Rabu, 10 Mei 2017

Siapa Dosennya???



Siapa Dosennya?



Beberapa waktu lalu saya sempat menanyai seorang mahasiswa yang hendak meninggalkan kelas. Iseng sebenarnya saya menanyakan kepada mahasiswa tersebut. Saya tanya, “Tidak masuk kelas mas?”, waktu menunjukkan jam yang seharusnya ia masuk. Mahasiswa tersebut menyahut, “Tidak pak, dosennya tidak masuk”. Saya kembali bertanya, “Siapa dosennya?”. Mahasiswa itu berkata, “Waduh lupa pak namanya, pokoknya dosen mata kuliah bla bla bla…”.

Saya kaget mendengar kenyataan jawaban mahasiswa ini. Sungguh satu hal yang –menurut saya, tidak patut untuk ditiru oleh seorang pembelajar. Tetapi, mau apalagi, ini lah kenyataan, fenomena yang tak terelakkan yang terjadi di dunia pendidikan.

Saya tidak tahu, entah berapa banyak pembelajar (pelajar maupun mahasiswa) yang semisal dengan mahasiswa yang saya tanyai itu. Jika jumlahnya banyak, tentu menjadi PR bagi kita para pendidik untuk memberi pemahaman yang benar kepada mereka.

Guru memiliki arti penting dalam proses pembelajaran. Tidak peduli apakah ia disebut dengan guru, dosen, ustadz maupun kyai, tetap saja mereka memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Jasa mereka teramat besar untuk dilupakan. Mungkin ada istilah mantan pacar, mantan teman dan seterusnya. Tetapi khusus untuk profesi satu ini, tidak selayaknya kita menyebutnya dengan mantan guruku, mantan dosenku, mantan ustadzku, mantan kyaiku dan sebagainya. Sungguh hal yang memprihatinkan bila ada orang yang menjadikan seorang guru sebagai mantan gurunya.

Kalau menyebut mantan guru saja adalah hal yang tabu, apalagi melupakan guru di saat kita sedang menyerap ilmunya. Sungguh terlalu, sikap yang harus dijauhkan dari diri kita yang sedang menuntut ilmu.

Ketidak tahuan kita akan nama seorang guru, menunjukkan ketidak hormatan kita kepada mereka. Padahal kita menyerap ilmunya. Sesuatu yang sangat berharga, tidak bisa dinilai dengan harta apapun. Bayangkan saja, harta bila kita berikan kepada orang lain akan berkurang dan lama kelamaan akan habis, tetapi ilmu sebaliknya semakin kita berikan semakin bertambah. Harta menjadikan kita sebagai budak yang harus menjaganya setiap saat, bila tidak ingin diambil oleh pencuri. Sebaliknya ilmu justru menjaga kita dari berbagai kesalahan sehingga hidup kita akan semakin terarah ke arah yang  lebih baik.

Bagi para salaf shalih, ketaatan kepada guru yang mengajarkan ilmu adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar oleh seorang murid. Mereka selalu bersikap tawadlu’ kepada para guru dan asatidz sehingga keridlaan gurunya menyebabkan ilmu yang diberikan semakin mudah mengalir masuk ke dalam hati sanubari murid.

Tidak hanya berhenti di situ. Sikap ta’dzim seorang murid di hadapan guru, menjadikannya sebagai sosok yang ikhlas dalam mengamalkan ilmu. Ilmu yang mereka dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat dan barakah. Banyak di antara salaf shalih yang meski kehidupannya serba pas - pasan, namun hidupnya bermanfaat bagi banyak orang.

Ketaatan kepada guru dalam tradisi salaf shalih seharusnya tetap dipertahankan oleh para pembelajar di era modern ini. Ya, memang, zaman dulu dan sekarang tidak sama. Dahulu serba kekurangan, banyak pelajar yang harus menahan lapar berhari – hari atau bahkan berbulan – bulan demi mendapatkan ilmu. Beda dengan sekarang, semua serba kecukupan, bila makan mereka tinggal pergi ke warung – warung dan seterusnya.

Akses informasi yang kian lancar dengan berbagai fasilitas yang secara mudah mereka dapatkan, seharusnya tidak lantas melunnturkan nilai kearifan lokal dan tradisi positif. Justru sebenarnya sebagai subjek pelaku, kita tidak menjadi korban, tetapi kita bisa menjadikannya sebagai sarana untuk semakin memperbaiki kualitas diri.

Kaitannya dengan ketaatan kepada guru, al-Syaikh al-Zarnuji mengungkap secara panjang lebar dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim”, satu kitab yang mengkaji tentang etika seorang murid dalam belajar. Sungguh, meski kitab ini terbilang kitab klasik, selayaknya seorang pelajar mempelajari kitab ini dan kemudian mengamalkannya saat mereka menuntut ilmu. Insya Allah bila mereka berpegang teguh pada apa yang ada dalam kitab ini, proses belajar mereka akan semakin lancar dan ilmu yang di dapatkan akan bermanfaat dan barakah baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam kitab ini diceritakan seorang Imam Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW, suami Fathimah, yang masyhur sebagai “Babul Ilmi”, beliau mengatakan, “Aku adalah budak bagi seorang yang mengajarkan ilmu kepadaku meski satu huruf, bila ia menghendaki, ia bisa memerdekakanku, dan apabila ia berkehendak ia bisa menjualku”. Sungguh satu hal luar biasa yang mungkin tidak akan pernah kita jumpai di era saat ini.

Pernyataan Ali ini sesungguhnya adalah sebuah ungkapan penghormatan yang tinggi kepada sosok seorang guru. Tidak mengherankan bila kemudian Ali berubah menjadi sosok yang alim melebihi yang lain hingga Rasul menjulukinya sebagai “Pintu Gerbang Kota Ilmu”.

Hal ini seharusnya dicontoh oleh para pelajar hari ini, bukan malah sebaliknya. Berapa banyak kasus yang kita dengar kaitannya dengan hubungan seorang guru dan murid. Hanya gara – gara persoalan sepele seorang wali murid menuntut dan menjebloskan guru ke penjara. Mentang – mentang dia seorang kaya yang berpangkat. Ini adalah contoh yang kurang atau bahkan tidak patut bagi dunia pendidikan kita.

Citra pendidikan -menurut saya, akan semakin terpuruk jika fenomena tidak kenal guru/dosen semakin merebak dalam dunia pendidikan kita. Menjadi kewajiban para guru dan akademisilah menyadarkan peserta didiknya akan pentingnya menghormat dan menghargai para guru dan pendidiknya. Bukan gila hormat, tetapi lebih karena menempatkan sesuatu pada tempatnya. Itu saja. Bagaimana menurut anda?

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Pilih di Racun atau...???



Pilih di Racun atau…???

 Foto Penutupan Dirasah Qur'aniyyah

Salah satu media yang darinya dapat diperoleh informasi dan pengetahuan adalah media elektronik. Media elektronik menjadi salah satu media yang menarik tentunya untuk digunakan sebagai media penyebaran informasi dan pengetahuan.

Memang di era digital yang serba canggih seperti saat ini, memisahkan diri atau -kalau boleh saya katakan, anti terhadap perkembangan iptek adalah satu pilihan yang kurang atau bahkan tidak bijak sama sekali. Memang diakui maupun tidak, sisi negatif dari iptek itu ada, namun sisi positifnya tidak lantas kemudian dinafikan begitu saja.

Banyak kasus menunjukkan tentang bahaya penyalahan penggunaan iptek. Kalangan pelajar terjerums pada pergaulan bebas yang sarat dengan berbagai tindak penyimpangan. Minuman keras, konsumsi obat – obatan terlarang, tawuran antar pelajar dan seabrek bentuk penyimpangan lainnya adalah sederetan contoh yang ikut serta mewarnai dibalik penyalahgunaan iptek.

Namun, tidak boleh dinafikan adanya berbagai capain yang mencengangkan pula dari dampak penggunaan iptek. Dalam waktu yang relative singkat, bukan jam – jaman, melainkan menit atau bahkan detikan, berbagai informasi yang ada dibelahan bumi lain bisa diperoleh dan diakses dengan kian cepatnya. Para remaja mampu menciptakan inovasi yang menakjubkan melalui informasi yang mereka terima dari berbagai media yang merupakan dampak dari kemajuan iptek.

Seorang ilmuan mengatakan sesuatu yang sangat menarik. Saya lupa namanya. Saya belum pernah mendapatkan informasi ini sebelumnya melalui literatur buku, tetapi saya menemukannya saat sebuah acara ILK (Indonesia Lawyers Klub) sedang berlangsung di sebuah Stasiun TV, TV One. Kata – kata itu disampaikan oleh Karni Ilyas yang merupakan presenter acara ILK. Kira – kira begini bunyinya:

“Kebanyakan manusia lebih suka diracuni dengan berbagai pujian yang disampaikan kepadanya daripada dibangun dengan kritikan yang ditujukan kepadanya”.

Mungkin banyak di antara para pembaca yang telah mendengar ungkapan ini, namun tidak dengan saya. Saya baru saja mendengar ungkapan ini sesaat sebelum akhirnya menulis artikel ini.

Apa yang disampaikan dalam ungkapan tersebut kiranya bukan hanya sekedar basi – basi belaka, tetapi merupakan hal yang seolah telah mendarah daging dalam diri setiap manusia. Memang diakui maupun tidak kebanyakan kita, cenderung lebih senang apabila mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain.

Saat mendapat pujian dari orang lain, kita mengira bahwa memang kita memiliki hal yang patut kita banggakan di depan banyak orang. Kita merasa bahwa apa yang kita miliki telah diakui eksistensinya oleh orang lain atau bahkan membuat orang lain terkagum – kagum dengan kita.

Tidak jarang pula setelah mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain, kita merasa terbuai dan tinggi hati. Akibabatnya, muncul sifat bangga dan tinggi hati bahkan sombong dan takabbur. Awas! Waspadalah sahabat!

Rasa bangga diri dan takabbur seringkali menjadikan pelakunya menjadi ceroboh dan akhirnya jatuh dalam keterpurukan. Akhirnya, sesungguhnya pujian dan sanjungan yang kita dapatkan bukan lagi menjadi satu hal yang patut kita banggakan. Pujian dan sanjungan itu tak lain berubah menjadi racun yang mematikan, yang pada akhirnya mampu melenyapkan segala bentuk kewaspadaan dan seluruh sisi baik dalam diri kita.

Berubahnya pujian dan sanjungan sebagai racun  yang meracuni setiap anak manusia ini, kerapkali tidak disadari oleh seseorang. Akibatnya, mereka tetap belagu dan belagak sok segalanya, namun pada saat mereka terperosok, barulah mereka menyadari akan hal tersebut, namun kebanyakan sudah tidak ada gunanya.

Mengapa manusia lebih suka mendapat pujian dan sanjungan? Manusia lebih menyukai pujian dan sanjungan oleh karena dalam diri manusia terdapat nafsu. Kodrat dari nafsu adalah ingin dipuja, dimanja, dimengerti, diakui dan seterusnya. Keinginan nafsu untuk diakui eksistensinya, menyebabkan nafsu mudah sekali merasakan kebagiaan manakala ia mendapat pujian dan sanjungan. Keinginan nafsu untuk dipuja dan dimanja menyebabkannya selalu meminta agar dipahami bukan dibuli apalagi dimaki.

Sebaliknya kritik cenderung tidak disukai oleh semua orang. Mengapa? Karena dalam kritikan seolah terdapat sebuah cacat yang ada dalam diri kita, sehingga –menurut kita, kritik itu disampaikan adalah untuk menegasikan keberadaan kita, atau minimal meragukan keberadaan kita.

Pandangan inilah sesungguhnya yang harus diluruskan oleh setiap orang. Akan tetapi menyadarkan manusia akan hal ini, bukanlah perkara mudah. Perlu upaya serius dan terus menerus untuk menjadikan seseorang memiliki kesadaran akan pentingnya menerima kritik yang berasal dari orang lain.

Kiranya fenomena dalam kehidupan ini cukup menjadi sebuah bukti akan pentingnya kritik. Manusia, siapapun orangnya, ia tidak akan pernah mampu untuk melihat “githok”-nya sendiri. Ia memerlukan bantuan orang lain untuk bisa melihatnya. Minimal bila bukan orang lain, ia butuh bantuan cermin atau benda sejenisnya untuk melihat sisi yang berada dibalik lehernya itu.

Ketidakmampuan manusia dalam melihat sisi yang berada dibalik lehernya ini, kerapkali dihubungkan dengan ketidakmampuan manusia dalam melihat sisi buruk dalam dirinya. Manusia cenderung melihat dan menyangka bahwa setiap apa yang muncul dari dirinya adalah hal baik yang patut diakui oleh orang lain. Sebaliknya, keterbatasan kemampuan yang dimilikinya telah menutup isi kepalanya dari melihat segala cacat dan kelemahan pada apa yang diyakininya benar.

Pepatah mengatakan, “Gajahh dipelupuk mata tidak tampak, namun semut semut diseberang lautan tampak”. Pepatah ini sesungguhnya ingin mengikis keyakinan seseorang akan kebenaran mutlak yang selalu didapatkan olehnya dalam diri. Artinya, kebanyakan orang sering menganggap bahwa dirinya benar, meski sebenarnya ia melakukan banyak kesalahan. Sebaliknya kesalahan yang dimiliki orang lain, selalu saja tampak meskipun itu sangat kecil. Apa maknanya?

Maknanya, kesalahan dan kelemahan kita sesungguhnya kerapkali dipahami dan dilihat oleh orang lain. Orang yang tahu kelemahan dan kekurangan kita, adalah mereka yang berada diluar diri kita. Nah, di sini lah sesungguhnya makna pentingnya sebuah kritik.

Seseorang yang telah memiliki kedewasaan dalam berpikir dan bersikap, tentu tidak akan berpandangan sempit saat kritik ditujukan kepadanya. Ketika kritik ditujukan kepadanya, ia justru akan menggunakan kritik itu sebagai cermin yang dengannya ia bisa berbenah diri kearah yang lebih baik. 

Sejarah telah membuktikan banyaknya orang yang tumbuh dan berkembang serta memperoleh capaian yang mencengangkan setelah sebelumnya ia mendapat kritikan yang luar biasa dalam hidupnya. Nabi kita, Muhammad SAW adalah sosok yang tepat kiranya kita jadikan sebagai panutan dalam memperbaiki diri. Betapa banyak hambatan dan rintangan yang dihadapinya dalam hidup, bukan hanya kritikan, caci – makian bahkan terror baik secar fisik maupun psikis, namun semua itu beliau hadapi dengan tegar dan sabar. Semakin beliau mendapat tantangan semakin pula beliau berusaha berbenah diri sehingga pada akhirnya Allah menjawab segala munajatnya.

Sama halnya dengan manusia pada umumnya. Sesungguhnya kritik yang disampaikan kepada kita, bukanlah serta merta menunjukkan ketidak sukaan/senangan seseorang pada kita. Ya, boleh jadi kebanyakan kritik itu adalah ungkapan ketidaksenangan, namun sebagai objek yang dikritik seharusnya kita tidak berpikiran sempit.

Kita bisa saja mengubah sebuah kritik itu menjadi factor yang membangun diri untuk meningkatkan kualitasnya. Semakin sering mendapat kritik semakin sering pula kita memperbaiki kualitas diri. Bila ini yang kita lakukan, bukan mustahil kita akan menjadi pribadi yang berkualitas dalam arti sebenarnya.

Nah, sekarang pertanyaannya, mana yang lebih kita sukai? Diracuni dengan berbagai pujian dan sanjungan atau dibangun dengan berbagai kritikan? Jawabannya tentu semua kembali kepada pribadi kita masing – masing.

Saya yakin, kodrat kita sebagai manusia yang memiliki nafsu selalu menginginkan untuk dipuja dan disanjung. Namun, tentunya kita juga tidak boleh lupa bahwa banyak orang yang dipuja dan disanjung justru mengalami hal yang buruk dalam hidupnya.

Sebaliknya, ketidaksukaan terhadap kritik sesungguhnya adalah hal yang tidak bisa kita hilangkan begitu saja. Akan tetapi cobalah membuka mata dan pikiran. Lihatlah kenyataan. Ingat, hidup itu bukan hanya mimpi yang sering menjadi bunga tidur. Namun, ia adalah nyata dan penuh dengan tantangan. Kerikil dan batu – batu tajam siap menghadang, dibutuhkan ketegaran, keberanian dan kesabaran untuk menyambut kesuksesan di masa yang akan datang.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…


Senin, 08 Mei 2017

Kajian Tasawuf Jilid IV

Kajian Tasawuf Jilid IV
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)


Jum’at, 5 Mei 2017, Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung kembali menggelar agenda rutin kajian tasawuf. Alhamdulillah ini adalah kali ke-IV kajian yang diselenggarakan oleh Ma’had al-Jami’ah untuk kajian tasawuf pada tiap – tiap Jum’at sore selepas shalat Jum’at. Mudah – mudahan bisa terus konsisten dan istiqamah.

Pada kesempatan kali ini yang diangkat adalah qaul Ibnu Athaillah al-Sakandariy:

أرح نفسك عن التدبير فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك

Artinya: Istirahatkan dirimu dari mentadbir (yakni bersusah payah dan merasa risau di dalam mengatur urusan – urusan hidup), maka apa yang telah didirikan oleh orang lain (Allah telah mengatur untuk kita), janganlah engkau mendirikannya pula untuk dirimu sendiri.

Dalam kehidupan ini seringkali kita membuat perencanaan – perencanaan untuk sebuah program yang akan kita jalani di kemudian hari. Perencanaan –perencanaan ini tentunya penting bagi kita, dalam arti agar semua yang kita harapkan bisa berjalan secara efektif, efisien sesuai dengan harapan, atau minimal mendekatinya.

Foto Kajian Tasawuf JIlid IV

Al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan kita untuk jangan mengatur hal – hal yang bukan menjadi urusan kita. Sesuatu yang telah menjadi urusan orang lain, maka tidak sepatutnya kita ikut campur mengurusi hal tersebut. Serahkan saja kepada mereka yang telah mengurusinya, sementara untuk kita, lakukan saja apa yang menjadi tugas kita.

Apa maksudnya? Nasib yang akan memimpa seseorang itu sesungguhnya sudah ada yang mengatur. Baik, buruk, kaya, miskin, sukses, gagal, dan seterusnya sesungguhnya hal itu adalah urusan Allah SWT. Manusia tidak perlu repot – repot untuk mengurusinya. Justru sesungguhnya bila kita disibukkan dengan mengurusi semua itu, boleh jadi kita akan merasakan kekecewaan bila pada akhirnya nanti, apa yang menjadi harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan.

Apa manusia tidak boleh melakukan perencanaan? Boleh dan harus melakukannya secara syar’i. Yang tidak boleh adalah memaksakan kehendak. Artinya kita punya perhitungan dengan perencanaan kita. Setelah itu kita berusaha dengan sungguh – sungguh agar semua berjalan sesuai dengan harapan. Tetapi sekali lagi urusan hasil itu adalah urusan Allah, bukan urusan kita. Inilah yang harus dipahami.

Murabbiy, Musyrifah dan Para Penikmat Kajian

Demikian halnya dengan urusan ubudiyah kepada Allah SWT. Ibadah adalah perintah yang Allah berikan kepada semua hamba-Nya, entah bangsa jin maupun  manusia. Secara tegas Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Dzariyat (51); 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)

Artinya: Dan tiadalah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah/menyembah-Ku.  (Q.S. al-Dzariyat (51); 56)

Dalam hal ibadah kepada Allah, janganlah seseorang memandang pada hasil dan memaksakan hasil itu agar sampai pada dirinya. Satu misal, para ulama salaf shalih sering mengatakan agar kita memperbanyak membaca Surat al-Waqi’ah misalnya, agar rizki kita lancar. Memang dorongan awal ketika kita membaca adalah keinginan agar rizki kita dimudahkan oleh Allah. Namun, dalam praktiknya, jangan lantas menyibukkan hati kita dengan lancarnya rizki itu, tetapi sandarkan pada Allah, ikhlaskan apa yang kita lakukan dan tidak usah mengatur Allah agar melancarkan rizki kita. Sungguh orang yang memaksakan hal itu ia telah berbuat sesuatu yang tidak patut dan Allah justru akan membenci orang semacam ini. Tugas kita adalah ibadah, bukan mengatur hasilnya ibadah. Oleh karenanya ikhlas itulah kuncinya saat kita beribadah kepada Allah SWT.

Al-Syaikh Ibnu Athaillah mengingatkan kepada kita agar janganlah kesungguhan kita dalam urusan rizki menyebabkan kita melalaikan hal – hal yang dituntut dalam ibadah kepada Allah. Melalui kalimah hikmahnya beliau mengatakan:

إجتهادك فيما ضمن لك وتقصيرك فيماطلب منك دليل على انطماس البصيرة منك

Artinya: Kegigihan usahamu pada (perkara – perkara) yang telah dijaminkan untukmu (yakni dalam urusan – urusan rizki) dan kelalaianmu pada (perkara – perkara) yang telah dituntut darimu (yakni dalam mengerjakan ibadah) adalah satu dalil bagi terhapusnya bashirah (penglihatan mata hati) darimu.

Al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy mengingatkan kepada kita agar jangan sampai kesibukan kita dalam urusan rizki, sesuatu yang Allah telah menjaminkannya untuk kita, menyebabkan kita lalai dari apa yang telah dituntut dari kita dalam menjalankan ibadah.

Suasana Kajian Tasawuf

Bolehlah secara syar’i kita melakukan perencanaan - perencanaan untuk urusan duniawi kita, tetapi jangan sampai melalaikan hal – hal lain yang justru hal itu dituntut untuk kita lakukan. Ingat, rizki sudah ada yang mengurusi, Allah. Manusia hanya wajib berusaha, bukan yang lainnya. Sementara dalam hal urusan ibadah kepada Allah, maka kita dituntu untuk berlaku ikhlas, tanpa pamrih, semata hanya menjalankan perintah Allah SWT belaka.

Jika ternyata saat kita bersungguh – sungguh dalam upaya untuk memenuhi urusan syar’i, tetapi kita melalaikan urusan – urusan yang dituntut bagi kita, yakni keikhlasan hati kita saat ibadah kepada Allah, hal itu merupakan dalil atau tanda bahwa bashirah telah hilang dari diri kita. Bashirah adalah penglihatan mata hati yang tajam, yang mampu membedakan antara yang haq dan bathil.

Nah, inilah yang sesungguhnya harus diperhatikan oleh para salikin yang menghendaki perjalanan wushul kepada Allah SWT. Seorang salik harus benar – benar waspada dalam mengelola hatinya agar tidak terjerumus kedalam hal yang tidak benar namun kelihatannya benar.

Usaha adalah kewajiban sementara hasil adalah urusan Allah. Ibadah adalah kewajiban yang harus kita jalankan, selebihnya bukan urusan kita.

Lantas bagaimana jika ternyata ibadah yang kita jalankan hasilnya tidak nampak sama sekali, sedangkan ibadah seseorang yang kita anggap ketaatannya kepada Allah SWT kurang, namun ternyata seolah menunjukkan hasil. Suatu contoh, orang yang tekun ibadahnya tetapi rizkinya tak kunjung lancar. Satu sisi ada orang yang ibadahnya tak seberapa bahkan mungkin sering melakukan maksiat, tetapi rizkinya lancar.

Untuk menjawab hal ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa lancar dan tidaknya rizki tidak bisa dijadikan ukuran kedekatan seseorang kepada Allah SWT. Boleh jadi seseorang yang tekun ibadah kepada Allah, rizkinya tidak kunjung lancar, kehidupannya tetap dalam kesusahan adalah tanda akan kasih sayang Allah kepadanya. Sebaliknya boleh jadi seseorang yang rizkinya lancar justru menunjukkan kebencian Allah SWT kepadanya.

Logikanya begini, orang yang berdo’a kepada Allah kita ibaratkan sebagai seorang pengamen yang meminta sedekah dari orang yang mendengarkan suaranya. Seorang pengamen yang bagus suaranya, akan disenangi oleh pendengarnya. Ia tidak kunjung memberi, tetapi terus meminta kepada pengamen tersebut untuk menyanyikan beberapa lagu karenanya cintanya dengan suara pengamen tersebut. Beda halnya dengan seorang pengamen yang suaranya sengau, tidak enak didengar, maka orang yang mendengarkan akan buru – buru mengambil receh dan memintanya menyudahi lagunya karena tidak berkenan atas pengamen tersebut.

