Takkdir
Telah Ditentukan
Setiap apa yang terjadi di
dunia ini tidaklah keluar dari jaringan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah
Swt. Pencipta alam raya. Manusia yang hidup di dunia ini sesungguhnya hanyalah
menjalankan takdir yang telah menjadi ketetapan-Nya semenjak zaman azali,
sebelum ia terlahir di dunia melalui perantaraan rahim ibunya. Karena itu selayaknya
semua manusia menyadari hal tersebut, sehingga tidak ada beban dalam hidupnya
yang menjadikannya tertekan dan stress berkepanjangan yang berujung pada keputusasaan.
Untuk menyadari hal tersebut,
ada baiknya kita mencoba mengkaji firman Allah dalam Su>rat al-S}a>ffa>t (37); 96:
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu". (QS. Al-S}a>ffa>t (37); 96)
Abu> Zaid Abdurrah}ma>n
ibnu Muh}ammad ibnu Makhlu>f al-S|a’a>labi> dalam
kitab tafsirnya, al-Jawa>hir al-H}isa>n fi> Tafsi>ri al-Qur’a<n
menyatakan bahwa ayat merupakan kaidah bahwa Allah Swt menciptakan perbutan
hamba-hamba-Nya, menurut kaum Ahli Sunnah Wa Al-Jama’a>h. Makhlu>q
pada dasarnya hanyalah sebatas menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Allah Swt sebelum ia diciptakan di bumi.
Senada dengan ayat di atas
adalah sabda Rasu>lulla>h Saw dalam satu riwayat. Beliau bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ
هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَنْبَأَنِي سُلَيْمَانُ الْأَعْمَشُ
قَالَ سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ
قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ عَلَقَةً
مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا
فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعٍ بِرِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَاللَّهِ إِنَّ
أَحَدَكُمْ أَوْ الرَّجُلَ يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهَا غَيْرُ بَاعٍ أَوْ ذِرَاعٍ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ
بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذِرَاعٍ أَوْ ذِرَاعَيْنِ
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا قَالَ
آدَمُ إِلَّا ذِرَاعٌ
Artinya: (BUKHA>RI - 6105) : Telah menceritakan kepada
kami Abu>l Wali>d, Hisyam bin Abdul Ma>lik telah menceritakan kepada
kami Syu'bah telah memberitakan kepadaku Sulaima>n Al A'ma>sy mengatakan,
saya mendengar Zaid bin Wahha>b dari Abdulla>h mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Rasu>lulla>h shallalla>hu 'alaihi wasallam
seorang yang jujur lagi di benarkan, bersabda: "Sungguh salah seorang
diantara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian
menjadi segumpal darah juga seperti itu, kemudian menjadi segumpal daging juga
seperti itu, kemudian Allah mengutus malaikat dan diperintahkannya dengan empat
hal, rejekinya, ajalnya, sengsara ataukah bahagia, demi Allah, sungguh salah
seorang diantara kalian, atau sungguh ada seseorang yang telah mengamalkan
amalan-amalan penghuni neraka, sehingga tak ada jarak antara dia dan neraka
selain sehasta atau sejengkal, tetapi takdir mendahuluinya sehingga ia
mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya. Dan sungguh ada
seseorang yang mengamalkan amalan-amalan penghuni surga, sehingga tak ada jarak
antara dia dan neraka selain sehasta atau dua hasta, lantas takdir
mendahuluinya sehingga ia melakukan amalan-amalan penghuni neraka sehingga ia
memasukinya." Sedang Adam mengatakan dengan redaksi 'kecuali tinggal
sehasta'. (HR. Bukha>ri)
Hadi>s| riwayat Bukha>ri di atas semakin menjelaskan
bahwa setiap apa yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya sudah ditakdirkan
oleh Allah Swt. Yakni semasa ia masih berada dalam rah}im ibunya. Allah telah
menggariskan bagi setiap hamba-Nya berapa panjang usianya, berapa banyak
rizkinya kelak, hingga celaka atau tidaknya ia besok di hari kiamat.
Pertanyaannya, lantas untuk apa manusia beramal? Memang segala
sesuatu telah ditentukan oleh Allah Swt semenjak seseorang berada dalam rah}im
ibunya. Namun yang pasti, setiap orang tidak ada yang tahu apakah ia termasuk
orang yang beruntung atau sebaliknnya orang yang celaka. Tidak ada satupun
manusia yang tahu nasibnya di masa mendatang, apakah ia akan h}usnul
kha>timah atau sebaliknya su>’ul kha>timah.
