MOBILITAS KAUM ‘SANTRI’

 

MOBILITAS KAUM ‘SANTRI’

(Dari Kolonial Hingga Milenial)



Artikel ini sekadar ingin menyajikan gambaran kaum ‘santri’ sejak masa kolonial hingga era milenial. Akan tetapi, yang perlu dicatat, artikel ini bukan merupakan hasil penelitian yang identic dengan tata aturan yang ‘formal’, kaku, dengan perangkat metodologis yang disaratkannya. Namun, sekadar catatan berdasar ‘pemahaman terbatas’ penulis tentang ‘kaum santri’.

Terminology ‘santri’ tentunya sudah sangat akrab di telinga kita, khususnya masyarakat muslim Indonesia, terlebih masyarakat muslim pedesaan, tempat dimana umumnya pesantren ada dan berdiri dengan tatanan ‘kemandirian’-nya. Santri diartikan sebagai seorang yang mempelajari ilmu-ilmu agama bersama seorang kyai, figure kharismatik, dituakan, dan ditaati. Biasanya, santri tinggal di sebuah pesantren dimana di sana juga terdapat masjid atau setidaknya mushalla sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari.

Santri di Era Kolonial

Penulis tidak tahu secara pasti, kapan term ‘santri’ menjadi istilah ‘patent’ yang melekat pada para pencari ilmu di pesantren. Setidaknya, menurut literature yang pernah penulis baca, ada yang menyebut istilah ini mulai ada sejak Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau yang lebih populer dikenal dengan Kanjeng Sunan Gresik mendirikan tempat untuk mukim para murid yang belajar padanya. Literature lain menyebut bahwa Sayyid Ali Rahmatullah atau yang lebih dikenal dengan Kanjeng Sunan Ampel sebagai peletak cikal bakal nama ‘santri’.

Namun, penulis juga menemukan pendapat yang menyebut bahwa istilah ‘santri’ ini pada mulanya berasal dari kata ‘shastri’, yakni bahasa sansekerta yang digunakan oleh para biksu budha di era sebelum tersebarnya agama Islam untuk menyebut orang-orang yang tinggal di sekitaran ‘Biara’ untuk mendalami kitab suci.

Terlepas dari semua teori tentang asal muasal kata ‘santri’, pada sub ini, penulis ingin menyorot soal santri di era kolonial, masa dimana Indonesia masih berada di bawah ‘penindasan’ kaum penjajah. Kaum yang telah menindas dan mengeruk kekayaan nusantara untuk waktu yang cukup lama.

Kaum ‘santri’ di masa colonial pada awalnya, masih belum dianggap sebagai ancaman oleh pihak penjajah. Para penjajah umumnya menganggap bahwa kaum ‘santri’ hanya sekadar berkutat pada kegiatan ibadah, seperti ‘khitanan, hajatan, selamatan, haji’ dan sejenisnya. Laporan ini disampaikan oleh Van Bruinessen dalam bukunya tentang perkembangan thariqah qadiriyah wa al-naqsyabandiyyah (TQN). Kaum ‘santri’ hanya dipandang sebelah mata, dan tidak perlu ditakuti keberadaannya sebagai ancaman bagi kaum kolonial.

Namun ternyata, anggapan ini salah, kaum ‘santri’ ternyata berubah menjadi ancaman serius bagi kolonial. Para santri bukan saja belajar agama, serta sekadar melakukan perkumpulan selamatan, hajatan dan sejenisnya. Lebih dari itu, gerakan kaum santri menjadi bukti bahwa santri tidak hanya berkutat di pesantren saja, namun juga berskala nasional dalam bentuk ‘perlawanan’ terhadap segala bentuk ‘penindasan’ dan ‘penjajahan’.

Pada akhirnya kaum santri  banyak menunjukkan perannya sebagai para pejuang kemerdekaan yang memperjuangkan wilayahnya untuk meraih kemerdekaan. Selain itu, mobilitas santri dari sekadar ‘diam’ di pesantren menjadi kaum pejuang, meskipun masih banyak yang bersifat kedaerahan, cukup menjadi bukti, adanya mobilitas peran santri dari budaya ‘wiridan’ menjadi ‘pergerakan’. Sebut saja, perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan sebagainya, dimana mereka merupakan tokoh pejuang pahlawan nasional.

Santri Era Kemerdekaan

Pada sub ini, bidikan penulis adalah era dimana perjuangan telah berubah dari yang mulanya bersifat kedaerahan menjadi pergerakan yang terorganisir dan bersifat nasional hingga awal kemerdekaan. Era setelah ‘proklamasi kemerdekaan’ dibacakan.

Pasca Boedi Oetomo terbentuk, maka perjuangan yang awalnya bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan yang bersifat nasional. Banyak para pemuda yang kala itu mengenyam pendidikan, kemudian mendirikan berbagai organisasi baik yang bersifat keagamaan, sosial, maupun politik, tidak terkecuali kaum ‘santri’.

Para santri di era ini turut serta mengambil bagian dalam upaya untuk merebut kekuasaan. Fatwa-fatwa yang disampaikan oleh para ulama/kyai pada waktu itu juga sarat dengan ‘kepentingan’ untuk memperjuangkan ‘kemerdekaan’. Fatwa misalnya, yang menyebut bahwa hukum menggunakan celana, dasi dan jas, merupakan hal yang dimakruhkan dengan dalih bahwa hal itu menyerupai penjajah misalnya, merupakan salah satu diantara contoh agar para santri tidak mengikuti jejak-jejak penjajah yang notabene-nya, kafir, sebagai panutan.

Tentu, fatwa semacam ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman kala itu. Mengingat pentingnya memperkuat ‘konsolidasi internal’ agar solidaritas kelompok santri lebih kuat sehingga semangat jihad untuk meraih kemerdekaan juga semakin meningkat.

Di awal kemerdekaan, kaum ‘santri’ juga tidak mau ketinggalan. Kaum santri turut serta dalam menentukan arah bangsa. Para santri masuk dalam jajaran founding father untuk menyusun dan menyiapkan Negara baru yang akan dibentuk. Ini menunjukkan bahwa ‘santri’ tidak bisa dipandang sebelah mata. Santri bukan sekadar mereka yang belajar agama di pesantren dengan menghabiskan waktunya untuk memutar tasbih semata. Santri juga bukan sekadar populer dengan platform ‘kumuh, kusut, gudiken’, tetapi mereka bisa menjadi sosok yang siap mewarnai percaturan dalam menentukan arah Negara bangsa di bumi yang sarat akan kebhinekaan ini.

Pernyataan ini bukan sekadar pembelaan semata, namun berdasarkan data riil sejarah bangsa ini. Saat para ulama’ misalnya, mempersoalkan kepresidenan ‘Soekarno’, apakah ia sah sebagai presiden, dengan tegas Mbah Hasyim Asy’ari memfatwakan bahwa Soekarno sah sebagai ‘Wali Al-Amri Al-Dharuri’. Ini lah bukti peran santri yang begitu luar biasa dalam mengambil bagian dalam menentukan arah Negara bangsa baru bernama Indonesia.

Tidak hanya itu, saat terjadi agresi militer untuk merongrong kedaulatan NKRI yang baru saja berdiri, dengan tegas Mbah Hasyim bersama dengan para ulama lainnya, menyerukan ‘Resolusi Jihad’, yang dengannya semangat jihad para pemuda berkobar. Dengan bamboo runcing dan peralatan ala kadarnya, mereka berhasil menggetarkan hati para penjajah. Bahkan, mereka mencatatkan sejarah dengan membunuh ‘Jendral Mallaby’, kasus yang belum pernah dicatatkan peperangan lain, selain di Surabaya.

Santri Pasca Kemerdekaan

Pada sub ini yang penulis maksudkan adalah masa setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga era jatuhnya rezim orde baru. Santri dihadapkan dengan persoalan politik yang begitu chaos, disertai dengan adanya kelompok yang ingin merongrong keutuhan NKRI dan ingin mengganti faham Pancasila dengan komunis.

Komunis yang tumbuh dengan suburnya di era awal tahun 1960-an, bahkan berhasil menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan kala itu, nyatanya menyalahgunakannya untuk melakukan makar dengan menculik para jendral. Konfrontasi politik baik secara ideology maupun fisik turut serta mewarnai. Menurut cerita para orangtua, pihak komunis seringkali memprofokasi kaum santri dengan menggelar acara ketoprak dengan lakon, ‘Lahire Gusti Allah, Matine Gusti Allah’ dan sejenisnya. Tentu, ini menjadi hal meresahkan sekaligus menyesakkan dada kaum santri. Namun, santri jelas berdiri di atas prinsip yang kuat, ‘Tidak akan menyerang sebelum diserang’.

Pada akhirnya komunis melakukan penyerangan kepada kaum santri di daerah Kanigoro Keras Kediri saat mereka sedang melaksanakan jamaah shalat subuh. Akhirnya meletuslah gesekan-gesekan secara fisik yang pada akhirnya berhasil diselesaikan dengan dilarangnya komunis berkembang di bumi Indonesia.

Pada era-era ini pula, agaknya kaum santri terpecah. Ada yang memahami santri hanya sebagai santri yang belajar agama bersama dengan kyai di pesantren dan menutup diri dari berbagai bentuk kemodernan dan ada pula santri yang membuka diri dengan menerima berbagai bentuk perubahan.

Pada akhirnya, lambat laun banyak pesantren yang tidak alergi dengan arus kemodernan dan menyadari bahwa berbagai bentuk perubahan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dan diabaikan.

Pesantren dengan para santrinya, pada akhirnya turut serta dalam berbagai gerakan untuk mengisi kemerdekaan dengan keaneka ragaman kemampuan yang dimilikinya. Bahkan, tidak jarang kaum santri yang mengambil peran duduk di pemerintahan untuk turut serta menentukan kebijakan bagi kemajuan bangsa dan Negara.

Di akhir rezim orde baru, dimana krisis moneter merajalela, dan ditengarai bahwa ada penyelewangan dalam penggunaan ‘jabatan’ untuk meraih keuntungan secara pribadi dan kelompok, santri juga turut serta menyuarakan aspirasinya dengan turun ke jalan, yang berujung pada jatuhnya rezim orde baru. Tentu, semangat ini didasari atas keinginan para santri untuk meneguhkan NKRI sebagai Negara yang ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’. Namun, lagi-lagi keinginan itu bukan hal yang mudah diwujudkan oleh sebab itu masih dibutuhkan perjuangan panjang untuk bisa sampai pada cita-cita tersebut.

Fakta ini menunjukkan bahwa kaum santri memiliki peran signifikan dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Santri bisa menempatkan dirinya dalam berbagai situasi dan kondisi, termasuk diantaranya dalam dunia politik.

Santri di Era Milenial

Di era milenial, eksistensi ‘kaum santri’ serta kontribusinya bagi bangsa dan Negara semakin diakui. Bahkan, kaum santri menjadi idola baru, bukan hanya bagi kalangan tua, namun juga kalangan muda. Pengakuan eksistensi ini semakin kentara dengan ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai ‘Peringatan Hari Santri Nasional’.

Hingar bingar, riuh gembira mewarnai peringatan hari santri nasional di manapun berada. Banyak agenda kegiatan digelar. Semua itu merupakan bentuk penghargaan sekaligus penegasan pemerintah atas peran dan kontribusi santri bagi eksistensi bangsa ini.

Kebahagiaan di hari santri di era milenial yang sarat dengan kemajuan teknologi informasi semakin lengkap dengan beragam twibbone yang umumnya menegaskan eksistensi santri. Tentu, hal ini memiliki nilai positif bagi eksistensi kaum santri, pun pula sebaliknya, jika tidak diwaspadai bukan tidak mungkin hal ini akan memicu dampak negative.

Sebagai ‘renungan’ sederhana, ‘ngaji’ sebagai identitas khusus bagi santri, seringkali terabaikan. Madrasah-madrasah di desa umumnya, setelah para santri memasuki usia SMP, sudah jarang mau belajar di madrasah. Sederhana saja alasannya, jam sekolah dan kegiatan-kegiatan di sekolah banyak yang ‘over’ sehingga menyebabkan mereka lebih memilih sekolah ketimbang ke madrasah. Tentu, hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama, agar santri tetap terus ‘ngaji’ meskipun mereka telah memasuki jenjang SMP sampai perguruan tinggi.

Antara madrsah, pesantren dan sekolah merupakan hal yang saling mendukung dan saling menguatkan satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, orangtua seyogyanya juga mengawal dan memastikan agar anak-anaknya tetap istiqamah ke pesantren, madrasah dan sekolah. Jangan sampai hanya memprioritaskan salah satu diantaranya sehingga menambah ketimpangan hidup ‘anak-anaknya.’ Hanya sekadar mengajar ‘dunia’ mungkin dengan pendidikan umumnya, atau sebaliknya, hanya memprioritaskan ‘akhirat’ dengan pendidikan madrasah/pesantren tanpa mensekolahkan,

Di era milenial ini, tantangan santri begitu dahsyat. Laju perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, tidak terbendungkan lagi. Oleh sebab itu, santri tidak boleh menutup diri. Santri harus mengambil peran dalam mengawal kemajuan agar menjadi hal yang bermanfaat bagi kehidupan, baik di dunia maupun akhirat. Jangan sebaliknya, menutup diri, dengan dalih menghindar dari kehidupan duniawi yang fana’. Bukankah khalifah fi al-ardli adalah jabatan bagi makhluk bernama manusia? Jika demikian halnya, maka santri lah yang paling tepat memegang jabatan itu, karena dalam dirinya terdapat keseimbangan orientasi dunia akhirat.

Komentar