Mushafahah
Islam begitu indah tuntunannya, baik dalam hal
yang berkenaan dengan hablun min Allah, hablun min al-nas, maupun hablun
min al-’alam. Islam menginginkan terwujudnya kehidupan yang harmonis antara
manusia sebagai seorang hamba yang patuh kepada perintah Rab-nya,
sebagai sesama yang saling menghormati, menghargai dan berdampingan dengan
lainnya, serta dengan alam sebagai ciptaan yang ditundukkan Rab
untuknya.
Berkenaan dengan hablun min al-nas,
Islam menyatakan bahwa sesama manusia memiliki kesetaraan di hadapan Allah Swt.
Setara dalam hak dan kewajibannya sebagai makhluk yang semestinya tunduk pada
apa yang telah ditentukan-Nya sebagai bentuk sunnatullah yang tak
tergantikan. Meskipun dalam praktiknya, ketundukan pada Rab diekspresikan secara
berbeda oleh manusia satu dan lainnya sesuai dengan keyakinan yang ada pada
dirinya masing-masing.
Islam memiliki tatanan tersendiri dalam hal
hubungan antar sesamanya,-dalam hal ini sesama muslim. Islam mengatur kehidupan
para pemelukmnya sedemikian rupa, penuh dengan tatanan-tatanan yang indah dan
teratur, termasuk di antaranya saat seorang muslim bertemu dengan muslim
lainnya.
Saat bertemu dengan sesama muslim, Rasulullah
Saw mengajarkan kepada umatnya untuk mengucapkan salam kepada yang lain. Tentu,
sebagaimana yang kita maklumi dengan mengucap kalimat “assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuhu”. Ungkapan yang sangat indah dan mengisyaratkan
adanya keakraban antara muslim satu dengan lainnya. Bagaimana tidak? Coba perhatikan
keindahan makna yang terkandung di dalamnya, jika ingin lebih tahu secara
mendalam.
Tidak sekedar salam saja, bahkan parameter
keislaman seorang muslim juga sangat ditentukan oleh seberapa besar andilnya
dalam menyebarkan keselamatan dan kedamaian di dunia ini. Rasulullah Saw. dalam
satu hadits riwayat Abu Dawud menyatakan bahwa “Seorang muslim adalah orang
yang orang-orang muslim lainnya selamat (dari gangguan) lisan dan tangannya” (HR.
Abu Dawud).
Tolok ukur keislaman seseorang disandarkan
pada perannya dalam menjaga keseimbangan hubungannya dengan sesamanya. Ini menunjukkan
bahwa Islam sangat memperhatikan urusan hablun min al-nas yang merupakan
aspek sosial.
Saat bersua dengan sesamanya, maka Islam
mengajarkan umatnya agar melakukan mushafahah/berjabat tangan. Perintah/tuntunan
berjabat tangan ini termaktub dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad yang artinya, “Dari Barra’ ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: ‘Tidaklah
dua orang muslim yang bertemu, kemudian mereka berjabat tangan/mushafahah
melainkan diampuni (dosa) keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Imam Ahmad).
Tentu di balik tuntunan ini ada nilai yang
luar biasa. Mushafahah menunjukkan adanya rasa saling menghormati dan
menghargai antara seorang yang satu dengan lainnya. Mushafahah juga
menjadi tanda bahwa ada keridhaan serta rasa bahagia antara satu dengan lainnya
saat mereka saling bertemu.
Melalui seorang muslim melepaskan rasa
ketidaknyamanan yang mungkin saja pernah terlintas, atau pernah singgah di
hatinya saat bergurau dengan saudaranya. Dengan mushafahah suasana kaku
hilang dan mencairlah keadaan dengan suasana keakraban. Melalui mushafahah,
su’udzdzan berganti dengan husnudzdzan. Lantas bagaimana dengan mushafahah
di masa pandemi seperti ini?
Tulisan ini sebenarnya terilhami dari polemik ‘jabat
tangan’ yang terjadi di tengah masyarakat sebagai dampak dari mewabahnya ‘covid-19’,
makhluk yang sedang menjalankan ‘titah’ Tuhan-nya. Sebagian di antaranya
beranggapan penting dan harus dilakukan sebagai upaya untuk memutuskan rantai
penyebaran virus ini. Sebagian lain, menganggapnya berlebihan karena ‘nasib’
sudah ada yang menentukan. Namun, tentu kelompok pertama akan menjawab, ‘nasib
memang sudah ditentukan, namun manusia tetap harus melakukan ikhtiar sebagai
bentuk syukur atas nikmat akal yang diberikan’.
Saya tidak akan berfatwa karena itu bukan
bagian saya, pun pula saya tidak akan merekomendasikan sesuatu yang harus
diikuti oleh siapapun. Melalui tulisan sederhana ini, saya sekedar ingin
menuliskan ‘unek-unek’ saya berkenaan dengan masalah ini, itu saja.
Pertama, bagi seorang muslim kita yakin bahwa semua
yang terjadi di dunia ini merupakan takdir yang qadha’-nya telah ditentukan
sejak zaman azali. Kita juga yakin bahwa semua tuntunan yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw. benar dan tidak mungkin membawa madharat bagi umatnya. Bagi yang
meyakini hal ini dan ‘meyakini’ bahwa dengan ‘jabat tangan’ tidak membahayakan,
ya monggo saja, tetapi yang perlu diingat, jangan anda memaksakan keyakinan
anda pada mereka yang tidak meyakininya. Artinya saat anda ingin berjabat
tangan dengan seorang yang tidak mau berjabat tangan, ya hormati keyakinan
mereka. Tidak perlu mengumpat dan mencela bahwa mereka tidak patuh pada
perintah Rasul. Jangan pula menilai bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan
bentuk ‘rasa takut’ terhadap makhluk, yang ujungnya mengikis nilai
tauhidnya. Mungkin sekali apa yang mereka lakukan merupakan bentuk ikhtiar dan
mensyukuri nikmat sehat serta akal yang masih diberikan kepada mereka.
Kedua, bagi kelompok yang meyakini dengan
meninggalkan ‘jabat tangan’, maka mereka telah ikut serta andil dalam upaya ‘memutus
rantai’ penyebaran virus covid-19, tetap harus menghormati kelompok yang
berseberangan. Jangan saling mencaci dan memaki, karena semua memiliki
keyakinan masing-masing. Jika mereka mengajak berjabat tangan dan anda tidak
ingin, sampaikan saja, mohon maaf, dengan tidak mengurangi rasa hormat,
sementara kita tidak berjabat tangan. Pastikan juga bahwa niatan yang ada di
dalam hati itu benar-benar bentuk syukur dan ikhtiar, bukan semata takut dengan
berbagai isu yang bertebaran.
Pada saat kondisi semacam ini, semestinya kita
saling menguatkan satu dengan lainnya, dengan cara dan keyakinan kita
masing-masing, bukan saling menyerang satu dengan lainnya, memperbanyak debat
dengan beradu argumen dan dalil. Pemerintah dan para ulama sedang berupaya
sebaik mungkin untuk segera mengatasi masalah pandemi yang mewabah di seluruh
dunia ini. Karena itu, sebaiknya kita turut andil dengan mengambil peran sesuai
dengan cara dan keyakinan yang kita miliki.
Sebisa mungkin juga, berita mengenai hal-hal
buruk dikurangi dan lebih menyebar informasi yang semakin memperkuat harapan
dan motivasi setiap orang yang ada di sekeliling kita. Berita, tetaplah berita.
Ia bisa menjatuhkan, bisa juga mengangkat. Ia bisa membunuh, bisa juga
menghidupkan. Cukuplah ‘Syaithan’ yang membisikkan bisikan buruk di hati
manusia, karena memang itu tugasnya, dan jadilah ‘kita’ agen Tuhan dalam
memupuk harapan, serta menyebarkan kedamaian dan ketenangan di dunia. Firman
Allah dalam hadits qudsi, “Aku menurut prasangka hamba-Ku, jika (ia) berprasangka
baik, maka baiklah (yang terjadi), dan jika (ia) berprasangka buruk, maka
buruklah (yang terjadi).” Semoga kita menjadi agen kebaikan di dunia.
AAMIIN.
Komentar
Posting Komentar