Cara Menghilangkan Rasa “Resah” dalam Hidup
(Kajian Kitab Minahussaniyyah)
Setiap insan yang ditakdirkan terlahir dan hidup di dunia, mau
tidak mau, suka maupun tidak, mesti menjalani hidup di dunia dengan berbagai
suka dukanya. Tidak selamanya seorang hidup dengan kelapangan, pun pula
sebaliknya, tidak seorangpun selalu berada dalam kesempitan. Kelapangan dan
kesempitan bagaikan dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya silih
berganti datang dan pergi. Durasinya pun berbeda. Terkadang ‘lapang’ mengambil
tempat lebih lama, pun pula sebaliknya, terkadang ‘sempit’ lebih lama tinggal
bersama seseorang.
‘Lapang’ dan ‘sempit’ sesungguhnya bukan lah masalah dalam kehidupan. Keduanya merupakan bagian dari sunnatullah yang tentunya tidak akan pernah bisa dihilangkan. ‘Lapang’ umumnya lebih diharapkan ‘lebih lama’ tinggal dan menetap, sebaliknya ‘sempit’ cenderung lebih dibenci dan diharapkan segera pergi tanpa harus kembali.
Ke-‘lapang’-an dalam hidup berdampak pada lahirnya rasa ‘senang’, ‘gembira’
dan‘bahagia’ dalam diri seseorang. Ke-‘lapang’-an ini, merupakan nama lain dari
‘nikmat’ bagi manusia. Bisa berupa tubuh yang sehat, harta berlimpah, maupun
kesuksesan dalam hidup. Umumnya orang akan merasa senang, gembira dan bahagia
saat kenikmatan datang menghampirinya. Beragam cara digunakan untuk
mengungkapkan rasa senang, gembira dan bahagia ini. Mulai dengan mengucap
syukur, menggelar tasyakuran, dan tidak jarang juga yang menyambutnya secara
berlebihan dengan menggelar ‘pesta’. Semua itu dilakukan semata untuk
mengungkapkan rasa bahagia yang ada dalam dirinya.
Berbeda dengan ‘kelapangan’, ‘kesempitan’ justru menyisakan rasa ‘resah’,
‘gelisah’ dan ‘susah’. ‘Kesempitan’ identic dengan kegagalan dalam menjalani
sebuah proses. Dampaknya, banyak orang merasa resah, gelisah, susah, sedih
bahkan ada yang mensikapinya dengan berlebihan sehingga terjerumus dalam
keterputusasaan.
Keresahan harus segera diatasi dan dihilangkan, agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Jangan sampai keresahan ini menggumpal, kemudian
berdampak pada munculnya keputusasaan. Syaikh Abdul Wahhab Al-Sya’rani dalam
kitabnya, Minahussaniyyah, menjelaskan bahwa untuk menghilangkan rasa ‘resah’,
seseorang memerlukan ‘dzikir’, yakni mengingat Allah swt.
Syaikh Abdul Wahhab Al-Sya’rani menjelaskan bahwa muara dari
keresahan itu adalah ‘ghaflah’, lupa dari mengingat Allah swt. Tingkat ‘keresahan’
orang pun berbeda antara satu dengan lainnya tergantung dari seberapa tingkat ‘lupa’-nya
kepada Allah swt. Semakin tinggi tingkat ‘lupa’-nya, semakin tinggi pula
tingkat keresahannya. Oleh sebab itu, jika seseorang merasa resah dalam
hidupnya, maka tidak ada yang patut dihina, melainkan dirinya sendiri, karena
rasa ‘resah’ itu sejatinya tidak lain merupakan ‘balasan’ atas ‘keberpalingan’
dirinya, “ghaflah” dari mengingat Allah swt.
Karena itu lah, bagi Syaikh Abdul Wahhab Al-Sya’rani, siapa yang
ingin bahagia dalam hidupnya, dan tidak menginginkan ‘keresahan’ dalam dirinya,
hendaknya ia melanggengkan dzikir dalam hatinya. Siapa saja yang bisa
melazimkan ‘dzikir’ hatinya akan dihindarkan dari rasa resah. Hatinya akan
merasa tenang sehingga hidupnya akan terasa nikmat dan penuh kebahagiaan dalam
kondisi apapun. Al-Hakim Abu Muhammad Al-Turmudzi dalam hal ini menjelaskan, “Mnegingat
Allah itu bisa menjadikan hati ‘basah’ dan ‘lunak’, maka ketika hati kosong
dari mengingat Allah, maka hati dan syahwat menjadi panas sehingga berlaku
fasik, kering dan anggota tubuh tidak mau taat kepada Allah swt.
Komentar
Posting Komentar