌ مِنَ الحِجَبِ وَحَصَلَ لَهُ مِنَ الأَنْوَارِ وَقَضَاءِ الأَوْطَارِ مَالاَ يَعْلَمُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ.
               Dan sesungguhnya, barang siapa yang melestarikan (shalawat ini) setiap hari 100 kali, maka akan terbuka baginya beberapa hijab (penghalang makrifat), dan akan mendapatkan beberapa cahaya, terkabulkan kesulitan dengan anugrah yang tidak mengetahuinya kecuali Allah.
d.      Syeh Yasuf bin Ismail an-Nabhani Ra dala kitabnya Afdlal as-Shalawat, yang menjelaskan beberapa garansi dari para ulama yang menta’lif shalawat.
e.      Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra dengan doa Qashidah (ratib)-nya (lihat dalam kitab “Terjemah al-Lujain ad-Dani-nya al-Maghfurlah Mbah KH. Muslih Abdur Rahman, juz II).
                                                                        II.            Kerugian bagi yang tidak bertemu Rajulan Kamilan.
مَنْ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً يُرَبِّيْهِ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ وَلَوْ كََانَ لَهُ مِنْ عِبَادَةِ الثَقَلَيْنِ.
Barang siapa keluar dari dunia (mati) sedangkan ia belum bertemu dengan tokoh yang sempurna, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar, meskipun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya jin dan mausia.
            Banyak orang yang memahami fatwa tersebut dengan cara yang salah. Mereka menganggap kaum sufi takabbur dan keluar dari prinsip sunnah rasul, serta menganggap kelompok lainnya, akan mati kafir.
          Kami menjelaskan :
a.      Redaksi diatas sering disalah artikan oleh orang-orang yang kurang memahami tujuan amalan wirid dan prilaku kaum sufi. Yang dipermasalahkan, terletak pada redaksi : خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ / keluar dari dunia (mati) dengan berlumuran dosa besar, dan redaksi :  وَلَوْ كََانَ لَهُ مِنْ عِبَادَةِ الثَقَلَيْنِ / walaupun memiliki amal ibadahnya semua jin dan manusia.
b.      Imam Ibnu Hajar al’Asqakani dalam kitabnya al-Fatawi al-Haditsiyah, halaman 210 diterangkan, lebih baik menghindari dari membaca kitab karya Syeh Ibnu Arabi (misalnya Futuhatul Makkiyah), bagi mereka yang hanya sekedar untuk mendapatkan pengertian saja. (lebih-lebih sebelum membaca, ada rasa sentimen terhadap kaum sufi).
Anjuran tersebut, lebih disebabkan, jika hanya mempelajarinya saja, dikhawatirkan akan terjerumus kedalam penafsiran yang tidak sama dengan tafsiran kaum sufi, dan kem,udian menilai negative, menyalahkan dan mengingkari kaum sufi sunny. Padahal mereka merupakan kaum yang memiliki kemulyaan serta kedudukan yang agung disisi Allah Swt.
Lain itu pula, banyak orang menganggap bahwa memahami hal-hal yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an dapat dicapai dengan pengertian ilmiyah saja. Padahal, banyak hal yang tidak ditemukan bahasa untuk mengucapkannya. Dan karenanya, kebanyakan redaksi fatwa para kaum sufi, istilah-istilah dan kaidah didalam tasawuf bersifat “kesimpulan”. Sedangkan penguraiannya melalui pengamalan wirid yang telah ditentukan oleh mursyid, serta disertai permohonan hidayah kepada Allah Swt. Setelah diamalkan secara tekun dan dengan bimbingan Guru yang mumpuni, hidayah Allah Swt akan turun, sehingga makna kesimpulan tersebut akan terurai dengan sendirinya, serta secara tepat.
c.      Jika memang, mereka terpaksa hanya menginginkan pembahasan tanpa pengamalan, tetap akan dapat memahaminya secara benar, itupun hanya makna yang masih luaran. Namun, harus melalui penjelasan dan pembahasan yang panjang dan pelan-pelan serta disertai jiwa keakraban antar antara yang mempermasalah dengan yang menjelaskan.
d.      Redaksi diatas, merupakan sebuah kesimpulan akhir dari beberapa kaidah. Dan untuk memaknainya secara benar, harus mengaitkannya dengan kalam khabar sebelum dan sesudahnya yang terbuang demi keringkasannya, dengan pemikiran tanpa menghilangkan maknanya. Misalnya :
1.                  kalam khabar yang menceritakan sejatinya manusia yang dlolim dan kufur (Dan manusia itu niscaya dlalim dan kufur, Qs. Ibrahim : ....). Diantara kedlaliman manusia, tidak memahami jenis-jenis kotoran hati dan kemudian membersihkannya, tidak tepatnya memahami keberadaan Allah Swt dan sifat-Nya, tidak memahami keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw.
