Keluarnya “al-Anwar al-Rabbaniyyah”



Keluarnya “al-Anwar al-Rabbaniyyah”

Seorang yang sedang menapaki jalan menuju wusul ke al-hadlrah al-qudsiyyah-Nya Allah Swt. (suluk) harus memperhatikan dengan baik petunjuk guru (mursyid) yang membimbing proses perjalanannya menuju kepada Allah. Dalam dunia thariqah, mengambil seorang guru (mursyid) adalah satu keharusan agar seorang salik tidak tersesat dalam pengembaraannya menuju al-hadlrah al-qudsiyyah.

Perjalanan menuju kepada Allah adalah satu perjalanan spiritual yang memiliki syarat berat. Tanpa bimbingan dari seorang mursyid dikhawatirkan seorang salik bukannya sampai kepada Allah Swt. melainkan jatuh dalam perangkap nafsu dan Iblis yang justru menyebabkan dirinya semakin jauh dari Allah Swt.

Para ulama’ ahli sufi mengatakan bahwa tiang penyanngga paling besar pengaruhnya dalam perjalanan menuju kepada Allah ada empat, yaitu; lapar, berjaga di waktu malam, uzlah dan diam (Minah al-Saniyyah, al-Syaikh Abd.al-Wahhab al-Sya’raniy). Empat pilar ini saling menopang antara satu dengan lainnya. Bila salah satu diantara empat pilar ini tidak terjaga, maka perjalanan itu akan terganggu dan tujuan yang diharapkan sulit menjadi kenyataan.

Lapar sebagai salah satu pilar penting bagi seorang salik. Dengan membiasakan diri menahan lapar, seseorang akan terbiasa untuk mengekang nafsu yang ada dalam dirinya. Nafsu adalah salah satu dorongan yang ada dalam diri manusia yang mengajak manusia untuk senantiasa berbuat hal yang kurang atau bahkan tidak diridlai Allah Swt. Kondisi nafsu sangat ditentukan oleh asupan makanan yang masuk ke dalam perut. Semakin banyak makanan yang masuk, maka nafsu akan semakin besar. Apalagi bila asupan makanan itu berasal dari sesuatu yang diharamkan. Makanan haram yang masuk ke tubuh berubah menjadi darah dan daging yang akan mendorong seseorang melakukan tindakan yang tidak diridlai Allah Swt. Karena itu bagi seorang yang menempuh perjalanan menuju al-hadlrah al-qudsiyyah sangat dianjurkan untuk memperbanyak lapar, berpuasa agar nafsunya semakin melemah dan bisa dikendalikan.

Pilar kedua adalah berjaga di waktu malam. Maksudnya adalah dengan memperbanyak ibadah di waktu malam dan tidak membiasakan diri dengan tidur yang berlebihan. Waktu malam adalah waktu di mana Allah akan menjawab do’a-do’a hamba-Nya, menerima taubatnya dan mengangkat derajat siapa saja yang memanfaatkannya untuk mendekat kepada-Nya.

Pilar ketiga adalah uzlah. Mengasingkan diri dari pengaruh-pengaruh nafsu dan segala keinginannya. Kebanyakan manusia terpengaruh dengan berbagai tipu muslihat nafsu dan juga berbagai pengaruh yang ada di sekitarnya. Uzlah menghendaki seseorang agar senantiasa memiliki pendirian teguh, tidak terpengaruh dengan berbagai hiruk-pikuk yang ada. Sebaliknya, ia memalingkan diri dari hal-hal tersebut dan menyibukkan diri dengan instrospeksi. Melihat kesalahan yang ada pada diri untuk kemudian memperbaikinya. 

Pilar selanjutnya adalah diam. Diam dari berbicara hal-hal yang kurang bermanfaat. Boleh saja berbicara, tetapi saat kondisi memang diperlukan untuk berbicara. Bila tidak mendesak, sebaiknya seorang salik diam dan tidak terpengaruh untuk banyak mengeluarkan kata.

Dalam diam terdapat manfaat yang besar. Seorang yang memilih diam adalah seorang yang cerdas. Dia menyadari bahwa dengan berbicara, boleh jadi dia akan terjerumus pada hal-hal yang tidak berguna. Bahkan, mungkin juga dengan berbicara seseorang akan terjerumus pada “fitnah” dan “penyimpulan” parsial yang acapkali tidak sesuai dengan kenyataan. Akibatnya, ia jatuh pada tindakan yang tidak dibenarkan secara syariat dan jauh dari sifat utama.

Al-Syaikh Abu Bakar Ibnu ‘Iyash R.a. mengatakan:

كثرة الكلام تنشف الحسنات كما تنشف الأرض بعد الماء

Artinya: “Banyak bicara mengeringkan/menghilangkan kebaikan sebagaimana bumi/tanah menyerap banyaknya air”.

Kebaikan-kebaikan yang diperbuat seseorang akan hilang begitu saja, saat ia banyak mengumbar perkataan. Banyak mengumbar pembicaraan menunjukkan hilangnya sifat “wara’” dalam diri orang tersebut. Akibatnya, seberapa banyak kebaikan yang diperbuat, semuanya tiada arti diakibatkan banyaknya mengumbar kata.

Mengumbar pembicaraan juga bisa menyebakan keluarnya al-anwar al-rabbaniyyah. Para ulama’ sufi sepakat;

وقد أجمعوا على أن الأنوار الربانية تخرج من قلب المريد إذا تكلم بلغو ويصير قلبه مظلما

Artinya: “Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa al-Anwar al-Rabbaniyah akan keluar dari hati seorang murid saat ia berbicara tanpa faidah (laghwin) dan jadilah hatinya itu gelap”. (al-Syaikh Abd. Wahhab al-Sya’rani, Minah al-Saniyyah)

Para ulama sufi sepakat bahwa nur ketuhanan yang ada pada diri seseorang akan keluar dari dalam dirinya bersamaan dengan perkataannya yang tidak bermanfaat. Karena itu memilih diam pada kondisi yang tidak memaksa untuk berbicara adalah pilihan yang paling tepat. 

Keluarnya nur ketuhanan dari hati seorang murid akan menyebabkan hatinya gelap. Gelapnya hati akan menjadikannya sebagai sosok yang tidak mendapatkan petunjuk Allah Swt. Akibatnya, kerapkali tindakannya tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan agama yang benar. Seorang yang kehilangan nur ketuhanan di hatinya, tidak akan disegani dan dihormati oleh orang lain. Keberadaanya justru akan menjadi penyebab kebencian orang lain.

Begitu pentingnya menjaga nur ketuhanan di hati, karenanya para sufi menganjurkan para muridnya untuk sedikit berbicara. Memperbanyak diam kecuali dalam kondisi mendesak yang memang benar-benar dibutuhkan. Dengan demikian nur itu akan tetap terjaga dalam dirinya dan menjadikannya sebagai seorang yang mulia di sisi Rab-nya.


Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...

Komentar