Kamis, 27 April 2017

Menggugat Keummiyan Nabi Muhammad SAW

Menggugat Keummiyan Nabi Muhammad SAW


Sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan muslim bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi panutannya adalah seorang nabi yang ummi. Kata ummi umumnya diartikan sebagai ketidak mampuan nabi dalam membaca dan menulis.

Para ulama salaf dan umumnya kyai pesantren banyak yang beranggapan sebagaimana pandangan di atas. Mereka berargumen bahwa keadaan nabi yang ummi, tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis semakin menunjukkan keotentikan dan kemurnian al-Qur’an sebagai kitab suci.

Ini wajar, karena tidak mungkin bagi seorang yang tidak bisa membaca dan menulis mencipta dan mengarang kitab suci sebagaimana al-Qur’an. Kitab yang sampai detik ini belum ditemukan karya sastra yang mampu menandinginya. Setidaknya inilah yang dijadikan argument oleh para ulama utamanya salaf shalih dan kyai pesantren tentang keummian Nabi Muhammad SAW.

Berbeda dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Aksin Wijaya mengajukan satu argumen yang -menurut saya, menarik untuk dicermati dan paling tidak bisa menjadi bahan rujukan yang berbeda dari pendapat pada umumnya.

Dalam bukunya “Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an”, ia mengatakan bahwa argumen yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis, dan belum pernah membaca kitab – kitab umat terdahulu adalah satu argumen yang sesungguhnya merendahkan kredibilitas Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang nabi dan rasul yang dibekali oleh sifat fathanah/cerdas.

Aksin Wijaya mengatakan, “Logika berpikir yang mengartikan “Nabi yang ummi” sebagai yang buta huruf menurut saya justru merendahkan Muhammad sendiri, dan juga merendahkan nilai al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan. Bukankah nilai al-Qur’an sebagai wahyu ilahi itu akan lebih mulia andaikata ia diturunkan pada manusia yang sempurna, yang bukan hanya pandai beretorika, menghafal, tetapi juga membaca dan menulis.”

Beliau mengatakan bahwa untuk menolak tuduhan – tuduhan orang kafir terhadap nabi, tidak selayaknya menggunakan logika yang justru merendahkan Nabi Muhammad SAW. Fakta bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang dibekali kecerdasan akal yang sempurna oleh Allah merupakan fakta yang tak terbantahkan oleh siapapun.

Sebagai misal adalah saat – saat beliau mengalami kesulitan karena hijrahnya dari Makkah ke Madinah. Saat tiba saja telah terjadi peristiwa yang boleh jadi bila tidak diselesaikan dengan cara cerdas akan berbuntut pada pertumpahan darah.

Saat Rasul tiba di Madinah, semua orang ingin agar Rasul tinggal di rumahnya. Namun, kecerdasan Rasul mengambil sebuah solusi yang bijak dan tidak menyakiti siapapun dengan mengatakan bahwa di mana unta beliau berhenti, maka di situlah beliau akan tinggal. Sungguh satu kecerdasan yang luar biasa. Coba saja seandainya beliau langsung memutuskan bahwa beliau akan tinggal di rumah si Fulan, tentu akan banyak orang yang merasa dikecewakan oleh keputusannya itu.

Tidak hanya itu beliau juga mengambil solusi tepat saat dihadapkan pada situasi sulit. Situasi di mana beliau tinggal di tempat baru, di satu sisi ada muhajirin Makkah yang merupakan pengikut setianya selama di Makkah, ada penduduk anshar yang telah menolong mereka dan ada suku – suku dan kabilah yang tinggal di Yatsrib, kala itu yang sering terlibat dalam baku hantam dan saling serang.

Sungguh satu situasi dan kondisi sulit yang menuntut beliau agar mengambil tindakan bijak dan penuh kecerdasan. Akhirnya beliau berinisiatif untuk membuat perjanjian yang kemudian hari dikenal dengan Piagam Madinah.

Nah, fakta – fakta sejarah yang tak terbantahkan ini, merupakan bukti kecerdasan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya semakin memustahilkan keummiyan, “kebuta hurufan”, beliau sebagai Rasul Allah.

Lantas bagaimana dengan dialog yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saat beliau ditemui oleh Malaikat Jibril di Gua Hira? Bukankah riwayat menunjukkan bahwa beliau menjawab perintah Malaikat Jibril dengan mengatakan, “Ma Aqra’” atau “Ma Ana biqariin”. Bukankah semua itu menunjukkan keummiyan Nabi Muhammad SAW?

Pak Aksin mengajukan argumen atas dialog ini. Beliau mengatakan bahwa kedua kata ini bukan mengandung naïf, melainkan istifham. Jika diartikan sebagai istifham maka kedua kata ini akan menunjuk pada arti, “Apa yang harus saya baca?”

