Ilmu Bagaikan Binatang Buruan
Ilmu memiliki
peran penting dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah mencatat, tidak ada
kemajuan sebuah Negara tanpa diikuti oleh kemajuan ilmu, termasuk kemajuan
peradaban Islam-pun tidak lepas dari pesatnya perkembangan ilmu yang
mengiringinya.
Penulis teringat pada masa kejayaan Islam di masa Daulah Abbasiyyah. Ilmu dan sains berkembang cepat di semua penjuru wilayah kekuasaan islam. Para khalifah memberikan penghargaan tinggi kepada pencapaian semua orang yang berhasil menulis, meneliti dan menemukan teori ilmu. Pada masa ini juga terjadi proses penerjemahan berbagai buku ke dalam bahasa Arab, sehingga orang-orang Arab yang di masa awal lahirnya Islam masih jauh tertinggal bisa bangpenulis, mempelajari berbagai ilmu dan pengetahuan sampai akhirnya berada di puncak kejayaan.
Hal penting
yang perlu dicatat adalah tradisi menulis yang tertanam kuat dalam diri ilmuan
muslim kala itu. Mereka menyadari betul bahwa tanpa catatan dan tulisan, ilmu
hanya sekedar cerita yang pada saatnya, jika sang pemilik wafat, ia akan hilang
bersama dengan pemiliknya. Oleh karena itu, untuk membangun sebuah tradisi,
budaya dan peradaban, “menulis” adalah kuncinya.
Imam Al-Syafi’i mengatakan:
العلم صيد والكتابة قيده قيد صيودك بالحبال الواثقة فمن
الحماقة أن تصيد غزالة وتفكها بين الخلائق طالقة
Artinya: Ilmu laksana binatang buruan, tulisan adalah ikatannya. Ikatlah
buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan adalah engkau berburu
binatang buruan dan engkau biarkan dia terlepas lagi.
Ilmu diibaratkan sebagaimana binatang buruan, tulisan adalah tali
pengikatnya. Hal ini menunjukkan bahwa
aktifitas menulis dalam proses menuntut ilmu adalah satu kegiatan penting yang
tidak boleh diabaikan oleh setiap penuntut ilmu. Siapa yang abai dengan
kegiatan “menulis” bisa dipastikan bukanlah ahli ilmu.
Menulis memiliki arti penting bagi para penuntut ilmu. Dengan menulis,
seorang penuntut ilmu bisa mengabadikan ilmu yang pernah mereka pelajari. Sewaktu-waktu
mereka lupa, mereka bisa membuka kembali catatan yang pernah ditorehkannya
dalam sebuah tulisan. Hal berbeda tentunya dialami oleh penuntut ilmu yang
tidak membuat catatan. Hilangnya hafalan, turut serta menghilangkan ilmu yang
selama ini dipelajarinya. Karena itu, “Menulis adalah mengikat makna”.
Dengan menulis, maka secara otomatis penulis juga melakukan kegiatan
membaca. Bahkan, jika penulis membaca sekali saja dengan beraktifitas membaca,
maka dengan sekali menulis penulis bisa melakukan proses membaca secara
berulang-ulang. Ini menunjukkan bahwa sejatinya dalam proses menulis itu
terdapat kegiatan “mengulang-ulang kembali”. Mengulang apa? Tentunya hal yang
sedang penulis pelajari.
Kegiatan menulis menjadikan penulis abadi melampaui masanya. Artinya dengan
memiliki karya berupa tulisan,-buku misalnya, seorang bisa dikenal luas oleh
banyak orang di era-nya, bahkan pada era setelahnya. Contoh sederhananya adalah
para muallif kitab di era klasik yang sampai ini masih dikenal namanya. Sebut saja
Hujjatul Islam, Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, Imam Al-Syafi’i,
Imam Maliki dan sebagainya. Nama mereka sampai hari ini masih harum dan dikenal
luas, tentunya karena karya-karya mereka berupa buku/kitab yang
ditinggalkannya.
Satu kebodohan manakala seorang penuntut ilmu tidak menyadari pentingnya kegiatan
“menulis”. Laksana seorang pemburu, begitu mendapatkan binatang buruan,
dibiarkannya buruan itu lepas tanpa ikatan. Karena itu, mari “Tumbuhkan
Semangat Menulis dalam Diri. Melalui Tulisan, Kita Ciptakan Dunia yang
Berperadaban. Dengan Tulisan, Jadikan Diri Kita Bermanfaat Bagi Umat Sampai
Datangnya Kiamat.”
Komentar
Posting Komentar