Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 April 2017

Kajian Tasawuf Jilid III



Kajian Tasawuf Jilid III
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)


Alhamdulillah sore ini Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung kembali bisa menggelar kajian tasawuf untuk kali ketiga. Sungguh satu kebahagiaan bagi seluruh keluarga besar Ma’had al-Jami’ah dan semua yang terlibat di dalamnya. Paling tidak kajian ini telah istiqamah dijalankan untuk kali yang ketiga pada tiap – tiap Jum’at sore sembari menunggu waktu ceklok pulang.

Sore ini kajian tasawuf membahas untaian mutiara hikmah al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari yang ketiga:
سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار
Artinya: “Keterdahuluan aspirasi – aspirasi (himam) tidak akan mampu mengoyak dinding – dinding takdir”

Perjalanan menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT adalah perjalanan ruhani yang penuh dengan berbagai ujian dan hambatan. Adakalanya seseorang mampu melalui ujian – ujian tersebut, dan bahkan banyak juga yang tidak mampu melampauinya.

Karena sulitnya perjalanan menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah, maka para ulama, khususnya mereka yang menekuni dunia tasawuf menganjurkan agar seseorang yang hendak menuju ke hadlrah qudsuyah-Nya Allah untuk mencari seorang guru yang telah mencapai iman yang sempurna dan mampu menyempurnakan iman muridnya (guru kamil mukammil). Dalam dunia thariqah guru semacam ini dikenal dengan nama al-Mursyid.

Seorang mursyid diperlukan untuk mengarahkan dan membimbing seorang murid agar tidak terpengaruh terhadap berbagai tipu daya nafsu dan setan iblis yang selalu berusaha untuk menjerumuskan salikin ke jalan yang sesat. Semakin naik perjalanan yang ditempuh seorang salik, maka semakin halus dan sulit dikenali tipuan dan hasutan nafsu dan iblis. Bila tidak ada yang membimbing boleh jadi ia terjerumus pada syak wasangkanya seolah ia sampai ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah, namun ternyata itu adalah tipuan yang disiapkan iblis untuk menjerumuskannya.

Termasuk di antara ujian yang diberikan Allah kepada para salikin yang semakin menapaki tingkat yang tinggi adalah munculnya berbagai kelebihan berupa terjadinya sesuatu yang ia inginkan. Dalam dunia sufi kuatnya hati sehingga mampu mewujudkan sesuatu sebagaimana yang ia inginkan dengan seizin Allah ini disebut dengan himah.

Selain kata himmah ada juga yang menyebutnya dengan “kun”, dalam bahasa Jawa disebut dengan ungkapan “Sabdo panditho ratu”. Seorang yang dalam maqam ini terkadang “ngidap – ngidapi”, menakjubkan bagi orang awam yang melihat dan menyaksikannya. Apa yang menjadi keinginannya langsung ijabah, bahkan bila perlu sekedar “khatir”, krenteg ati, langsung ijabah.

Seseorang yang dalam maqam ini seringkali dimasyhurkan dilingkungan masyarakat awam sebagai seorang wali. Ia diyakini sebagai seorang keramat. Do’anya ampuh, firasatnya tembus sehingga banyak hal yang  dikatakannya menjadi kenyataan.

Di Jawa, kita mengenal wali songo. Konon para wali ini juga diberi kemampuan oleh Allah untuk melakukan hal yang sama dengan gambaran di atas. Kita juga mengenal sosok ulama kharismatik yang memiliki kemampuan seperti ini semisal Syaikhana Khalil Bangkalan, Syaikhana Mohammad Ma’roef  Kedunglo Kediri,Syaikhana Abdoel Madjied Ma’roef  Kedunglo Kediri, Syaikhana Hamim Jazuli (Gus Miek) Ploso Kediri, Syaikhana Mubasyir Mundzir Bandar Kidul Kediri, -Semoga rahmat Allah atas mereka semua, dan sederetan ulama lain. Mereka diberi keistimewaan sehingga ucapannya bisa menjadi kenyataan, do’anya ijabah dan seterusnya dengan seizin Allah SWT.

Meski telah mencapai maqam seperti itu, al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari mengatakan, bahwa sawabiqul himam itu tidak akan mampu mengoyak dinding – dinding takdir yang telah ditentukan Allah SWT. Artinya, meski seseorang telah sampai pada maqam ini, namun sesungguhnya apa yang terjadi itu bukan semata karena kemampuan yang mereka miliki, melainkan semua itu bersamaan dengan takdir Allah yang menghendaki terjadinya hal tersebut.

Bagi orang awam kelebihan – kelebihan yang berupa “asrar kauniyah” itu dianggap sebagai karomah para auliya. Karomah adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada para auliya yang tidak bisa dipelajari. Ia hanyalah sebuah pemberian yang diberikan Allah SWT.

Terkadang juga ada kejadian – kejadian yang luar biasa yang tidak bisa dijangkau oleh akal, tetapi munculnya dari seseorang yang bukan walinya Allah. Kejadian diluar nalar manusia yang muncul dari wali disebut karamah, sementara yang muncul dari selainnya adalah bentuk “istidraj”, penglulu dan tipu daya bagi pemiliknya agar semakin tersesat. Kedua – duanya sama – sama hal yang luar biasa, bedanya yang satu bersamaan dengan ridla Allah sementara yang lain tidak, atau bahkan bersama dengan murka-Nya Allah SWT.

Meskipun seseorang telah memiliki himam sebagaimana di atas yang harus diyakini adalah bahwa semua itu pada dasarnya adalah asbab yang tidak ada pengaruhnya  dan pelakunya hakikatnya adalah Allah SWT sendiri.

Oleh karena hal itu sesungguhnya tidak ada pengaruh dan faidahnya, maka seorang salik tidak seharusnya menyibukkan diri dengan urusan himam. Dengan kata lain, himam itu sesungguhnya adalah salah satu di antara bentuk ujian yang diberikan Allah kepada seorang salik yang menuju ke hadlrah qudsyah-Nya Allah SWT.

Di sini-lah, menurut para ulama –ahli tasawuf, banyak sekali di antara para salikin yang berhenti pada urusan himam, berhenti pada urusan karamah sehingga mereka bukannya sampai kepada Allah, tetapi terhenti pada kesibukannya mengurusi karamah. Mereka terpedaya oleh karamah. Maka diingatkan oleh al-Syaikh Ibnu Athaillah:

من عمل لله فهو عبد الله ومن عمل لأجل الكرامة أو الدرجة فهو عبد لها

Artinya: “Barangsiapa berbuat (beramal) semata ikhlas karena Allah, maka dialah hamba Allah, dan barangsiapa yang berbuat (beramal )karena karamah atau derajat maka ia adalah hambanya (karamah dan darajat)”

Begitulah lembutnya permainan nafsu untuk menjerumuskan seorang salik dalam perjalanan menuju hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT. Saking lembutnya terkadang seorang salik tidak menyadari bahwa ia sedang tertipu. Butuh seorang yang membimbingnya agar ia tidak terjerums ke lembah keterpurukan.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…



Selasa, 18 April 2017

Radikalisme Vs Liberalisme



Radikalisme Vs Liberalisme

Dua istilah populer yang saling berhadapan namun memiliki kesamaan –setidaknya menurut saya. Kedua istilah ini sangat populer di tengah kehidupan masyarakat kita. Seringkali kedua istilah ini dihadapkan dan diperlawankan satu dengan lainnya.

Istilah pertama, radikalisme merujuk pada kelompok Islam garis keras, yang kerap kali dalam menjalankan aksinya untuk menegakkan syariat, menggunakan cara – cara kekerasan. Bahkan tidak jarang dalam melakukan aksinya mereka juga menggunakan simbol – simbol agama. Harus diakui mereka kelewat berani dalam bersikap hingga dalam pandangannya mati dalam berjihad –tentunya dalam versi mereka, jaminannya adalah surga.

Kelompok dengan tipe semacam ini di Indonesia tidak seberapa banyak. Ada tapi tidak banyak, mungkin karena iklim masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan model kelompok semacam ini. Di samping itu naluri tiap insane pasti mendambakan kedamaian, hidup berdampingan tanpa ada percekcokan. Inilah yang lebih disukai masyarakat, sikap toleran yang berujung pada kehidupan damai, aman dan sejahera. Lagi pula, Negara ini bukanlah Negara Islam sebagaimana Timur Tengah. Negara ini dibangun di atas semangat kebhinekaan, beragam tetapi tetap satu jua. Tidak ada alasan menyerang kelompok lain, terutama agama lain yang dianggap melanggar syariat Islam. Hukum yang ada di Negara inipun bukanlah hukum Islam, tetapi hukum positif yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Di sisi lain, ada kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok liberal. Bila kelompok radikal memiliki tipe temperamental, keras, dan kaku, kelompok liberal justru bersikap sebaliknya. Kelompok ini bersikap sangat toleran bahkan toleransinya kelewat berlebihan. Bagaimana tidak, semua agama dianggap sama. Semua memiliki tujuan yang sama. Bahkan kadang – kadang kelompok ini juga membela kelompok – kelompok yang secara nyata sudah menyimpang dengan alasan pluralism dan semangat humanism.

Dalam sejarah Islam klasik kelompok radikal ini terepresentasikan oleh kelompok khawarij. Kelompok yang keluar dari barisan khalifah Ali yang berkeyakinan bahwa mereka yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah pelaku dosa besar, kafir dan wajib dibunuh. Suatu sikap yang ekstrim yang berakibat pada terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib.

Sementara di sisi lain saya menganggap bahwa kaum liberal identik dengan mu’tazili, kelompok umat Islam yang mendewakan akalnya. Kebenaran lebih banyak diukur dengan pemikiran – pemikiran rasional. Kelompok ini bahkan berani mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk yang bisa disejajarkan dengan teks – teks sastra lain pada umumnya. Pandangan ini pula yang kemudian mengantarkan pada wacana pendekatan pemahaman al-Qur’an dengan menggunakan metode interpretasi hermeneutika, termasuk di antaranya terjadinya pengusiran Nashr Hamid Abu Zaid dari Mesir karena mencoba menawarkan pendekatan pemahaman al-Qur’an dengan metode ini.

Bagi saya, kedua kelompok ini memiliki persamaan yang bisa membahayakan umat khususnya kaum awam. Berbeda dengan para akademisi, umumnya mereka bisa mendudukkan sesuatu pada tempatnya, terbiasa dengan berbagai kajian, sehingga lebih bisa bersikap moderat dalam menghadapi persoalan yang mencuat ke permukaan.

Kelompok pertama berbahaya bagi kaum awam karena nyatanya kaum awamlah yang paling mudah terprovokasi oleh orasi – orasi yang disuarakan atas nama ketuhanan. Tidak jarang mereka yang ikut serta dalam kelompok – kelompok ini di dominasi oleh mereka yang kurang belajarnya dalam hal ilmu agama di pesantren. Oleh karenanya begitu mereka menerima informasi yang masih belum utuh mereka mudah terprovokasi dan ikut larut di dalamnya.

Selain itu kelompok ini seringkali menyebabkan Islam terpojokkan oleh karrena Islam dianggap sebagai agama pedang yang intoleran. Fakta di lapangan menunjukkan berapa banyak korban swipping yang dilakukan oleh kelompok – kelompok semacam ini. Bila hal ini terjadi boleh jadi dakwah Islam justru akan terhalang lantaran perbuatan mereka yang dinilai kejam dan meresahkan.

Di sisi lain kelompok kedua juga memiliki bahaya yang sama dengan kelompok pertama. Letak bahaya pada kelompok dengan tipe kedua adalah terjadinya kebingungan dalam pemikiran masyarakat awam, terutama dalam menentukan sebuah kebenaran, apa ukurannya dan bagaimana cara mengambil sikap bila terjadi permasalahan di tengah masyarakat. Kelompok ini seringkali menganggap bahwa pada dasarnya semua itu sama dan tidak ada yang lebih benar, karena bagi mereka kebenaran itu relatif. Kebenaran sangat bergantung pada pandangan subjek pelakunya sehingga setiap orang memiliki peluang yang berbeda dalam menentukan kebenaran dan semua itu harus dihargai.

Akibat terfatal dari kelompok semacam ini adalah ketidak berlakunya amar ma’ruf nahi mungkar yang diperintahkan oleh ajaran agama Islam. Padahal bila merujuk pada Surat al-Maidah (5); 78 - 79:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)

Artinya: Telah dilaknati orang – orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Q.S. al-Maidah (5); 78 – 79)

Secara tegas ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Bani Israil dilaknat oleh Allah SWT. dengan lisan Nabi Daud dan Isa putra Maryam lantaran sikap keterlaluan mereka. Mereka tidak melarang teman mereka yang melakukan kesalahan, tidak berusaha meluruskan kesalahan mereka agar kembali kepada jalan yang benar. Alasannya lagi – lagi semangat toleransi dan kemanusiaan. 

Lantas bagaimana semestinya kita bersikap? Sebagai seorang muslim seharusnya kita bersikap tengah – tengah, istilahnya tawasuth, tawazun dan i’tidal harus tetap menjadi landasan berpijak saat melangkah. Inilah prinsip yang dipakai oleh Islam ala ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Kita toleran terhadap siapa saja tetapi ingat ada saatnya toleran itu terbatasi dalam beberapa hal. Dengan tetap berpijak pada asas ini, maka keseimbangan dalam Islam akan tetap terjaga. Amar ma’ruf tetap ditegakkan, toleransi tetap dijaga sehingga Islam yang cinta damai akan tetap bisa dipertahankan.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Jumat, 22 Juli 2016

Perubahan Sikap




“Perubahan paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap. Sikap yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar” (William J. Johnson)

Dalam kehidupan tentunya setiap orang pernah mengalami kegagalan disamping pernah mengalami keberhasilan. Saat menemui keberhasilan banyak orang yang bersikap berlebihan pun pula ada yang bersikap biasa saja. Sebaliknya, saat mengalami kegagalan ada orang yang bersikap tabah dan tawakkal menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan Allah kepadanya tetapi tidak jarang juga ada orang yang lantas merasa terpuruk dan jatuh dalam keterputusasaan.

Nah, disinilah pentingnya seseorang mengelola kondisi hatinya sehingga dia bisa menetukan tindakan yang benar dalam perjalanan hidupnya. William J. Johnson mengingatkan kepada kita pentingnya menentukan sikap yang benar dalam hidup ini. Sikap akan menentukan perilaku yang muncul dalam keseharian kita.

Pemilihan sikap yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar pula. Tetapi sebaliknya penentuan sikap yang salah akan berdampak pada tindakan kita yang salah. Tindakan yang benar akan membawa dampak positif bagi pelakunya sehingga akan mengantarkan pelakunya kepada kesuksesan dimasa yang akan datang. Sebaliknya tindakan yang salah akan berujung pada penyesalan di kemudian hari.

Oleh karena itulah setiap orang harus menentukan sikap yang benar dalam hidupnya. Bagaimana ia memandang kehidupan ini? Apakah dia memandang hidup adalah tempat untuk sekadar berfoya – foya dan bersenda gurau belaka? Atau ia memandangg hidup adalah sebuah proses panjang dalam sejarah manusia yang penuh dengan liku – liku yang kesemuanya harus di hadapi dengan hati yang besar. Hati yang siap menerima segala bentuk ujian yang menempa diri menjadi pribadi yang kuat dan tahan terhadap ujian. Semua tergantung pada pilihan sikap kita… Semoga bermanfaat… Amin

Jumat, 27 Mei 2016

Jangan Terburu - buru



لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْأَنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْأَنَهُ (18)

            Artinya: “Janganlah engkau terburu – buru menggerakkan lisanmu untuk menghafalnya (al Qur’an) (16) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dalam hatimu dan membacakannya (17) Maka ketika Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya(18)”. (Q.S. al Qiyamah; 16 – 18)

Secara eksplisit khitab ayat diatas adalah Nabi Muhammad SAW ketika beliau menerima wahyu dari Allah SWT melalui perantaraan Malaikat Jibril. Disaat Malaikat Jibril menyampaikan al Qur’an beliau ingin segera menghafal dengan mengikuti bacaan Malaikat Jibril meski ia belum selesai membacakan wahyu tersebut. Oleh karena itulah Allah menegur beliau dengan menurunkan ayat ini.

Meski secara eksplisit khithabnya adalah Nabi Muhammad SAW akan tetapi kalua kita mau memperhatikan dan mencermati lebih dalam lagi khitab ini bisa berlaku umum untuk semua umat islam. Ayat ini mengisyaratkan bahwa salah satu sifat naluriah yang ada dalam diri manusia adalah sifat terburu – buru (‘ajalah).

Sifat ‘ajalah atau terburu – buru bukanlah sifat yang baik. Sifat terburu – buru pada hakikatnya berasal dari syaithan. Syaithan adalah musuh yang nyata bagi setiap anak Adam. Oleh karena itu apapun akan dia lakukan demi untuk menyesatkan manusia. Kecenderungan manusia selalu menginginkan hal yang serba instan, cepat dan segera. Sifat semacam ini akhirnya seringkali mendorong manusia untuk berlaku diluar ketentuan yang seharusnya, melanggar norma dan aturan yang ada. Hal inilah yang menyebabkan mereka terjebak dalam kehidupan semu yang tidak membuat hati mereka bahagia.

Di era modern semacam ini kemampuan masyarakat semakin meningkat didukung dengan tersedianya berbagai fasilitas yang mendukung mereka untuk melakukan segala hal dalam waktu sesingkat singkatnya. Dalam hal makanan misalnya,, banyak produk instan yang disuguhkan dan disajikan dengan iklan dan promosi yang sangat menggiurkan tentunya. Masyarakat modern cenderung menikmati hal hal ini sebagai pola keshariannya, padahal kalua mau berfikir efeknya sungguh sangat berbahaya. Demikian halnya dengan minuman dan produk lain semisalnya.

Inilah semestinya hal yang perlu diperhatikan dan perlu diantisipasi oleh setiap manusia. Jangan mudah percaya dengan iklan dan layanan yang serba instan (‘ajalah). Tidak mungkin kesuksesan bisa diraih dengan cara yang instan. Semua hal memerlukan proses yang terus menerus dan berkesinambungan. Usaha yang sungguh – sungguh akan menjadi modal kita neraih kesuksesan dimasa yang akan datang. Ingatlah qaul ba’dlul ‘ulama:

إِجْهَدْ وَلَا تَكْسَلْ وَلَا تَكُ غَافِلًا فَنَدَامَةُ الْعُقْبَي لِمَنْ يَتَكَاسَلُ

Artinya: “Bersungguh – sungguhlah dan jangan malas dan jangan engkau lengah, karena penyesalan itu adalah bagi mereka yang malas.”