Jika tidak memiliki Guru yang memahami tentang kedloliman tersebut, sudah tentu ketia mati, mereka tetap membawa dosa kedloliman itu. 
2.                  kalam khabar yang menceritakan sejatinya manusia itu bodoh. Bodoh dalam segala ilmu. Terutama ilmu yang wajib dipelajari dan ditekuni. Misalnya, ilmu dunia yang membahas tentang pertambangan dan perminyakan. Jika mereka menjadi karyawan perusahaan tentang ilmu tersebut, sedangkan ia tidak pernah dididik oleh ilmuawan pertambangan dan perminyakan, maka jika ia mati sudah tentu dalam kedaan bodoh dan menjadi karyawan pabrik kelas rendah (mutalawwitsan bil-jahli tentang perminyakan dan pertambangan.
e.      Fatwa ini lebih tertuju kepada para murid kaum sufi yang telah meyakini bahwa makrifat kepada Allah adalah wajib, sedangkan ia menginginkan makrifat kepada Allah, dan untuk mencapai makrifat harus memiliki guru ruhani atau “rajulan kamilan”. Hal ini sebagai adat dalam kalangan sufi serta dalam dunia thariqah.
Mencari Guru ruhani “rajulan kamilan” sangat sulit,  maka bagi mereka yang ingin makrifat dan tidak bertemu dengannya, dianjurkan memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah Saw. Karena dalam kaidah kaum sufi, bershalawat nabi itu dapat menjadi “rajulan kamilan”.
f.       Banyak sekali keterangan yang semakna dengan prinsip diatas. Antara lain : 
1.      Fatwa  al-Ghauts fii Zamihi Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H),[43] menjelaskan  :
  مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ 
Barang siapa tidak memiliki guru, [44] maka ia tidak ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka setanlah pembimbingnya.
2.      Fatwa Syeh Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub, bab “al-Khawajakan”:
فَالشَيْخُ العَارِفُ الوَاصِلُ وَسِيْلَةُ المُرِيْدِ إِلَى اللهِ وَبَابُهُ الذَي يَدْ خُلُ مِنْهُ عَلَى اللهِ فَمْنْ لاَ شَيبْخَ لَهُ يُرْشِدُهُ فَمُرِشِدُهُ الشَيْطَانُ.
Syeh yang arif dan washil merupakan perantara murid kepada Allah, serta sebagai pintu, yang dari syeh kepada Allah. Barang siapa tanpa guru yang membimbingnya, maka setan gurunya.
3.     Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Ghunyah, juz II pada bab “maa yajibu ‘alal mubtadi”, menerangkan  : [45]
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya.
            Fatwa (......... مَنْ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ) diatas juga dapat diberlakukan dengan makna umum (baik arti dan pandangan kaum sufi maupun artian dan pandangan kaum non sufi), atau bahkan untuk segala kaum pecinta semua ilmu.
Artinya, dalam memahami setiap ilmu (umum misalnya; olah raga, sosial atau ilmu lainnya), seseorang harus berguru kepada orang yang benar-benar mumpuni dalam bidangnya. Bila tidak, sudah tentu ia akan mendapatkan penjelasan yang kurang akurat, bahkan bisa menyimpang. Jika sampai mati ia tidak bertemu dengan guru yang mumpuni, maka ia akan membawa kerugian, yakni mati dalam keadaan bodoh dan ternoda menurut pandangan ilmu tersebut.
Seseorang muslim yang ilmu dan amalannya dari hasil berguru dengan orang yang ilmunya tidak sejalan dengan sunnah rasul, maka jika ia mati, tentu akan mati dalam keadaan menjalankan ilmu yang tidak sejalan dengan sunnah rasul.
Seseorang akan pergi bertamasya kedaerah yang belum pernah diketahuinya, jika tidak ada seorang guide atau perusahaan travel (mursyid) yang terpercaya, sudah tentu akan tertipu oleh orang yang mengaku guide (mursyid, guru) tapi dengan tujuan akan menipu. Dan jika ia mati dalam keadaan seperti itu, maka ia mati dalam keadaan tertipu.
Demikian pula, perjalanan (wisata) ruhani menuju Allah Swt wa Rasulihi Saw, yang jalannya belum diketahui oleh umumnya manusia, jika tanpa Guru Ruhani yang mumpuni, sudah tentu akan terbimbing oleh nafsu atau setan.
