Nikmati Saja Prosesnya
Alhamdulillah, pagi ini, saya berkesempatan
menimba ilmu dari Dr. Ngainun Naim, M.Ag., figur yang –menurut saya, sederhana,
supel, sekaligus berwibawa yang menjadi penjaga ‘Gawang Literasi’ di kampus
dakwah dan peradaban. Kampus yang menjadi tempat di mana saya ditempa dengan
berbagai proses yang penuh suka duka, mulai tahun 2002, ketika pertama kali
menginjakkan kaki di bumi kampus dakwah dan peradaban yang kala itu masih
kecil, belum banyak dikenal orang bernama STAIN, dengan status bergelar
mahasiswa. Mengambil program studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) yang berhasil
saya selesaikan tepat waktu di tahun 2006.
Banyak hal yang saya dapatkan di kampus ini,
tentunya dengan berbagai lika-likunya. Saya bangga dan bahagia bahwa saya bisa
menimba ilmu di kampus ini, dan tentunya saya akan berusaha untuk mengabdikan
diri di kampus ini, sesuai dengan kadar kemampuan yang saya miliki. Itulah hal
yang mendasari saya untuk tetap memilih kampus ini sebagai tempat saya untuk
menimba ilmu di jenjang berikutnya.
Pagi ini, semestinya saya dan dua rekan
lainnya bisa menimba ilmu dari beliau. Namun, karena sesuatu dan lain hal, saya
hanya sendirian mendapatkan tambahan ilmu dari beliau. Hal ini sebisa mungkin
saya manfaatkan sebaik-baiknya. Kesempatan yang mungkin jarang saya peroleh di waktu
yang lain.
Banyak hal yang saya dapatkan hari ini, namun
saya hanya akan menuliskan hal yang berkaitan dengan literasi, yang tentunya
memacu adrenalin siapa saja yang mendengarnya, istilah beliau mungkin,-virus
literasi. Ya, virus literasi, virus yang beliau sebarkan hingga beliau dikenal
sebagai pegiat literasi dan penjaga gawang literasi.
Kalimat sederhana yang beliau sampaikan, “Saya
selalu menikmati semua proses, dan tidak menjadikan kegagalan sebagai satu hal
menyakitkan melainkan sebagai kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri”. Itulah
mungkin yang saya tangkap dari apa yang beliau sampaikan, meskipun mungkin
tidak mewakili kesemuanya.
Beliau banyak bercerita tentang pengalaman
hidupnya dalam menekuni dunia literasi. Banyak pengalaman baik suka maupun
duka, serta perjuangan keras beliau dalam merawat semangat menulis. Tentu bukan
hal mudah, karena itu berjibaku dan mengibarkan bendera ‘perang’ pada rasa ‘malas’
merupakan keharusan yang tidak terbantahkan.
Ditolak penerbit dan pengelola jurnal, bagi
beliau bukan hal yang asing lagi. Tetapi, beliau tidak menganggapnya sebagai
satu hal menyakitkan, tetapi sebaliknya, beliau menjadikannya sebagai pemantik
semangat serta pemicu untuk belajar serta meningkatkan kualitas karyanya.
Cacian dan cemoohan, bukan lagi hal yang
asing. Yang penting tetap berkarya dan menelurkan buah karya. Semakin sering
berkarya semakin meningkat kualitasnya, itu pasti. Di dunia ini, tidak ada
sesuatu yang datang tiba-tiba dan ujug-ujug. Itu prinsipnya. Semua mesti
melalui proses simultan dan berkelanjutan yang karenanya kita tahu dan bisa
bercerita tentang segala sesuatu yang pernah kita lakukan.
Target materi dan sejenisnya? Tentu hal itu
penting, tetapi bagi beliau bukan merupakan prioritas utama. Yang terpenting
adalah menikmati proses sebaik-baiknya dan bekerja sebaik-baiknya. Urusan rizki
sudah ada yang mengatur. Rizki tidak bisa dipikirkan secara matematis. Jika kita
memikirkannya secara matematis, yang ada justru kita akan dipusingkan olehnya. Karena
itu, yang terpenting adalah bekerja dengan sebaik-baiknya dan apa yang kita
terima adalah rizki yang menjadi bagian kita dan disyukuri saja.
Semangat menulis tetap beliau dengungkan dan
tularkan, kepada siapa saja. Beliau meyakini sesederhana apapun tulisan kita,
tetap ada manfaatnya. Saat menulis jangan menghiraukan ‘Apakah tulisan saya
berkualitas?’, Jika dibenak kita terpatri pertanyaan itu, yang ada kita
akan berhenti menulis. Takut, kalau-kalau tulisan kita jelek, dicaci orang, dan
sebagainya. Yang penting tulis saja, toh mereka yang mengkritik, umumnya tidak
bisa melakukan seperti apa yang kita lakukan.
Beliau menyitir ungkapan Sayyid Qutb yang
menyatakan bahwa satu tulisan bisa memecahkan jutaan kepala. Beliau berkeyakinan
satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, namun satu ide dan gagasan bisa
menembus jutaan kepala. Artinya efek dari tulisan yang kita torehkan akan lebih
bisa memberi dampak dan pengaruh dibandingkan dengan peluru/senjata yang
dilepaskan.
Hal menarik juga yang beliau sampaikan, jangan
terpaku juga bahwa tulisan kita harus bernilai ilmiah dan akademik. Tidak,
konsumen pembaca tulisan kita tidak melulu mereka yang berpendidikan tinggi. Tulisan
ilmiah yang bersifat akademik hanya bisa dipahami oleh mereka yang
berpendidikan tinggi saja. Padahal untuk melakukan perubahan tidak selalu harus
dimulai dari mereka yang berpendidikan tinggi. Karena itu, teruslah menulis,
nikmati prosesnya, dan pelajarilah setiap tahapannya. Dengan menikmati setiap
tahapan yang ada secara otomatis kualitas akan mengikuti.
Komentar
Posting Komentar