Ulama


Ulama

Pagi ini saya mendapatkan pesan watsap dari salah seorang mahasiswa yang menanyakan tentang bagaimana seseorang itu bisa dikatakan ulama. Pertanyaan ini nampaknya simpel, tetapi tentu saja tidak sesimpel apa yang kita pikirkan, apalagi saat pertanyaan itu diteruskan dengan pertanyaan berikutnya mengenai standar seseorang bisa disebut sebagai ulama.

Secara bahasa kita bisa saja mengatakan bahwa kata ulama merupakan bentuk jama’ dari kata ‘alimun, yang artinya orang tahu, ilmuan, sarjana. Kata ‘alim dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut seseorang yang mengetahui tentang sesuatu. Lantas bagaimana kata ‘alim digunakan di Indonesia?


Ketika kata ‘alim ini digunakan di Indonesia, ternyata ada hal-hal yang berbeda dari apa yang kita pahami dari kata ‘alim dalam bahasa Arab. Di Indonesia, ‘alim selain dihubungkan dengan kepandaian dan kecakapan seseorang dalam ilmu agama, juga erat sekali hubungannya dengan ‘kesalehan’. Seorang dikatakan ‘alim ketika ia pandai mengaji, rajin dalam menjalankan perintah agama seperti shalat berjamaah lima waktu misalnya, berpakaian ala sunnah “bergamis dan bersurban” serta aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan di tengah masyarakat. Selain itu, ia juga ikut berperan aktif dalam dakwah mengajak umat untuk taat terhadap semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Lantas bagaimana seorang dikatakan sebagai ulama?

Merunut pada ulama secara bahasa, maka kata ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya beberapa orang alim. Sederhananya ulama adalah kumpulan dari beberapa orang alim. Karena itu, majelis ulama diartikan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang alim. Tetapi apa ya sesederhana itu kita mengartikan ulama? Apalagi ketika ditanya bagaimana seseorang bisa dikatakan ulama?

Ada baiknya kita perhatikan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw dalam satu haditsnya. Rasulullah Saw bersabda:

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقول: "من سلك طريقا يبتغي فيه علما سهل الله له طريقا إلى الجنة، وإن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضا بما صنع، وإن العالم ليستغفر له من في السماوات والأرض حتى الحيتان في البحر، وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر" (2).[1]

Artinya: “Dari Abi Darda’ Ra. Ia berkata, saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, barangsiapa menempuh jalan yang di dalamnya dicari ilmu (pengetahuan), maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat itu meletakkan sayap-sayapnya bagi orang yang menuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang dikerjakannya, dan sesungguhnya seorang yang alim itu dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi sampai ikan di lautan. Dan keutamaan seorang alim atas seornag yang ahli ibadah (yang jahl) bagaikan keutamaan rembulan atas seluruh  bintang, dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar, tidak pula dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian sempurna.”

Pada hadits tersebut, kata ulama digunakan untuk menyebut sekumpulan orang alim, sebagai dasarnya adalah disebutkannya kata ‘alim sebelum disebutkannya kata ulama pada rangkain berikutnya. Ini menandakan bahwa memang kata ulama digunakan untuk menunjuk orang-orang yang menguasai ilmu. Pandai dalam beberapa atau bahkan banyak cabang ilmu pengetahuan. Hanya saja, yang perlu dicatat bahwa di masa Rasul, belum ada klasifikasi ilmu. Yang ada hanya ilmu yang mencakup segala macam disiplin ilmu, mengingat bahwa pengetahuan belum berkembang sepesat perkembangannya di era sekarang. Tentu, dengan mengacu pada hadits tersebut setiap orang yang menguasai disiplin ilmu bisa dimasukkan dalam kategori alim, bahkan seorang yang tahu surat al-fatihah bisa disebut sebagai alimun bifatihatil kitab. Itulah sebabnya dalam hadits yang lain Rasul pernah bersabda, “Sampaikan apa yang datang dariku meskipun satu ayat”.

Tetapi apakah cukup dengan berdasarkan hal tersebut, seseorang bisa disebut ulama dalam konteks hari ini? Padahal di era digital seperti saat ini, banyak bertebaran perdebatan baik di medsos maupun media lainnya berkenaan dengan term “ulama”, yang di Jawa akrab dengan sapaan “kyai”.

KH. Musthofa Bisri yang akrab disapa dengan Gus Mus, seorang ulama kharismatik, sekaligus sastrawan pernah mengulas hal ini dalam ceramahnya. Intisari ceramah tersebut, pernah penulis kupas dalam salah satu artikel yang penulis publikasikan lewat blog pribadi penulis. Jika pembaca ingin mengetahuinya lebih lanjut, kiranya bisa membuka dan melacaknya di blog pribadi penulis.

Kembali pada persoalan ulama, bagaimana seseorang dikatakan sebagai ulama. Para ahli agama tentu akan memberikan persyaratan-persyaratan khusus yang bisa menunjukkan kredibilitas seseorang bisa menyandang gelar “ulama”. Tentu, hal itu tidak akan bisa dilepaskan dari latarbelakang keilmuan yang mereka miliki. Ahli tafsir, punya standar tersendiri, pun pula ahli aqidah, fiqih dan tasawuf serta bidang lainnya. Bisa jadi, standar-standar tersebut berbeda antara satu dengan lainnya, mengingat disiplin ilmu yang dikuasai dan ditekuninya berbeda. Lantas bagaimana menjawab pertanyaan tersebut? Itulah sulitnya.

