Terkubur di Dalam Bumi Khumul
Kebanyakan orang senang bila eksistensi
dirinya diakui dan diketahui banyak orang. Merasa bangga dengan pujian dan
sanjungan yang terucap dari tiap bibir yang bertemu dengannya. Bahkan tidak
jarang, ada orang yang memaksakan dirinya agar lebih dikenal dan diakui
‘kehebatan’-nya padahal tidak satupun keistimewaan dan kehebatan itu melekat
pada dirinya.
Seorang yang benar-benar hebat, dan memiliki
keistimewaan umumnya justru hidup dalam kesederhanaan. Ia memilih untuk
menyembunyikan apa yang dimilikinya agar tidak dikethui oleh orang lain,
khawatir kalau-kalau kelebihan itu justru menjerumuskannya pada perilaku yang
salah. Terjebak dalam bujuk rayu nafsu dan iblis yang kerap membuat orang
tertipu pada ke-‘tenar’-an semu. Mereka lebih memilih mengubur dirinya dalam
bumi ‘khumul’.
Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy
mengingatkan di dalam kitabnya al-Hikam, “Kuburlah dirimu di dalam bumi
ketidak-nampakan (khumul). Sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak
ditanam di balik ketidak-nampakan tak akan sempurna buahnya.”
Menarik apa yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu
Athaillah ini. Beliau mengingatkan agar hendaknya kita mengubur diri di dalam
bumi khumul, ketidak-nampakan. Istilah sufi yang dipilihnya adalah khumul,
yakni kondisi di mana seseorang terhalang dari perhatian khalayak ramai.
Kondisi di mana eksistensi seseorang tidak dikenal dan diketahui oleh
kebanyakan orang.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang
hari-hari ini disuguhkan kepada kita, dimana banyak orang justru berperilaku
sebaliknya. Mereka ingin eksistensinya dalam berbagai hal diketahui dan diakui
oleh banyak orang. Tidak jarang juga, mereka rela merogoh kantungnya demi untuk
menunjukkan dirinya di hadapan khalayak ramai. Berbagai promosi dilakukan agar
semakin banyak para penggemar.
Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy dalam hal
ini menyamakan dengan benih yang ditanam di tanah. Benih yang ditanam di tanah,
tidak akan sempurna tumbuhnya, manakala ia hanya diletakkan di atas tanah,
tanpa mau menguburnya secara sempurna dan wujudnya hilang dari pandangan mata.
Orang-orang yang terjebak dalam kondisi
menginginkan dirinya dikenal, diakui eksistensinya oleh banyak orang, bermula
dari ketidak mampuan yang ada dalam dirinya. Karena itu, ia membutuhkan ‘promosi’
agar bisa meyakinkan khalayak ramai akan kemmapuan yang ada dalam dirinya.
Padahal sesungguhnya ia tdiak memiliki kemampuan itu. Parahnya lagi, banyak
orang yang pada akhirnya terbujuk dan tertipu, sehingga mereka menjadi ‘korban
promosi’ yang menggiurkan itu.
Bagi Ibnu Athaillah, seorang yang benar-benar
memiliki ke-istimewa-an dalam dirinya tidak perlu untuk mempromosikan dirinya.
Membuat berita dan informasi yang dengannya ‘nama besar’-nya semakin meningkat.
Di kenal luas sebagai seorang yang istimewa.
Orang berpangkat ‘besar’ tidak memerlukan
semua itu. Ia menyembunyikan dirinya, namun Allah memperkenalkan dirinya ke
khalayak ramai dengan lisan ‘al-malakut wa al-hawatif’. Semua orang
mengenalnya, mengaguminya, tanpa perlu membuat kabar-kabar burung yang
membesarkan namanya.
Kuburkanlah dirimu di bumi kosong, bumi
ketidak-nampaan dan biarkan Dia yang mengatur semuanya. Yakinlah bahwa apa yang
direncanakannya lebih baik dari apa yang kita rencakan. Namun, bukan berarti
kita meninggalkan ikhtiyar. Tetaplah berikhtiyar karena ikhtiyar itu merupakan
bagian dari cara kita mengakui ke-Maha Kuasaan-Nya, dan meninggalkannya
merupakan bentuk ‘kesombongan’ karena merasa tidak membutuhkan pertolongan-Nya.
Komentar
Posting Komentar