Barang siapa yang mentaati pipimpinan yang dimurkai Allah Swt, dan kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan durhaka. Dalan kasus ini Allah Swt berfiman :
Sebuah lembaga (jam’iyah), bila tidak dipimpin oleh orang yang mumpuni, sudah tentu akan terjadi ketidak setabilan. Taat kepada pimpinan merupakan bagian penting dalam Islam. Sebagaimana tercermin dalam :
1.      HR Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah")  Rasulullah Saw bersabda  :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
2.      Dalam buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU pada bagian keputusan Munas Alim Ulama tahun 1418 H/ 1997 M, tentang “Nasbul Imam”, halaman 778, tertulis hadis : 
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَليُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ (أبو داود)
Ketika tiga orang keluar untuk bepergian, maka buatlah satu pimpinan dari salah satunya.
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً (مسلم)
Barang siapa yang mati, sedangkan dalam lehernya belum ada tanda baiat, maka ia akan mati sebagaimana matinya (orang kafir) jahiliyah.
Hadis pertama menerangkan pentingnya kepemimpinan. Sehingga dalam perjalanan lahiriyah saja, yang dilakukan oleh tiga orang, tetap diperintahkan adanya pimpinan, apalagi perjalanan ruhani kepada Allah Swt.
Hadis Muslim diatas memberikan ancaman mati kafir, bagi mereka yang tidak memiliki pimpinan (lebih-lenih pimpinan batiniyah).
3.      HR. Muslim,  Rasulullah Saw bersabda: Allah Swt berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/.....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya. [46]
                                                                           III.            Menulis ayat al-Qur’an dengan hurup selain arab.
Suatu hari, dai Wahidiyah diundang memberikan ceramah dalam majlis pengajian di desa Mojosari Puger Jember. Dalam acara tersebut banyak dihadiri oleh masarakat yang belum sepaham dengan amalan Wahidiyah. Diantara masarakat bertanya : bagaimana hukumnya menulis ayat al-Qur’an (“Wama khalqtul Jinna wal insa illaa liya’buduni”, yang pada lembaran shalawat Wahidiyah) ditulis dengan hurup latin (non arab) ?.
Jawab : sebagian ulama mengatakan BOLEH (Imam Ramly), sedangkan lainnya berpendapat HARAM (Imam Ibnu Hajar al-Haitami).
(Lihat pada keputusan Muktamar NU (buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU, terbitan Khalista Surabaya, tahun April 2011, pada permasalahan ke 325, halam 360).
                                                  IV.            Doa radliyallahu anh untuk Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
Hukumnya SUNNAH (sangat dianjurkan) memberikan tambahan kalimat RADLIYALLAHU ANH setelah menyebut atau menulis nama ulama, guru atau para orang-orang pilihan yang dihormati.
وَيُسْتَحَبُّ التَرَضِيُ وَالتَّرَاحُمُ عَلَى الصَحَابَةِ وَالتَابِعِيْنَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ العُلَمَاءِ وَالعُبَّادِ وَسَائِرِ الأَخْيَارِ. فَيُقَالُ : رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَوْ رِحِمَهُ اللهُ  أَوْ نَحْوُ ذَيلِكَ.
Disunnahkan mendoakan dengan semoga mendapatkan keridlaan Allah dan kasih sayang-Nya kepada sahabat (Nabi Saw), tabi’in serta orang-orang setelah mereka; dari para ulama, ahli ibadah dan orang-orang terpilih. Misalnya mengucapakan : Radliyallahu anh, atau Rahimahullah atau kalimat yang sepadan.
(lihat kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi dalam pembahasan “shalawat kepada selain Rasulullah Saw).
Wallahu A’lam.
والحمد لله رب العالمين




[1].     Kitab al-Anwar al-Qudsiyah, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam “fawaid ad-dzikr”
[2].    Hadis berstatus hasan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Kitab al-Adzkar Imam Nawawi, nh : 964.
[3].     HR. Ibnu ‘Asaakir. Kitab Jami’ as-Shaghir juz II bab “lam”.
[4].     Maaf. Ini jangan disalah artikan dengan pangamal Wahidiyah mengaku kelompok khawas. Kami diajarkan oleh Guru kami (Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjungan Wahidiyah, untuk senantiasa menyadari dalam diri ini masih banyak noda.
