Al-Hikam, Ahad Pagi, 09 Agustus 2020

 

Al-Hikam, Ahad Pagi, 09 Agustus 2020


ذاكر ذكر ليستنير قلبه، وذاكر استنار قلبه فكان ذاكراً، والذي استوت أذكاره وأنواره: فبذكره يهتدي، وبنوره يقتدي. (ابن عطاء الله السكندريى)

Artinya: “Adakalanya seorang dzikir (ingat kepada Allah) untuk supaya hatinya menjadi terang, dan orang yang dzikir untuk mencari terangnya hati, orang tersebut adalah orang yang (benar-benar) dzikir. Ada juga orang yang sama dzikirnya dan cahayanya (orang yang telah terang hatinya), dengan dzikirnya ia mendapat petunjuk, dan dengan cahayanya (terangnya hati), ia mengikuti.” (Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari)

Dalam proses perjalanan menuju kepada Allah (dunia sufi), ada dua orang yang berbeda dalam prosesnya, yang pertama disebut salikin, dan kedua majdzubin. Salikin adalah orang-orang yang masih gelap matahatinya dan ingin supaya mendapatkan “padange ati”, atau hati yang terang. Mereka mencari guru mursyid, yang bisa membimbingnya, memberikan “irsyadul qalbi”, petunjuk hati supaya mereka bisa mencapai kedekatan kepada Allah dan menggapai ma’rifatullah.

Para salikin inilah yang disebut oleh Syaikh Ibnu Athaillah sebagai orang yang dzkir untuk mencari terangnya hati. Mereka mempeng dengan berbagai dzkir thoriqohnya, biasanya dengan menggunakan dzikir “Allah, Allah, Allah”, bukan “Laa Ilaaha Illallah” dengan maksud untuk mendekat kepada Allah. Mereka orang yang menyadari bahwa hatinya masih gelap, karena itu mereka ingin supaya hatinya menjadi “terang”.

Umumnya, orang yang menghendaki menuju kepada Allah akan mencari “Guru Mursyid”, yang bisa membimbingnya dengan aturan-aturan/kaifiyah thoriqoh. Jika tidak, dzikir yang diniatkan untuk taqarrub tersebut, bisa jadi disusupi oleh Iblis yang bisa menjerumuskannya pada kesesatan. Karena itu, banyak cerita yang menyebutkan seorang mempeng ‘dzikir’, akhirnya menjadi gila dan sebagainya, disebabkan tidak ada guru mursyid yang membimbingnya.

Dzikir adakalanya asma’, sifat dan dzat. Orang yang dzikir pada hakikatnya belum sampai pada tujuan. Kalau sudah sampai dia tidak lagi dzikir, melainkan fana’ dengan apa yang diingatnya. Seperti orang yang ingin pandai, pada hakikatnya masih bodoh, mereka yang ingin kaya, hakikatnya masih miskin. Jika sudah pandai tidak ada lagi keinginan ke sana, orang kaya tidak lagi ingin menjadi orang kaya. Begitu juga seorang yang dzikir, dia belum sampai, kalau sudah sampai, dia fana’ pada apa yang diingatnya.

Kelompok kedua adalah majdzubin, orang yang ditarik/diinginkan oleh Allah. Dalam bahasa Syaikh Ibnu Athaillah disebut sebagai orang yang telah terang (hatinya) karena ia dikehendaki oleh Allah. Orang tersebut ditarik oleh Allah dengan ‘inayah’-Nya, sehingga terang mata hatinya.

Para majdzubin, tidak membutuhkan dzikir untuk menerangi hatinya, melainkan dzikirnya dilakukan untuk “mengikuti” hidayah yang diperolehnya. Mereka dzikir semata karena melaksanakan perintah Allah, bukan untuk mendapatkan “terangnya” mata hati, karena “terangnya mata hati” itu telah melampaui/mendahului dzikirnya.

