Selasa, 16 Mei 2017

Mencari Guru Kamil Mukammil



Mencari Guru Kamil Mukammil



Dalam dunia tasawuf, untuk menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah, bukan lah hal mudah. Tidak semua orang bisa menggapainya dengan mudah. Barangkali ada di antara kita berfikir bahwa dunia tasawuf utamanya thariqah mengada – ada kaitannya dengan adanya “Guru Mursyid” yang kamil mukammil, yang selain imannya telah sempurna, ia juga mampu mentakmilkan iman muridnya sehingga sampai kepada hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT.

Keberadaan seorang guru kamil mukammil dalam dunia tasawuf untuk membimbing seorang murid yang sedang menempuh jalan menuju kepada Allah dalam pandangan sufi, hukumnya adalah wajib. Tanpa guru yang mencapai maqam seperti ini seorang salik akan mudah dijerumuskan oleh setan yang sangat lembut dalam menyesatkan manusia.

Dalam al-Qur’an Surat al-Nahl (16); 43, Allah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)

Artinya: Maka bertanyalah kepada ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui. (Q.S. al-Nahl (16); 43)

Menurut pandangan sufi ahlu dzikir di sini tidak hanya sekedar mereka yang berilmu pengetahuan yang ahli dalam ilmu syariat belaka, namun lebih daripada itu mereka adalah orang yang hatinya “yathufullaha da’iman”, orang yang hatinya senantiasa thawaf kepada Allah. Orang yang memiliki hati yang senantiasa thawaf kepada Allah itu tidak lain adalah seorang yang berpangkat “al-Ghauts” atau “Wahidu Zamanihi”.

Seorang yang menempuh perjalanan menuju Allah tanpa adanya seorang guru yang membimbing dan mengarahkannya, maka setanlah yang akan menjadi gurunya. Al-Syaikh Abu Yazid al-Basthami mengatakan sebagaimana yang terdapat dalam kitab “Jami’ul Ushul fil Auliya’”, karya al-Syaikh Kamasykhanawi, pada bagian “Mutammimat” dalam “Bayan washiyatul muriidin”, dengan fatwanya:

من لم يكن له أستاذ فإمامه الشيطان. وقالوا: من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان

Artinya: Barangsiapa yang tidak memiliki guru (guru ruhani), maka setanlah imamnya. Dan mereka semua berkata: Barangsiapa yang tidak memiliki guru (ruhani), maka gurunya adalah setan.

Fatwa al-Syaikh Abu Yazid al-Busthami ini diperkuat oleh fatwa al-Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’rani sebagaimana terdapat pada kitab “al-Anwar al-Qudsiyah”-nya dalam bab Adabul Murid, beliau memfatwakan:

المريد إذا مات شيخه وجب عليه اتخاذ شيخ أخر يربيه

Artinya: Seorang murid, ketika Syaikh (Guru Ruhaninya) mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syaikh penggantinya untuk membimbingnya.

Begitulah perjalanan menuju kepada Allah. Bahkan begi seorang yang berilmu luas, seluas apapun ilmu agamanya menurut para ulama ahli tasawuf sebelum dia mencapai derajat “al-Ghauts”, maka ia wajib untuk mencari seorang guru yang kamil mukammil. Keterangan tentang kewajiban seorang yang memiliki ilmu luas untuk tetap berguru pada seorang yang kamil mukammil disampaikan oleh al-Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub”. Beliau berfatwa:

لا ينبغي للعالم ولو تبحر فى العلم حتى صار واحدا أهل زمانه أن يقنع بما علمه وإنماالواجب عليه الإجماع بأهل الطريق ليدلوه على صراط المستقيم. ولا يتيسر ذلك (كدورات الهوى وحظوظ نفسه الأمارة بالسوء) عادة إلا على يد شيخ كامل عالم فإن لم يجد فى بلاده أو إقليمه وجب عليه السفر إليه

Artinya: Tidak patut bagi seorang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya sehingga ia menjadi Wahidu Zaman (al-Ghauts) pada masanya. Bahkan wajib baginya berkumpul bersama dengan para ahli thariqah, agar ia ditunjukkan ke arah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia di bawah kekuasaan dan bimbingan Syaikh yang kamil mukammil dan alim dalam hal tersebut. Dan apabila di daerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru atau Syaikh kamil, maka wajib baginya pergi menuju daerah yang Syaikh kamil mukamil berada di sana.

Ini lah pentingnya seorang guru ruhani yang kamil yang mampu mentarbiyah muridnya agar sampai ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT. Namun, karena sulitnya menemukan guru yang kamil mukammil, Rasul juga mengingatkan kepada umatnya agar senantiasa berhati – hati dalam memilih guru. Jangan sampai guru yang dipilih adalah guru ruhani yang menyesatkan. Sabda Rasul sebagaimana termaktub dalam kitab “Jami’ al-Shagir”-nya Imam Jalaludin al-Suyuthi, juz I bab alif:

إنما أخوف ما أخاف على أمتي الأئمة المضلون

Artinya: Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah pemimin – pemimpin yang menyesatkan.

Lantas bagaimana kita bisa menemukan seorang guru yang kamil mukammil yang berpangkat “al-Ghauts”? Perbanyak tawasul kepadanya dengan hadiah surat al-Fatihah. Hatinya seorang yang berpangkat "al-Ghauts" itu memenuhi jagat raya. Dari mana kita memanggil, maka ia bisa mendengar panggilan kita. Hubungan ruhani dengan "al-Ghauts" sangat penting untuk dilakukan agar kita mendapat tarbiyah dan nadzrah istimewanya. Dengan nadzrah dan tarbiyah tersebut kita setapak demi setapak akan meningkat hingga sampai pada "hadlrah qudsiayah"-Nya Allah. Demikian menurut para ulama ahli sufi.

Perlu diingat setiap zaman itu ada "al-Ghauts", bila beliau meninggal, maka Allah akan menggantinya dengan yang lain sampai datangnya kiamat. Bila sudah tidak ada lagi "al-Ghauts" maka itu merupakan pertanda bahwa kiamat akan segera tiba. Oleh karenanya beliau selalu ada dan selalu memperhatikan urusan umat. 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Minggu, 14 Mei 2017

Kajian Tasawuf Jilid V



Kajian Tasawuf Jilid V          
(Ma’had al-Jamiah IAIN Tulungagung)



Alhamdulillah Ma’had al-Jami’ah kembali bisa mengadakan acara rutin kajian rutin tasawuf yang jum’at kemarin telah memasuki sesi kelima. Ternyata kajian ini semakin menarik minat para penggemar tasawuf bahkan banyak mahasiswa yang mulai tertarik untuk ikut serta dalam kajian ini. 

Awalnya memang kajian ini dimaksudkan untuk para murabbi sebagai tempat sharing pengalaman dan pengetahuan. Kemudian murabbi mengajak para musyrifah yang berasal dari unsur mahasiswa yang mengelola ma’had mukim, dan kabar terakhir kemarin ada mahasiswa luar yang juga ikut dalam kajian ini. Mudah – mudahan ini bisa semakin menambah semangat sahabat – sahabat murabbi dan mahasiswa untuk semakin menekuni dunia tasawuf dalam rangka menggapai iman musyahadah dan ma’rifat billah. 

Kajian tasawuf putaran kelima ini membahas tentang kalimah hikmah al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari dalam kitab hikamnya:

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح فى الدعاء موجبا ليأسك، فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختاره لنفسك، وفى الوقت الذى يريد لا فى الوقت الذى تريد

Artinya: Janganlah penundaan pemberian – pemberian (karunia – karunia) bersamaan dengan kesungguhan dalam berdo’a, menyebabkan engkau berputus asa. Maka Ia menjamin untukmu ijabah (terhadap do’a) dalam hal yang Dia pilihkan untukmu bukan hal yang engkau memilihnya untuk dirimu, dan pada waktu yang Dia inginkah bukan pada waktu yang engkau inginkan.

Kalimah hikmah ini sebelumnya sudah disinggung sedikit dalam kajian tasawuf jilid IV, namun di jilid lima ini kalimah hikmah inilah yang akan menjadi fokus topik kajiannya. Semoga bisa semakin menambah keimanan dan keyakinan kita akan kekuasaan Allah yang mutlak dan menjadikan kita sebagai ahlul muhibbin.