Oleh karena nasib seseorang dirahasiakan oleh Allah Swt.
maka sebagai seorang makhlu>q kewajibannya adalah berusaha semaksimal
mungkin untuk memperbaiki diri. Mempersiapkan diri dengan segala amal
s}a>lih} sehingga sewaktu-waktu Allah memanggil kiranya takdir
menentukannya menjadi seorang yang beruntung.
Bukankah beruntung dan tidaknya seseorang telah ditentukan
sebelumnya oleh Allah? Sebagian orang mungkin mengatakan demikian. Ya, memang
Allah telah menentukan semua itu. Tetapi apa salahnya sebagai seorang makhlu>q
yang menyadari kelemahan dirinya dan merasa butuh terhadap pertolongan-Nya
untuk senantiasa berharap dan bermohon kepada-Nya? Bukankah bermohon dan h}usnuz}z}an
merupakan perintah-Nya?
Secara tegas Allah Swt berfirman dalam al-Qur’a>n
Su<rat al-Mu’min (40); 60:
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina". (QS. Al-Mu’min (40); 60)
Allah Swt
memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memohon kepada-Nya melalui do’a-do’anya. Ayat
ini mengisyaratkan akan adanya kemungkinan bila seseorang dengan
sungguh-sungguh berdo’a dan bermohon kepada-Nya, maka Allah akan memberikan
ijabah terhadap permohonannya. Sebaliknya, mereka yang tidak mau berdo’a
kepada-Nya dianggap sebagai orang-orang yang takabbur, sombong dan
tempat kembalinya adalah neraka jahannam. Kekal mereka di dalamnya. Mereka
akan dihinakan dengan siksa pedih yang terus-menerus menghinakan mereka akibat
kesombongan yang melekat pada dirinya.
Adapun menurut
Abu> H}afs} Sira>juddi>n Umar ibnu Ali> ibnu A>dil
al-H}anbali> al-Dimasyqi> al-Nu’ma>ni> (w. 775 H) dalam kitab
tafsirnya, “Tafsi>r al-Luba>b
fi> Ulu>m al-Kita>b” menyebutkan bahwa ada ikhtila>f ulama<’ dalam menafsirkan kata ud’u<ni>. Sebagian diantaranya menafsirkan kata tersebut dengan perintah untuk
berdo’a sementara yang lain menafsirkannya dengan perintah untuk beribadah
dengan dalil ayat إِنَّ
الذين يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي.
Penulis lebih condong pada pendapat yang
pertama bahwa maksud ayat di atas adalah perintah berdo’a. Do’a yang dipanjatkan
secara sungguh-sungguh kepada Allah Swt akan mampu merubah takdir yang telah
ditetapkan-Nya di zaman azali.
Selain itu penting artinya bagi setiap mu’min
untuk senantiasa h}usnuz}zan kepada Allah. Berbaik sangka kepada Allah Swt
atas kebaikan nasib yang ada dalam dirinya. Jangan sekali-kali seseorang
berbuat su>’uz}z}an kepada Allah Swt. Berbaik sangka kepada Allah Swt
akan berdampak positif, karena Allah juga akan berlaku baik sebagaimana apa
yang disangkakan hamba-Nya kepada-Nya. Sebaliknya, buruknya prasangka kepada
Allah juga akan berdampak buruk, karena Allah Swt akan berlaku buruk kepada
hamba-Nya, yang berprasangkan buruk pada-Nya. Sabda Rasu>lulla>h
dalam h}adi>s} qudsi>:
إن الله يقول أنا عند ظن عبدى فى إن خيرًا فخير وإن شرًّا
فشر (الطبرانى ، وأبو نعيم فى الحلية ، وابن عساكر عن واثلة)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah
berfirman: ‘Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku, jika (ia) berprasangka
baik, maka (Aku) akan berbuat baik (padanya), dan jika (ia) berprasangka buruk,
maka (Aku) akan berbuat buruk (padanya). (T}abra>ni>>,
Abu> Nu’aim dalam al-H}ilyah dan Ibnu Asa>kir dari Wa>s|ilah).
Setidaknya
h}adi>s| di atas cukup menjadi dasar yang kuat bagi setiap
orang untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Dengan berbaik sangka
pada-Nya, tentu ada harapan-harapan yang bisa mendorong seseorang untuk semakin
meningkatkan amal s}a>lih} yang nantinya akan membawanya kembali kepada Allah
Swt. Tentu, sekali lagi tidak ada jaminan bagi seseorang untuk masuk ke surga
yang telah disediakan Allah, tetapi setidaknya keyakinan bahwa Allah tidak
mengingkari janjinya bagi mereka yang beramal s}a>lih}
cukup menjadi dasar semangat seseorang untuk
berusaha memperbaiki kualitas dirinya, agar sewaktu-waktu dia dipanggil
menghadap-Nya, dia bisa kembali dengan membawa hati yang selamat.
Komentar
Posting Komentar