Menilik Fitrah Kelahiran


Menilik Fitrah Kelahiran

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Demikian apa yang termaktub di dalam hadits Rasulullah Saw, “Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: ‘Rasulullah Saw.bersabda: Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah/suci, kedua orang tuanyalah yang membuatnya yahudi, nasrani, atau majusi” (HR. Bukhari).

Setiap anak terlahir di dunia dalam keadaan fitrah. Pada umumnya fitrah diartikan sebagai suci, bersih tanpa ada dosa sedikitpun. Anak yang terlahir tidak peduli dari rahim mana ia dilahirkan, bagaimanapun keadaan orang tuanya, semuanya lahir tanpa dosa sedikitpun. Selain itu mereka telah memiliki bakat dan potensi masing-masing yang tentunya tidak akan sama satu dengan lainnya.


Baharudin dalam bukunya, Paradigma Psikologi Islam, menyatakan bahwa fitrah merupakan identitas esensial psikis manusia.[1] Identitas esensial diartikannya sebagai identitas hakikat yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya, bukan menjadi yang lain.[2] Fitrah dalam hal ini merupakan sifat bawaan yang karenanya setiap individu memiliki keunikan yang menjadi ciri khasnya sehingga ia memiliki perbedaan dengan lainnya.

Dengan demikian, maka sudah bisa dipastikan bahwa di dunia ini tidak ada seorangpun yang benar-benar sama dengan lainnya. Seorang yang kembar identikpun, yang sulit bagi orang yang tidak selalu bersamanya untuk membedakannya, tetap memiliki perbedaan. Demikian pula dengan upaya rekayasa genetika manusia untuk meciptakan manusia yang sama, tetap saja ada hal berbeda dalam diantara keduanya.

Selanjutnya kata fitrah ini bisa ditinjau dari dua sisi yakni dari sudut pandang bahasa dan agama. Dilihat dari sudut pandang bahasa, kata fitrah berasal dari kata fithoro dengan bentuk masdar fithrun dan fithrotan yang artinya memegang dengan erat, memecahkan, membelah, mengoyakkan, meretakkan dan menciptakan.[3] Kata fithorohu memiliki arti dia menciptakannya, yakni yang menyebabkan ada secara baru dan untuk pertama kalinya. Selanjutnya kata fitrah secara bahasa sering digunakan untuk menunjuk arti tentang suatu kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir, penciptaan yang menyebabkan sesuatu ada untuk pertama kalinya, serta struktur atau ciri alamiah manusia.

Adapun dari sudut agama, maka fitrah diartikan sebagai keyakinan beragama, yaitu keyakinan bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan Tuhan. Semenjak lahir manusia mempunyai kesadaran akan keesaan Tuhan.

Berkenaan dengan fitrah manusia, jika hal ini dikaitkan dengan kemampuan manusia dalam menangkap ilmu yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya, al-Ghozali memberikan pernyataan yang cukup mencengangkan. Ia mengungkapkan pernyataannya itu dalam kitabnya al-Risalah al-Ladunniyyah.

Di dalam risalah tersebut, saat mengomentari tentang fitrah dalam hadits riwayat Bukhari ini ia menyatakan bahwa jiwa manusia yang berpikir itu mampu memancarkan jiwa secara keseluruhan serta siap menerima segala bentuk rasionalitas dengan potensi kesuciannya yang murni, serta kejernihannya yang pertama (fitrah), tetapi kesucian itu ternoda (sakit) di dunia ini, sehingga ia terhalang untuk menemukan hakikat oleh karena penyakit yang bermacam-macam.[4]

Bagi al-Ghozali manusia yang mampu mempertahankan fitrah-nya akan menjadi manusia yang mampu menerima dan menangkap berbagai pengetahuan secara sempurna. Ia mampu meretas segala bentuk rahasia pengetahuan yang terpendam di balik apa yang nampak. Siapapun yang mampu mengembalikan fitrah seperti sediakala setelah awalnya ia ternoda dengan berbagai penyakit yang di deritanya selama ia menjalani hidup di dunia.

Jiwa fitrah yang disebutnya sebagai jiwa yang sehat merupakan representasi dari jiwa kenabian yang mampu menerima wahyu, mampu menunjukkan mu’jizat di tengah kehidupan dunia yang penuh dengan kerusakan.[5] Jiwa sehat itu kekal sebagaimana sifat awalnya (fitrah). Apa yang merubahnya merupakan penyakit-penyakit yang menyebabkan jiwa-jiwa itu ternoda.

Jiwa fitrah yang ada pada diri rasul dan nabi menjadikan mereka sebagai dokter-dokter jiwa yang mengajak makhluk untuk kembali kepada fitrah kesuciannya, mengajak kembali mengabdikan diri kepada Pencipta, Yang menyebabkannya terwujud di dunia.

Dengan pemahaman seperti ini, al-Ghozali mengajak manusia untuk kembali menyadari bahwa kebenaran dan ilmu itu sesungguhnya terkumpul dalam semua jiwa manusia.  Hanya saja, perbedaan fitrahnya, menyebabkan perbedaan ilmu yang mampu diungkap dan dipahaminya dari dirinya sendiri. Jika jiwa manusia tetap pada kefitrahan-nya, maka potensinya untuk menerima kebenaran dan ilmu itu begitu besar sehingga ia memancar bagaikan cahaya/nur. Karena itulah al-Ghozali mengatakan bahwa “Ilmu bukanlah tentang seberapa banyaknya riwayat/teori, tetapi ilmu adalah nur/cahaya yang diletakkan Allah di hati hamba-Nya.”


[1] Baharudin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 146
[2] Ibid., 146
[3] Ibid., 147
[4] Abi Hamid al-Ghozali, al-Risalah al-Ladunniyyah, (Mesir: Kurdistan al-‘Ilmiyyah, 1328), 22
[5] Ibid., 22

Komentar