Terhapusnya
Mata Batin
Salah
satu tanda kekuasaan-Nya, adalah diciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan.
Ada siang yang berpasangan dengan malam, lelaki dan perempuan, timur dan barat,
selatan dan utara, jasmani dan ruhani, serta dhahir dan bathin. Semua tercipta
atas kehendak-Nya, Yang Maha Kuasa tanpa ada seorangpun yang mampu menolaknya.
Penciptaan
alam beserta isinya, sesungguhnya menunjukkan kekuasaan-Nya yang tiada
terbatas. Karena itu tidak seharusnya seorang pun diantara makhluk ciptaan-Nya
yang dibenarkan meragukan sedikitpun atas segala titah dan kuasa-Nya. Keraguan
atas titah dan kuasa-Nya menunjukkan dangkalnya pemahaman orang tersebut
terhadap ke-Maha-an-Nya.
Kenyataan
menunjukkan fakta lain. Banyak diantara manusia yang meragukan kekuasaan-Nya.
Barangkali saat ditanya, secara lisan, orang tersebut mengatakan tidak
meragukan. Akan tetapi dari praktek kehidupan kesehariannya, nyatanya sangat
jauh dari pengakuan yang dituturkannya secara lisan.
Ya,
setiap orang memiliki kadar keimanan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Tidak perlu dipermasalahkan. Memang begitu adanya. Iman adakalanya bertambah
dan adakalanya pula berkurang. Bertambahnya iman boleh jadi karena didorong
adanya faktor yang melatarbelakanginya, pun pula sebaliknya. Faktor itu bisa
berupa peristiwa penting atau mengerikan yang dialami dalam hidupnya. Atau bisa
juga dari faktor yang lain.
Iman
yang kuat yang tertancap dalam hati seseorang menunjukkan adanya pandangan mata
hati yang terjaga sehingga mampu membedakan antara yang hak dan batil. Mata
hati yang terus terjaga akan menuntun seseorang pada hidayah Allah yang
menyelamatkan kehidupannya sepanjang masa hingga kembali menghadap khaliqnya.
Sebaliknya, terhapusnya mata hati merupakan tanda keluarnya seseorang dari
jalan yang telah digariskan-Nya di bumi ini. Ujungnya, bila tetap dibiarkan dan
tidak segera dibenahi akan mengantarkan seseorang pada kesesatan yang berakhir
pada “al-Nar”, neraka Allah Swt.
Syaikh
Ibnu Athaillah al-Sakandary mengingatkan kepada para salikin, para penempuh
jalan menuju wushul, sampai hadlrah al-qudsiyyah Allah untuk
senantiasa waspada pada mata hati. Beliau berkata:
اجتهادك
فيما ضمن لك وتقصيرك فيما طلب منك دليل على انطماس البصيرة منك
Artinya:
Kegigihan usahamu pada (perkara-perkara) yang telah dijaminkan untukmu
(yakni di dalam urusan-urusan rezeki) dan kelalaianmu pada (perkara-perkara)
yang telah dituntut darimu (yakni di dalam mengerjakan ibadah) adalah satu
dalil bagi terhapusnya al-bashirah (penglihatan mata hati) darimu.
Setiap
manusia sesungguhnya memiliki penglihatan mata hati, yang dengannya ia bisa
membedakan antara yang benar dan salah. Namun, seiring perjalanan waktu,
adakalanya seseorang mampu mempertahankan kemurniannya, adapula yang tidak.
Mereka yang mampu mempertahankannya akan tetap istiqamah dalam menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Sebaliknya, mereka yang tidak
mampu mempertahankannya, karena terbujuk dengan gemerlap dunia beserta isinya,
akan terjerembab ke dalam kemaksiatan.
Salah
satu bukti terhapusnya mata hati seseorang adalah kegigihan usahanya dalam
mencari hal-hal yang telah dijaminkan untuknya dan melupakan hal-hal yang
dituntut darinya. Rizki adalah hal yang telah dijaminkan oleh Allah Swt. bagi
semua makhluk ciptaan-Nya. Dia yang menciptakan, Dia pula yang menjamin
keberlangsungan hidupnya hingga waktu yang telah ditentukan-Nya. Karenanya
tidak semestinya seseorang bersusah-payah untuk mencari rizki dengan
mengesampingkan ibadah kepada-Nya, sesuatu yang dituntut Allah darinya.
Ingat,
hal ini bukan berarti seseorang lantas berpangku tangan, dan meninggalkan usaha
dalam mencari rizki. Berpangku tangan dan meninggalkan usaha mencari rizki juga
bukan hal yang dibenarkan, jika memang takdir Allah menunjukkan bahwa posisi
orang tersebut masih berada pada maqam kasab, yakni posisi seseorang,
dimana untuk mendapatkan rizki, orang tersebut masih diharuskan mencarinya
dengan bekerja dan berusaha. Yang dimaksudkan adalah jangan sampai kegigihan
dan ketekunan dalam menjemput rizki membuat dirinya lalai akan kewajiban yang
dibebankan kepadanya berupa ibadah. Silahkan saja anda bekerja, tetapi ingat
ada waktu dimana anda istirahat dan shalat. Jangan karena alasan mencari nafkah
untuk keluarga, shalat dan ibadah mahdhah lain anda tinggalkan. Ini yang tidak
dibenarkan.
Ibadah
adalah hal yang dituntut Allah Swt. kepada manusia untuk dikerjakan. Bahkan
dalam Surat al-Dzariyat (51); 56, Allah Swt. berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
Artinya:
Dan Aku tiada menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. (Q.S. al-Dzariyat (51); 56)
Ibadah
bukan hal yang dijaminkan, tetapi dituntut oleh-Nya dari manusia. karena itu
sesungguhnya ibadah adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh semua
manusia, betapapun hebatnya orang tersebut.
Sebagian
orang mungkin beranggapan, untuk apa beribadah kepada-Nya, shalat, berdo’a dan
bermohon kepada-Nya, bukankah Ia Maha Tahu segalanya. Bahkan tanpa kita berdo’a
dan bekerja, Dia tahu kebutuhan kita dan bisa saja mencukupkan atau
mengurangkannya untuk kita.
Sekilas
pendapat ini seolah benar. Tetapi yang perlu diingat, ibadah bukan urusan
diterima dan diijabahkannya apa yang diminta seseorang. Ibadah adalah bukti ketertundukan
kita pada perintah-Nya, bukan karena yang lain. Oleh karena itu penting kiranya
untuk menata niat sebelum melakukan ibadah. Melakukan ibadah semata harus
dilaksanakan karena melaksanakan perintah Allah, bukan yang lain.
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar