Minggu, 21 Mei 2017

Menempatkan Cinta Rasul di Atas yang Lain



Mencintai Rasul di Atas yang Lain

Indahnya Kebersamaan

Rasulullah Muhammad SAW adalah panutan bagi semua umat Islam. Beliau lah suri tauladan yang tiada duanya di dunia ini. Sungguh siapapun akan terkesima melihat dan mengetahui akhlak dan perangainya yang tiada duanya. 

Suatu saat sayyidina Umar ibnu Khaththab, khalifah Islam yang kedua pernah menyampaikan hal ihwal cintanya pada Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari. Hadits itu berbunyi sebagai berikut:

والله يارسول الله أنت لأحب إلي من كل شيئ إلا من نفسي، فقال رسول الله صلى الله غليه وسلم: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه، فقال عمر: فأنت الأن والله أحب إلي من نفسي. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الأن يا عمر  (رواه أحمد والبخا ري)

Artinya: “Demi Allah, wahai Rasulullah, Engkau niscaya lebih aku cintai daripada segala sesuatu selain dari diriku”. Rasulullah SAW menjawab: “Tidak sempurna iman seorang di antara kalian sehingga akuu lebih dicintainya daripada dirinya”. Umar berkata: “Engkau sekarang (wahai Rasulullah), demi Allah, lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Rasulullah SAW bersabda: “Sekarang wahai Umar (telah sempurna imanmu)”. (H.R. Imam Ahmad dan Imam Bukhari)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari di atas menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah SAW pada diri seorang mukmin harus melebihi cintanya kepada yang lain, bahkan dirinya sendiri. Seorang yang mengaku beriman kepada Allah akan tetapi kecintaannya pada Rasulullah belum melebihi kecintaannya pada diri sendiri, imannya belum dianggap sempurna.

Umar ibnu Khaththab adalah satu di antara sahabat dekat Rasulullah SAW. yang memiliki rasa cinta kepada Rasul melebihi cintanya kepada yang lain termasuk dirinya sendiri. Tentu hal ini bukan hanya sekedar pengakuan lisan saja, lebih dari itu harus dibuktikan dengan perbuatan yang nyata.

Demikian halnya dengan Umar, kecintaannya kepada Rasulullah melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri telah menjadikannya sosok yang siap berkorban demi keselamatan Rasulullah. Berulangkali ia turut serta terlibat dalam berbagai peperangan pada barisan depan untuk membela Allah dan Rasul-Nya. Ia telah menyiapkan seluruh jiwa raga dan hartanya untuk tegaknya kalimah Allah di dunia ini. Kiranya dia patut untuk dijadikan sebagai panutan bagi seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Di akhir zaman seperti saat sekarang ini, di mana peradaban telah maju dengan pesatnya, teknologi informasi berkembang cepat tanpa bisa dibendung oleh siapapun, kiranya menanyakan pada diri sendiri perlu untuk dilakukan. Berapa sering manusia yang hidup di zaman sekarang menyatakan kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah SAW akan tetapi perilaku dan tabiatnya jauh dari perilaku yang menunjukkan cinta Allah dan Rasul-Nya.

Sebagai akibat dari berbagai perilaku tersebut adalah merebaknya benih – benih perpecahan di antara umat. Perpecahan yang mulai melanda umat Islam di akhir zaman ini. Saling menyalahkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan satu sama lainnya. Sungguh sebuah perilaku yang tidak selayaknya ditunjukkan oleh mereka yang mengaku beriman dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukankah seorang mukmin itu bersaudara? Bahkan Rasulullah SAW mensabdakan dengan indahnya persaudaraan di antara mereka dengan hadits beliau:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا " *

Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin bagi mukmin lainnya itu bagaikan satu bangunan, sebagian menguatkan sebagian lainnya.”

Hadits di atas kiranya cukup dijadikan sebagai dasar pijakan seorang mukmin dalam berperilaku. Hendaknya seorang mukmin senantiasa menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Oleh karena itu sungguh bukanlah hal yang dibenarkan bila dalam melakukan dakwah, mengajak umat ke jalan yang diridlai Allah, ditempuh sebuah metode yang justru bisa merusakkan kedamaian.

Seorang muda hebat dan berbakat, Aya Nawafi’ Maksum, asli kelahiran Tulungagung pernah update status yang menukik dalam hal ini. Status itu berbunyi, “…Silahkan kamu memburu surga, tapi jangan ciptakan neraka di bumi ini…”. Status singkat namun sarat akan makna. Selayaknyalah sebagai seorang mukmin yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala yang ada di dunia dan bahkan dirinya untuk senantiasa menebarkan keselamatan, kedamaian dan kasih sayang di dunia ini.

Toleransi adalah kata kunci untuk terciptanya keselarasan dan kedamaian di bumi. Semakin dalam rasa cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, semakin kuat pula rasa toleransi yang disuarakannya. Bukan berarti mendiamkan kesalahan dan kemaksiatan, namun tetap berdakwah, mengajak kepada kebaikan, tetapi tetap dengan cara santun, dan cinta akan kedamaian. Itulah sesungguhnya teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat beliau berdakwah mengajak umat untuk kembali mengabdikan diri kepada Allah SWT, Sang Pemilik kehidupan fana ini.

Semakin sempurna cinta seseorang kepada Rasulullah semakin ia akan menebarkan kebaikan di bumi-Nya Allah. Ia sadar betul bahwa semua ini adalah bagian dari takdir Allah yang mesti dijalani dengan ikhlas dan ridla. Bukan tempat untuk menebar kebencian, kedengkian apalagi permusuhan.

Apa yang menimpa bangsa ini kiranya cukup menjadi bahan renungan dan introspeksi diri bagi semua pihak yang terlibat dalam arus perpolitikan dan elemen bangsa. Cinta kepada Rasul akan menumbuhkan rasa cinta kepada bangsa dan tanah air.

Sejarah bangsa ini telah cukup menjadi bukti akan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh mereka yang cinta Allah dan Rasul-Nya. Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Hos Cokroaminoto, Syaikh Hasyim Asy’ari, K.H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan dan sederetan nama yang tidak bisa disebutkan satu persatu adalah sosok – sosok yang memiliki rasa cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kecintaan itu berbuah pada nasinalisme dan semangat kebangsaan. Lantas sejarah mana lagi yang hendak di dustakan?

Semoga kita mampu menjadi orang yang menjadikan cinta Rasul di atas segalanya, melebihi cinta kita pada diri kita sendiri. Semoga bangsa Indonesia, tempat di mana kita tumbuh besar,  yang saat ini diuji dengan isu – isu sektarian segera bisa keluar dari kericuhan dan perpecahan sehingga segera terwujud negara yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Negara yang  "Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo".

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Haflah Akhirus Sanah



Haflah Akhirus Sanah
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)


Penampilan Mahasantri pada Sesi Praacara
Sabtu, 20 Mei 2017 menjadi puncak acara dari semua kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di UPT Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung angkatan ke-6. Hal ini ditandai dengan diadakannya acara haflah akhirus sanah yang digelar pada Sabtu malam tadi. Acara ini digelar di aula utama Ma’had al-Jami’ah yang berada di lantai lima gedung Pascasarjana IAIN Tulungagung. Hadir pada acara ini, Rektor IAIN Tulungagung, Dr. K.H. Maftukhin, M.Ag., selaku pimpinan tertinggi IAIN Tulungagung, Mudir Ma’had al-Jami’ah, Dr. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag. selaku pemangku pengelolaan Ma’had al-Jami’ah, para murabbi yang terdiri dari unsur dosen tetap bukan PNS, segenap asatidz Ma’had al-Jami’ah baik dari unsur dosen maupun tenaga professional yang diperbantukan.


Rektor IAIN Tulungagung bersama para Pengelola Ma'had


Muhamad Fatoni, salah satu unsur murabbi yang mewakili sambutan atas nama ketua panitia, menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada seluruh pihak yang hadir dan turut serta dalam menyukseskan acara tersebut, terutama atas berkenannya Rektor IAIN Tulungagung, Dr. K.H. Maftukhin, M.Ag., untuk mensuport kegiatan yang diadakan oleh UPT Ma’had al-Jami’ah. Ia juga menyampaikan bahwa kehadiran bapak rektor sudah sangat dinantikan semenjak lama, namun karena tingkat kesibukan yang luar biasa, tentu ini menjadi kendala, dan pada akhirnya baru malam tadi pada acara haflah akhirus sanah beliau bisa hadir ditengah – tengah keluarga besar Ma’had al-Jami’ah. Ia juga menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan yang mungkin ditemukan dalam sesi acara haflah akhirus sanah tadi malam.
 Qiraatul Qur'an oleh Mahasantri

 Selain itu ia juga menyampaikan bahwa memang pada dasarnya haflah akhirus sanah merupakan acara puncak yang menjadi penutup dari rangkain kegiatan pembelajaran di Ma’had al-Jami’ah, namun tidak untuk saat ini. Memang biasanya setelah haflah akhirus sanah seluruh mahasantri harus berkemas dan meninggalkan ma’had karena adik – adik mereka akan menjadi penghuni baru di Ma’had al-Jami’ah. Tentu sebenarnya mereka tetap ingin berada di Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung, akan tetapi karena kondisilah yang memaksa mereka untuk tidak bisa menetap di Ma’had al-Jami’ah.

Pada liburan semester ini dan untuk mengisi bulan suci Ramadlan, Ma’had al-Jami’ah mengadakan dua agenda besar yang masing – masing mahasantri harus mengikuti salah satu di antara keduanya, yakni pesantren kilat Ramadlan, yang insya Allah pembelajarannya akan di pusatkan di aula utama gedung Pascasarjana dan dirasat al-Qur’an yang sebagaimana liburan semester kemarin akan dipusatkan di Pondok  Pesantren ‘Usyaqil Qur’an dibawah asuhan Kyai Ahmad Marzuki, M.Pd.I., dosen dan alumni IAIN Tulungagung.

Sementara itu dalam sambutannya Mudir Ma’had al-Jami’ah, Dr. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan menyampaikan banyak hal kaitannya dengan kema’hadan, sejarah kemahasantrian dan Pancasila. Kaitannya dengan kema’hadan beliau menyampaikan bahwa banyaknya kegiatan ma’had yang ada di IAIN Tulungagung ini, mudah – mudahan bisa menjadi bekal bagi para mahasantri kedepan setelah mereka lulus dari IAIN Tulungagung. Beliau juga memberikan apresiasi yang luar biasa kepada para mahasantri atas jerih payah yang dilaluinya semasa berada di asrama Ma’had al-Jami’ah. Banyak cerita yang ada di Ma’had al-Jami’ah, baik suka maupun duka, mulai dari kran airnya macet, bau yang kurang sedap dan seterusnya, namun hal itu juga tidak pernah menyurutkan minat mereka untuk tetap menimba ilmu di Ma’had al-Jami’ah.

Selanjutnya beliau juga mengungkap sejarah yang ada kaitannya dengan kemahasantrian. Bahwa ternyata negara ini bisa berdiri dengan kokoh itu sesungguhnya termasuk di antaranya adalah karena perjuangan para ulama dan kyai di masa lalu. Pangeran Diponegoro adalah salah satu di antaranya. Ia adalah seorang santri, kyai dan pemimpin pasukan saat melawan penindasan yang dilakukan penjajah Belanda kala itu. Beliau menggerakkan para santrinya untuk berjuang melawan kelaliman mereka. Kekalahan Pangeran Diponegoro telah menyebabkan para pengikutnya banyak hijrah ke berbagai daerah di belahan nusantara. Namun, karena kecerdasan yang dimilikinya maka ke manapun pengikut Diponegoro berada di situ selalu bisa dikenali. Simbol yang dipakai oleh para pengikutnya ketika mereka telah menetap di suatu wilayah tertentu adalah dengan menanam pohon sawo.

Beliau juga menyampaikan bahwa Tulungagung merupakan kota lahirnya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Pernyataan ini bukan sekedar klaim semata, tetapi merupakan hasil riset yang dilakukan oleh para peneliti di lingkungan IAIN Tulungagung. Kata Bhineka Tunggal Ika itu ada dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular. Menurut sejarahnya Empu Tantular adalah salah satu murid dari Sri Rajapatni Gayatri. Ia lebih menyukai hidup sebagi biksuwati daripada hidup dalam gemerlapnya istana. Beliau menghabiskan banyak waktunya di Tulungagung hingga meninggal dan dimakamkan di sana. Beliau di makamkan di Candi Dadi atau yang dikenal dengan Candi Gayatri. Oleh karena itu sesungguhnya sejarah lahirnya Pancasila tidak akan jauh dari tempat di mana Gayatri menetap yakni Tulungagung.

Adapun Rektor IAIN Tulungagung, Dr. K.H. Maftukhin, M.Ag. dalam sambutannya memberikan apresiasi besar kepada seluruh pengelola ma’had al-jami’ah dan para mahasantri yang ada di ma’had. Beliau mengatakan bahwa saat ini banyak orang yang terlalu menganggap apa yang diketahuinya benar dan bahkan memaksakan kebenaran itu kepada orang lain. Padahal sesungguhnya kebenaran yang diyakini itu hanyalah sebatas pengetahuan yang dimilikinya, tidak lantas kebenaran itu adalah kebenaran mutlak. Oleh karena itu, maka mahasantri IAIN Tulungagung tidak boleh memiliki kedangkalan ilmu dan informasi. Kedangkalan ilmu dan informasi itulah yang sesungguhnya menyebabkan orang tersebut seringkali menyalahkan orang lain yang tidak sejalan dengannya, bahkan terkadang sampai pada klaim “mengkafirkan”.

Semakin banyak ilmu dan informasi yang dimiliki seseorang sesungguhnya akan semakin menjadikan orang tersebut memiliki kearifan dan kebijaksanaan dan tidak mudah menyalahkan. Orang yang mengatakan orang lain salah dan tidak punya dasar kitabnya, belum tentu hal itu merupakan hal yang benar. Boleh jadi hal itu terjadi karena ia belum pernah belajar kitab tersebut, atau tidak punya kitab tersebut. Beliau memberikan contoh pada kalimat “hauqalah” yang bisa dibaca dengan beberapa cara. Mereka yang tahu bahwa kalimat ini bisa dibaca dengan berbagai cara tentu tidak akan mempermasalahkan, sebaliknya mereka yang belum pernah mengenyam pendidikan alfiyah atau memahami ilmu nahwu secara benar, cenderung menganggap bahwa kalimat ini hanya dibaca dengan “Laa haula walaa quwwata illaa billahh”.

Nah, oleh karena itu mahasantri yang mudah menyalahkan orang lain, atau bahkan mengkafrkan yang lain sesungguhnya, mereka itu belum menyelesaikan “ngaji”-nya. Oleh karena itu mereka harus banyak belajar dan mengaji kembali hingga kebijaksaan dan kearifan akan mereka miliki.

Beliau juga menyampaikan, bahwa ke depan semua mahasiswa IAIN Tulungagung utamanya semester satu, wajib untuk mengikuti pembelajaran “MADIN”. Rencananya akan ada alokasi khusus untuk pembelajaran madin, yakni pada jam pertama setiap harinya. Oleh karena itu semua fakultas dan jurusan harus mensterilkan jam pertama dari mata kuliah regular, utamanya untuk mahasiswa semester awal.

Kata ma’had, -menurut beliau, sesungguhnya adalah turunan dari kata ‘ahdun yang artinya adalah janji. Oleh karena itu sesungguhnya ma’had adalah tempat perjanjian bagi seorang guru dan murid, bagi seorang mursyid dan mustarsyidin untuk menempa diri dengan menuntut ilmu. Oleh karenanya mahasiswa yang saat berada di ma’had hanya bermain wa, pacaran dan seterusnya, sesungguhnya mereka telah melanggar janji. Padahal janji itu adalah hutang yang harus ditepati.

Pada kesempatan ini beliau juga panjang lebar menerangkan tentang asal usul Pancasila yang pada sambutan sebelumnya disampaikan oleh mudir ma’had. Beliau juga memberikan kabar gembira bahwa besuk pada tanggal 1 Juni 2017, insya Allah beliau akan menandatangani MOU antara IAIN Tulungagung dan Mendagri kaitannya dengan kepercayaan yang diberikan oleh Mendagri kepada beberapa kampus di Indonesia, termasuk di antaranya adalah IAIN Tulungagung, yang secara resmi dipercaya untuk melakukan riset tentang Pancasila.

Kaitannya dengan kampus dakwah dan peradaban, maka ke depan IAIN Tulungagung ingin mencetak kader – kader yang mampu untuk mengisi seluruh lini dalam kehidupan masyarakat. Dakwah tidak hanya diartikan sebagai ajakan kebaikan dalam bidang keagamaan, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi, agama, kesehatan dan sebagainya. Semua itu sesungguhnya adalah lahan dakwah bagi seluruh alumni IAIN Tulungagung.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…




Jumat, 19 Mei 2017

Profil Penulis



Profil


Muhamad Fatoni, M.Pd.I, Lahir di Blitar, 23 Februari 1984. Lahir dari pasangan suami istri, Supoyo dan Siti Syamsiyah. Memiliki empat orang saudara, Miftahul Hadi, Muhamad Fatoni, M.Pd.I, Istighatsatul Jazilah, Khuzaimatun Nikmah, S.Pd.I.




Lahir dari keluarga petani, disebuah desa kecil bernama Slemanan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar. Saat ini penulis tinggal di desa tersebut di sebelah rumah orang tuanya.


Tahun 2012 penulis mempersunting seorang gadis yang tidak lain adalah salah satu di antara mahasiswinya yang masih menempuh kuliah S1 semester 6 pada Jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah bernama Englia Dwikayushi Anggraini, S.Pd.I putri dari pasangan suami istrim Drs. Yuswan Efendi dan Muslihah dari desa Damarwulan Kecamatan Kepung, Pare, Kediri. Dari pernikahan ini penulis telah dikaruniai dua orang putri bernama, ‘Izzatun Nisa’ Amalia Fathoni dan Lathifatul Karimah Shidqiya Fathoni.




Masa kecil dihabiskan penulis bersama kedua orang tua di desa Slemanan dengan membantu keduanya di sawah, mencari rumput untuk ternak (kambing dan sapi). Selain itu penulis juga bekerja serabutan pada seorang kaya di desa, bernama H. Surkan suami dari H. Sundari sebagai kuli di sawah. 


Pendidikan formal penulis di tempuh mulai jenjang Taman Kanak – kanak di TK Dharma Wanita Sukorejo (1989), SDN 01 Slemanan (1990 – 1996), MTsN Kandat (1996 – 1999), MA Arrasyad (1999 – 2002), S1 STAIN Tulungagung pada Program Studi Bahasa Arab (2002 – 2006), dan S2 STAIN Tulungagung pada Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (2007 – 2009).


Penulis juga pernah mengenyam pendidikan non formal di Madrasah Mafatihul Huda dan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Sempu Sukorejo Udanawu Blitar (Doktrenmu) dengan status sebagai santri laju/kalong (1994 – 2001). Selain itu pernah belajar di Pesantren Sirajuth Thalibin Sri Gading Plosokandang Kedungwaru Tulungagung saat menempuh jenjang S1.


Semasa kuliah penulis juga aktif dalam kegiatan ekstra maupun intra kampus. Penulis sempat tercatat menjadi ketua Rayon PBA PMII Komisariat Sunan Ampel, Wakil Ketua HMPS PBA, ketua OC Diklat koperasi Indonesia se-PTAIN Indonesia bagian timur di hotel Tanjung dan beberapa kegiatan keorganisasian yang lain.


Pengalaman mengajar penulis dapatkan dari beberapa jenjang pendidikan, di antaranya, SDI Qurrota A’yun Ngunut Tulungagung, MTs Darul Hikmah dan MA Darul Hikmah di bawah naungan Pondok Modern Darul Hikmah di desa Tawangsari Kedungwaru Tulungagung, STAIN Tulungagung dan IAIN Tulungagung sampai saat ini. Saat ini penulis tercatat sebagai Dosen Tetap Bukan PNS di IAIN Tulungagung dengan unit kerja pada UPT Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung.


Saat ini penulis sedang berusaha menekuni dunia literasi meski belum memiliki buku individual yang diterbitkan. Namun, alhamdulillah setidaknya penulis pada tahun 2017 ini telah ikut serta berkontribusi dalam penulisan buku antologi dengan tema Inspirasi dari Ruang Kuliah. Selanjutnya beberapa tulisan penulis sedang dalam proses di buku antologi yang lain dan satu buku individu yang masih dalam tahap belum jelas. Semoga saja bisa terbit. Paling tidak kehadiran satu buku antologi telah memberikan satu suport bagi penulis untuk semakin menekuni dunia literasi.


Terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada DR. Ngainun Naim, M.H.I. yang telah menularkan virus literasinya setelah saya menikmati satu sajian bukunya yang tertuang pada buku literasi “The Power of Writing”-nya.  Sungguh satu karya yang sangat menginspirasi dan memprofokasi saya untuk belajar menulis. 


Saat ini penulis sangat berharap untuk bisa menjadi penulis dalam arti yang sebenarnya, bukan hanya sekedar menulis. Tetapi, untuk saat ini penulis sadar betul akan kemampuannya yang belum seberapa, masih jauh dari kata “layak” untuk disebut penulis. Oleh karena itulah blog ini dibuat sebagai sebuah sarana dan media bagi penulis untuk belajar dan mengasah kemampuan disamping juga untuk berbagi dengan sesama.


Penulis bisa dihubungi melalui alamat email, muhamadfatoni5@gmail.com, No HP 085 646 854 742. Adapun akun blog. Fatoni23.blogspot.com. Semoga saja semua ini diridlai Allah SWT dan mendapat Syafaat Rasulullah, Muhammad SAW serta jangkungan do’a restu dan nadhroh Ghautsu Hadza Zaman sehingga menjadi hal yang bermanfaat dan barakah dunia dan akhirat. Amin.

Selasa, 16 Mei 2017

Mencari Guru Kamil Mukammil



Mencari Guru Kamil Mukammil



Dalam dunia tasawuf, untuk menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah, bukan lah hal mudah. Tidak semua orang bisa menggapainya dengan mudah. Barangkali ada di antara kita berfikir bahwa dunia tasawuf utamanya thariqah mengada – ada kaitannya dengan adanya “Guru Mursyid” yang kamil mukammil, yang selain imannya telah sempurna, ia juga mampu mentakmilkan iman muridnya sehingga sampai kepada hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT.

Keberadaan seorang guru kamil mukammil dalam dunia tasawuf untuk membimbing seorang murid yang sedang menempuh jalan menuju kepada Allah dalam pandangan sufi, hukumnya adalah wajib. Tanpa guru yang mencapai maqam seperti ini seorang salik akan mudah dijerumuskan oleh setan yang sangat lembut dalam menyesatkan manusia.

Dalam al-Qur’an Surat al-Nahl (16); 43, Allah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)

Artinya: Maka bertanyalah kepada ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui. (Q.S. al-Nahl (16); 43)

Menurut pandangan sufi ahlu dzikir di sini tidak hanya sekedar mereka yang berilmu pengetahuan yang ahli dalam ilmu syariat belaka, namun lebih daripada itu mereka adalah orang yang hatinya “yathufullaha da’iman”, orang yang hatinya senantiasa thawaf kepada Allah. Orang yang memiliki hati yang senantiasa thawaf kepada Allah itu tidak lain adalah seorang yang berpangkat “al-Ghauts” atau “Wahidu Zamanihi”.

Seorang yang menempuh perjalanan menuju Allah tanpa adanya seorang guru yang membimbing dan mengarahkannya, maka setanlah yang akan menjadi gurunya. Al-Syaikh Abu Yazid al-Basthami mengatakan sebagaimana yang terdapat dalam kitab “Jami’ul Ushul fil Auliya’”, karya al-Syaikh Kamasykhanawi, pada bagian “Mutammimat” dalam “Bayan washiyatul muriidin”, dengan fatwanya:

من لم يكن له أستاذ فإمامه الشيطان. وقالوا: من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان

Artinya: Barangsiapa yang tidak memiliki guru (guru ruhani), maka setanlah imamnya. Dan mereka semua berkata: Barangsiapa yang tidak memiliki guru (ruhani), maka gurunya adalah setan.

