Ketika Allah Murka Pada Hamba-Nya


Ketika Allah Murka Pada Hamba-Nya

Setiap mukmin pasti mengharapkan ridla Allah Swt. siapapun dia, apapun jabatannya, seberapapun alimnya dan bagaimananpun keadaannya. Namun, seringkali pula keinginan untuk mendapatkan ridla-Nya tidak diiringi dengan perilaku yang menunjukkan upaya menggapai ridla-Nya. Inilah yang semestinya menjadi perhatian dari setiap orang yang mengharapkan ridla-Nya. Lantas bagaimana kita bisa mengetahui murka-Nya, Allah Swt., kepada hamba-Nya?


Dalam satu riwayat Rasulullah Saw. berpesan kepada Ali bin Abi Thalib. Pesan itu termaktub dalam kitab Washiyyatul Musthofa. Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Ali, ketika Allah murka pada seseorang, Ia akan memberinya rizki harta yang haram, ketika kemurkaan-Nya semakin meningkat, maka Allah menguasakan orang tersebut pada syaithan yang membawanya pada harta haram, menemaninya dan menyibukkannya dengan dunia, melalaikannya dengan urusan agama, memudahkan urusan dunianya dan syaithan mengatakan padanya: ‘Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’”.

Menurut riwayat tersebut, di antara tanda bahwa Allah sedang marah kepada hamba-Nya adalah dengan cara memberikan rizki kepadanya dengan harta yang haram. Harta yang haram akan menyebabkan hati, -yang merupakan pusat gerak manusia, mati. Hati yang menjadi kontrol dari seluruh anggota tubuh dalam menjalankan aktifitasnya mati, sehingga tiddak bisa membedakan antara yang baik dan benar. Orang yang hatinya mati, tidak mau menerima kebenaran dan cenderung untuk selalu melakukan hal yang menyimpang dari ketentuan Allah Swt.

Seorang salik yang tidak menyadari hal ini, secara otomatis dia akan terus terjerumus pada hal-hal maksiat yang membuatnya lupa kepada Allah Swt. Dia akan semakin jauh dari-Nya dan pada akhirnya terjerembab dalam lembah keterpurukan.

Semakin ia lalai, semakin Allah murka kepadanya. Akibatnya Allah akan mengirimkan syaithan yang menjerumuskannya ada hal-hal yang diharamkan-Nya, menemaninya dalam kemaksiatan dan menyibukkannya dengan urusan dunia. Ia tidak lagi memerhatikan urusan ubudiyahnya kepada Allah Swt. Menyibukkannya dengan urusan mengumpulkan harta dunia. Semakin banyak dikumpulkannya, semakin ia merasa kurang dan tidak akan merasa cukup.

Orang-orang yang terjebak dalam kondisi seperti ini, biasanya Allah justru lebih memudahkan baginya urusan dunia. Kerjaannya semakin lancar, hartanya semakin berlimpah. Dalam urusan agama, ia cenderung menunda-nunda dan menganggap bahwa Allah Maha Pengampun, sehingga seberapapun dosa yang dikerjakannya, ia tetap merasa ampunan-Nya lebih luas sehingga tidak perlu lagi berusaha meminta ampunan-Nya.

Seorang mukmin semestinya senantiasa terus melakukan koreksi diri atas apa yang terjadi pada dirinya. Jangan sampai kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dalam urusan duniawi, menyebabkannya semakin jauh dari Allah dan menjadikannya terjerumus pada ‘nar al-bu’di’, neraka jauh dari Allah Swt.

Komentar