Merawat Harapan


Merawat Harapan

Dunia belum kiamat, harapan masih ada dan penting bagi setiap kita merawatnya serta menyebarkannya kepada yang lain di saat genting seperti ini. Wabah telah kita ketahui bersama, setiap orang bisa mengaksesnya melalui media yang bertebaran disekitar kita tanpa seorangpun mampu membendungnya. Lantas apa masih perlu kita membantu lagi persebarannya?

Pertanyaan ini yang beberapa waktu belakangan mengusik hati saya. Pada akhirnya, pagi ini saya ingin menuangkannya dalam tulisan sederhana ini. Harapan saya, ingin berbagi hal yang mungkin bermanfaat bagi mereka yang mau mengambil manfaat darinya.


Persoalan pandemi covid-19, atau yang akrab disapa dengan virus corona telah menjadi berita internasional. Siapapun bisa mengakses perkembangannya dengan mengakses situs resmi yang dapat dipercaya. Namun, tidak jarang juga bertebaran berbagai informasi di media-media sosial baik watsapp, IG, twitter, maupun media cetak dan elektronik berbagai berita yang terkadang akurasinya masih perlu diteliti dan ditelusuri lebih jauh lagi.

Bagi orang-orang yang telah memiliki pondasi kuat dan analisis bagus tentu hal itu bukan satu masalah. Artinya seperti apapun berita dan informasi itu disampaikan, mereka tetap saja mampu melakukan analisa serta melakukan netralisasi,-minimal untuk dirinya sendiri, sehingga ia tetap berada pada kondisi yang normal dan tidak mengalami stress dan depresi yang berlebihan.

Orang-orang yang memiliki mental kuat tentu akan siap menghadapi berbagai isu yang berkembang. Mereka bahkan mampu mengubah energi negatif menjadi energi yang positif. Seburuk apapun berita yang disampaikan mereka tetap bisa mengambil hikmah di balik setiap peristiwa yang ada. Tetapi apakah hal ini bisa dilakukan oleh orang-orang awam? Atau mereka yang memiliki pondasi lemah dalam hidupnya?

Inilah agaknya yang perlu diperhatikan lagi oleh para penikmat teknologi informasi canggih hari ini. Banyak orang yang karena mendengar berita-berita dan informasi negatif, menjadi ciut hatinya, menurun daya imunnya dan pada akhirnya mereka merasa ketakutan dan jatuh sakit atau bisa jadi berujung pada kematian,-meskipun tentunya semua itu adalah bagian dari takdir.

Orang awam dan orang bermental kerdil umumnya memiliki ketakutan berlebih saat mereka menerima informasi-informasi negatif. Mereka mengalami penurunan kemampuan secara drastis dan pada akhirnya hanya keterpurukan saja yang diterimanya. Banyak juga yang pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan ‘bunuh diri’.

Mengingat pemberitaan yang dahsyat melalui berbagai media telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing, hemat saya, saat ini yang perlu kita lakukan adalah membuat ‘virus tandingan’. Jika virus corona itu membuat nyali sebagian saudara, teman, handai tolan atau siapa saja yang mendengarnya merasa ciut, mari kita berikan kepada mereka ‘virus tandingan’ yang bisa membuat mental dan daya imun mereka meningkat. Memberikan semangat dan kabar-kabar positif serta berupaya mengurangi pula ‘mata rantai’ penyebaran beritanya yang bisa mengkerdilkan hati para pendengarnya.

Jika kita mampu memberikan suntikan harapan dan motivasi pada saudara kita, berarti sama artinya kita telah membantu mereka dalam kebaikan dan taqwa yang hal ini diperintahkan dalam al-Qur’an. Allah berfirman: “Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam hal kebaikan dan taqwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.(Qs. Al-Maidah (5); 2).

Sebaliknya jika kita menersukan berbagai berita negatif yang bisa membuat ciut hati mereka yang mendengarnya, apakah hal ini tidak sama dengan membuat madharat pada diri orang lain? Membuat orang lain merasa takut yang bisa jadi berujung pada stres dan mungkin saja meningkat menjadi depresi. Coba bayangkan bila apa yang kita sebarkan menimbulkan madharat bagi orang lain. Bukankah kita dilarang berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain?

Mungkin saja maksudnya baik, dengan kabar yang disampaikan harapannya mereka yang mendengar bisa waspada dan berhati-hati. Atau berharap yang mendengar bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini. Tetapi, apakah bisa dipastikan bahwa yang mendengar bisa mengambil hikmahnya, atau berapa perbandingan prosentase diantara keduanya? Dalam konteks seperti ini bagi saya yang harus dikedepankan adalah “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”. Semoga kita segera diberi pertolongan dan Allah segera mengambilnya kembali.


Komentar