Bercerminlah Pada Diri Sendiri


Bercerminlah Pada Diri Sendiri

Tulisan ini terinspirasi dari pernyataan seorang masyayikh pemimpin tertinggi salah satu organisasi besar di Indonesia. Dengan tegas dalam sebuah ceramah beliau menyatakan, “Kontrolnya adalah saya, jika saya menyimpang, maka umat,-umatnya, akan menyimpang, sebaliknya jika saya lurus, maka umatnya akan lurus. Do’akan saya semoga Allah selalu memberikan hidayah dan petunjuk-Nya pada saya.”

Entah mengapa, sore ini saya teringat pada apa yang beliau dawuhkan. Disaat saya merasa buntu pikiran sekedar untuk menorehkan sebaris dua baris kalimat melalui jari-jemari saya, tetiba saja hal itu terlintas di benak.


Ya, seolah kalimat tersebut serasa biasa, namun jika kita mau mencermati secara lebih serius, hal ini mengisyaratkan adanya makna yang mendalam. Ada sebuah tanggung jawab besar yang sesungguhnya tertumpu pada setiap pemimpin, tanggung jawab pada diri, keluarga, masyarakat dan pada Tuhan-nya. Karena itulah menjadi pemimpin adalah amanat berat dalam kehidupan.

Semua kita adalah pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri. Suami adalah pemimpin bagi keluarga dan istri adalah pemimpin di rumah suaminya. Maka, yang terpenting bagi setiap pemimpin adalah koreksi diri atas apa yang ada dalam dirinya. Jangan sampai ketika terjadi kesalahan serta merta dia menyalahkan yang lainnya tanpa mau melihat keadaan dirinya. Barangkali saja, ada kesalahan yang dibuatnya sehingga orang lain turut terimbas dari kesalahan yang dilakukannya.

Jika setiap orang mau untuk selalu melakukan koreksi diri, dengan sedikit menekan “ego”, -yang kerap menguasainya, tentu keharmonisan akan lebih bisa diharapkan. Taruhlah sebagai misalnya dalam kehidupan keluarga. Suami adalah pemimpin bagi istrinya, namun tidak serta merta dia selalu benar, demikian sebaliknya, istri juga tidak selalu benar dalam semua tindakannya.

Sebagai suami yang baik, tentu ketika berbuat salah, dia mau diingatkan, berusaha merubah perilaku salahnya agar menjadi lebih baik dari sebalumnya. Di sisi lain, istri berperan sebagai seorang yang siap membuka pintu hatinya untuk memberi maaf terhadap suaminya, bukan berperan sebagai Tuhan yang memastikan tertutupnya pintu taubat. Sebaliknya, jika istri berbuat salah, maka seornag suami berperan sebagai seorang yang dengan kebesaran hatinya mau membuka pintu maaf bagi istrinya. Menyadari bahwa semua kesalahan yang pernah terjadi bisa saja menimpa dirinya. Dengan demikian, keharmonisan dalam kehidupan keluarga dapat dirasakan. Suami istri akan merasakan sakinah, mawaddah, warahmah dalam menjalani bahtera rumah tangganya.

Keharmonisan kehidupan di dunia ini, dimulai dari keharmonisan keluarga. Negara yang harmonis masyarakatnya, dimulai dari keharmonisan keluarga. Karena itu, keseimbangan alam ini sesungguhnya dimulai dari keluarga, dan keharmonisan keluarga, dimulai dari kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya sendiri. Berani untuk mengakui kesalahan dirinya, dan bercermin pada diri. Dia melihat kesalahan orang lain, selalu berangkat dari kesalahan dirinya sendiri dan tidak berusaha mencari kambing hitam.

Komentar