Apabila Anak Adam Telah Mati


Apabila Anak Adam Telah Mati

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, demikianlah sepenggal pesan ayat al-Qur’an yang terdapat dalam Surat Ali Imran (3); 185. Ayat ini mengingatkan bahwa siapapun orangnya, apapun pangkat dan kedudukannya, kelak ia pasti akan mati. Bahkan ayat ini juga mencakup binatang yang bernyawa, tumbuhan dan makhluk lainnya. Jika telah tiba saatnya, setinggi apapun jabatannya, seberapa banyak hartanya, seberapa banyak para pembelanya, tidak ada satu pun yang mampu menolongnya.


Judul artikel ini sesungguhnya terinspirasi dari penggalan hadits Nabi Saw. yang masyhur, yaitu “Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shalih yang mendo’akan kepadanya.” Penulis ingin sedikit mengulas mengenai hadits ini semampu dan sepemahaman yang dimiliki.

Apabila anak Adam telah mati, maka terputuslah segala amalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa setelah seseorang meninggal dunia, dia sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk beramal, melakukan aktifitas sebagaimana sebelumnya. Ia telah berada di dimensi dan ruang yang berbeda dari ruang yang dihuninya sebelumnya.

Ini juga berarti bahwa seorang yang telah meninggal dunia, tidak lagi bisa melakukan ibadah untuk menambah bekalnya menghadap Allah Swt kelak di akhirat. Ingat, saat seseorang mati, ia sesungguhnya masuk ke alam yang disebut dengan “barzakh”, yakni alam penantian hingga datangnya kiamat untuk mendapatkan keputusan akhir dari Sang Pencipta Kehidupan.

Keterputusan amal seorang yang telah meninggal sebagaimana kalimat yang terdapat dalam hadits di atas, kerap kali digunakan untuk tujuan yang berlebihan. Bahkan, karena kebencian dan permusuhan sebagian orang terjebak pada pemahaman yang salah. Sebagian orang mengira bahwa setelah seorang mati, mereka tidak ada lagi hubungan dengan orang-orang yang masih hidup di dunia. Bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa mereka tidak dapat lagi dido’akan, artinya do’anya orang yang masih hidup tidak sampai kepada orang yang telah meninggal kecuali do’a yang berasal dari anaknya yang shalih.

Dalam hadits tersebut, Rasulullah Saw menggunakan ungkapan “inqata’a amaluhu” dan bukan “inqata’a naf’uhu”. Hal ini tentu menarik untuk dijadikan sebagai bahan perenungan, mengapa Rasul memilih menggunakan ungkapan pertama daripada ungkapan yang kedua.

Penggunaan ungkapan “inqata’a amaluhu”, menunjukkan bahwa seorang yang telah meninggal dunia tidak lagi bisa melakukan amal yang bermanfaat baginya. Ia tidak lagi bisa bekerja seperti saat ia masih hidup, tidak bisa shalat sebagaimana biasanya, zakat, shadaqah, infaq haji dan seterusnya. Ia tidak bisa mencari makan untuk kebutuhan fisiknya, pun pula ia tidak lagi bisa menambah ibadahnya untuk memenuhi kebutuhan ruhaninya.

Jika saja ungkapan yang digunakan oleh Rasul adalah “inqata’a naf’uhu”, tentu yang dimaksud adalah sebagaimana pemahaman yang telah saya sampaikan di atas. Bahwa, seorang yang telah meninggal dunia tidak lagi memiliki hubungan sama sekali dengan mereka yang masih hidup, sehingga apapun yang dikerjakan seorang yang masih hidup untuk kepentingan mereka yang telah meninggal tidak ada manfaatnya dan tidak sampai pada mereka yang telah meninggal dunia.

Nyatanya, hadits di atas justru melihat sebaliknya. Jika dipahami dan dicermati dengan baik, hadits ini sesungguhnya memerintahkan kepada semua orang yang masih hidup untuk selalu memperhatikan mereka yang sudah meninggal dunia. Memperbanyak do’a untuk mereka, shadaqah jariyah yang ditujukan pada mereka dan amal lainnya.

Mereka yang berada di alam barzakh itu ibarat seorang yang hidup di penjara yang menunggu kiriman dari para sanak famili dan handai tolannya. Ibarat pasien yang berbaring di rumah sakit yang merindukan temannya untuk menjenguk, membawakannya makanan untuk dimakan dan sedekah uang untuk biaya perawatannya.

Allah Swt menegaskan hal itu dalam al-Qur’an Surat al-Taubah (9); 103, yang artinya “Dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menjadi) ketentraman jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Komentar