Beliau menambahkan bahwa sebagai seorang yang manusia sempurna yang memiliki kemampuan membaca dan menulis, pemaknaan demikian juga dikarenakan di dalam dialog tersebut, sang komunikator, roh al-Amin tidak memberikan teks kepada Nabi Muhammad SAW untuk dibaca. Karena tidak adanya teks yang harus dibaca maka Rasul menanyakan perihal apa yang harus beliau baca.

Lantas, apakah dengan tidak mengartikan kata “ummi” sebagai buta huruf, tidak lantas mengurangi keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang bersih dari campur tangan manusia karena diturunkan pada nabi yang cerdas dan bisa membaca dan menulis? Jawabnya tentu tidak. Al-Qur’an memiliki dimensi kemukjizatan tersendiri yang karena kemukjizatannya itulah ia mampu mengalahkan musuh – musuhnya bahkan dengan surat terpendek yang terdapat di dalamnya.

Kemukjizatan al-Qur’an juga tercermin dari tantangan yang diberlakukannya kepada para penentangnya untuk membuat satu surat semisal al-Qur’an dengan mendatangkan semua para penolongnya selain Allah. Dan nyatanya, sampai saat ini belum atau bahkan tidak akan pernah ada seorangpun yang mampu menjawab tantangan al-Qur’an itu.

Nah, oleh karenanya untuk menunjukkan keotentikan al-Qur’an tidak perlu menggunakan argumen yang justru merendahkan kredibilitas Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah seorang Rasul yang dibekali dengan kesempurnaan akal dan kecerdasan. Sebagai umat Islam harus tetap menjaga kredibilitas dan menempatkan beliau sebagai pribadi Agung yang dilebihi kelebihan di atas yang lainnya, baik dari sisi dhahirnya, bathinnya, fisiknya, kesempurnaan akal kecerdasannya dan lain sebagainya.

Disinilah sesungguhnya nilai dari penghormatan dan pengagungan kepada Rasul sebagai utusan Allah SWT. Lantas bagaimana dengan anda? Apakah anda masih tetap bersikukuh dengan pendapat yang mengatakan tentang kebuta hurufan Nabi Muhammad SAW atau mencoba bergeser pada pemahaman baru sebagaimana yang ditawarkan oleh Pak Aksin Wijaya.

Terlepas dari berbagai perbedaan dan perselisihan yang ada, yang jelas al-Qur’an adalah kitab suci yang tetap pada keotentikannya. Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi panutan kita yang memiliki keagungan dan kesempurnaan melebihi yang lain dalam semua hal termasuk di dalamnya dalam hal kecerdasannya. Terlepas dari mereka yang mensyaratkan kemampuan membaca dan menulis sebagai syarat kecerdasan, maupun orang yang tidak mensyaratkannya.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam..



Rabu, 26 April 2017

Peringatan Isra' MI'raj



Peringatan Isra’ MI’raj
(Ma'had al-Jami'ah IAIN Tulungagung

Di penghujung bulan April 2017 ini, Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung penuh dengan berbagai agenda. Setelah kemarin minggu 23 April 2017 dilaksanakan lomba musabaqah al-Khithabah, malam ini, Selasa 25 April 2017 giliran Ma’had al-Jami’ah menggelar acara yang tidak kalah meriah yakni peringatan Isra’ Nabi Besar Muhammad SAW. Acara ini merupakan rangkaian acara yang digelar Ma’had al-Jami’ah sebelum pada akhirnya menggelar acara “Haflah Akhir al-Sanah” yang Insya Allah akan digelar pada akhir bulan Mei mendatang.

Acara ini diikuti oleh seluruh para pengelola Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung, mulai dari Mudir Ma’had al-Jami’ah, DR. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag, para murabbi yang tediri dari unsur dosen tetap bukan PNS, para asatidz dari unsur dosen dan tenaga professional, para musyrifah yang terdiri dari unsur mahasantri semester atas yang saat ini dikomandani oleh ukhti Istihabbil Imamah yang sesaat lagi akan mengikuti ujian skripsi dan para mahasantri yang tinggal di asrama Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung.

Prosesi acara peringatan Isra’ Mi’raj mala mini di awali dengan penampilan mahasantri yang menampilkan kebolehan mereka dalam olah vocal bersama Group Shalawat al-Banjarinya. Setelah itu barulah memasuki acara intinya yaitu peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW. yang dilaksanakan secara seremonial di Aula Utama Gedung Pascasarjana Lantai lima. Hadir sebagai mau’idlah al-hasanah pada kesempatan ini adalah al-Habib Hasan bin Ali Assegaf dari Surabaya.

Sebelum penyampaian mau’idlah al-hasanah terlebih dahulu diawali dengan sambutan – sambutan, yakni atas nama wakil panitia pelaksana yang diwakili oleh Muhamad Fatoni, M.Pd.I, dan sambutan Mudir Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung oleh DR. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag.

