Wong Kuwi Wadahe Dewe-Dewe


Wong Kuwi Wadahe Dewe-Dewe

Judul artikel ini saya ambil saat saya sedang merelaksasi pikiran setelah merasa buntu pikiran setelah menyusun beberapa paragraf artikel. Sebagaimana saran ustadz Ngainun Naim, nikmati saja prosesnya, baca sambil ngemil, pun pula nulis sambil ngemil. Buntu pikiran biasa, dan itu artinya harus rehat sejenak, biar tidak spaneng. Saya sempatkan untuk mendengarkan hal yang mungkin ada manfaatnya dari akun youtube, dan alhamdulillah pengalaman ruhani seorang dari lampung saat di tengah-tengah area mujahadah kubro, dirawuhi Guru Ruhani-nya, Kanjeng Romo KH. Abdul Latief Madjied Ra.

Saya tidak hendak menkajinya secara mendalam atau pun hendak menceritakan apa yang disampaikan oleh yang bersangkutan. Jika berkenan mengunjungi akun youtubenya sebagai konfirmasi atas artikel yang saya tulis, saya tunjukkan linknya, yaitu https://www.youtube.com/watch?v=_6jIwZ1o5PQ. Silahkan bagi yang berkenan mengunjungi.


Saya tertarik dengan kalimat yang beliau sampaikan, “Wong kuwi wadahe dewe-dewe, wong kuwi lek kon koyo awakmu kabeh yo ora iso, tapi awakmu isih ketipu”. Kalimat ini nampaknya sederhana, namun jika kita mau untuk mencerna lebih dalam, merenungkannya dan kemudian mengambil hikmah darinya, tentu banyak pelajaran yang bsia dipetik darinya.

Pertama, “Wong kuwi wadahe dewe-dewe”, manusia itu bagiannya sendiri-sendiri. Artinya setiap orang memiliki bagian-bagian sendiri yang tidak sama dengan orang lain. Karenanya setiap orang hendaknya memahami perbedaan tersebut. Seringkali kita memaksakan kepada orang lain agar sama dengan kita, padahal itu tidak mungkin bisa dilakukan.

Dalam kehidupan keluarga misalnya, seringkali terjadi perbedaan antar individu dalam keluarga. Anak yang terlahir dari ayah yang sama, dan rahim/ibu yang sama, memiliki karakter yang berbeda, potensi dan nasib yang berbeda. Wataknya pun juga berbeda. Perbedaan ini merupakan bentuk anugerah dari Allah Swt. yang semestinya disadari oleh setiap orang sebagai bentuk kasih sayang-Nya yang harus disyukuri setiap saat, bukannya dijadikan alasan untuk mencela atau bahkan memusuhi yang lainnya.

Sebagian orang mungkin diberikan karunia ahli dalam ilmu pengetahuan, ahli dalam berpidato dan lain sebagainya. Namun, sebagian lain, mungkin tidak memiliki potensi dan kemampuan ke sana. Tetapi, ia memiliki kemampuan untuk riyadhah, puasa, duduk dalam waktu lama, dan menghabiskan malamnya untuk munajat dan bermujahadah kepada Allah Swt. Hal ini harus disadari.

Kedua, “Wong kuwi lek kon koyo awakmu kabeh yo ora iso”, manusia itu kalau disuruh seperti kamu semua juga tidak bisa. Kalimat ini mengisyaratkan adanya keragaman yang tercipta di dunia ini sebagai sunnatullah yang tak terelakkan. Tidak mungkin semua orang yang ada di dunia ini di jadikan sama dengan satu orang figur saja.

Sunnatullah telah ditetapkan sebelumnya, bahwa manusia ini tercipta dalam berbagai bentuk keragaman. Ada perbedaan suku, budaya, bangsa, warna kuit dan sebagainya. Potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orangpun berbeda satu dengan lainnya. Bayangkan saja, Allah menciptakan sidik jari milyaran manusia di dunia ini, tidak ada satu pun yang sama dengan yang lain. Ini adalah sunnatullah yang tak terbantahkan dan tidak boleh kita ingkari dengan berusaha menyeragamkan semuanya sesuai dengan kehendak kita.

Orang-orang yang memaksakan keragaman untuk diseragamkan pada dasarnya berusaha mengingkari fitrah ketuhanan yang pastinya akan berujung pada ketakberdayaan. Serupa dan semirip apapun, pasti ada pembeda dianataranya. Karena itu, jangan merasa aneh dengan berbagai keragaman yang ada di sekitar kita. Keragaman itu merupakan rahmat yang karenanya kita bisa saling mengenal satu dengan lainnya.

Ketiga, “Tapi awakmu ijik/isih ketipu”, tetapi kamu masih tertipu. Kalimat ini yang membuat orang tersebut, terkejut dan kemudian tersungkur menangis. Apa masalahnya? Banyak orang yang merasa telah sampai pada tujuan yang diinginkan, dengan munculnya indikator-indikator dhahiriyah berupa karomah, kesaktian, banyak harta dan sebagainya. Tetapi, tidak jarang semua itu ternyata hanyalah jebakan dan tipuan belaka yang menyebabkan seorang pejalan berhenti dan tidak sampai pada tujuan sejatinya.

Inilah yang mesti kita waspadai. Seseorang itu dihidupkan di dunia ini dalam pandangan Ronggo Warsito adalah dalam rangka untuk mencari “Sangkan paraning dumadi”, dari mana dan untuk apa hidup ini diciptakan. Untuk menuju pada kesejatian hidup yang sesungguhnya perlu perjuangan yang panjang dan diperlukan seorang yang berpengalaman dan untuk membimbing seseorang menuju pada tujuannya. Dalam dunia tasawuf, seorang pembimbing ini disebut sebagai “Mursyid”.

Ilmu sebanyak apapun yang telah dikumpulkan tidak akan mampu mengantarkan seseorang sampai pada tujuannya. Apalagi banyak jebakan yang seolah menunjukkan bahwa seorang pejalan telah sampai pada tujuan. Ilmu hanya sebatas symbol yang karenanya pemiliknya mengetahui tanda. Namun, saat tanda-tanda itu memiliki kemiripan satu dengan lainnya, dan sulit dibedakan mana tanda yang sesungguhnya, ibarat seorang di dekat terangnya cahaya, namun matanya tidak bisa melihat karena silau cahayanya.

Begitulah, seorang guru “mursyid” dalam perjalanan diperlukan untuk menyelamatkan sang pejalan agar ia tidak tertipu dengan mengalirnya segala bentuk pemberian. Pemberian-pemberian itu bagi seorang arif, hanyalah sebatas fadhal dan bukan tujuan. Semoga kita tidak tertipu dengan segala bentuk capaian kita dapatkan, sebaliknya segala bentuk capaian itu semakin menundukkan kepala kita dihadapan-Nya. Amin

Komentar

Posting Komentar