Begitu halnya dengan seseorang yang ibadah kepada Allah SWT. Boleh jadi Allah SWT senang dan sangat cinta kepada hamba-Nya sehinnga Allah tidak ingin terburu – buru memberi kepada Allah agar hadiah itu tidak menjadikannya lalai dari-Nya. Sebaliknya ketidak tulusan rasa cinta seorang hamba saat ibdah kepada Allah memaksa Allah untuk memberikan sesuatu yang diinginkannya secara cepat. Sekali lagi bukan karena ia dekat kepada Allah apalagi wali-Nya Allah, tetapi karena kebencian Allah atas ketidak tulusan cintanya kepada Allah SWT.

Oleh karena itu al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy mengingatkan kita semua kaitannya dengan hal ini dengan kalimah hikmatnya:

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح فى الدعاء موجبا ليأسك، فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختاره لنفسك، وفى الوقت الذى يريد لا فى الوقت الذى تريد

Artinya: Janganlah penundaan pemberian – pemberian (karunia – karunia) bersamaan dengan kesungguhan dalam berdo’a, menyebabkan engkau berputus asa. Maka Ia menjamin untukmu ijabah (terhadap do’a) dalam hal yang Dia pilihkan untukmu bukan hal yang engkau memilihnya untuk dirimu, dan pada waktu yang Dia inginkah bukan pada waktu yang engkau inginkan.

Demikianlah boleh jadi kita telah bersungguh – sungguh dalam berdo’a kepada Allah SWT, tetapi Allah tak kunjung memberikan apa yang kita minta. Penundaan pemberian Allah kepada apa yang kita minta bersamaan dengan kesungguhan kita dalam berdo’a kepada Allah SWT ini, jangan lantas menyebabkan kita menjadi putus asa.

Ijabah adalah jaminan yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya yang memohon kepada-Nya. Tetapi yang perlu diperhatikan ijabah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, tidak mesti sesuai dengan apa yang diinginkan oleh hamba tersebut. Boleh jadi hamba tersebut meminta kekayaan, tetapi sebaliknya, Allah justru memberikan kemiskinan kepadanya, boleh jadi ini adalah bentuk ijabahnya do’a.

Lho, kok bisa begitu? Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ia mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Maka Allah akan memilihkan sesuatu yang terbaik bagi hamba yang dicintai-Nya. Oleh karenanya jangan memaksakan diri ketika Allah SWT berkehendak lain dari apa yang kita kehendaki dan jangan berputus asa. Boleh jadi itulah yang sesungguhnya terbaik buat kita. Allah memberikan ijabah sesuai apa yang Ia pilihkan, bukan yang kita inginkan. Ia memberikan ijabah diwaktu yang Ia inginkan, bukan pada waktu yang kita inginkan. Ini harus kita tanamkan dalam hati.

Apa yang disampaikan oleh al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy ini sesuai denga firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah (2); 216:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216)

Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Baqarah (2); 216)

Allah mengetahui segala rahasia dalam kehidupan ini. Oleh karenanya ketika sesuatu yang tidak kita sukai menimpa diri, jangan lantas kemudian terburu – buru berkesimpulan kalau Allah tidak sayang pada kita. Jangan mudah berputus asa terhadap usaha kita bila Allah belum mengabulkan, karena boleh jadi akan ada rahasia yang jauh lebih besar yang akan diberikan Allah pada kita.
Demikianlah khusnudzan harus tetap kita dahulukan daripada su’udzan. Khusnudzan kepada ketentuan Allah yang masih Dia rahasiakan untuk kita. Yakinlah bahwa setiap rencana-Nya adalah yang terbaik. Perhatikan ungkapan berikut:



“Aku meminta kepada Allah binatang yang mungil nan cantik, tetapi Ia berikan kepadaku ulat bulu, aku minta kepada Allah bungan yang cantik, tetapi Ia berikan kepadaku kaktus yang berduri, aku hanya tertegun, gerangan apa yang diinginkan Allah kepadaku, namun, lama – lama ulat – ulat itu berubah jadi kupu – kupu mungil nan cantik, kaktus itu mengeluarkan bunganya nan indah, begitulah Allah, Dia memberi apa yang kita butuhkan, bukan memberi apa yang kita inginkan”.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam …


Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...