Thaharah, Bab Pertama dalam Fiqih yang Sering Terabaikan


Thaharah, Bab Pertama dalam Fiqih yang Sering Terabaikan

Tiap kali kita memulai mempelajari fiqh, tentu kita akan disuguhkan materi tentang thaharah pada babnya yang pertama. Mulai dari kitab mabadi fiqih yang tipis hingga materi-materi fiqih kelas atas semisal fathul qarib, muin dan wahab. Namun pernahkah kita berpikir mengapa bab ini disuguhkan pertama kali dalam fiqih?

Para ulama tentunya memiliki alasan tersendiri mengapa bab “thaharah” ditulis pertama kali dalam bab fiqih. Melalui artikel ini, saya ingin meraba-raba, dan sedikit menyuguhkan gambaran,-tentunya sedangkal apa yang saya fahami, tentang masalah tersebut. Maaf jika tulisan saya, jauh dari analisa kritis sebagaimana cerdik pandai dan para kaum intelektual. Namun demikian, semoga tulisan sederhana ini ada manfaatnya untuk para pembaca, khususnya untuk saya pribadi.


Seringkali kita menganggap remeh tentang apa yang disebut dengan “thaharah”, bersuci.  Padahal thaharah ini diletakkan di bab pertama oleh para ulama. Tentunya, para ulama fiqih,-fuqaha’, memiliki alasan tertentu mengapa ia ditempatkan pada urutan pertama. Alasannya adalah mengingat pentingnya thaharah.

Ya, bersuci memiliki arti penting dalam kehidupan manusia pada umumnya, tidak hanya umat Islam. Itulah mengapa para fuqaha’ menempatkan pembahasan ini pada bab pertama dalam fiqih. Segala bentuk ubudiyah tidak akan sempurna atau bahkan tidak akan diterima ketika proses “thaharah”nya tidak benar. Shalat misalnya tidak akan sah manakala thaharah yang dilakukan tidak tepat.

Thaharah secara fisik, artinya membersihkan diri kita dari berbagai kotoran dan najis. Dengan mensucikan dari kotoran dan najis, maka tubuh kita akan terbiasa bersih dan jauh dari berbagai penyakit yang umumnya datang bersama kotoran dan najis. Karena itu dalam sebuah hadits Rasulullah Saw mengingatkan kita bahwa “Kebersihan itu sebagian dari iman”.

Ungkapan yang dipilih Rasulullah Saw pada hadits tersebut adalah kebersihan yang bahasa arabnya adalah al-nadhafah, bukan thaharah yang identik dengan bersuci. Al-nadhafah sepemahaman saya digunakan untuk menunjuk kebersihan secara fisik semata. Artinya nampak secara kasat mata akan kebersihan benda, atau sesuatu yang ada di sekitar kita. Adapun kata thaharah setingkat lebih tinggi diatasnya. Kata ini tidak saja digunakan untuk menunjuk pada urusan fisik semata melainkan juga hal yang tidak nampak oleh pandangan mata. Oleh karena itu kita mengenal thaharah ‘an al-najasah, yang mewakili fisik dan thaharah ‘an al-hadats, yang mewakili hal yang hukmiyyah, tidak nampak oleh mata.

Pendeknya, islam menghendaki umatnya untuk senantiasa memperhatikan kesucian, baik kesucian fisik maupun kesucian non fisik. Kesucian fisik bisa berarti kesucian badaniyahnya dan juga lingkungan yang ada di sekitarnya. Islam ingin agar kaum muslim memiliki sifat responsif pada apa yang ada di sekelilingnya. Spontan seorang muslim yang baik akan membersihkan diri dan lingkungannya, jika ia mendapati tubuh dan lingkungannya kotor, dan bukan sebaliknya.

Namun, nampaknya hal ini lah yang belum disadari oleh umat Islam pada umumnya. Mereka tahu arti pentingnya thaharah, namun pemahamannya sebatas dalam hal ubudiyah dan tidak pada kehidupan nyata. Padahal tentunya, apa yang diharapkan tidak demikian. Bab ini diletakkan pertama kali dalam bab fiqih supaya umat Islam memprioritaskannya dan bukan mengabaikannya.

Diakui maupun tidak, jika kita memasuki toko-toko China yang notabene-nya bukan muslim, umumnya bersih dan rapi. Sebaliknya, jika kita memasuki toko seorang muslim, banyak yang kurang memperhatikan kebersihan dan kerapiannya. Padahal kita juga sudah hafal hadits Rasulullah Saw yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah itu indah dan Ia menyukai keindahan”.

Berkenaan dengan thaharah ‘an hukmiyyah yang tidak nampak, tentu tidak hanya sekedar membersihkan diri dari hadats besar dan kecil, tetapi Islam juga membidik pada urusan kesucian dalam berbagai urusan. Kesucian dalam hal bergaul misalnya, berfikir, bermu’amalah dan sebagainya. Semua hal tersebut apabila benar-benar dijaga kesuciannya, maka hasilnya tentu akan berbuah positif.

Kesucian dalam pergaulan akan memberikan dampak positif berupa dijauhkan dari perbuatan zina, hal mana ini banyak menjangkiti kehidupan di era modern saat ini. Tentu kita masih ingat sejarah Imam al-Syafi’i yang memberikan fatwa bahwa bersentuhan kulit dengan ajnabiyyah dianggap membatalakan wudlu, yakni oleh karena ia melihat dua orang berlainan jenis yang sedang khalwah disertai dengan syahwat. Ini menunjukkan betapa Imam al-Syafi’i ingin melindungi umat Islam, utamanya generasi muda dari pergaulan yang tidak benar terlebih pada urusan syahwat yang kerap menjerumuskan seseorang baik tua maupun muda.

Kesucian dalam berfikir akan berdampak positif pada semangat kita dalam hal-hal kebaikan. Kesucian berfikir berujung pada pengetahuan yang benar, jauh dari prasangka dan kecurigaan. Kesucian berfikir mendorong kita menjadi seorang yang aktif, kreatif, progressif dan inovatif serta selalu berbaik sangka pada setiap orang. Dampaknya yang dahsyat, kesucian fikiran akan mencerdaskan bahkan menyehatkan setiap pemiliknya. Masih banyak lagi tentunya yang bisa diurai dari hal itu.

Namun, lagi-lagi sayangnya kita umat Islam cenderung mengabaikannya, sehingga kita diingatkan oleh peristiwa besar yang saat ini melanda dunia “covid-19” yang akrab dikenal dengan corona. Perhatikan, gerakan cuci tangan massif disuarakan di mana-mana untuk menyelamatkan nyawa manusia dari bahaya tertularnya covid-19. Di setiap tempat, kita melihat disedikan tempat cuci tangan lengkap dengan sabun dan sejenisnya. Di toko-toko, perkantoran, jalan-jalan, pasar bahkan saat kita mau masuk ke masjid, yang nyata-nyata sebelumnya,-kebanyakan sudah mandi dan berwudlu pun, kita mesti cuci tangan terlebih dahulu.

Kita menjadi sadar bahwa kebersihan itu penting. Thaharah itu penting, namun sayangnya lagi-lagi kita kadang-kadang hanya melihat dari sisi luarnya saja, tanpa mau berfikir lebih dalam lagi. Thaharah, ya, bab pertama dalam fiqih yang kerap kita abaikan. Sebatas kita mengenal bahwa yang bisa digunakan bersuci ada sekian, jenis najis ada sekian dan seterusnya. Nyatanya, lebih serius dari semua itu, kita membutuhkan thaharah dalam seluruh aspek kehidupan kita. Kita sadar saat ‘penyakit menyapa’ dan melupakannya saat sehat masih ada. Bukankah pepatah bilang, “Sehat itu mahkota, yang hanya mampu dilihat oleh mereka yang sakit”.

Komentar