Kecintaan Bapak kepada Ilmu

 

Kecintaan Bapak kepada Ilmu



Secara formal bapak memang tidak berpendidikan tinggi. Bapak hanya sekolah di jenjang SD, itupun menurut cerita beliau, yang saya belum pernah melihat ijasahnya secara resmi. Apakah bapak benar-benar telah menamatkan pendidikannya selama belajar di jenjang dasar ataukah tidak, hanya beliau yang tahu.

Bapak pernah cerita kepada saya mengenai sekolah formalnya, yang karena wilayahnya saat itu minim dan berada di daerah pegunungan, dengan berbagai keterbatasannya, beliau mengikuti pembelajaran di SD satu-satunya yang ada di daerahnya yang bercorak nashrani. Kondisi di daerah bapak-pun saat itu,-menurut cerita beliau sebelum meletusnya G30 S PKI , masih jarang ada orang yang sholat. Islamnya kebanyakan masih KTP, sedang kesehariannya masih belum menunjukkan kebiasaan muslim yang sesungguhnya.

Aliran kebatinan juga banyak berkembang di daerah bapak kala itu. Ada sapto darmo, gatholoco dan roso sejati. Bapak pernah bilang kalau ada di daerah bapak yang memiliki keistimewaan menolong orang-orang yang sakit dsb. Caranya adalah dengan menjilat wesi abang (besi yang dipanaskan sehingga warnanya merah), kemudian dicelupkan ke air di gelas. Anehnya, semakin dia royal; bahasa bapak (semakin banyak maksiat “bermain perempuan”), kesaktiannya konon kian bertambah.

Sewaktu di jenjang sekolah dasar itu pula, bapak cerita pernah dijadikan imam setiap kali sembahyang. Jangan bayangkan ini sembahyang orang Islam, ini adalah sembahyang umat nashrani. Tetapi, bapak cerita setiap kali mendengar nama “Alah,” yang kita menyebut “Allah,” hati bapak merasa gembira.

Bapak tidak tahu mengapa ada rasa gembira yang berbeda saat beliau mendengar kata-kata itu. Yang jelas beliau merasakan hal yang berbeda dengan apa yang dirasakannya dari kebahagiaannya. Meski bapak hanya berpendidikan SD, namun kecintaannya pada ilmu tidak bisa diragukan.

Keluarga kami sangat sederhana bila dibandingkan dengan tetangga sekitar. Saya masih ingat betul, hampir setiap hari ibu selalu membagi jatah makan kami. Setiap kali makan, selalu demikian. Jarang kami mengambil makanan sendiri dan makan sepuasnya, kecuali pada saat-saat tertentu. Dan yang sampai saat ini selalu melekat dalam ingatan, bapak dan ibu, selalu bilang makan tidak boleh sisa, bahkan kalau ada yang tercecer, “meski hanya satu nasi,” orang jawa bilang “upo” asal tidak kotor harus diambil dan dimakan. Kalau tidak ibu pasti marah-marah. Mungkin ini adalah bentuk pendidikan karakter bagi anak-anaknya agar “menghargai jerih payah” orang lain. Beliau bilang, “Ora ngelingi lek golek direwangi kethekeran, mangan ra dientekne.” Kebiasaan yang barangkali hari ini langka di zaman serba “murah sandang pangan.”

Meski serba sederhana bapak dan ibu selalu memberikan motivasi dan dorongan kepada anak-anaknya untuk selalu belajar dengan giat, baik di sekolah formal maupun di madrasah. Bapak dan ibu sering bilang, “wong ki sing penting duwe ngelmu, lek duwe ngelmu insya Allah uripe kepenak. Senajan ora duwe bondo nek duwe ngelmu ora susah mergo ngerti carane golek.”

Dan kecintaan pada ilmu itu dibuktikan dengan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal maupun di madrasah. Hanya saja memang, motivasi anak-anaknya dalam belajar yang mungkin berbeda sehingga hal ini juga tidak bisa dipaksakan kepada mereka.

Diantara anak-anak bapak, saya dan adik bungsu yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kakak pertama memilih berhenti sekolah setelah menamatkan belajarnya di jenjang MTs dan menggeluti dunia “pertanian” untuk kesehariannya. Adik kedua berhenti setelah menamatkan pendidikan di jenjang Madrasah Aliyah. Sebenarnya bapak dan ibu juga sudah mendorongnya untuk meneruskan ke jenjang berikutnya, namun mungkin mereka punya pilihan yang berbeda.

Saya sendiri pada awalnya tidak punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan di bangku perkualiahan. Saya ingin mondok waktu itu di daerah Kediri, namun motivasi yang terus diberikan orang tua, terutama ibu yang saat itu sering sakit-sakitan, dan ingin agar anaknya ada yang kuliah meski keluarga pas-pasan, meluluhkan hati saya. Ditambah saat mencangkul di sawah bersama bapak, bapak bilang, “Le piye sermu? Ser kuliah po mondok? Nek ser kuliah yo tak golekne ragat. Yo bener bapakmu ki wong ra duwe, neng lek wong thalabul ilmi kui biasane enek dalane. Yo, sing penting niate ditoto, ora niat golek pangkat lan derajat. Perkoro kui wis diatur karo sing gawe urip. Dene kok saumpomo nek tengah-tengahe kuliah bapak ndak iso ngragati metu yo rapopo. Gak perlu mikir sok dadi opo, pomo mari kuliah ngaret meneh yo ndak popo.”

Pertanyaan dan pernyataan bapak saat di sawah ini membuat saya berpikir keras saat itu dan kemudian mengingatkan saya pada kondisi ibu yang sakit-sakitan dan ingin sekali saya kuliah. Akhirnya saya memutuskan untuk menuruti keinginan ibu dengan menjawab pertanyaan bapak, “nggeh kulo tak sekolah mawon.” Meski saya sudah menjawab seperti itu, bukan berarti hati saya benar-benar ikhlas menjalaninya, namun masih ada rasa yang belum “ngeh” bener ingin kuliah.

Saya ingat, pada saat pendaftaran di kampus, saya diantar tetangga ke sana untuk melengkapi berkas. Saat itu banyak mahasiswa senior yang mendekati saya untuk megikuti bimbingan test belajar. Namun saya tolak semuanya. Bahkan saya juga tidak mempersiapkan diri sama sekali untuk mengikuti ujian masuk. Pikir saya kala itu, kalau tidak diterima saya mau mondok.

Pada saat pengumuman kelulusan, teman-teman saya menunggu hasil dengan berdebar-debar. Seorang teman karib saya sampai hari ini yang menjadi kenalan saya pertama bilang, “Weh drueedek aku, samarku lek ra ditompo. Alhamdulillah lulus aku.” Dia bilang sambil penuh semangatnya. Sementara saya tidak mau berdesak-desakan dan seperti orang tidak butuh saja, menunggu sampai akhirnya temen saya memberi informasi kalau saya lulus.

Begitu tahu kalau saya lulus dan diterima, sepanjang jalan saya berpikir keras. Orang tua saya sudah bekerja keras menginginkan saya kuliah. Sekarang saya sudah diterima, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak kuliah lagi. Itulah yang kemudian mendorong saya untuk benar-benar menjalani proses perkuliahan dengan sebaik-baiknya.

Seringkali saat saya malas, saya bermimpi melihat orang tua dan kakak  saya bekerja di sawah di bawah teriknya matahari. Merekalah yang bekerja mati-matian untuk membiayai kuliah saya. Saat bapak/ibu tidak punya uang, kakaklah yang memberikan uang saku untuk saya. Perjuangan merekalah yang membuat saya kembali bangkit untuk belajar sehingga saya bisa menyelesaikan proses kuliah saya di jenjang S1 kala itu.

Begitulah bapakku yang sangat mencintai ilmu. Beliau selalu memberikan motivasi kepadaku untuk belajar dan menuntut ilmu tanpa berpikir hendak jadi apa aku. Baginya, yang terpenting adalah menjalankan perintah Allah untuk menuntut ilmu. Urusan kaya, miskin, jadi orang pangkat atau tidak, itu bukan urusan. Semua sudah ada yang mengatur. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan menerima semua amal baiknya dan menempatkannya di tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin.

Komentar

Posting Komentar