[5].     Al-Hawi lil Fatawi juz II bahasan 59 (“tanzihul I’tiqad ‘an al-hulul wal ittihad”),
[6].     Lebih jelasnya dapat dipahami dalam penjelasan kami pada ulasan kejanggalan kedua.
[7].     Diantara kelompok awam :
a.      Diantara mereka, terdapat orang yang tidak memiliki ilmu agama, dan lagi malas manjalankan ibadah wajib.
b.      Diantara mereka yang mengerti ilmu agama secara garis pokok saja (tata cara sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya), terdapat mereka yang tekun mengamalkan ilmunya, dan ada yang kurang aktif mengamalkan ilmunya.
c.       Diantara mereka ada yang tidak bisa membedakan rukun dan sunnatnya wuldu, sholat dan lainnya, namun dalam ibadah wajib sangat aktif, dengan prinsip taqlid kepada ulama atau kiyai.
d.      Diatara mereka terdapat orang alim dalam ilmu agama, namun durhaka amaliyahnya.
[8].     Allah Swt berfirman, Qs. al-Kahfi : 23 – 24 :
            وَلاَ تَقُولَنَّ لِشَايءٍ إِنَّي فَاعِلٌ ذَالِكَ غَدًا, إِلاَ أَنْ يَشَاءَ اللهُ وَاذْكُرْ ِرَبَّكَ إذَا نَسِيْتَ
[9].     Keterangan dalam kitab Raudlotut Thalibin agak panjang, kami hanya menukilkan yang pokok saja dan yang berkaitan dengan permasalahan.
[10].    Hukum bolehnya menyandarkan kata “maujud” kepada Allah Swt, telah diputuskan oleh Muktamar Jam’iyah Thariqah an-Nahdliyah (bernaung dalam Jam’iah NU). Lihat buku Permasalahan Thariqah, terbitan Khalista Surabaya, pada permasalahan nomer 135.
[11].    Ulasan yang lebih jelas lihat buku Dialog Tasawuf Kiai Said, oleh LTN PBNU, bagian pertama.
[12].    Tentang istilah ITTIHAD dan HULUL, dalam buku DEMENSI DOKTRINAL-nya DIFA ’07, bagian I (pada ulasan Manunggaling Kawulo Gusti) terdapat penjelasan: “dimana doktrin ittihad dan hulul dalam dunia tasawuf sejatinya tidak pernah ada selain muncul dari ungkapan-ungkapan yang lebih bersifat “pengakuan” atau bahkan “tuduhan”. Sebab puncak dari ajaran tasawuf adalah peng-Esa-an Allah (tauhid) dengan menafikan semesta wujud selain Dia (Huwa) yang melampui doktrin hulul dan ittihad yang  masih melihat dialitas wujud yang lantas salah satunya masuk (hulul) atau menyatu (ittihad) pada yang lain”.
[13].    Kitab al-Madlnun Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra pada pasal IV dalam bab perbedaan makna Wahid dan Ahad
[14].    Kitab Jami’al-Ushul dalam “Bayan Madlahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fii al-Asma”.
[15].    Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”.  Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.  
[16]    Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I / 442.
[17].     Lihat buku Kilas Balik Teori Fiqih Islam, oleh Forum Karya Ilmiyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadiin PP Lirboyo Kediri, dan yang diberi pengantar oleh KH. MA. SAHAL MAHFUDH (mantan rais ‘am PBNU)
[18].      Kitab Faraid al-Bahyah (kebanyakan kitab tertulis dalam hamisy kitab Asybah wan Nadlair-nya Imam Jalaluddin Suyuthi dan ada juga yang ditulis secara mandiri).
[19].    Seseorang yang percaya kalau binatang buas (harimau) itu dapat melumat manusia dengan mudah, tentu ketika dsengan tiba-tiba didepannya ada harimau beneran, sudah tentu timbul perasan dan takut, tubuhnya gemetar dan bahkan mungkin bisa pingsan. Tetapi anak kecil yang belum mengerti sifat harimau apalagi memepercayainya, lebih dari satu harimau pun tidak akan memiliki rasa takut, apalagi gemetaran.
[20].   Kitab ‘Awarif al-Ma’arif-nya Imam Suhrawardi dalam bab 24.
[21].    HR. Bukhari, ibid nh : 698. Ulasan hadis lebih jelas dapat dilihat dalam kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilli Ra, juz I, dalam bab “al-Itii’adz bi Mawa’idzil Qur’an” pada pasal ke 20.