Baiklah, sekarang kita mencoba untuk menelusurinya di dalam al-Qur’an. Bagaimana kira-kira kata ulama ini ada di dalam al-Qur’an. Berdasarkan penelusuran penulis melalui aplikasi maktabah syamilah kata ulama disebut dua kali. Pertama dalam bentuk nakirah yakni pada Surat al-Syu’ara (26); 197, dan dalam bentuk ma’rifat pada Surat Fathir (35); 28.

Pada ayat yang pertama, yakni Surat al-Syu’ara (26); 197, kata ulama digunakan oleh al-Qur’an untuk menyebut orang-orang alim/ilmuan bani Israil. Itu artinya istilah ulama juga berlaku bagi orang-orang sebelum datangnya agama Islam, yakni orang-orang yahudi bani Israil. Dalam Tafsir Ma’ani al-Qur’am li al-Zujaj disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulama’u bani israil, adalah orang-orang yang beriman dari bani Israil. Mereka menemukan disebutkannya Nabi Muhammad As tertulis di kitab Taurat dan Injil.

Adapun pad aayat yang kedua, yakni Surat Fathir (35); 28, kata ulama digunakan oleh al-Qur’an untuk menyebut hamba-hamba Allah yang memiliki rasa takut kepada-Nya. Pada ayat ini bentuk susuna yang digunakan adalah qasr, yang sebagaimana kita ketahui dalam kaidah ilmu tata bahasa, utamanya dalam ilmu balaghah, kaidah qashar menunjukkan arti hanya, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Karena itulah terjemah dari ayat ini berbunyi, “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.(Qs. Fathir (35); 28).

Berkenaan dengan ayat ini al-Maturidi dalam Tafsir al-Maturidi mengatakan bahwa ayat ini mengandung dua pengertian.  Pertama, bahwa yang benar bagi seorang alim billah adalah bahwa Allah lebih ia takuti karena ia mengetahui kekuasaan-Nya, keagungan-Nya, dan ke-Maha Kuasaan-Nya. Kedua, bahwa seorang yang mengetahui akan adanya hari kebangkitan dan iman kepadanya akan merasa takut seandainya ia berseberangan dengan perintah-perintah dan larangan-Nya, karena ia tahu pedihnya siksaan dan adzab bagi orang-orang yang maksiat. Adapun orang yang tidak tahu akan kebangkitan dan tidak beriman kepadanya maka ia tidak akan takut kepada-Nya.

Pada ayat ini, penekanan tentang siapa ulama adalah pada sifat takutnya kepada Allah sebagai konsekuensi akan pengetahuan dan imannya. Dengan demikian, jika merujuk pada ayat ini, seberapun banyaknya ilmu yang dimiliki, namun jika hal tersebut tidak menambah “khasyah”-nya kepada Allah, maka lebel “ulama” belum pantas disematkan baginya.

Allahu A’lam, hanya Allah yang lebih mengetahui segala urusan. Terlepas dari seperti apa dan bagaimana sesungguhnya seorang bisa disebut sebagai ulama, apa yang saya tulis ini, sekedar untuk memberikan gambaran sekaligus menjawab kegelisahan mahasiswa yang mengajukan pertanyaan ke saya. Adapun, jika ada yang benar, semata karena hidayah Allah, dan jika salah semata karena kedangkalan pengetahuan yang saya punya. Semoga seberapa pun ilmu yang diberikan Allah kepada kita menjadi ilmu yang bermanfaat dan barakah sehingga mampu menyelamatkan kita dari siksa api neraka-Nya. Dan mari kita saling berbagi pengetahuan dan hal-hal positif sedangkal pengetahuan yang kita miliki, barangkali hal tersebut bisa bermanfaat bagi orang lain, tentunya dengan beragam kemampuan kita masing-masing.


[1] Umar al-‘Arbawi al-Himlawi, al-Takhalli ‘an al-taqlid wa al-tahalli bi al-Ashli al-Mufid, Juz 1, al-Maktabah al-Syamilah, 1984

Komentar

  1. Masya Allah dari pertanyaan Yang iseng, menjadi sebuah tulisan Yang bermanfaat, semoga bermanfaat Dan menjadi jariyah 🤲

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin yaa Rabb...

      Semoga kita bisa saling berbagi dalam kebaikan...

      Hapus
  2. Alhamdulillah Pagi-pagi saya dapat ilmu membaca sebuah artikel ini .. Terimakasih ustadz, saya pun merasa sangat tertarik akan sebuah pertanyaan bagaimana seseorang bisa dikatakan ulama, apalagi pada era digital seperti saat ini 🙏
    Syukron Katsir atas jawabannya yang bisa memahamkan bagi seorang pembaca 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah....

      Silahkan, jika temen2 kepingin diskusi atau sjsring2, kita bisa saling berbagi di sini ya
      Boleh berpendapat juga lo....

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar