Ora Ono Wong Mati Goro-Goro Mulang
Artikel dengan judul serupa pernah penulis angkat beberapa waktu
lalu. Meski judulnya sama tentu ada sisi-sisi berbeda yang penulis sajikan
dalam artikel kali ini. Artikel yang khusus penulis susun sebagai upaya untuk
mengenang almarhum bapak.
Selama hidupnya bapak tidak bisa dipisahkan dari pengabdiannya di
madrasah baik di lingkungan masjid desa kami tinggal dan juga di pondok, tempat
dimana bapak pernah “nyantri dan nyadong” barokah dari kyai. Tempat yang
tentunya sangat lekat dengan pribadi bapak, meski tidak pernah terucap dengan
kata. Terbukti, hingga menjelang wafatnya bapak masih tercatat aktif sebagai “guru
ngaji” di sana.
Ya, bapak memang orang yang “getol” dalam menularkan apa yang dititipkan kepadanya berupa “ilmu” kepada generasi muda. Bapak tidak pernah mengenal lelah untuk mengajar. Bahkan disaat usianya yang senja, beliau masih semangat untuk mengajar.
Kehidupan bapak hingga akhir hayatnya sangat sederhana. Untuk kehidupan
sehari-hari bapak menggarap sawahnya dengan menanam berbagai sayuran, padi, dan
“palawija.” Pasca kecelakaan pun bapak masih ke sawah, tetapi tentunya
intensitasnya sudah tidak sebagaimana sebelumnya, karena kondisinya yang sudah
tidak memungkinkan.
Setelah bapak mengalami kecekaan, saya memutuskan untuk menempuh
kuliah dari rumah untuk membantu kakak dan ibu. Kebetulan jadwal kuliah saat
itu juga sudah tidak sepadat dulu karena tinggal menjankan “PPL dan Skripsi,”
sebagai tugas akhir. Saya juga berusaha semaksimal mungkin agar kuliah saya
bisa selesai lebih awal. Alhamdulillah, hal itu tercapai dan saya sudah
menuntaskan sidang skripsi pada bulan April, dimana mayoritas teman seangkatan
menempuhnya pada bulan Juni-Agustus.
Setamat saya dari kampus, sambil menunggu keluarnya ijazah, saya
bekerja serabutan di rumah dengan “manjing,”di sawah disamping merumput dan
membantu bapak/ibu di sawah. Tidak ada perasaan “canggung” bagi saya, karena
memang saya telah terbiasa dengan hal tersebut, jauh sebelum saya menempuh
pendidikan tinggi di kampus. Bagi saya, dan juga pendidikan keluarga saya, asal
halal, tidak merugikan orang lain, semua pekerjaan adalah mulia.
Beberapa bulan setelah tamat, seorang teman menghubungi saya bahwa
saya diminta menghubungi kepala sekolah SDI di Ngunut. Saya belum pernah
mengenal apalagi bertemu beliau. Saya pun menghubungi beliau. Intinya beliau
meberikan tawaran supaya saya mengajar di lembaga yang beliau pimpinnya dengan
menyebutkan beberapa hal terkait bisyaroh dan lain sebagainya.
Singkat cerita, saya menyampaikan hal tersebut kepada bapak lengkap
dengan apa yang disampaikan beliau terkait segala sesuatunya. Bapak spontan
dengan tegas menjawab, “Yo wes lakonono, sing penting ngamalne ngilmune,
yakino ora enek wong mati goro-goro mulang.”
Jawaban bapak itu membekas dalam diri saya hingga saat ini. Bapak ingin
agar anak-anaknya mau untuk melanjutkan perjuangan bapak dalam memikirkan
generasi penerus utamanya di bidang pendidikan, terlebih madrasah karena tempat
berkecimpungnya bapak di madrasah. Bagi bapak mengajar itu bukan untuk mencari “uang,”
melainkan membentuk generasi yang lebih baik, terutama generasi yang mengerti
agama. Beliau sering menyampaikan, “Mati uripe agomo tergantung generasine,
Nek generasine apik, insya Allah yo apik, Nek generasine bubrah, Yo bakal
bubrah kabeh.”
Ya, apa yang disampaikan bapak benar adanya. Tidak ada orang mati
gara-gara menjadi guru, bahkan guru madrasah yang,-mohon maaf, tidak berbayar. Buktinya,
keluarga kami masih tetap bisa makan, meskipun sederhana tetapi tetap
berkecukupan. Yang penting tetap disyukuri. Insya Allah, jika disyukuri akan
terasa nikmat-Nya dan bahagia hidupnya.
Begitulah prinsip hidup bapak. Prinsip yang telah menghunjam kuat
dalam hatinya sehingga terus dipegangnya hingga akhir hayat. Keyakinan bahwa
dengan tetap “mengajar ngaji,” ada banyak barokah yang di dapat, terutama dalam
mendidik putra-putrinya. Allahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar