Al-Hikam, Ahad Pagi 02 Agustus 2020
قوم
تسبق أنوارهم أذكارهم وقوم تسبق أذكارهم أنوارهم
“Kaum yang
nurnya mendahului dzikirnya dan kaum yang dzikirnya mendahului nurnya”
Ada dua kelompok orang yang menuju kepada Allah dalam proses
dzikirnya. Pertama adalah kelompok yang dzikirnya di dahului oleh nurnya. Kelompok
ini adalah kelompok orang-orang yang dikehendaki oleh Allah/muraaduun. Yakni
orang-orang yang ditarik oleh nur-Nya, sehingga dzikir yang dilakukannya tanpa “kepayahan”,
karena dituntun oleh nur yang lebih dahulu datang kepadanya. Kelompok ini juga
dikenal dengan istilah majdzubiin.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang dzikirnya mendahuluinya nurnya. Mereka melakukan dzikir sebagai upaya untuk taqarrub dan mendapatkan nur yang bisa menerangi hatinya sehingga musyahadah kepada Allah. Kelompok ini harus bersusah payah dalam dzikirnya, riyadhah dan mujahadah mati-matian untuk mendapatkan nur tersebut.
Kelompok pertama ibarat mata yang melihat benda tanpa susah payah
karena memang sudah ada cahaya yang menerangi. Mereka menerima nur ilahiyah
terlebih dahulu sehingga nur tersebut menuntunnya untuk mengingat/dzikir kepada
Allah.
Akan tetapi, meskipun para majdzubin itu didahului oleh nur
ilahiyyah dalam dzikirnya, mereka berbeda-beda dalam takarannya. Ada yang
dzikirnya sebatas asma’, af’al adapula yang mutlak. Dan yang paling tinggi
adalah yang mutlak.
Kendati jadzab, bukan berarti nur itu istiqamah. Datangnya nur
ilahiyah itu “byar pet”. Karena itu nur ini harus disyukuri dan dijaga,
karena kalau tidak bisa jadi nur ini luntur dan kemudian hilang untuk
selama-lamanya.
Dzikirnya salikin, umumnya melalui proses yang berat untuk
bisa mencapai musyahadah. Mereka harus berjuang mengendalikan nafsu basyariah-nya
supaya bisa dikendalikan dan diarahkan menuju ketaatan kepada-Nya. Ta’at
sendiri merupakan bentuk shadaqah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.
Oleh karena itu pada hakikatnya, baik majdzubin maupun salikin dzikirnya
diawali dari datangnya nur. Karena tidak mungkin seseorang dzikir dan taat kepada
Allah tanpa dikehendaki/jadzab kepada-Nya. Hanya saja bentuk nurnya
berbeda antara kedua kelompok ini. Yang pertama nurnya memaksa para majdzubin
untuk mengingat/dzikir kepada Allah tanpa adanya “takalluf”, kangelan,
sementara nur yang kedua tidak memaksanya sehingga ia mesti bermujahadah untuk
menjaganya agar tidak hilang.
Gambaran majdzubin adalah sebagaimana anak orang kaya. Dia kaya
karena medapat warisan dari kedua orang tuanya yang terlebih dahulu kaya. Dia memiliki
karomah karena memang orang tuanya ahli riyadhoh sehingga tanpa riyadhoh ia
sudah ampuh. Meskipun demikian, para majdzubin ini belum tentu sempurna.
Adakalanya dzikir mereka masih pada dzikir jahri, sirri atau qalbi. Dzikir qalbi
pun juga bertingkat adakalanya sudah lillah-billah adakalanya belum.
Oleh karena itu kedua kelompok ini mesti menjaga nur yang telah
dianugerahkan Allah kepadanya. Jika tidak, boleh jadi nur itu luntur dan hilang
untuk selama-lamanya. Banyak dijumpai bahkan di Tanah Jawa dulu ada wali tiban.
