Keajaiban Urusan Mukmin
Secara sederhana mukmin berasal dari bahasa
Arab, أمن يؤمن إيمانا
مؤمنا ,
yang artinya adalah orang yang beriman. Artinya seorang mukmin adalah seorang
yang di dalam dirinya terdapat karakter iman.
Iman secara lughah memiliki arti
percaya. Adapun secara istilah iman berarti membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Dengan demikian,
iman menuntut adanya sinkronisasi antara apa yang ada di hati, lisan dan
perbuatan.
Seorang yang di dalam dirinya telah ada karakter “iman”, memiliki keistimewaan bila dibandingkan dengan yang lain. Keistimewaan itu, tentunya bukan sekadar klaim semata, namun “kenyataan” yang telah diakui baik dari sisi naqli maupun ‘aqli-nya.
Dari sisi naqli, ayat Al-Qur’an
setidaknya menjadi bukti nyata bahwa banyak ayat Al-Qur’an yang ayat-nya
diawali dengan menyeru orang yang beriman. Setidaknya ada 89 ayat yang diawali
dengan kata “يا أيها الذين أمنوا”. Ini
menunjukkan bahwa karakter iman yang ada dalam diri seorang mukmin akan
menjadikan pribadinya sebagai seorang yang istimewa jika disandingkan dan
dibandingkan dengan selainnya.
Secara ‘aqli, mereka yang di dalam
dirinya terdapat karakter iman memiliki rasa percaya diri dalam setiap tindakannya.
Selalu yakin bahwa setiap langkahnya akan selalu dalam tuntunan dan
perlindungan-Nya, sehingga tidak ada rasa “takut” dan “khawatir” dalam dirinya.
Keyakinan ini terbentuk oleh karena adanya kemantapan hati bahwa Allah swt
senantiasa meridhai setiap langkahnya.
Keistimewaan mukmin ini disebutkan lagi dalam
hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ
صُهَيْبٍ - رضي الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ
ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا الْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Artinya: “Dari Shuhaib ra ia berkata: “Rasulullah
saw bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua
urusannya adalah kebaikan. Hal itu tidak ada dalam diri seorangpun selain
seorang mukmin, yaitu saat ia memperoleh kelapangan ia bersyukur, dan saat ia
ditimpa kesulitan, ia bersabar, dan hal ini pun juga merupakan kebaikan
baginya.” (HR. Imam Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa pribadi mukmin
merupakan karakter yang unik dan menarik. Karakter yang tidak sembarang “melekat”
pada diri seseorang. Karakter yang hanya
dimiliki oleh segelintir orang istimewa, dan tidak dimiliki oleh orang pada
umumnya.
Semua urusan akan menjadi baik bagi seorang
mukmin, namun tidak bagi selainnya. Orang mukmin bisa memetik hikmah di balik
semua peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan bahkan dialaminya. Ia tidak
pernah merasa “canggung”, “gugup” dan “baper” pada setiap apa yang ada pada
dirinya, sekitarnya dan setiap hal yang dialaminya.
Pada hadis di atas, yang disinggung adalah
saat dalam kondisi “lapang”. Banyak orang yang dalam kondisi “lapang” melupakan
bahwa setiap capaian yang diperolehnya sesungguhnya bermuara pada pemberian
Allah sebagai “amanah” yang mesti dipertanggungjawabkan. Kelapangan harta
misalnya, menuntut pemiliknya untuk bisa memanfaatkan harta yang dimiliki untuk
ditasharrufkan sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang diridhai-Nya. Kelapangan
dalam hal fisik misalnya, mesti dimanfaatkan dalam rangka untuk mengabdikan
diri kepada-Nya dengan semaksimal mungkin, pun pula kelapangan dalam hal
jabatan dan kedudukan. Banyak orang terjebak pada kelalaian, sehingga melupakan
bahwa semua titipan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Bahkan, tidak
jarang diantara mereka yang terjebak dalam “ujub dan takabbur” atas capaian
yang diperolehnya.
Sikap ini berbeda dengan orang yang di
dalamnya terdapat karakter iman. Orang yang dalam hatinya terdapat karakter
iman, mereka menyadari bahwa semua itu sesungguhnya hanya titipan dan amanah
yang akan dipertanggungjawabkan. Kesadaran ini menuntunnya untuk bersyukur
kepada Allah swt atas setiap capaian yang diperolehnya. Hal ini pula yang
mendorong mereka untuk senantiasa berhati-hati dalam setiap tindakannya agar
semuanya tidak keluar dari “shirat al-mustaqim”, jalan lurus, yakni
jalan orang-orang yang diberikan kepada mereka kenikmatan, bukan jalan mereka
yang dimurkai-Nya, bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.
Tidak hanya saat mereka memperoleh kelapangan,
bahkan seorang mukmin dalam kondisi “sulit” sekalipun, tetap bisa memperoleh
hikmah di balik kesulitan tersebut. Saat kesulitan datang, mereka bersabar
dengan ujian yang telah diberikan Allah swt kepadanya. Mereka yakin betul bahwa
segala sesuatu telah menjadi ketentuan dari-Nya, sehingga tidak perlu risau,
resah, gelisah dengan apa yang telah ditakdirkan-Nya kepada mereka.
Banyak orang seringkali merasa risau, resah
dan gelisah dengan takdir “kesulitan” dari Allah swt. Banyak juga diantara
mereka yang kemudian mengeluh, merasa berat hati atas ujian, dan musibah yang
ditimpakan kepadanya. Bahkan sebagian diantaranya, ada yang putus asa bahkan
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tentu, ini adalah sikap yang tidak sesuai
dengan karakter seorang mukmin.
Takdir, seperti apapun bentuknya, baik maupun
buruk, diterima dengan lapang maupun tidak, tidak akan berubah karena ia
merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Hal yang paling penting
adalah bagaimana kita mensikapi setiap takdir tersebut dengan bijaksana. Dan sikap
ini, hanya bisa diambil oleh seorang yang di dalam dirinya ada karakter “iman”.
Sungguh menakjubkan urusan mukmin. Semua menjadi
baik baginya. Tidak ada yang buruk. Semua merupakan pentas sandiwara yang telah
di skenariokan oleh-Nya, Allah swt. Semoga kita bisa menjadi seorang mukmin
yang sesungguhnya. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar