Suara Literasi Kaum Santri

Suara Literasi Kaum Santri

Suara literasi sesungguhnya telah disuarakan dan digelorakan oleh umat Islam semenjak dahulu. Bahkan semangat literasi sudah ada semenjak diutusnya Rasul Muhammad SAW di tengah-tengah kaumnya yang ummi. Kaum yang buta huruf, tidak kenal baca tulis. Tentu tidak semua bangsa Arab buta huruf, tetapi karena perbandingan antara yang melek dan buta lebih banyak yang buta, maka bangsa tersebut lebih dikenal dengan bangsa ummi, bangsa buta huruf.

Di antara bukti yang menunjukkan bahwa bangsa Arab juga mengenal tulisan adalah adanya tradisi jahiliyah yang disebut dengan al-mu’allaqat. Al-Mu’allaqat adalah tradisi kaum Arab jahiliyah untuk beradu keindahan syair. Syair yang dinilai indah dan layak untuk dipamerkan akan ditempel di dinding Ka’bah agar bisa dilihat dan dinikmati oleh pengunjung yang datang. Karena itu tradisi ini dikenal dengan al-mu’allaqat dari kata ‘alaqa yang artinya menempel.


Jahiliyah sendiri sesungguhnya juga tidak menunjuk pada kebodohan dalam arti keseluruhan, bahwa bangsa Arab bodoh dalam segala persoalan. Buktinya, sebagian mereka juga sudah mengenal baca-tulis, seni ukir dan pahat juga telah ada dengan adanya patung yang kemudian disalah-gunakannya. Jahiliyyah lebih menunjuk pada kebodohannya dalam hal ketuhanan, menyembah kepada apa yang semestinya tidak disembah, membunuh yang semestinya dilindungi, dan seterusnya. Dalam hal ini mereka masuk dalam kategori jahiliyyah.

Gaung literasi yang disuarakan oleh Rasul diteriakkan kembali oleh Syaikh al-Zarnuji, pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim yang masyhur di kalangan santri, yang lebih identik dengan kaum sarungan. Ya, demikianlah biasanya santri dikenal. Santri selalu identik dengan sarung. Tidak peduli apakah sarungnya kotak-kotak, polos, licin atau ngeper. Semuanya tetap saja disebut santri. Bahkan sebagian orang mempersempit pengertian santri dengan image sarung ini. Tidak berlebihan kiranya saya mengambil kesimpulan demikian karena saat peringatan hari santri, serombongan santriwati yang mengendarai “sepeda galau” dari satu pesantren menempel poster di sepedanya, “Rombongan santriwati jomblo mencari perjaka sarungan”, seolah kata sarungan mewakili kepribadian seorang santri.

Yang unik lagi, meski sudah berusia dewasa, santri tetap karan “kang” atau “bocah”. Sebutan yang menunjukkan bahwa seorang santri belum memiliki kematangan atau kedewasaan. Karenanya, jika melakukan kesalahan adalah hal wajar, karena masih bocah. Meski sudah bertahun-tahun di pondok, tetap saja disebut cah pondok, kang pondok dan bukan bapak pondok. Karenanya belum “boyong” dan masih tetap di pondok. Baru bila sudah dirasa cukup menemba ilmu di pondok, mereka pulang dan tidak jarang diantara mereka yang kemudian mendirikan pesantren. Uniknya lagi pesantren itu biasanya memiliki kesamaan dengan pesantren dimana dia belajar.

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, tepatnya dalam bab “al-Istifadah”, Syaikh al-Zarnuji, menyerukan kepada para pencari ilmu (santri) untuk senantiasa memanfaatkan setiap waktunya guna menghasilkan keutamaan. Jalan untuk menghasilkan keutamaan adalah dengan senantiasa membawa pena yang dengannya, seorang santri bisa menulis sesuatu yang bermanfaat yang didengarnya. Beliau menyitir qaul ulama’ yang mengatakan, “Barangsiapa yang menghafalkan, maka apa yang dihafalkannya bisa hilang, dan barangsiapa yang menulis sesuatu, maka sesuatu itu akan tetap”.

Menarik kiranya untuk mengkaji apa yang disampaikan Syaikh al-Zarnuji di atas. Apa yang disuarakannya itu adalah suara dari gema literasi yang saat ini banyak didengungkan oleh para penulis. Memang di zaman tersebut, istilah literasi masih jauh dari angan-angan dan pikiran para ulama. Namun, semangat yang sama ternyata ada dalam tradisi para ulama salaf shalih. Mereka menyadari sepenuhnya arti pentingnya menulis. Menulis bisa mengabadikan apa yang ada dan terlintas dalam pikiran. Ilmu akan abadi bila ditulis. Sebaliknya ia akan hilang bila hanya sekedar dihafalkan dalam pikiran.

Ilmu adalah sesuatu yang didengar dari lisan seorang yang sempurna. Sempurna dalam arti pikiran, wawasan, kemampuan dan kematangan berpikirnya. Karenanya, seorang yang berwawasan sempurna akan mengeluarkan kata-kata bijak, penuh dengan makna dan bukan kata-kata kosong, hampa tanpa makna. Mereka berbicara manakala dibutuhkan dan diam bila tidak ada situasi yang memaksanya berbicara.

Lebih jauh Syaikh al-Zarnuji mengatakan bahwa ia mendengar dari Syaikh Imam al-Adib Zain al-Islam, bahwa beliau berkata, “Hilal Bin Yasar berkata, saya melihat Nabi SAW bersabda kepada sahabat-sahabatnya tentang suatu ilmu dan hikmah, maka aku berkata kepada Rasul, “Ya Rasulallah, ulangilah apa yang engkau sampaikan kepada mereka kepadaku”. Maka Rasul bersabda, “Apakah engkau membawa pena?”, maka aku menjawab, “Tidak, saya tidak membawa pena”. Maka Rasul bersabda, “Wahai Hilal janganlah engkau memisahkan dirimu dengan pena, karena sesungguhnya kebaikan itu ada padanya dan pada pemiliknya hingga yaumul qiyamah.”

Menarik sekali, ternyata suara literasi sudah bergema semenjak diutusnya Rasul Muhammad SAW. Sejak diutus dengan wahyu pertama, Surat al-Alaq (96); 1-5, yang juga membahas tentang pentingnya aspek membaca, yang merupakan bagian dari semangat literasi.

Para santri seharusnya tidak asing lagi dengan gerakan literasi. Mengapa? Karena sesungguhnya semangat literasi telah didengungkan oleh Rasul Muhammad SAW. Santri harus menulis. Menulis apa yang bisa ditulis. Apa saja, sehingga budaya literasi menjadi budaya yang mengakar dikalangan para santri.


Selama ini, kaum santri lebih sering dikenal sebagai penceramah, berkhutbah dari masjid ke masjid, dari mushalla ke mushalla, dari majlis yang satu ke majlis yang lain. Budaya tersebut tentu bagus, tetapi akan lebih bagus lagi bila semua itu kemudian diabadikan dalam sebuah karya tulis. Menulis itu sesungguhnya sederhana, -menurut saya. Tidak harus berupa materi yang muluk-muluk, sarat akan pemikiran yang rumit. Menulis bisa dilakukan kapan saja, dan tentang apa saja yang pernah kita alami, lihat, dengar dan pahami. Persoalan kualitas, tidak perlu dipersoalkan. Jelek, ya tidak masalah. Barangkali bisa bermanfaat bagi yang lain. Buat apa tulisan berkualitas bila tidak dilirik oleh para pembaca? Hehehe… guyon. Tulisan berkualitas, biasanya dibaca oleh mereka yang berkualitas, karena yang paham cuma mereka. Padahal di dunia ini, antara yang berkualitas dan tidak lebih banyak yang tidak. Bukan begitu? Jumlah professor lebih sedikit dibandingkan doktor. Jumlah doktor lebih sedikit dibanding magister. Jumlah magister lebih sedikit dibanding sarjana. Jumlah sarjana lebih sedikit dibanding SMA. Tidak percaya? Tengok saja ke sekolah dan masing-masing kampus yang ada di daerah anda. Nah, maksud saya bukan meremehkan mereka yang memiliki tulisan yang berkualitas, tetapi untuk memotivasi para pemula, -seperti saya, agar terus bersemangat dalam menghasilkan karya tulis dan tidak segan-segan menulis meskipun tulisannya dinilai “JELEK DAN TIDAK BERKUALITAS”. Salam Literasi.

Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...

Komentar