Kondang wali punya karomah tinggi semenjak kecil, karena orang tuanya kondang
ahli thoriqah, riyadhoh dan memiliki karomah sehingga Allah memberikan ijabah
kepada salah satu diantara keturunannya. Akan tetapi setelah itu, hilang
kekeramatannya dan hilang kondang “wali”-ne. Ibarat anak orang kaya, mewarisi
kekayaan orang tuanya tanpa bekerja, namun ia tidak terbiasa kerja, sehingga
karena tidak bisa mengelola kekayaan tersebut akan habis dan hilang untuk
selamanya.
Nur itu mesti dijaga. Orang yang jadzab semestinya turun ke bawah
kemudian riyadhoh, mujahadah sehingga nur itu terawat dengan baik. Syukur-syukur
ia menemukan guru “mursyid’ yang membimbingnya sehingga nur itu semakin
bersinar terang. Anak orang kaya, mewarisi kekayaan orang tuanya, mau belajar
dan bekerja keras sebagaimana orang tuanya serta mencari seorang guru yang
membimbingnya sehingga kekayaan tersebut kekal selama-lamanya. Demikian halnya
dengan anak wali, ahli karomah, yang mau riyadhoh dan mujahadah sebagaimana
orang tuanya, maka karomah tersebut akan terjaga. Sebaliknya, jika tidak mau,
maka boleh jadi kekeramatan itu akan luntur dan hilang selama-lamanya.
Meski dilihat dari satu sisi, majdzubin dzikirnya tanpa “kepayahan”,
karena tanpa “ikhtiyar”, seolah lebih tinggi karena umumnya menampakkan
kelebihan yang “ngidap-ngidapi”, bisa berjalan di atas air, bisa terbang, mandi
do’anya dan sebagainya, seolah lebih tinggi, namun sejatinya tidak tentu
demikian. Kendati salikin umumnya tidak menunjukkan yang demikian,
tetapi salikin bisa mendidik sehingga umumnya bisa mencapai iman yang “kamil dan mukammil”.
Mengapa demikian? Karena mereka melalui semua proses dengan bersusah payah. Sehingga
salikin tahu bagaimana cara mendidik dan membimbing, berbeda dengan majdzubin
yang umumnya tanpa melalui proses kepayahan sehingga tidak bisa mendidik.
Terlepas dari semua itu, tujuan utama dalam proses ini adalah hadhrah-Nya,
Allah swt. Karena itu jangan sampai terkecoh dan tertipu, apalagi hanya sekedar
tertipu dengan kelebihan-kelebihan/karomah kauniyah saja. Banyak orang yang
tidak sampai pada tujuan karena terbujuk dan menjadikan kelebihan/karomah
kauniyah tersebut sebagai tujuan, bukan sarana menuju kepada Allah.
Sebagai pengamal wahidiyah, kita mesti berhati-hati agar tidak
tertipu dengan berbagai hal yang “ngidap-ngidapi” tersebut. Sebagaimana Mbah
Kyai Abdul Madjied Ma’roef Qs. Wa Ra. Beliau biasa-biasa saja. Tidak kelihatan
ampuh, atau punya kelebihan kauniyah. Beliau putra dari Mbah Kyai Moehammad Ma’roef
Qs. Wa Ra. yang masyhur auliya’ dan ahli riyadhoh. Karomahnya luar biasa. Mbah
Madjied tidak berguru secara lahiriyah, hanya dibimbing Mbah Ma’roef hingga ru’ya
al-Nabi saw. yang lantas menjadi gurunya dan lahirlah sholawat wahidiyah. Sehingga
beliau masyhur sebagai “Sulthonul Auliya” di masanya.
Baik majdzubin maupun salikin harus
bersunggung-sungguh di dalam upaya merawat dan menjaga nur ilahiyah yang telah
dianugerahkan kepadanya. Kesungguhan dalam upaya tersebut akan berbuah pada “istiqamah”-nya
nur tersebut di hatinya. Menjadikannya sebagai seorang yang istiqamah dalam
ketaatan kepada-Nya.
Komentar
Posting Komentar