Fatwa al-Syaikh Abu Yazid al-Busthami ini diperkuat oleh fatwa al-Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’rani sebagaimana terdapat pada kitab “al-Anwar al-Qudsiyah”-nya dalam bab Adabul Murid, beliau memfatwakan:

المريد إذا مات شيخه وجب عليه اتخاذ شيخ أخر يربيه

Artinya: Seorang murid, ketika Syaikh (Guru Ruhaninya) mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syaikh penggantinya untuk membimbingnya.

Begitulah perjalanan menuju kepada Allah. Bahkan begi seorang yang berilmu luas, seluas apapun ilmu agamanya menurut para ulama ahli tasawuf sebelum dia mencapai derajat “al-Ghauts”, maka ia wajib untuk mencari seorang guru yang kamil mukammil. Keterangan tentang kewajiban seorang yang memiliki ilmu luas untuk tetap berguru pada seorang yang kamil mukammil disampaikan oleh al-Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub”. Beliau berfatwa:

لا ينبغي للعالم ولو تبحر فى العلم حتى صار واحدا أهل زمانه أن يقنع بما علمه وإنماالواجب عليه الإجماع بأهل الطريق ليدلوه على صراط المستقيم. ولا يتيسر ذلك (كدورات الهوى وحظوظ نفسه الأمارة بالسوء) عادة إلا على يد شيخ كامل عالم فإن لم يجد فى بلاده أو إقليمه وجب عليه السفر إليه

Artinya: Tidak patut bagi seorang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya sehingga ia menjadi Wahidu Zaman (al-Ghauts) pada masanya. Bahkan wajib baginya berkumpul bersama dengan para ahli thariqah, agar ia ditunjukkan ke arah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia di bawah kekuasaan dan bimbingan Syaikh yang kamil mukammil dan alim dalam hal tersebut. Dan apabila di daerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru atau Syaikh kamil, maka wajib baginya pergi menuju daerah yang Syaikh kamil mukamil berada di sana.

Ini lah pentingnya seorang guru ruhani yang kamil yang mampu mentarbiyah muridnya agar sampai ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT. Namun, karena sulitnya menemukan guru yang kamil mukammil, Rasul juga mengingatkan kepada umatnya agar senantiasa berhati – hati dalam memilih guru. Jangan sampai guru yang dipilih adalah guru ruhani yang menyesatkan. Sabda Rasul sebagaimana termaktub dalam kitab “Jami’ al-Shagir”-nya Imam Jalaludin al-Suyuthi, juz I bab alif:

إنما أخوف ما أخاف على أمتي الأئمة المضلون

Artinya: Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah pemimin – pemimpin yang menyesatkan.

Lantas bagaimana kita bisa menemukan seorang guru yang kamil mukammil yang berpangkat “al-Ghauts”? Perbanyak tawasul kepadanya dengan hadiah surat al-Fatihah. Hatinya seorang yang berpangkat "al-Ghauts" itu memenuhi jagat raya. Dari mana kita memanggil, maka ia bisa mendengar panggilan kita. Hubungan ruhani dengan "al-Ghauts" sangat penting untuk dilakukan agar kita mendapat tarbiyah dan nadzrah istimewanya. Dengan nadzrah dan tarbiyah tersebut kita setapak demi setapak akan meningkat hingga sampai pada "hadlrah qudsiayah"-Nya Allah. Demikian menurut para ulama ahli sufi.

Perlu diingat setiap zaman itu ada "al-Ghauts", bila beliau meninggal, maka Allah akan menggantinya dengan yang lain sampai datangnya kiamat. Bila sudah tidak ada lagi "al-Ghauts" maka itu merupakan pertanda bahwa kiamat akan segera tiba. Oleh karenanya beliau selalu ada dan selalu memperhatikan urusan umat. 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...