Bawang Merah, Putih dan Garam di Tengah Merebaknya Wabah


Bawang Merah, Putih dan Garam di Tengah Merebaknya Wabah

Wabah penyakit masih menjalankan titahnya sebagai makhluk yang tunduk pada kekuasaan-Nya. Dia Yang Maha segala-galanya. Kapan berakhirnya? Tentu itu menjadi rahasia-Nya, yang jelas saat tugasnya telah usai.

Takut, boleh dan sah-sah saja, sebagai manusia yang tidak luput dari segala kekurangan dan sebagai bukti bahwa kita bukan Tuhan. Beberapa ruas jalan yang dulu kelihatan sesak dan ramai, kelihatan lengang, meski masih ada satu dua orang yang berlalu lalang untuk memenuhi kebutuhan.


Sebagai seornag muslim beriman, kita percaya pada adanya wabah penyakit yang bisa saja mengancam setiap orang. Meremehkan tentu bukan sikap yang dibenarkan, meski keyakinan hidup dan mati tetap berada di kekuasaan-Nya. Malaikat Izra’il telah memiliki catatan siapa saja yang semestinya kembali menghadap-Nya dan siapa yang belum tiba masanya. Jika telah tiba waktunya, tidak ada seorang pun yang bisa memundurkannya, pun pula saat belum waktunya tidak ada yang bisa memajukannya. Itu yang tetap harus kita pegang dalam keyakinan terbesar dalam hidup kita.

Munculnya wabah telah dikabarkan juga oleh hadits Rasulullah Saw. Beliau bersabda:

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَسْأَلُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الطَّاعُونِ؟ فَقَالَ أُسَامَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الطَّاعُونُ رِجْزٌ أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ - أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ - فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ»

Artinya: “Dari ‘Amir ibni Sa’d ibni Abi Waqqash, dari ayahnya, bahwasannya ia mendengarnya bertanya kepada Usamah bin Zaid, “Apa yang engkau dengar dari Rasulullah Saw mengenai tha’un?” Usamah menjawab, “Tha’un merupakan wabah yang menimpa sekelompok orang dari Bani Israil,-atau menimpa orang sebelum kalian-, maka ketika kalian mendengarnya menimpa suatu daerah di bumi, janganlah kalian memasukinya,-daerah tersebut, dan ketika ia menimpa satu daerah dan kamu di dalamnya, maka janganlah engkau keluar untuk lari darinya” (HR. Malik dalam Muwaththa’).

Wabah penyakit pernah menghantui manusia, bahkan jauh sebelum umat Nabi Muhammad Saw. Siapapun bisa saja tertimpa oleh wabah penyakit yang menakutkan itu. Saat ini situasi di negara kita sedang dihadapkan pada kondisi di mana banyak kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak masa yang berkerumun dilarang. Ini tentu dengan maksud dan tujuan yang baik, yakni untuk memutus mata rantai penyebaran virus berbahaya yang dikabarkan bisa menular kepada orang lain melalui kontak fisik, maupun beberapa cara lainnya.

Dalam riwayat yang lain juga disebutkan:

أَنَّ عَائِشَةَ، أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا، سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الطَّاعُونِ، فَقَالَ: «كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ شَاءَ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِي بَلْدَةٍ يَكُونُ فِيهِ فَمَكَثَ فِيهِ لَا يَخْرُجُ مِنَ الْبَلَدِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ»

Artinya: “Sesungguhnya ‘Aisyah menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai tha’un. Beliau menjawab: “Ia merupakan adzab/siksaan yang diutus Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya, kemudian Allah menjadikannya rahmat bagi orang yang beriman. Tidaklah seorang hamba yang berada dalam suatu negeri (yang tertimpa tha’un), kemudian ia tetap tinggal di sana, tidak keluar dari negeri tersebut sembari sabar dan mengharap –Ridha-Nya, meyakini sepenuhnya bahwa tidaklah sesuatu menimpa dirinya selain apa yang telah ditakdirkan Allah Swt., melainkan baginya pahala sebagaimana pahala seorang yang mati syahid”. (HR. Ishaq ibnu Rahawaih).