Allah memiliki rahasia – rahasia yang terkadang rahasia itu belum atau bahkan tidak dipahami oleh hamba-Nya. Bagi mereka yang keimanannya kuat mereka beriman dan meyakininya sembari meyakini bahwa rahasia Allah pada dirinya adalah yang terbaik. Sebaliknya bagi mereka yang tingkat keimananya lemah atau bahkan ingkar terhadap Allah, mereka cenderung mengalami gundah gulana saat memahami rahasia – rahasia ketuhanan itu.

Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam Surat al-Ghafir (40); 60:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (60)

Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang – orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Q.S. al-Ghafir (40); 60)

Ayat di atas seolah menjadi sebuah jaminan dari Allah bahwa setiap do’a yang dipanjatkan oleh hamba-Nya akan diijabahi. Ayat ini pulalah yang kemudian menjadi sebuah motivator bagi seseorang untuk berdo’a apalagi dikala menghadapi sebuah masalah dalam hidupnya.

Kaitannya dengan kalimah hikmah Ibnu Athaillah di atas, adakalanya disaat seorang hamba memohon kepada Allah SWT dengan kesungguhan hatinya, tetapi ternyata Allah belum juga memberikan ijabah yang dijanjikan-Nya. Terkadang keadaan semacam ini membuat seorang salik merasa berkecil hati bahkan putus asa sehingga ia berhenti dari do’a yang dipanjatkannya. 

Ibnu Athaillah mengingatkan kita agar jangan sampai ditundanya pemberian Allah kepada kita bersamaan dengan kesungguhan do’a menyebabkan kita berputus asa dari rahmat Allah. Justru ditundanya pemberian itu seharusnya membuat kita semakin giat dalam berdo’a kepada-Nya. 

Ijabahnya do’a sesungguhnya bukanlah tujuan dari do’a. Tujuan hakiki dari do’a itu adalah sebuah pengakuan akan kelemahan diri dan pengakuan akan keagungan dan kemaha kuasaan Allah SWT sebagai Tuhan yang patut disembah. Oleh karenanya ketika pemberian Allah tidak kunjung datang bersamaan dengan giatnya kita berdo’a kepada-Nya, bukanlah sebuah hal yang benar bila lantas kita berputus asa dan meninggalkan do’a kepada Allah.

Orang yang meninggalkan do’a sebenarnya adalah orang yang sombong. Meninggalkan do’a sama artinya dengan menganggap bahwa ia mampu melakukan segala sesuatu tanpa bantuan Allah. Sebaliknya do’a menunjukkan akan kelemahan diri kita sebagai seorang hamba yang senantiasa memerlukan bantuan dan rahmat Allah SWT.

Belum terijabahnya do’a boleh jadi juga karena Allah masih menginginkan kita agar kita senantiasa menyebut – nyebut dan mengagungkan-Nya. Allah merasa cinta kepada kita sehingga Allah ingin terus mendengarkan suara rintihan kita dalam setiap do’a yang kita panjatkan kepada-Nya. Boleh jadi juga do’a itu masih antri, seperti kita antri tiket di dunia ini. Bila karena tak kunjung sampai pemberian itu kemudian kita pergi, maka ijabah itu tidak jadi akan datang.

Ibnu Athaillah mengingatkan kita bahwa ijabah adalah sesuatu yang telah dijanjikan Allah, padahal Allah itu tidak akan mengingkari janji-Nya. Oleh karenanya janganlah tertundanya atau telatnya pemberian Allah menyebabkan kita menjadi putus asa dari rahmat-Nya Allah. Sebaliknya do’a itu harus terus kita panjatkan setiap waktu dan kesempatan untuk membuktikan penghambaan kita kepada-Nya.

Ijabahnya do’a itu tergantung pada iradah-Nya Allah, kapan waktunya dan dalam bentuk apa ijabah itu, semua adalah hak mutlak Allah. Hukum bagi seorang hamba adalah tidak boleh memilih sesuatu melebihi pilihan Tuhannya. Ia juga tidak patut untuk mengatakan patut pada dirinya suatu hal karena ia bodoh, tidak mengetahui apakah hal tersebut baik bagi dirinya atau tidak. Karenanya seorang hamba harus senantiasa menerima dengan ikhlas ketentuan yang diberikan Allah kepadanya. Ini bukan berarti ia lantas menjadi malas dan tidak mau melakukan ikthtiar. Ingat ini adalah urusan kesadaran hati.