[22].    HR. Bukhari Muslim. Lihat kitab Dalil Falihin, juz II, bab “khauf”, hadis nomer : 06 dan bab “fadlul buka”, hadis nomer : 02. Dan lihat kitab As-Syifa’, juz I, bab “khaufun Nabi rabbahu”, hlm : 96. Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi (Risyalah al-Qusyairiyah bahasan ke 8 “al-Khauf”.
[23]     kitab As-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa ’juz I, halaman 96,
[24]     Kitab Muziil al-Khafa ‘an Alfadh as-Syifa’ al-Allamah Syeh Ahmad Ibn Muhammad As-Syumni (w. 872 H), catatan kaki kitab as-Syifa’. Lihat kitab As-Syifa’, juz I, bab “khaufun Nabi Rabbahu”.
[25].    Untuk lebih jelasnya makna hadis ini, dapat dilihat dalam kitab Riyaadlus Shalihin-nya Imam Nawawi Ra, dalam bab “Menangis dan Takut Kepada Allah”, nomer hadis : 01. Sebagian ulama menafsirkan makna “menangis” dalam hadis ini dengan : setidak-tidaknya memasuki lingkungan maksiyat dengan keprihatinan dan kesedihan yang mendalam.
[26].    HR. al-Hakim dari dari Anas. Imam Suyuthi mengatakan hadis ini berajat hasan (kitab Jami’ as-Shaghir, juz II dalam bab “mim”.
[27].     Kitab Idloh Asrar Uluum al-Muqarrabin, halaman 24 (terbitan “al-Haramain” Singapura, tanpa tahun)
[28].    Kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam bab “itti’adz bi mawa’idz al-Qur’an wa al-fadzin nabawiyah” pasal ke 22.
[29].    Dalam Qs. at-Taubah : 54, dijelaskan bahwa malas mendirikan shalat termasuk sifat orang kafir.
إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَيأْتُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنْفقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ 
 Sesungguhnya mereka adalah orang kafir kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas. Mereka tidak menginfaqkan hartanya kecuali dengan terpaksa.  
[30].    HR. Dailami (kitab ad-Durar al-Muntatsirah-nya Imam Suyuthi Ra), kitab Muhtashar Ihya Ulumudin-nya al-Ghauts fii Zamnihi Imam Ghazali Ra, bab IV pasal “keutamaan khusyu”.
[31].    Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu).
[32].    Keterangan tentang Ibnus Saqa, juga ditulis dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Imam Sya’rani Ra, hanya bersifat sekilas saja.  
[33].    Lihat pada hamisynya kitab al-Asybah wa an-Nadzair-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, terbitan “al-Hidayah” Surabaya.
[34].    . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[35].    HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[36].    HR. Dailami. Kitab Risyalah al-Qusyairiyah Imam Qusyairi Ra bab ke 45 (al-ma’rifah billah).
[37].           
[38]. HR. Imam Ahmad dalam Musnad.  Kitab Kunuzul Haqaaiq-nya Imam al-Munaawi (dalam Jami’ as-Shaghir-nya Imam Suyuthi, dalam juz I pada bab alif).
[39].  HR. Imam Nasai dari Syaddad Ibn Aus ra. Jami’ as-Shagir, juz II dalam bab “Syin”. 
[40].  HR. Ibnu Majah dari Syaddad Ibn Aus (Kitab Jami’ as-Shaghir, juz I dalam bab “alif”).  Imam Suyuthi mengatakan bahwa hadis ini berderajat dla’if. Namun karena banyak keterangan dari al-Qur’an dan hadis lain yang mendukung maknanya, maka secara tersurat derajat hadis ini naik kepada hasan lighairihi, sedangkan secara tersirat maknanya shahih.
[41].    Kitab Jalaul Afhaam fii as-Shalati wa as-Salam ala Khairil Anam-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dalam bab IV (tempat shalawat) pada pasal ke 35.
[42].    Kitab Afdlalus Shalawat ‘ala Sayyid as-Saadat, pada pasal IV.
[43].   Ibid. Diterangkan dalam juz II, bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah tampak karamahnya.
[44].   Malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As), apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[45].    Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi”.
[46].    HR. Muslim (Shahih dalam bab‘Iyadatul Maridl)

1 komentar:

  1. wahidiyah yang PSW itu benar, tetapi kalau yang di kedonglo itu menyimpang. pengalaman pribadi, waktuitu saya mau ikut kubro di donglo apa yang terjadi, anak saya melihat peserta mujahadah di kedonglo seperti manusia buta dan tuli, karena apa mijahadan di kedongolo todak mendapat ijin dari muallif
    Balas


Wikipedia


17 TEMA PENTING

Arsip Blog



Komentar