Tak Semua yang Mengulurkan Tangan, Bermaksud Menolongmu

 

Tak Semua yang Mengulurkan Tangan, Bermaksud Menolongmu



Artikel ini ditulis bukan untuk menyudutkan seseorang, merasa kecewa dengan takdir, atau memengaruhi seseorang untuk bersikap “su’udzzan” pada setiap orang yang mengulurkan tangannya. Artikel ini sekedar sebagai bahan bagi kita dan para pembaca untuk bijak dalam menyikapi setiap peristiwa, apapun bentuknya, dengan berusaha positif thinking bahwa semua yang terjadi merupakan bagian dari skenario takdir-Nya dengan segudang hikmah di baliknya.

Kecelakaan tersebut memberikan pelajaran kepada kami sekeluarga bahwa seberapapun berharganya harta, namun kesehatan lebih utama dan berharga. Kami keluarga sederhana dengan berbagai keterbatasan materi. Bapak dan kakak sedikit demi sedikit menyisihkan penghasilannya untuk membeli ternak sebagai tabungan.

Saat musibah itu terjadi, kami membutuhkan banyak biaya untuk berobat bapak. Dua ekor sapi milik bapak dan kakak dijual, dan menyisakan dua ekor, masing-masing milik bapak dan kakak. Namun, harganya di bawah normal karena saat itu memang kondisi mendesak dan barangkali hal tersebut dibaca oleh penjual.

Namun, hasil penjualan itu juga belum cukup, hingga ibu minta tolong supaya dipinjamkan uang. Al-hasil, pinjaman diterima dengan jaminan sapi yang tersisa. Kami bersyukur bahwa masih ada orang yang mau membelikan pinjaman di saat kondisi sedang kesulitan.

Singkat cerita, bapak pulang, namun kondisinya masih belum sadar. Namun, pihak rumah sakit sudah menyarankan pulang karena kondisinya sudah menunjukkan tanda yang menggembirakan. Sehari sepulang bapak dari rumah sakit, ibu ditagih supaya mengembalikan uang yang dipinjamnya.

Ibarat orang jatuh tertimpa tangga, itulah yang dirasakan ibu. Orang tersebut datang ke rumah sambil membentak-bentak “kata ibu,” supaya uangnya dikembalikan. Atau dikembalikan dalam bentuk “sapi” yang tersisa, dan dengan harga yang sangat murah, tidak pada umumnya. Ibu meminta tempo barang 3-5 hari untuk mengembalikan. Akhirnya diberikan tempo kepada ibu 5 hari. Itupun dengan ucapan yang menyakitkan, “Sampean mandi dongane lek iso golek duit sakmono tempo 5 dino.” Ibu hanya bilang, “Aamiin, yo mugo-mugo.”

Sepulang orang tersebut, tentu ibu juga kebingungan mau cari pinjaman kemana uang sebanyak itu. Yang dilakukan hanya pasrah, berdo’a dan menangis. Dalam hati muncul pikiran, ternyata tidak semua yang kelihatannya menolong itu bermaksud menolong. Adapula yang justru mengambil kesempatan di balik kesempitan dan kesusahan orang lain.

Walhasil, Allah memberikan jawaban atas do’a ibu. Seorang polisi yang menolong mengurus jasa raharja bapak dan berkali-kali bilang, “Iki mu’jizat, iki mu’jizat, iki mu’jizat.” Proses pengajuan dan turunnya sangat cepat. Belum 5 hari dari tempo yang diberikan uang sudah diberikan kepada orang yang menagih hutang. Dan yang membuat tercengang lagi, “jumlahnya sama persis” dengan jumlah uang yang ditagihkan. Hal itu, tentu mengagetkan yang menagih juga dan berkali-kali berucap sambil merasa malu,-bahasa Jawanya ‘ingah-ingih,’ “Njenengan saestu dongane mandi, saestu njenengan mandi dongane.”

Ya, itulah bagian dari sejarah yang tak terlupakan di dalam keluarga kami. Ada orang yang sepertinya membantu, namun ada maksud di balik itu. Tetapi ada pula orang yang benar-benar tulus, dan jumlahnya banyak. Saya sebut satu orang saja, amarhumah ibu Fathoyah, istri Kyai Muhammad Yasin Manshur, guru sekaligus panutan bapak di pondok.

Saat menjenguk bapak untuk yang kesekian kalinya, pas waktu ke dapur dia melihat di dapur tidak ada apa-apa. Gabah yang biasanya selalu ada untuk persediaan juga sudah habis semua. Dia berkata ke ibu, “Mbak sampean nempur to?, Ya Allah, wes Mif po Toni, kon moro nyang omah. Kon jupuk gabah.”

Begitulah, banyak orang tulus ikhlas namun juga ada orang yang memiliki maksud tertentu. Yang terpenting, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, jangan sampai kita memanfaatkan kesulitan orang lain untuk meraup keuntungan pribadi. Saat menolong orang lain, jangan pernah berharap balasan darinya dan lebih-lebih menyakiti hatinya dengan mengumpat atau mencaci.

Saat kita menolong orang, sebenarnya kita sedang menolong diri kita. Kita tidak tahu kapan kita membutuhkan bantuan orang. Yang jelas, tidak selamanya hidup itu mudah. Di saat kemudahan menyapa, jangan congkak, membusungkan dada, mendongakkan kepala, seolah kita-lah yang paling berkuasa. Tetapi, bersikaplah rendah hati, bersyukur dan yakinlah bahwa semua itu tak lain hanyalah amanah-Nya, yang harus kita jaga.

Komentar

Posting Komentar