Hati tetap sadar dan menerima ketentuan Allah. Adapun mengenai syariat tetap saja ia harus berusaha dengan sungguh – sungguh, tidak boleh malas. Ini namanya, yukti kulla dzi haqqin haqqahu, memberikan hak pada yang punya hak atau disebut dengan mengisi bidang. Bidang hati ya harus diisi, sebaliknya bidang jasmani juga harus dipenuhi.

Ijabahnya do’a oleh Allah adalah mutlak hak prerogatif-Nya yang tidak bisa diganggu gugat oleh yang lain. Oleh karenanya ketika Allah telah memilihkan waktu dan bentuk ijabah-Nya, maka seorang hamba tidak boleh memilih keinginannya sendiri. Artinya, ketika waktu dan bentuk ijabah itu tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapannya, ia harus tetap ridla dan ikhlas menerimanya. Abu Hasan al-Syadzili mengatakan:

لا تختر من أمرك شيئا واختر أن لا تختار وفر من ذلك المختار

Artinya: Janganlah engkau memilih sesuatu untuk urusanmu, pilihlah untuk tidak memilih, dan larilah dari pilihan (yang kamu pilih sendiri) itu.

Jadi janganlah memilih sesuatu untuk urusan dirimu. Serahkan semuanya pada Allah. Biarkan Allah memilihkannya untukmu. Pilihlah untuk tidak memilih sesuatu untuk dirimu. 

Kebanyakan orang yang mengalami stress karena mereka memilih urusannya sendiri. Mereka tidak menyandarkan hal itu kepada Allah sehingga begitu mengalami kegagalan dalam hidupnya, apa yang diinginkannya tidak kunjung sampai, ia mengalami stress bahkan tidak jarang yang lantas kemudian memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Na’udzu billah.

Ijabah do’a akan terwujud bila do’a itu sudah murni tulus kepada Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa:

لا يكون الفضل إلا للقلوب المنكسرة للنفحات الإلهية مع التبري عن الحول والقوة

Artinya: Fadlal Allah tidak akan diberikan melainkan kepada hati yang menghadang sangat membutuhkan pertolongan Ilahiyyah disertai dengan membebaskan diri dari (perasaan) berdaya dan mempunyai kekuatan (billah).

Do’a akan diijabahi oleh Allah ketika kita sudah tidak lagi bersandar kepada do’a itu sendiri. Sandaran kita hanya kepada Allah. Ketika kita sudah bisa melepaskan diri dari ego yang menguasai diri, itu adalah tanda bahwa do’a itu akan ijabah. Semua terjadi semata karena fadlal Allah (Billah). 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Sabtu, 13 Mei 2017

Workshop Penelitian Perspektif Gender Jilid II



Workshop Penelitian Perspektif Gender Jilid II
(LP2M IAIN Tulungagung)


 Bersama DR. K.H. Muntahibun Nafis, M.Pd.I

Hari kedua atau hari terakhir workshop penelitian perspektif gender yang diadakan oleh Pusat Studi Gender, LP2M IAIN Tulungagung berlangsung dengan lancar. Hadir sebagai narasumber dalam sesi kedua ini adalah Anis Masykur. Beliau menyampaikan materinya dengan mantab dan luar biasa.

Di awal paparan materinya beliau menyampaikan keresahan tentang berbagai penelitian yang selama ini ditemuinya saat menjadi seorang reviewer maupun sebagai pembaca hasil penelitian. Menurutnya, banyak sekali penelitian yang hanya berkutat pada penelitian itu sendiri. Artinya penelitian yang dilakukan hanya sebatas untuk memuaskan dirinya sendiri. Mereka meneliti, tetapi penelitian mereka hanya sebatas memaparkan data belaka sehingga efek dari penelitian itu hanya kembali pada dirinya sendiri, bukan pada masyarakat yang sedang ditelitinya. Penelitian cenderung berdampak pada kemasyhuran seseorang sebagai seorang peneliti, tetapi nihil dari manfaat untuk masyarakat yang menjadi objek penelitiannya. Secara kasar beliau menyebutnya dengan istilah “Penelitian Masturbasi”.

