Yen Ana Janaka Mesti Ana Butho Cakhile
Pesan singkat ini disampaikan oleh Mbah K.H. Abdoel Madjied Ma’roef,
Q.S. wa R.A. putra kinasih Mbah K.H. Moehammad Ma’roef, Q.S. wa R.A. pendiri
pondok pesantren Kedunglo al-Munadhdharah Bandar Lor Mojoroto Kediri. Beliau adalah
muallif Shalawat Wahidiyah yang saat ini telah berkembang pesat di seluruh
pelosok Nusantara bahkan sampai manca nagari.
Ketawadlu’an beliau luar biasa. Beliau sosok ulama yang tidak
pernah menunjukkan kelebihannya dihadapan yang lain. Istri beliau sendiri,
hampir tidak pernah melihat kemarahan beliau. Saat beliau tidak berkenan
mengenai suatu hal, beliau hanya memalingkan wajah beliau sebentar untuk
kemudian kembali berbalik dengan senyuman. Sungguh akhlak beliau sangat mulia. Ketawadlu’an
beliau diakui oleh siapapun yang pernah bergaul bersamanya.
Beliau juga dikenal sebagai seorang yang ahli riyadlah. Bahkan mbah
nyahi pernah mengatakan bahwa, “Dhahare Mbah Yahi luwih sethithik ketimbang
mangane kucing”. Makannya Mbah Yahi
lebih sedikit dibanding makannya kucing. Hal ini menunjukkan bahwa beliau
adalah seorang yang ahli riyadlah dan memprihatinkan urusan umat.
Saat beliau mentaklif shalawat wahidiyah dan kemudian
mensyiarkannya kepada umat masyarakat, ada sebagian di antara para tokoh ulama
yang mendukung, pun pula ada yang masih mempermasalahkan shalawat wahidiyah
berkaitan dengan sanad adillahnya dan bahkan ada yang menolak. Ya, maklum, namanya
perubahan selalu menimbulkan pro dan kontra.
Berkaitan dengan mereka yang kontra suatu saat Mbah Yahi pernah
mendawuhkan bahwa, “Mereka yang kontras terhadap wahidiyah adalah teman
setia dalam perjuangan. Karena dengan adanya pengontras itu kita semakin
meningkat mujahadahnya.” Begitulah kearifan Mbah K.H. Abdoel Madjied Ma’roef,
Q.S. wa R.A. muallif shalawat wahidiyah.
Pernah juga dalam satu kesempatan beliau mendawuhkan, “Yen ana
Janaka mesthi ana Butho Cakhile, tinggal siapa cakhilnya, sana atau kita
pengamal”. Dawuh ini sesungguhnya mengisyaratkan kepada pengamal shalawat
wahidiyah untuk senantiasa koreksi diri, bukannya membanggakan diri. Membanggakan
diri dengan keilmuan yang dimiliki, dengan amal yang dimiliki dan sebagainya. Artinya
para pengamal semestinya lebih memperhatikan dan lebih ngopeni lagi lillah dan
billahnya. Jangan sampai lillah dan
billah hanya sebatas teori yang dikaji dan diperdebatkan semata. Lebih dari itu
hendaknya lillah dan billah dijadikan ruh dalam setiap perbuatan, setiap
kedipan mata dan naik turunnya nafas.
Perjuangan wahidiyah pada dasarnya adalah perjuangan yang
memperjuangkan umat dan masyarakat agar kembali sadar kepada Allah Swt. wa
Rasulihi Saw. Meski pada kenyataannya, perjuangan wahidiyah tidak hanya ‘ngopeni’
urusan bathiniah. Wahidiyah memperjuangkan nasib umat dhahiran wa bathinan. Membangun
kesadaran ruhani dengan bimbingan pengamalan mujahadah shalawat wahidiyah dan
juga bidang lainnya. Pendidikan dibangun, ekonomi diperjuangkan dan digarap.
Berbagai kemajuan dari perjuangan juga nampak jelas. Capaian perjuangan
yang begitu luar biasa itu menurut baliau Kanjeng Romo K.H. Abdul Lathief
Madjied, R.A. apabila tidak diwaspadai boleh jadi akan dicabut oleh Allah Swt.
Oleh karena itu seyogyanya sebagai pengamal wahidiyah untuk senantiasa mawas
diri dalam setiap langkah. Jangan sampai kelihatannya berjuang namun
sesungguhnya justru menghancurkan perjuangan beliau.
Semoga kita diaku sebagai pendherek beliau seperti apapun
keadannya. Amin...
Al-Fathihah...
Semoga bermanfaat...
Allahu A’lam...
Komentar
Posting Komentar