Dua Ciri Khas Tasawuf
Sebagian orang menganggap bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran
peradaban Islam, namun bagi sebagian lainnya, tasawuf justru dianggap sebagai
spirit yang membangkitkan peradaban Islam. Menurut kelompok belakangan ini,
sejarah telah mencatat bahwa tidak ada kemajuan peradaban Islam yang muncul
melainkan tasawuf turut serta berperan dalam sumbangsihnya.
Terlepas dari perdebatan keyakinan yang berkembang di tengah-tengah
umat, nyatanya hingga saat ini, tasawuf tetap eksis dan turut memberikan
sumbangsihnya dalam peradaban Islam. Tasawuf menjadi salah satu solusi bagi
sebagian umat Islam untuk mendapatkan ketenangan hati, pikiran dan mendorongnya
tetap bertahan dalam menjalani hidup penuh tantangan dengan menundukkan dan
menyingkirkan segala keterputusasaan. Penyakit, yang kerap menjangkiti mereka
yang tipis imannya hingga memutuskan untuk mengakhiri anugerah Allah berupa “kehidupan”.
Abi Hamid Muhammad al-Ghazali salah satu di antara ulama Islam
klasik yang memberikan sumbangan besarnya terhadap kemajuan peradaban Islam. Karyanya
bertebaran baik di barat maupun timur. Kecemerlangannya dalam memahami berbagai
ilmu dan pengetahuan, menempatkannya sebagai salah satu ulama Islam dengan
disiplin ilmu beraneka ragam. Karyanya sebagian bernuansa filsafat, teologi,
kimia, akhlak, fiqih dan tasawuf. Setidaknya hingga detik ini, siapapun
orangnya mengakui kehebatannya dalam menyusun argumen kuat yang menyebabkannya
digelari dengan “hujjatul Islam”.
Di salah satu kitabnya, “Ayyuhal Walad”, beliau
menjelaskan bahwa tasawuf memiliki dua kriteria/ciri khas yang membedakannya
dari yang lain, yaitu Istiqamah bersama dengan Allah dan tenang dari makhluk.
Ciri yang pertama adalah istiqamah bersama Allah. Seorang yang
menekuni tasawuf, selalu berusaha memperbaiki kualitas dirinya dan
pengabdiannya kepada Allah Swt. Ia selalu berusaha untuk bersama dengan Allah dalam
setiap waktu dan kesempatan.
Kebersamaan seoranng sufi bersama dengan Allah tidak hanya sebatas
teori ilmiah saja. Mereka senantiasa berusaha untuk bersama Allah secara “dzauqi”,
secara rasa. Karena itu bagi seorang sufi, istiqamah dalam menjalani dzikir
adalah satu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan selalu mengingat
Allah, hati akan tertuntun untuk senantiasa bersama dengan Allah.
Tentu, tidak serta merta mereka bisa mencapai “dzauq” itu. Perlu
latihan secara kontinyu untuk bisa sampai ke sana. Dzikir di awal mulanya
perjalanan seorang sufi mungkin dilakukan hanya sebatas lisan, kemudian dengan
keistiqamahannya ia diangkat Allah hingga dzikir hati, dan seterusnya hingga Allah
menganugerahkan dzikir secara dzauqi yang selanjutnya sampai pada dzikir
“dzat”, bukan lagi asma’, sifat maupun af’al. Itulah
istiqamah bersama Allah.
Selanjutnya tenang dari makhluk. Maksutnya, makhluk tidak lagi
menjadi prioritas bagi seorang sufi. Seorang yang menekuni tasawuf tidak pernah
melakukan sesuatu apapun itu bentuknya, untuk kepentingan mencari simpati dari
makhluk. Yang dilakukannya murni semata menjalani ketentuan dari Allah dengan
ridha tanpa menuntut apapun.
Ketenangannya jauh dari pengharapan terhadap makhluk dan penilaian
makhluk, menjadikannya sebagai seorang yang benar-benar independen tanpa takut
kepada selain Allah Swt. Ia tidak terlena dengan sanjungan, pun pula tidak akan
pernah runtuh dengan cacian. Baginya, kebenaran sejati hanyalah milik Allah dan
tidak ada lagi yang patut diharapkan selain-Nya. Ketertundukannya pada Dzat
Pencipta semesta telah menutup dirinya dari tunduk pada selain-Nya.
Apa dengan demikian seorang sufi lantas meninggalkan urusan
makhluk? Bekerja, belajar, dan sebagainya? Tentu tidak. Bagi seorang sufi semua
ketentuan Allah berupa apapun itu akan dijalaninya. Hanya saja dia melakukan
semua itu bukan karena penilaian yang diberikan makhluk, melainkan semata
menjalani tugasnya sebagai makhluk. Karena itulah umumnya seorang sufi akan
benar-benar tekun dalam menjalani semua tugasnya sebagai makhluk ciptaan-Nya. Ia
menjalani semua tugasnya dengan sungguh-sungguh tanpa tendensi keduniawian dan
pandangan makhluk.
Spirit sufi adalah pengabdian murni kepada Khaliq. Mereka akan
bekerja seolah hidup selama-lamanya, pun pula mereka akan beramal seolah mati
esok hari. Itulah sufi. Tapi ingat, semuanya itu dijalani para sufi semata
murni pengabdian kepada Allah dan tanpa melihat bagaimana penilaian makhluk
terhadap mereka. Mereka takkan terhormat dengan sanjungan dan takkan hancur
karena cacian.
Komentar
Posting Komentar