 Foto Bersama Narasumber I Prof. Iwan Abdullah, P.Hd.

Penelitian masturbasi beliau gunakan untuk menyebut penelitian yang hanya dilihat, dinikmati dan dirasakan oleh peneliti sendiri tanpa melibatkan objek yang ditelitinya sebagai penikmat hasil penelitiannya. Masuk dalam kategori penelitian semacam ini –menurut Anis, adalah penelitian yang hanya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan serdos, kenaikan jabatan dan seterusnya. Penelitian semisal yang manfaat dan dampaknya hanya bisa dirasakan oleh peneliti masuk dalam kategori penelitian masturbasi.

Dalam perspektif gender isu utama yang diangkat adalah upaya penyetaraan posisi dan peran perempuan dan laki – laki. Artinya perbedaan yang disebabkan oleh kodrat ilahi dalam penciptaan, tidak seharusnya dijadikan sebuah alasan untuk melakukan hal – hal yang dirasa tidak adil dan cenderung menjadikan posisi perempuan menjadi kelompok subordinat yang termarginalkan. Tradisi dan budaya yang selama ini telah mengakar kuat ditengah – tengah kehidupan masyarakat kita, baik sebagai imbas dari budaya kolonial, etnisitas, paradigm agama dan seterusnya tidak seharusnya menjadi alasan untuk memandang sebelah mata kaum hawa ini. Sebaliknya semua itu harus didobrak dan dilakukan dekonstruksi sehingga tercipta sebuah tatanan yang ideal dan sarat akan kesetaraan. Oleh karenya –Anis Masykur berpendapat, penelitian gender harus memiliki makna pembelaan terhadap perempuan dan menggunakan perspektif yang berbeda.

Jika penelitian gender tidak memiliki  nilai pendobrakan terhadap system yang salah, namun diyakini kebenarannya mengakar kuat dalam tradisi masyarakat, maka sesungguhnya semua itu tidak ada artinya. Lebih baik peneliti diam dirumah, duduk sambil menikmati seduhan kopi torabika saja. Hmm… rasanya dahsyat. Artinya, penelitian gender mutlak harus mampu memberikan solusi atau setidaknya sebuah tawaran riil yang berbeda dan mampu membawa perubahan yang mengarah pada kesadaran akan adanya kesetaraan peran lelaki dan perempuan.



Foto Bersama Narasumber II Anis Masykur


Namun perlu diingat juga, melakukan hal ini bukanlah pekerjaan mudah semudah kita membalikkan telapak tangan. Perlu adanya kebulatan tekad dalam melakukan upaya ini. Saking beratnya, maka Anis Masykur, menyebutnya sebagai jihad. Artinya, dalam melakukan sebuah penelitian apapun itu, termasuk didalamnya gender, harus ada kesadaran bahwa peneliti tidak sekedar meneliti dan mengamati, namun sesungguhnya ia sedang melakukan jihad. Jihad dalam arti melakukan perlawanan pada kedzaliman dan ketidak adilan. Dengan kesadaran jihad ini, maka peneliti tidak akan melakukan penelitian yang hanya bersifat deskriptif, naratif dan argumentative, namun ia akan melakukan sebuah penelitian yang destruktif, konstruktif dan progressif.

Untuk sampai pada penelitian yang berujung pada perubahan memang bukan perkara mudah. Perlu upaya serius dan usaha yang berulang – ulang. Ketelatenan, keuletan dan kesabaran adalah kuncinya. Tanpa semua itu mustahil penelitian akan mampu memberikan dampak perubahan positif terhadap perilaku, sikap dan karakter masyarakat yang diteliti. Ini lah sesungguhnya arti penting dari sebuah pengembangan dan pembangunan riset yang bermutu dan berkualitas.

Dalam penelitian gender paradigma yang dipakai seharusnya adalah holistic dan inter-disipliner, begitu kata Anis Masykur. Artinya, harus secara utuh dan menyentuh berbagai tinjauan keilmuan. Bayangkan saja sejak dahulu perempuan selalu dalam ketertindasan. Peran perempuan dianggap sebagai sampingan yang hanya “melu – melu”. Pantas saja ada istilah Jawa yang bilang, “Suwargo nunut, neroko katut”, satu ungkapan yang sesungguhnya memandang perempuan sebelah mata, seolah hanya sebagai pelengkap belaka.

