Yu’thi…, Mengisi Bidang


Yu’thi…, Mengisi Bidang

Artikel ini berangkat dari pertanyaan seorang mahasiswa saat menemukan sejumlah uang yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Melalui whatshap dia bertanya, “Ustadz saya menemukan sejumlah uang ditempat umum yang saya tidak tahu siapa pemiliknya. Bagaimana hukum uang itu?”

Saya jawab singkat melalui pesan whatshap, bahwa dia harus umumkan siapa kira-kira yang memiliki uang tersebut. Kalau memang dalam beberapa waktu tidak ada juga orang yang mengaku, maka bolehlah uang tersebut dimanfaatkan dengan catatan sewaktu-waktu ada yang mengaku kehilangan dengan disertai bukti kuat, dia siap menggantinya.


Sesuatu yang bukan milik kita, tidak semestinya kita ambil dan manfaatkan semau kita. Itulah kira-kira yang harus kita pikirkan dan camkan dengan baik. Seseorang tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Sesuatu yang bukan menjadi hak milik kita, jika kita gunakan, maka dampaknya tidaklah baik untuk kita dan keluarga ke depannya.

Mungkin dalam waktu dekat, kita merasakan bahwa hal tersebut, sangatlah bermanfaat bagi kita, karena dari sisi materi tentu bisa membantu keuangan kita yang boleh jadi sedang berada di tahap “kembang-kempis”. Kerap kali pikiran realistic kita terombang-ambing di saat kondisi semacam ini. Tetapi, tetaplah pada keyakinan awal bahwa semua hal yang bukan milik kita, akan membawa dampak buruk, saat kita memaksa untuk menggunakannya.

Dalam satu riwayat disebutkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم خَطَبَ النَّاسَ ، فَقَالَ : إِنَّ الله ، عَزَّ وَجَلَّ ، قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ)  أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ(

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw berkhutbah di depan orang-orang, maka Rasulullah Saw bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberikan hak kepada setiap pemilik haknya”. (Abu Ya’la al-Mushiliy)

Keterangan di atas menjelaskan bahwa Allah Swt akan memberikan hak pada setiap orang yang berhak. Artinya Allah tidak akan pernah berbuta dhalim pada siapapun, sebaliknya banyak orang-orang yang berbuat dzalim pada dirinya sendiri.

Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Taubah (9); 70:
أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وَأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Artinya: Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata; maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.(QS. Al-Taubah (9); 70)

Memalui ayat di atas Allah Swt menjelaskan bahwa tidak sekali-kali Allah melakukan penganiayaan pada diri manusia, melainkan manusia sendirilah yang melakukan penganiayaan pada dirinya sendiri. Aniaya yang dalam literasi arab disebut dengan istilah ‘Dzalim’, memiliki arti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Seorang yang menganiaya adalah orang yang tidak meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Artinya orang-orang dzalim adalah adalah orang yang tidak memberikan hak pada mereka yang punya hak.

Karena itu, penting untuk dicatat bahwa seorang yang tidak memberikan hak pada orang yang memiliki hak, suka maupun tidak suka suatu saat hak-hak orang lain tersebut akan diminta oleh Allah baik secara baik-baik maupun paksa. Secara baik-baik, bisa saja digunakan oleh orang tersebut untuk hal-hal positif, misalnya ditasharufkan untuk pembangunan masjid, mushalla, kegiatan keagamaan ataupun sosial lainnya. Bagaimana hukumnya? Allahu A’lam, hanya Allah yang tahu. Bagaimana menurut anda jika anda bersedekah dengan harta hasil menipu?

Bisa juga Allah Swt mengambilnya dengan cara paksa. Allah memberikan musibah yang dengan musibah tersebut, anda dipaksa untuk mengeluarkan biaya besar untuk kesembuhan anda, atau bahkan anda tidak sembuh-sembuh hingga ajal menjemput. Atau bisa juga berimbas pada anak cucu anda yang tidak taat kepada Allah, berani pada orang tua dan atau menjadi sampah masyarakat. Siapa yang salah? Tentu semua kembali pada diri kita yang tidak bisa memberikan hak pada yang punya hak.

Beruntunglah bagi para pengamal shalawat wahidiyah. Sampai detik ini, -penulis, belum menemukan organisasi keagamaan yang secara langsung memberikan teladan bagi pengikutnya untuk memperhatikan kehalalan harta benda. Dana Box, sumbangan dana yang secara aktif digalakkan oleh pengamal wahidiyah sampai ke lapisan terbawah dari pengikutnya untuk berjariyah semampunya secara kontinyu setiap hari, utamanya di pagi hari sebelum melaksanakan aktifitas. Sumbangan Pendapatan (SP), yang diambil satu persen dari hasil pendapatan (secara sukarela tanpa paksaan), merupakan bentuk upaya nyata yang dilakukan oleh pengasuh perjuangan Wahidiyah, Mbah Yahi Abdoel Madjied, QS wa RA dan dilanjutkan Kanjeng Romo KH. Abdoel Lathief Madjied, RA untuk menyelamatkan para pengamal dan pendherek ddari harta-harta yang tidak halal yang bukan menjadi haknya.

Dengan berdana box dan ber SP secara aktif dan bersungguh-sungguh, ikhlas karena Allah, hal itu tidak menjadikan para pegamal menjadi miskin, sebaliknya hal itu akan menjadikan para pengamal kaya, diselamatkan keluarganya dan ditata sedemikian rupa kehidupannya. Ditambah lagi seandainya para pengamal mau memasang satu kotak lagi disamping dana box dan SP yang dikhususkan untuk mengeluarkan zakatnya, diambil 2,5% dari pendapatannya setiap bulan, dan atau setahun sekali bagi yang bukan pegawai, atau bisa juga saat panen bagi para petani. Penulis yakin, efeknya akan semakin dahsyat dalam kehidupan.

Tetapi, sekali lagi bahwa semua itu tergantung pada keyakinan kita masing-masing. Jika tidak ada keyakinan dalam diri kita, tentu hal itu tidak bisa memberikan dampak positif dalam hidup. Sebaliknya, apabila kita memiliki keyakinan sungguh-sungguh, insya Allah, Allah akan menata kehidupan kita sedemikian rupa. Salam perjuangan “Fafirru Ilallah wa Rasulihi Saw”.


Komentar