Perlu dipahami, bahwa dzikir yang dimaksud di sini (majdzubin), tidak sama dengan dzikir yang dilakukan oleh salikin. Salikin umumnya dzikir secara bil-jahri yang kemudian akan meningkat menjadi bissirri. Selama masih ada lafadz, dzikir tersebut masih disebut bil-jahri, belum bissirri.

Dzikir bissirri itu ibarat mata yang melihat sesuatu, spontan begitu melihat langsung ingat, tanpa menyebutkan nama. Beliau mendawuhkan, “Seperti saya melihat Syifa’ langsung ingat Syifa’ tanpa saya menyebut namanya “Syifa’-Syifa’-Syifa’.”

Para majdzubin, umumnya bukanlah penganut thoriqoh. Mereka lebih cepat sampai karena memang “dikehendaki”-Nya. Karena itu umumnya mereka tidak tahu laku dan aturan-aturan thoriqoh. Selain itu, biasanya mereka dikaruniai anugerah-anugerah/karomah yang membuatnya dipandang “mulia” di tengah-tengah masyarakat. Dianggap sebagai orang keramat, “mandi dongane”, ampuh dan sebagainya.

Meskipun demikian, umumnya ma’rifatnya seorang majdzubin tidak sempurna. Para mursyid thoriqoh umumnya adalah seorang salikin, kecuali satu yang masyhur Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Beliau termasuk majdzubin.

Oleh karena itu, jadzab sebenarnya bukanlah tujuan, ia merupakan bagian dari proses perjalanan menuju kepada Allah, yakni yang dikehendaki oleh-Nya. Jadi jangan “kesengsem” dengan kelebihan yang dimiliki majdzub dan menjadikannya sebagai tujuan. Yang diinginkan mestinya adalah sampainya pada “tujuan/ma’rifatullah.” Orang-orang yang telah sampai kepada Allah/ma’rifatullah adalah orang yang telah mendapatkan “ilmu laduni”.

Orang yang dikaruniai “ilmu laduni” ini bermacam-macam. Ada ladunni yang syar’iyyan adapula yang haqiqotan. Jika seorang yang mendapatkan ilmu laduni ingin bisa menjelaskan kepada orang umum, dia harus turun dari situasi yang ia pada “posisi”, tersebut. Jika tidak, maka ia tidak akan bisa menjelaskan.

“Alhamdulillah sedikit banyak, saya dianugerahi Allah, tetapi tetap saja saya belajar, sehingga bisa menjelaskan.” (Dawuh Kanjeng Romo KH. Abdul Lathif Madjied Ra.). Lanjut beliau, “Saya mempeng tirakat/riyadhoh di kamar Mbah Mundzir, meminjam kamarnya. Tidak makan, hanya minum kopi selama 40 hari dan malam sampai ru’ya Khidhir as. Saya minta di do’akan, Nabi Khidir do’akan saya mempunyai ilmu laduni syar’an wahaqiqotan. Sehingga saya tahu substansi ilmu, bukan riwayat ilmu.” Saat itu beliau masih SMA. Dengan berbekal ilmu tersebut beliau mampu mengelola dan memajukan perjuangan fafirru ilallah ini.  Al-Fatihah 1x.

Oleh karena itu, beliau mengingatkan agar kita (pengamal wahidiyah) tidak “kepencut” dengan berbagai kelebihan para majdzubin, melainkan kepencut dengan sampainya mereka pada ma’rifatullah. Meski demikian, beliau mengingatkan bahwa orang jadzab itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana orang yang dikehendaki untuk bertemu dengan presiden. Ada kalanya ia bisa sampai, namun masih harus berusaha ke sana, adakalanya langsung di halamannya, adakalanya langsung di istananya dan adakalanya langsung di hadapannya. Dan yang langsung di hadapan-Nya/Hadhrah-Nya inilah yang tertinggi.

Meski sudah sampai, tetapi para majdzubin tidak akan merasakan indahnya perjalanan menuju kepada Allah. Ibarat orang naik kendaraan, para majdzubin mengendarai kendaraannya dengan sangat cepat, sehingga menyalip para salikin, yang berjalan dengan landai sambil menikmati indahnya pemandangan. Allahu A’lam.

 

Komentar