Hadits kedua ini menyebut tha’un sebagai adzab/siksaan yang diutus Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Namun, coba kita perhatikan kelanjutan hadits tersebut, yakni “kemudian Allah menjadikannya rahmat bagi orang yang beriman”. Apa maksutnya? Pada penggalan pertama Rasulullah Saw. menyatakan bahwa tha’un merupakan adzab/siksaan yang bisa menimpa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Mengacu pada penggalan hadits tersebut bahwa siapapun bisa tertimpa dan tertular oleh wabah penyakit ini. Tidak peduli apakah orang tersebut non muslim maupun muslim dan mukmin sekaligus. Namun yang perlu kita cermati di dalam hadits tersebut adalah kata “adzab” dan “rahmat”. Dan rahmat itu bagi orang yang beriman bukan muslim term yang digunakan dalam hadits tersebut.

Tha’un bisa jadi adzab, bisa jadi rahmat, begitu kira-kira sederhananya. Saya beranggapan bahwa tha’un bisa menjadi adzab bagi siapa saja yang tidak beriman kepada Allah. Siapa itu? Ya orang-orang yang tidak menyadari seyakin-yakinnya bahwa semua yang terjadi di dunia ini merupakan takdir yang telah di skenariokan oleh-Nya, jauh sebelum manusia dilahirkan di dunia. Mereka yang merasakan ketakutan berlebih tanpa menyandarkannya kembali kepada Allah Swt. yang memiliki kehidupan, merekalah yang merasakan wabah sebagai satu bagian dari adzab atau siksa.

Adapun bagi orang-orang yang beriman, hadits tersebut menyebutnya sebagai rahmat. Dengan datangnya wabah, seorang mukmin semakin menyadari betapa kecilnya eksistensi dirinya di hadapan Allah Swt. Power dan kekuatan yang dimiliki, harta benda yang dibanggakan ternyata tidak mampu menolongnya saat kehendak Allah datang kepadanya.

Orang-orang yang beriman akan cenderung untuk memperbanyak taubat dan mendekatkan diri kepada-Nya. Meyakini seyakin-yakinnya bahwa semua yang terjadi telah diatur oleh-Nya, sehingga tidak muncul ketakutan berlebih dalam dirinya, sebaliknya dia justru bangkit dan semakin memperbanyak ingat kepada-Nya.

Berkenaan dengan mewabahnya penyakit, banyak ulama yang menyarankan kita untuk memperbanyak do’a, baik berupa syair, dzikir, istighfar maupun shalawat. Harapannya dengan kita memperbanyak do’a, dzikir, istighfar dan shalawat, Allah segera mengambil makhluk-Nya tersebut.

Selain itu, ada juga sebagian di antara masyayikh yang selain mengajarkan do’a dan sejenisnya, menganjurkan supaya “menggerus bawang merah, bawang putih dan garam” untuk di taruh di dalam rumah atau di beberapa tempat lainnya. Menurut beliau, pada dasarnya tidak ada penyakit yang menular. Ini di dasarkan pada hadits Nabi Saw dari Abu Hurairah Ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر

Artinya: “Tidak ada ‘adwa (penyakit menular), tidak thiyaroh (kesialan), tidak ada haamah (burung hantu), dan shafar (kesialan di bulan Shafar)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika ada penyakit menular, maka sesungguhnya hal itu disebabkan karena adanya setan yang turut serta ikut campur dalam penyebarannya. Karena itu beliau menyarankan agar menggerus tiga benda yang telah saya sebutkan di atas. Menurut beliau, benda-benda tersebut bisa digunakan untuk menarik berbagai molekul kecil semisal virus dan sejenisnya sehingga tidak menyebar. Jika sudah berubah menjadi hitam, itu artinya perlu sudah banyak virus yang menempel dan diganti dengan yang baru.

Di akhir artikel ini, saya berharap dan berdo’a semoga semuanya lekas membaik. Usaha lahiriyah dengan ikhtiar menjaga kesehatan sebaik mungkin dan mengikuti anjuran pihak-pihak terkait perlu untuk diikuti dan dijalankan sebagai wujud andil kita dalam memutus mata rantai penyebaran virus corona yang saat ini sedang menggemparkan nusantara. Bukan hanya negeri kita, namun juga masyarakat di hampir semua belahan dunia.

Semoga Allah memberikan kekuatan dan segera memberikan pertolongan-Nya kepada kita semua. Amin. Tetap ikhtiar, tetapi jangan lupa tawakkal berserah diri hanya kepada-Nya.

Komentar

Posting Komentar