Da'iratus Sau’
Pahit getir dalam menjalani proses hidup
adalah hal yang biasa. Memang hidup tidak akan selalu berjalan sesuai dengan
apa yang kita inginkan. Oleh karena itulah, hati dan akal
diciptakan sebagai sarana untuk mensikapi silih bergantinya roda kehidupan
sehingga tercipta kondisi stabil dalam jiwa seorang yang beriman (mukmin).
Seorang mukmin mampu mensikapi silih
bergantinya keadaan dalam hidup ini dengan bijak. Saat ia menerima kenikmatan,
ia tidak akan larut dalam kegembiraan yang membuatnya lalai, pun pula
sebaliknya saat ia jatuh dalam kepahitan hidup, ia pun tidak lantas terjerumus
pada kesedihan berlebih yang berujung pada keterpurukan.
Allah menurunkan ketenangan pada hati setiap
mukmin, yang dengannya semakin bertambah dan mantaplah imannya. Ia tidak
berbangga dengan pencapaiannya, sebaliknya ia bersyukur atas anugerah yang
telah diberikannya. Ia juga tidak merasa putus asa saat kegagalan menyapa,
sebaliknya sabarnya mendahului rasa sedih yang ada dalam dirinya.
Pantas saja, Rasulullah Saw dalam salah satu
riwayat menyebutkan bahwa urusan seorang mukmin itu sangat menakjubkan, saat
menerima nikmat ia bersyukur dan saat ia tertimpa musibah, ia pun bersabar. Itulah
mukmin yang sesungguhnya.
Urusan iman bukan sekedar terletak di lisan,
dengan mengucap saya beriman. Tetapi lebih dari itu, iman itu terletak di hati,
diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Iman juga tidak bisa
diukur dari seberapa “ilmu” dan “pengetahuan” yang dimiliki seseorang. Seberapa
banyak riwayat yang dihapal dan seberapa banyak kitab yang dikumpulkan, apalagi
sekedar formalitas pakaian. Itulah kira-kira apa yang tersirat pada kandungan
Surat al-Fath (48); 3. Allah menurunkan ketenangan dalam hati orang-orang
mukmin supaya iman mereka bertambah disamping iman yang sebelumnya melekat
dalam diri mereka.
Rasa gembira saat menerima nikmat, sedih saat
tertimpa musibah, bahkan takut adalah sesuatu yang manusiawi yang melekat sejak
manusia diciptakan. Namun, iman menjadikan seseornag berbeda dalam mensikapi
setiap peristiwa yang terjadi. Iman semakin teruji lagi saat seseorang
dihadapkan pada kondisi sulit yang menghimpitnya.
Banyak fakta menunjukkan, kerasnya lisan,
tidak menjadi jaminan kuatnya hati dan jiwa seseorang saat diterpa badai
cobaan. Banyak orang yang lupa pada Tuhan saat ia dalam kondisi mulia, sehat
dan semacamnya. Namun, saat ia diterpa dan diguncang oleh ujian, ia terhempas
ke lembah kehinaan. Keluh-kesah mengalir deras dari lisan, seolah ia tidak
pernah mendapatkan limpahan nikmat dan keberkahan. Kalau perlu, ia luapkan itu
di berbagai media sosial yang dimilikinya, agar setiap orang bisa turut mrasakannya.
Padahal, berhembusnya nafas dan mengalirnya darah adalah bagian dari anugerah
besar darinya, yang kerap kali dilupakannya. Akibatnya hanya prasangka buruklah
yang ada dalam hatinya, terpancar melalui segenap fisiknya.
Al-Qur’an menyebut orang-orang yang disebut
belakangan ini sebagai orang-orang munafik dan orang-orang yang musyrik yang
selalu saja berburuk sangka pada Allah Swt. Allah berfirman:
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ
وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ
السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya: dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki
dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu
berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan)
yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi
mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat
kembali. (Qs. Al-Fath (48); 6)
Iman bukan sekedar lisan, pakaian
dan segala label formal yang melekat pada diri seseorang. Ia adalah urusan hati
yang senantiasa merasa tenang dan husnudzan kepada Allah, dalam setiap
urusan. Sementara kemunafikan dan kemusyrikan disimbolkan dengan sikap su’udzdzan
kepada-Nya.
Berburuk sangka kepada ujian yang
ditimpakan pada dirinya, sehingga semakin jauh dirinya dari pertolongan Allah. Mereka
yang tertimpa musibah dan mencari pertolongan kepada selain Allah sesungguhnya
telah berada dalam kondisi yang tersirat dalam ayat tersebut. Mereka mencari
perlindungan dari selain-Nya, yang menyebabkan mereka justru terjerembab pada “Dairatus
Sau’”, giliran kebinasaan yang amat buruk.
Hal ini disebabkan karena mereka
justru lari dari Allah dan menjauhkan diri dari-Nya. Mencari tempat
perlindungan selain dari-Nya. Mereka tertekan, semakin gundah-gulana jiwanya,
semakin bertambah rasa takutnya, dan pada akhirnya mereka “Mati Su’ul Khatimah”
dan dilemparkan ke bara api Jahannam. Tempat yang oleh ayat di atas disebut
sebagai “sa’at mashiran”, sejahat-jahatnya/seburuk-buruknya tempat
kembali.
Semoga Allah memberikan
pertolongan kepada kita semua dengan mengirimkan pasukan yang diturunkan-Nya ke
hati kita. Pasukan yang menjadikan hati kita merasa tenang dalam mensikapi
segala persoalan hidup, baik manis, pahit dan getirnya, dan menyelamatkan hati
kita saat kita kembali sowan kepada-Nya. AAMIIN.
Komentar
Posting Komentar