Kecelakaan yang Hampir Merenggut Nyawa
Hampir setiap hari selepas sholat Maghrib Bapak keluar rumah untuk
melakukan kegiatan rutinnya di madrasah pondok, maupun madrasah di Masjid (yang
saat itu masih Musholla) di dekat rumah. Mulai dari malam Senin-Kamis, Jum’at
mengikuti kegiatan Yasin di lingkungan dan malam Minggu kegiatan Usbu’iyah.
Itulah jadwal rutin bapak di setiap harinya.
Mungkin karena sudah menjadi ruhnya, meski setiap petang berangkat ke sawah, pulang siang, setelah dhuhur merumput sampai ashar, rasa capek tidak lagi terasa. Belum lagi kegiatan-kegiatan di lingkungan lainnya seperti takhtimul qur’an, mujahadah 40 harian dan sebagainya yang kerap kali mengharuskan bapak pulang larut malam. Kegiatan yang telah menjadi darah daging bagi beliau yang tidak bisa dipisahkan hingga akhir hayatnya.
Keluarga kami yang sederhana kerap ketinggalan dalam mengikuti
perkembangan zaman. Saya ingat betul, saat para tetangga sudah memiliki listrik
yang baru masuk ke desa kami kisaran
tahun 90-an. Keluarga kami lah yang paling akhir memasang “amprah” listrik. Kami
belajar di bawah nyala lampu “ublik” dan “petromak” kala itu. Baru setelah
beberapa tahun kemudian, bapak dan ibu dengan kerja kerasnya mengumpulkan uang
bisa memasang listrik.
Dalam hal kendaraan pun juga demikian. Hampir setiap rumah di
lingkungan kami sudah memiliki “sepeda motor,” namun keluarga kami belum bisa
membeli. Kendaraan yang dipunya kala itu adalah “sepeda ontel” yang setia
menemani kemanapun, itupun kondisinya boleh dibilang “cukup memprihatinkan,”
dan saat dikayuh terdengar suara “srek, srok” dan sejenisnya karena kurang terawatt
dan kelewat tua. Sepeda itulah yang setia menemani bapak ke madrasah dan kemanapun
beliau pergi ke berbagai kegiatan yang diikutinya.
Keluarga kami baru memiliki kendaraan “sepeda motor,” mereka
Yamaha, “Bravo,” hasil penjualan sapi bapak yang boleh dibilang agak
terburu-buru. Saya katakana agak terburu-buru, karena pada waktu itu rasa ingin
memiliki kendaraan bapak sudah tinggi. Mungkin karena beliau juga sering merasa
kecapean dengan berbagai aktivitasnya, sapi yang saat itu “mungkin ini yang
paling bagus” diantara sapi-sapi yang pernah dipelihara bapak, dihargai dengan
harga 3 juta saat itu. Harga yang terbilang fantastis kala itu, karena umumnya
harga sapi besar kala itu berkisar antara 1,5 sampai 2,5 jutaan. Ibu sebenarnya
meminta agar bapak bersabar, namun hal itu kalah dengan keinginan yang sudah
tidak terbendung.
Sepeda motor itu menjadi teman
bapak berikutnya untuk menjalani berbagai aktifitas kesehariannya. Mulai
dari ke madrasah, jam’iyyah-jam’iyyah dan sebagainya. Kendaraan ini menjadi
teman setia yang bertahan cukup lama di keluarga kami hingga peristiwa yang
membuat trauma keuarga, dan memaksa bapak untuk tidak lagi berkendara.
Ya, kecelakaan yang hampir merenggut nyawa, itulah peristiwa yang
menyebabkan kami sekeluarga melarang bapak berkendara motor lagi. Peristiwa itu
terjadi pada kisaran pertengahan tahun 2005, saat dimana saya masih menempuh
jenjang perkuliahan di kampus yang saat ini menjadi tempat saya mengabdikan
diri, STAIN Tulungagung.
Hari Jum’at, menjelang sholat Jum’at. Keluarga kami biasa
melaksanakan sholat Jum’at di Masjid Pondok Pesantren Mambaul Ulum Sempu
Sukorejo. Saat itu, di desa kami sholat Jum’at masih di satu tempat di Masjid
Jami’ Slemanan. Namun, mungkin karena sudah menjadi keseharian bapak, kami
mengikuti sholat Jum’at di Pondok.
Pada saat berangkat untuk menunaikan sholat Jum’at, tepatnya
ditikungan menuju ke gang Pondok, satu sepeda motor yang dikendarai anak yang
masih usia sekitar SMP/SMA menghantam keras sepeda bapak dari belakang. Bapak terpental
beberapa meter dari tempat kejadian. Luka parah beliau ada di kepala bagian
kanan. Bapak pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit Syuhada Haji.
Pada saat kejadian itu, saya tidak sedang di rumah. Saya masih di
Tulungagung dan masih harus mengikuti ujian semester dan menyisakan satu mata
kuliah lagi. Tetiba seorang teman pondok mengabari saya agar segera pulang
secepatnya. Bisa atau tidak saya harus pulang, begitu katanya.
Mendengar kabar itu, tentu hati saya bertanya-tanya gerangan apa
yang terjadi. Saya diantar teman kuliah hingga sampai di rumah, namun hanya
adik saya yang ada sambil menangis berkata, “Pak’e tabrakan, saiki digowo
neng Syuhada.” Tanpa berpikir panjang, saya dan teman saya (Jamah) langsung
meluncur menuju ke Rumah Sakit Syuhada’ Haji. Kira-kira tiga puluh menit
perjalanan kami sampai di lokasi dan bisa bertemu dengan ibu serta kakak yang
menemaninya.
Belum lagi saya duduk, ada kabar yang mengejutkan lagi, supaya
semua keluarga kumpul dan “nunggoni,” kata dokter, karena terlalu kecil
harapannya. Tentu, hal itu semakin membuat kami dan keluarga merasa cemas dan
khawatir.
Selang beberapa jam kemudian, dokter Rumah Sakit memutuskan supaya
bapak di rujuk ke Rumah Sakit Syaiful Anwar, di Malang. Rumah Sakit yang kala
itu,-dan mungkin sampai sekarang, menjadi rujukan karena fasilitasnya yang
lengkap dan tenaga medisnya yang ahli. Kami sekeluarga sepakat untuk merujuk
bapak ke sana dan sebagai pendamping bapak adalah saya dan ibu.
Perjalanan dengan mengendarai ambulan lengkap dengan sirinenya
melaju dengan kecepatan tinggi tanpa halangan di lampu merah sekalipun. Setiba di
Syaiful Anwar bapak langsung masuk ruang UGD, ruang dimana setiap pasien yang
baru tiba akan mendapatkan penanganan secara intensif.
Ya, peristiwa yang membuat bapak tidak lagi boleh berkendara sepeda
motor oleh semua keluarga. Menjadi “Al-Mukarrom” kata beliau yang kemana-mana
diantar sopirnya. Hanya saja, bapak masih boleh mengendarai “sepeda ontel”-nya.
Itulah kendaraan yang kembali menemani beliau hingga menjelang wafatnya.
Komentar
Posting Komentar