Banyak para peneliti yang menggunakan perspektif gender tidak sampai pada apa yang diinginkan dari penelitian perspektif ini oleh karena mereka hanya melihat dari satu disiplin keilmuan saja tanpa melibatkan keilmuan yang lain. Taruhlah misalkan hanya menggunakan perspektif agama. Akibatnya, karena penelitian tersebut diawali dengan ketertundukan pada hukum – hukum fiqih yang cenderung condong pada lelaki akibatnya sakralitas dari hukum fiqih tersebut membuat penelian perspektif gender itu menjadi konyol dan gagal menemukan hasilnya. Ini lah yang harus di antisipasi.

 Foto Bersama Ketua P2M dan Peserta Workshop

Beda halnya apabila kajian gender tersebut menggunakan berbagai perspektif, maka semua itu bisa diminimalisir bahkan mungkin akan diperoleh penelitian yang sesuai dengan apa yang sesungguhnya diinginkan. Taruhlah sebagai misal, mengapa dalam hukum akikah itu, bila bayi yang lahir laki – laki, maka kambing yang disembelih adalah dua, bila perempuan, maka satu. Tinjauan fiqih demikian, teks al-Qur’an, dalam hukum waris, menyatakan bagian laki – laki sepadan dengan bagian dua orang perempuan. Apakah hal ini bisa dibilang adil? Bolehkah kita mencoba mendobrak dan memberikan tawaran lain yang lebih mewakili? Ataukah kita hanya akan berhenti pada teks al-Qur’an tersebut? Atau yang sebenarnya diinginkan oleh ayat tersebut, dan bukan sekedar arti tekstualnya saja?

Nah, contoh di atas bisa dilakukan sebagai sebuah upaya untuk melakukan penalaran terhadap berbagai permasalahan yang selama ini muncul dalam bias gender. Anis Masykur memberikan contoh, bahwa dalam kasus sebagaimana di atas sesungguhnya kita juga bisa melibatkan perspektif sejarah, budaya maupun antropologi.

Perlu dicatat, bahwa tradisi Arab ketika mereka menyambut kelahiran seorang bayi, dahulu di masa jahiliyah, sangat berbeda dengan apa yang kita temukan saat ini. Dulu masyarakat Arab akan merasa sangat malu bila mereka memiliki bayi perempuan. Sebaliknya ketika mereka memiliki bayi laki – laki, luapan kegembiraan itu sangat luar biasa, bahkan untuk menyambut kelahirannya, mereka tidak segan – segan membuat pesta besar – besaran sebagai ungkapan kebahagiannya. Lain halnya bila bayi yang lahir perempuan. Jangankan mengadakan pesta, diketahui orang lain saja malu, bahkan tidak jarang mereka membunuh bayi perempuannya dengan menguburnya hidup – hidup. Setelah Rasul di utus maka semua itu dirubah oleh Nabi sehingga keberadaan perempuan semakin dihargai dan diangkat posisinya oleh Nabi beberapa tingkat bila dibandingkan masa jahiliyah. Mereka juga mendapatkan warisan setelah sebelumnya tidak mereka dapatkan di era jahiliyah. Nah, di sinilah nampak peran Nabi dalam membela kaum hawa ini.

Lantas bagaimana kemudian kita sebagai kalangan akademisi menyikapi akan hal ini. Apakah kita akan berhenti pada satu titik, bahwa penelitian itu yang penting bermanfaat bagi saya. Serdos saya dapatkan, urusan mereka berubah atau tidak tergantung hidayah Allah. Kiranya hal ini perlu untuk semakin diperhatikan sehingga diperoleh apa yang semestinya ada.

Isu gender tidak hanya berkutat pada persoalan peran perempuan pada ranah publik, ranah politik, keluarga, materi, kekerasan tetapi juga pada ranah keilmuan. Semua itu sesungguhnya perlu untuk digarap dan diperhatikan. Tidak hanya berhenti pada urusan kuantitatif tetapi juga kualitatif.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…


Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...