Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Mei 2017

Musabaqah Qira'at al-Kutub



Musabaqah Qira’at al-Kutub

(Ma’had al-Islamiy al-Salafiy “Manba’ul ‘Ulum” Sempu Sukorejo Udanawu Blitar)


Ramah Tamah di Dalem Selesai Musabaqah 

Menjelang “Haflat al-Tasyakkur li al-Ikhtitami Jami’i al-Durus wa Jami’i al-Kutub al-Mu’allamah”,  Ma’had al-Islamiy al-Salafiy “Manba’ul ‘Ulum” mengadakan serangkaian kegiatan musabaqah. Musabaqah itu terbagi dalam dua bentuk, yakni musabaqah jasmaniyah dan ruhaniyah.

Tadi malam musabaqah yang berlangsung adalah musabaqah qira’at al-kutub. Musabaqah ini diikuti oleh semua santri yang ada, baik santri mukim maupun santri laju. Musabaqah dimulai pada sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pada sekitar pukul 01.30 WIB.

Semalam saya diberi amanat oleh para panitia yang terdiri dari santri senior yang pada tahun ini telah mengkhatamkan al-fiyah ibnu Malik untuk menjadi dewan juri bersama beberapa asatidz yang lain. Sungguh satu kesempatan yang kiranya perlu untuk disyukuri dan dimanfaatkan sekaligus sebagai sarana untuk menempa kualitas diri saya khususnya.

 Bersama Para Asatidz Ma'had

Ada banyak hal yang menarik dalam kegiatan ini. Banyak santri yang menunjukkan kebolehan mereka dalam membaca kitab – kitab turats. Mereka membacanya dengan berbagai logat yang terkadang terkesan lucu.

Perbedaan logat mereka tentu dipengaruhi oleh faktor daerah asal mereka. Perlu diketahui bahwa santri yang mukim di pesantren ini tidak hanya berasal dari daerah blitar, akan tetapi para santri berasal dari berbagai daerah yang tersebar di Jawa, Sumatera dan beberapa daerah lain.

Penampilan Santri




Penampilan Santri
Yang paling lucu adalah ketika para santri yang berasal dari daerah Kebumen, Cilacap dan beberapa daerah sekitarnya. Logat “ngapak” yang kental dan melekat pada diri mereka menjadi satu hal yang menjadi titik menarik sendiri bagi saya.

Selain itu ada juga beberapa santri yang menampilkan penampilan yang dimaksudkan sebagai hiburan, tetapi dikemas dengan cara menarik ala ngaji pesantren. Termasuk di antaranya adalah fenomena tentang “Om Tololet Om” yang diangkat dalam bentuk makna gandul, puisi remaja dan seterusnya. Memang hal ini hanyalah sebagai hiburan agar para semakin larut santri tidak kehilangan gairahnya dalam menunjukkan kebolehan membaca kitab – kitab al-turats.

Kekurangan, tentu juga menjadi hal yang tak terelakkan, apalagi bagi mereka yang masih tahap pemula. Selain mereka dituntut untuk membaca kitab turats dengan makna gandul, mereka juga dituntut untuk membaca muradnya dengan bahasa Jawa.

Penyerahan Hadiah bagi para Juara Pa



Bagi mereka yang terbiasa dengan bahasa Jawa karena daerah asalnya adalah Jawa, tentu bukan hal yang terlalu sulit, tetapi bagi mereka yang belum begitu menguasai bahasa Jawa akan menjadi kendala tersendiri sehingga terkadang memunculkan kelucuan yang tak terduga.

Penyerahan Hadiah bagi Para Juara PI



Apapun yang terjadi itulah kemampuan dari para santri yang masih dalam tahap belajar. Semoga saja apa yang mereka dapatkan di pondok kelak akan menjadi sesuatu yang bermanfaat di kemudian hari, khususnya saat mereka harus terjun berjuang dalam kehidupan masyarakat di daerahnya masing – masing.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Rabu, 03 Mei 2017

Berbagi Bersama Warga Binaan



Berbagi Bersama Warga Binaan


Kemarin, Selasa 02 Mei 2017, menjadi satu moment berharga bagi saya. Pasalnya nyali saya diuji untuk berbagi pengetahuan bersama dengan para warga binaan di Lapas kelas II Tulungagung. Saya berangkat kesana bersama ustadz Wikan Galuh Widyarto, M.Pd. seorang dosen muda berbakat yang kebetulan ditempatkan sekantor dengan saya di Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung.

Kami berangkat pukul 13.00 WIB dari kantor Ma’had al-Jami’ah. Sesampai di Lapas kami langsung disambut oleh para petugas dan disilahkan langsung menuju ke Masjid, tempat di mana kegiatan akan di adakan.

Tentu hati dan pikiran berkecamuk, antara berani dan tidak. Maklum, masih kali pertama. Meski demikian tetap saja harus dijalani. Kapan lagi saya bisa menempa diri bila kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya.

Pengalaman pertama tentu tidak seperti pengalaman – pengalaman yang lain. Pasti pengalaman pertama akan memberikan kesan yang mendalam, meski harus diakui bahwa pengalaman pertama selalu saja kurang atau bahkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Begitulah perjalanan kehidupan. Seringkali kita berangan – angan tentang sesuatu, namun sesering itu pula kita akan dihadapkan pada persoalan yang sama, yakni ketidak sesuaian antara apa yang kita inginkan dengan kenyataan yang kita terima.

Tetapi di sinilah sesungguhnya letak dari proses pembelajaran itu. Dengan langsung terjun pada lapangan yang menantang sesungguhnya proses pembelajaran itu semakin akan mencapai titik maksimal. Sebaliknya jika proses pembelaran hanyalah sebatas teori tanpa ada proses terjun secara langsung di lapangan, maka sesungguhnya yang ada hanyalah sebatas angan – angan belaka.

Meski menurut saya masih banyak hal yang perlu saya perbaiki, tetapi setidaknya saya beryukur mendapat kesempatan ini. Kesempatan yang mungkin bagi sebagian orang langka.

Pada kesempatan itu saya menyampaikan tentang pentingnya menanamkan rasa optimis dalam diri. Jujur saya sampaikan, tidak ada di antara manusia yang ada di dunia ini tahu nasibnya di masa yang akan datang. Bahkan seorang yang bertitel kyai, ustadz, ulama, menteri, presiden dan sebagainya pun mereka tidak tau dan tidak berani menjamin apakah mereka kelak akan menjadi penghuni surga atau tidak.

Boleh jadi selama di dunia seseorang dikenal sebagai ahli ibadah yang taat kepada Allah SWT. Bahkan tidak jarang banyak orang yang menyebutnya sebagai seorang “wali Allah”, tetapi sekali lagi itu adalah pandangan manusia. Lantas bagaimana dalam pandangan Allah?

Bisa jadi Allah memandang ia sebagai wali-Nya, sebaliknya boleh jadi juga justru ia adalah orang yang paling dibenci Allah. Oleh karena itu maka tidak ada orang yang berhak untuk memproklamirkan dirinya sebagai orang baik, apalagi penghuni surga.

Bahkan kalau kita mau jujur, sesungguhnya umur yang diberikan Allah SWT kepada kita ini, lebih banyak digunakan untuk berbuat maksiat dan dosa kepada Allah. mungkin saja Allah menjatah hidup kita selama 80 tahun, tetapi sesungguhnya dari 80 tahun usia kita yang kita gunakan untuk mengabdi kepada Allah tidak lebih dari 30 tahun. Belum lagi bila kita lihat dalam ibadah kita, seberapa detik dalam shalat kita, yang benar - benar ingat kepada Allah SWT. Lantas apa yang mau kita banggakan dari amal perbuatan kita.

Sehubungan dengan bulan Rajab yang baru saja berlalu, saya juga menyampaikan kepada mereka agar senantiasa meningkatkan kualitas shalatnya. Shalat adalah amal ibadah yang pertama kali akan ditanyakan Allah SWT besuk di yaumil qiyamah. Bila shalatnya baik, maka semua ibadahnya dianggap baik. Sebaliknya, jika shalatnya jelek, maka semua ibadah lain diluar shalat dianggap jelek.

Selain itu juga saat ini sudah memasuki bulan Sya’ban. Betapa banyak di antara saudara, sahabat, handai tolan ataupun orang – orang yang kita kenal, mereka tidak mendapat kesempatan yang sama sebagaimana yang kita dapatkan. Oleh karenanya sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah SWT dengan menggunakan semua nikmat yang diberikan Allah SWT sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.

Di bulan Sya’ban ada malam nisfu Sya’ban, di mana para ulama salaf al-shalih menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak ibadah kepada Allah. Biasanya di desa –desa digelar acara malam nisfu Sya’ban dengan membaca Surat Yasin tiga kali. Pertama, niat memohon kepada Allah SWT agar diberikan panjang umur, dalam arti barakah umurnya. Umur yang diberikan Allah menjadi umur yang bisa bermanfaat. Kedua, niat memohon rizki halal. Dengan masuknya makanan halal ke dalam tubuh, maka anggota tubuh akan tergerak untuk ibadah dan taat kepada perintah Allah. Ketiga, niat memohon kepada Allah diberikan husnul khatimah. Seberapa banyak amal yang kita lakukan, namun bila akhirnya kita mati dengan su’ul khatimah maka tempat kembali kita adalah neraka. Sebaliknya meski banyak dosa dan maksiat yang dilakukan tetapi bila kembali kepada Allah dengan husnul khatimah, Insya Allah surga telah menantikan.

Kegiatan di akhiri dengan do’a dan shalat Ashar berjamaah. Sungguh satu kesempatan yang istimewa. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran bagi saya dan bisa memperbaiki kualitas diri ke depannya. 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Sabtu, 29 April 2017

Kajian Tasawuf Jilid III



Kajian Tasawuf Jilid III
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)


Alhamdulillah sore ini Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung kembali bisa menggelar kajian tasawuf untuk kali ketiga. Sungguh satu kebahagiaan bagi seluruh keluarga besar Ma’had al-Jami’ah dan semua yang terlibat di dalamnya. Paling tidak kajian ini telah istiqamah dijalankan untuk kali yang ketiga pada tiap – tiap Jum’at sore sembari menunggu waktu ceklok pulang.

Sore ini kajian tasawuf membahas untaian mutiara hikmah al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari yang ketiga:
سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار
Artinya: “Keterdahuluan aspirasi – aspirasi (himam) tidak akan mampu mengoyak dinding – dinding takdir”

Perjalanan menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT adalah perjalanan ruhani yang penuh dengan berbagai ujian dan hambatan. Adakalanya seseorang mampu melalui ujian – ujian tersebut, dan bahkan banyak juga yang tidak mampu melampauinya.

Karena sulitnya perjalanan menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah, maka para ulama, khususnya mereka yang menekuni dunia tasawuf menganjurkan agar seseorang yang hendak menuju ke hadlrah qudsuyah-Nya Allah untuk mencari seorang guru yang telah mencapai iman yang sempurna dan mampu menyempurnakan iman muridnya (guru kamil mukammil). Dalam dunia thariqah guru semacam ini dikenal dengan nama al-Mursyid.

Seorang mursyid diperlukan untuk mengarahkan dan membimbing seorang murid agar tidak terpengaruh terhadap berbagai tipu daya nafsu dan setan iblis yang selalu berusaha untuk menjerumuskan salikin ke jalan yang sesat. Semakin naik perjalanan yang ditempuh seorang salik, maka semakin halus dan sulit dikenali tipuan dan hasutan nafsu dan iblis. Bila tidak ada yang membimbing boleh jadi ia terjerumus pada syak wasangkanya seolah ia sampai ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah, namun ternyata itu adalah tipuan yang disiapkan iblis untuk menjerumuskannya.

Termasuk di antara ujian yang diberikan Allah kepada para salikin yang semakin menapaki tingkat yang tinggi adalah munculnya berbagai kelebihan berupa terjadinya sesuatu yang ia inginkan. Dalam dunia sufi kuatnya hati sehingga mampu mewujudkan sesuatu sebagaimana yang ia inginkan dengan seizin Allah ini disebut dengan himah.

Selain kata himmah ada juga yang menyebutnya dengan “kun”, dalam bahasa Jawa disebut dengan ungkapan “Sabdo panditho ratu”. Seorang yang dalam maqam ini terkadang “ngidap – ngidapi”, menakjubkan bagi orang awam yang melihat dan menyaksikannya. Apa yang menjadi keinginannya langsung ijabah, bahkan bila perlu sekedar “khatir”, krenteg ati, langsung ijabah.

Seseorang yang dalam maqam ini seringkali dimasyhurkan dilingkungan masyarakat awam sebagai seorang wali. Ia diyakini sebagai seorang keramat. Do’anya ampuh, firasatnya tembus sehingga banyak hal yang  dikatakannya menjadi kenyataan.

Di Jawa, kita mengenal wali songo. Konon para wali ini juga diberi kemampuan oleh Allah untuk melakukan hal yang sama dengan gambaran di atas. Kita juga mengenal sosok ulama kharismatik yang memiliki kemampuan seperti ini semisal Syaikhana Khalil Bangkalan, Syaikhana Mohammad Ma’roef  Kedunglo Kediri,Syaikhana Abdoel Madjied Ma’roef  Kedunglo Kediri, Syaikhana Hamim Jazuli (Gus Miek) Ploso Kediri, Syaikhana Mubasyir Mundzir Bandar Kidul Kediri, -Semoga rahmat Allah atas mereka semua, dan sederetan ulama lain. Mereka diberi keistimewaan sehingga ucapannya bisa menjadi kenyataan, do’anya ijabah dan seterusnya dengan seizin Allah SWT.

Meski telah mencapai maqam seperti itu, al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari mengatakan, bahwa sawabiqul himam itu tidak akan mampu mengoyak dinding – dinding takdir yang telah ditentukan Allah SWT. Artinya, meski seseorang telah sampai pada maqam ini, namun sesungguhnya apa yang terjadi itu bukan semata karena kemampuan yang mereka miliki, melainkan semua itu bersamaan dengan takdir Allah yang menghendaki terjadinya hal tersebut.

Bagi orang awam kelebihan – kelebihan yang berupa “asrar kauniyah” itu dianggap sebagai karomah para auliya. Karomah adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada para auliya yang tidak bisa dipelajari. Ia hanyalah sebuah pemberian yang diberikan Allah SWT.

Terkadang juga ada kejadian – kejadian yang luar biasa yang tidak bisa dijangkau oleh akal, tetapi munculnya dari seseorang yang bukan walinya Allah. Kejadian diluar nalar manusia yang muncul dari wali disebut karamah, sementara yang muncul dari selainnya adalah bentuk “istidraj”, penglulu dan tipu daya bagi pemiliknya agar semakin tersesat. Kedua – duanya sama – sama hal yang luar biasa, bedanya yang satu bersamaan dengan ridla Allah sementara yang lain tidak, atau bahkan bersama dengan murka-Nya Allah SWT.

Meskipun seseorang telah memiliki himam sebagaimana di atas yang harus diyakini adalah bahwa semua itu pada dasarnya adalah asbab yang tidak ada pengaruhnya  dan pelakunya hakikatnya adalah Allah SWT sendiri.

Oleh karena hal itu sesungguhnya tidak ada pengaruh dan faidahnya, maka seorang salik tidak seharusnya menyibukkan diri dengan urusan himam. Dengan kata lain, himam itu sesungguhnya adalah salah satu di antara bentuk ujian yang diberikan Allah kepada seorang salik yang menuju ke hadlrah qudsyah-Nya Allah SWT.

Di sini-lah, menurut para ulama –ahli tasawuf, banyak sekali di antara para salikin yang berhenti pada urusan himam, berhenti pada urusan karamah sehingga mereka bukannya sampai kepada Allah, tetapi terhenti pada kesibukannya mengurusi karamah. Mereka terpedaya oleh karamah. Maka diingatkan oleh al-Syaikh Ibnu Athaillah:

من عمل لله فهو عبد الله ومن عمل لأجل الكرامة أو الدرجة فهو عبد لها

Artinya: “Barangsiapa berbuat (beramal) semata ikhlas karena Allah, maka dialah hamba Allah, dan barangsiapa yang berbuat (beramal )karena karamah atau derajat maka ia adalah hambanya (karamah dan darajat)”

Begitulah lembutnya permainan nafsu untuk menjerumuskan seorang salik dalam perjalanan menuju hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT. Saking lembutnya terkadang seorang salik tidak menyadari bahwa ia sedang tertipu. Butuh seorang yang membimbingnya agar ia tidak terjerums ke lembah keterpurukan.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…