Al-Hikam Ahad Pagi, 16 Agustus 2020

 

Al-Hikam Ahad Pagi, 16 Agustus 2020


ما كان ظاهر ذكر إلا عن باطن شهود وفكر

Artinya: “Tidak ada dzikir dhahir, kecuali hatinya melihat dan berfikir”

Pada dasarnya dzikir dhahir tidak akan ada melainkan ada setelah proses syuhud kepada Allah dan berfikir (tentang Allah swt.). Adanya dzikir lahir selalu di dahului proses syuhud dan berfikir tentang-Nya.

Yang dimaksud di sini adalah proses perjalanan menuju Allah swt. dalam dunia tasawuf. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam proses perjalanan tersebut ada dua cara yang masyhur yakni jadzab, orangnya dikenal dengan majdzubin dan salikin. Majdzubin adalah orang yang di tarik ke hadhrah-Nya, Allah swt. karena dia memang diinginkan-Nya. Sementara salikin adalah orang yang ingin sampai pada hadhrah-Nya, Allah swt.

Tujuan kedua kelompok ini sesungguhnya sama, yakni sama-sama sampai pada hadhrah Allah, hanya saja prosesnya yang berbeda. Majdzubin karena dikehendaki oleh Allah, terkesan lebih cepat daripada salikin. Sebaliknya salikin harus berjuang dengan keras agar ia sampai pada tujuan yang diinginkan yakni kedekatan kepada-Nya, hadrah-Nya, Allah swt.

Keduanya sama-sama dzikir kepada Allah, hanya saja berbeda. Majdzubin dzikirnya lebih murni karena ditarik oleh-Nya, sehingga ia telah mencapai syuhud kepada-Nya. Dia menyaksikan Allah dengan pandangan hatinya, bukan pandanngan mata. Hatinya selalu sadar akan kehadiran Allah, dan ia tidak lagi melihat pada apa yang ada dihadapannya dari kehidupan dunia karena hatinya hanya melihat-Nya.

Salikin karena menyadari bahwa ia gelap hatinya, tidak melihat hatinya kepada Allah, lantas ia mencari keterangan hati melalui dzikir kepada-Nya. Dia mengawali perjalananya dengan berfikir tentang kekuasaan Allah, keagungan-Nya, asma’-Nya dan sebagainya sehingga kemudian ia terdorong untuk melakukan dzikir kepada Allah. Hanya saja, dzikirnya tidak sebagaimana para majdzubin yang telah syuhud. Dzikirnya salikin banyak yang disertai dengan kosongnya hati karena lupa kepada-Nya. Namun, ketika ia bersungguh-sungguh dan istiqamah dengan dzikirnya, dzikir itu bisa meningkat sampai pada syuhud kepada-Nya.

Meskipun berbeda, dzikirnya majdzubin disertai syuhud billah, sementara salikin terkadang dengan kosongnya hati, tetapi keduanya sama diawali dengan “al-Nur al-Sabiq”. Dzikir majdzubin diawali dengan adanya nur yang membuatnya jadzab/tertarik (mengalami ketertarikan) sehingga ia hanya memandang kepada-Nya, sementara nur-nya para salikin adalah nur yang memberikan dorongan kepada mereka untuk berdzikir dan mengingat Allah. Nur ini bisa diawali dari proses berfikir tentang sifat Allah, asma Allah, kekuasaan-Nya, keagungan-Nya dan sebagainya. Akhirnya dari situlah timbul amal ibadah seseorang berupa dzikir.

Inti ibadah sesungguhnya adalah pada dzikir. Dzikir otomatis ibadah, tetapi ibadah lahir belum tentu bernilai ibadah. Ibadah lahir yang tidak disertai dengan ingat kepada Allah, secara otomatis tidak akan bernilai ibadah. Karena itu al-Qur’an menegaskan bahwa “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.

Munculnya amal tidak bisa dilepaskan dari adanya “warid”. Warid sesungguhnya merupakan nur yang dibisikkan ke dalam hati sehingga seseorang tergerak dan terdorong hatinya untuk beribadah kepada Allah. Tanpa adanya warid tidak mungkin ada amal. Karena itu, beragamnya amal ibadah yang dilakukan sesuai dengan warid yang diterima oleh seseorang.

Adakalanya seseorang termotivasi hatinya untuk memperbanyak membaca dzikir Allah-Allah, subhanallah, laa ilaaha illallah, hu-hu, atau membaca al-Qur’an kesemuanya itu merupakan bentuk implementasi dari dorongan warid, berupa nur al-sabiq yang mendahului seseorang sebelum ia melakukan amal.

Yang perlu diingat, tidak semua nur ini tetap tinggal bersama seorang yang mendapatkannya ketika ia telah berdzikir. Adakalanya setelah nur itu datang, kemudian ia berdzikir, nur itu hilang. Hilangnya nur ini sangat halus dan rahasia sekali, bahkan seringkali seseorang tidak merasakan. Awalnya semangat untuk dzikir Allah-Allah ribuan, tiba-tiba di tengah jalan nur itu hilang, tetapi secara dhahir dzikir tersebut masih terucap, tetapi hatinya kosong. Ibaratnya nur sal-sabiq itu seperti stater, begitu menyala berupa bergeraknya mesin, ketika stater dimatikan, namun motor melaju dengan kencang, motor tetap melaju kencang, tetapi mesinnya mati. Begitu lah gambaran hilangnya nur di tengah proses dzikir. Nur itu hilang, tetapi lisan masih tetap melafadzkan dzikir.

Berkenaan dengan dorongan dzikir lahir ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa masing-masing diantara majdzubin dan salikin bisa mengalami syuhud dan fikrin. Adapun pendapat kedua ekstrem bahwa syuhud hanya berlaku bagi majdzub dan fikrin bagi salikin.

Pendapat pertama mengatakan bahwa masing-masing bisa mengalami keduanya. Mereka berkeyakinan bahwa jadzab itu memiliki tingkatan. Ada jadzab fil asma’, af’al, dzat dan mutlak. Bagi jadzab yang mutlak, maka yang ada hanya “syuhud” tidak bisa berfikir, tetapi bagi yang tidak mutlak, masih ada kesadaran sehingga ia masih bisa berfikir.

Adapun pendapat kedua syuhud hanya bagi majdzubin dan berfikir hanya bagi salikin. Bagi kelompok ini, orang yang masih bisa berfikir berarti dia belum jadzab. Berfikir hanya dilakukan oleh orang yang belum syuhud dan masih dalam proses suluk.

Karena itu bagi kelompok ini, majdzubin lebih tinggi karena kemurnian ibadahnya. Mereka billah, bahkan saat mereka dzikir, dzikirnya itu bilaa ikhtiyarin. Berbeda dengan para salikin yang umumnya dzikirnya banyak dikotori oleh nafsunya akibat dari tebalnya nafsu basyariyah-nya.

Namun yang perlu menjadi catatan dan harus berhati-hati adalah bahwa jadzab itu adalah sarana bukan tujuan. Tujuannya sama antara salikin dan majdzubin yakni hadhrah-Nya Allah swt. Ibarat orang ke Surabaya, maka Surabaya adalah tujuannya, dan pesawat, ferari, sepeda motor dan sebagainya adalah sarananya.

Karena fasilitas yang diberikan kepada majdzubin umumnya “ngidap-ngidapi”. Memiliki kekeramatan, ampuh, do’anya mandi dan sebagainya, banyak orang yang terkecoh dan tertipu dengan hal ini. Banyak yang ingin ampuh, dihormati banyak orang, do’anya mandi dan sebagainya, padahal itu hanyalah sarana bukan tujuannya. Ibarat orang pergi ke Surabaya hanya ingin mobilnya tetapi tidak ingin sampai kepada Surabayanya. Maka hati-hati ini adalah jebakan dan tipuan, banyak orang yang terkecoh dengannya.

 

Komentar