Dalam sambutannya Mudir Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung memberikan apresiasi atas terlaksananya program peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW. Menurut beliau acara semacam ini penting untuk di “uri – uri”, dihidupkan. Dengan adanya peringatan Isra’ Mi’raj semacam ini, maka kita akan memiliki “sambung roso”, keterikatan hati dengan beliau Rasulullah Muhammad SAW.
 Mudir Ma'had Saat Memberi Kata Sambutan

Peringatan Isra’ Mi’raj juga merupakan peringatan peristiwa besar yang pernah dialami oleh Baginda Agung Muhammad SAW. Sesungguhnya banyak sekali peristiwa besar yang pernah dialami oleh Rasul semisal Isra’ Mi’raj, peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah, penaklukan Makkah dan lain – lain. Namun, beliau menegaskan dari rangkain peristiwa tersebut yang secara langsung termaktub dalam al-Qur’an adalah peristiwa Isra’ Mi’raj baginda Agung Muhammad SAW. Ini menandakan bahwa peristiwa ini adalah peristiwa yang jauh memiliki makna besar disbanding peristiwa lainnya.

Beliau juga menyampaikan bahwa inti dari Isra’ Mi’raj sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an terletak pada kata “Linuriyahu min ayatina”, yang artinya supaya kami menunjukkan kepadanya sebagian di antara tanda – tanda kekuasaan Kami.

Jadi peristiwa Isra’ Mi’raj adalah merupakan salah satu peristiwa besar yang harus diimani oleh setiap umat Islam. Peristiwa ini sekaligus menjadi sarana bagi Allah SWT untuk menunjukkan kekuasaan-Nya kepada hamba pilihan yang menjadi kekasih-Nya, Muhammad SAW.

Sementara itu pada mau’idlahnya, beliau al-Habib Hasan bin Ali Assegaf, banyak memberikan penjabaran dan penjelasan megenai shalawat kepada beliau Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga menyampaikan banyak hal tentang hikmah dibalik peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.
Mau'idzah Hasanah Oleh Habib Hasan bin Ali Assegaf

Diawal pemaparannya beliau menyampaikan bahwa acara peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW. seperti acara yang digelar pada kesempatan malam hari ini, merupakan acara positif yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Dengan adanya peringatan Isra’ Mi’raj seperti acara malam hari maka hati kita semakin dipenuhi dengan cinta dan syauq/rindu kepada Beliau Rasulullah SAW.

Selian itu beliau juga menyampaikan bahwa acara – acara yang digelar dalam rangka untuk memperingati sejarah Rasulullah SAW, baik berupa maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan seterusnya bukanlah hal yang bid’ah, khurafat, syirik dan kufur. Sungguh mereka yang menganggap peringatan – peringatan seperti ini sebagai hal yang bid’ah, khurafat, syirik dan kufur adalah orang yang telah terbutakan mata hatinya. Meski mereka sudah mengetahui dalilnya mereka tidak akan menerima kebenaran itu karena hatinya telah tertutup.

Sebagai bukti beliau menyebutkan sebuah riwayat bahwa suatu ketika Ibnu Abbas R.A. pernah meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menggunakan lisannya sebagai alat untuk memuji dan mengagungkan beliau. Beliau tidak melarangnya dan justru mendoakan, semoga lisanmu –yang dipakai untuk memuji rasul, akan menjadi sebab dikumpulkannya engkau bersamaku di surga.

Beliau melanjutkan, bahwa selama ini yang dibaca oleh para ulama dan umat Isalm, baik berupa dziba’, berzanji, simtut durar semuanya berisi sejarah Rasulullah SAW dan pujian atas beliau. Dengan membaca semua itu maka kita akan semakin memahami betapa agungnya sejarah beliau dan betapa agungnya kedudukan beliau SAW. Dengan mengetahui keagungan sejarah dan pribadi Rasul maka semakin tumbuh dalam hati kita rasa mahabbah dan rindu kita kepada beliau Rasulullah SAW.

Beliau juga mengingatkan tentang keagungan ibadah yang berupa shalawat kepada Rasul SAW. Amal ibadah kita mungkin saja tidak diterima oleh Allah, baik itu shalat kita, shadaqah, puasa dan haji oleh karena ketidak ikhlasan kita dalam mengerjakannya. Amal ibadah sebanyak apapun apabila tidak ikhlas lillahi ta’ala dalam pelaksanaannya, maka semua itu akan ditolak oleh Allah. 

Mengingat sulitnya amal ibadah agar diterima oleh Allah, maka kita perlu untuk memohon syafaat kepada Rasulullah SAW dengan memperbanyak shalawat. Menurut beliau shalawat adalah amal ibadah yang paling mudah di antara yang lain. Shalawat seperti apapun keadaannya pasti akan diterima oleh Allah SWT meski yang membacanya berlaku riya’.

Shalawat adalah amal ibadah yang paling bisa kita harapkan agar kita dikenal dan disyafaati oleh beliau Rasulullah SAW. Oleh karena itu beliau mengajak kepada semua yang hadir utamanya para mahasantri untuk senantiasa memperbanyak shalawat kepada beliau Rasulullah SAW.

Beliau juga menegaskan bahwa oleh – oleh Nabi Muhammad SAW saat menghadap Allah dalam peristiwa Isra’ Mi’raj adalah shalat. Shalat menjadi amal ibadah yang akan dihisab oleh Allah SWT besuk di hari kiamat. Apabila shalatnya baik, maka baiklah seluruh amal ibadahnya. Sebaliknya bila shalatnya jelek, maka buruklah seluruh amal ibadahnya. Shalat ibarat barometer yang menjadi tolok ukur keimanan seseorang.

Karena itulah beliau mengajak kepada seluruh yang hadir untuk seantiasa mengoreksi shalatnya. Apabila sudah tertib maka harus ditingkatkan kekhusyu’annya, apabila sudah khusyu’ maka harus disukuri. 

Selain itu dalam kesempatan ini, beliau juga mengingatkan agar semua yang hadir tidak menghina dan meremehkan mereka yang shalatnya belum baik. Beliau mengingatkan bahwa apabila ada orang yang belum bisa shalat, maka kewajiban kitalah untuk mengajaknya shalat. Apabila ia belum bisa shalat, maka kewajiban kitalah untuk mengajarinya shalat.

Beliau menegaskan bahwa untuk menjadi umat Nabi Muhammad SAW tidaklah gampang. Termasuk di antara syarat umat Nabi Muhammad SAW adalah mau menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Intinya untuk mejadi umat Nabi Muhammad SAW maka seseorang harus mampu menjadi seorang da’i. Da’i tidak harus dengan ceramah. Tugas da’i tidak hanya disandang oleh mereka yang menjadi muballigh, ustadz, kiai dan sebagainya. Akan tetapi pada hakikatnya semua umat Islam harus mampu berperan sebagai seorang da’i yang mengajak umat manusia untuk menjalankan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.

Terakhir beliau mengajak kepada semua yang hadir agar memperbanyak istighfar, mohon ampun kepada Allah. Dengan mohon ampun kepada Allah, maka semua hajat kita akan dikabulkan oleh Allah SWT. Inti dari istighfar adalah taubat kepada Allah SWT. Dengan taubat yang sungguh – sungguh kepada Allah, maka Allah akan membukakan pintu barakah-Nya baik dari langit dan bumi.

Akhirnya semoga peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW yang digelar oleh keluarga besar Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung mampu menjadikan seluruh pengelola dan mahasantri memiliki rasa cinta/mahabbah kepada Rasul SAW, memiliki rasa syauq/rindu kepada Rasul SAW sehingga dikumpulkan bersama – sama beliau di surga-Nya Allah SWT. Semoga ke depan seluruh mahasantri IAIN Tulungagung akan dijadikan oleh Allah sebagai pecinta – pecinta Allah dan Rasulullah SAW. Amin

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Selasa, 25 April 2017

Musabaqah al-Khithabah

Musabaqah al-Khithabah
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung 2016 - 2017)


Minggu, 23 April 2017, Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung mengadakan kegiatan musabaqah al-Khithabah bi al-Lughah al-Arabiyah wa al-Injiliziyyah. Agenda ini merupakan agenda rutin yang dijalankan oleh Ma’had al-Jami’ah, sekali dalam satu tahun.

Musabaqah ini diperuntukkan bagi mahasantri yang mukim di asrama Ma’had al-Jami’ah. Adapun jumlah mahasantri yang saat ini mukim di asrama Ma’had berkisar antara 350 orang mahasantri. Mereka berasal dari daerah yang umumnya jauh dari IAIN Tulungagung.

Kegiatan musabaqah ini di ikuti oleh sekitar 48 peserta yang terdiri dari 24 orang peserta khithabah bahasa Arab dan 24 lainnya peserta khithabah bahasa Inggris. Kegiatan ini di awali dengan acara seremonial pembukaan pada pukul 08.00 WIB. Adapun yang membuka acara adalah beliau DR. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag. yang merupakan Mudir Ma’had al-Jami’ah.

Adapun ketua pelaksana dari unsur Murabbi adalah Muhammad Fatoni, M.Pd.I. Dalam sambutannya ketua panitia menyatakan bahwa agenda ini merupakan agenda tahunan yang digelar oleh pengelola Ma’had al-Jami’ah. Selain itu agenda ini dimaksudkan juga mengetahui sejauh mana penguasaan mahasantri terhadap semua materi yang telah diberikan oleh para musyrifah dan pengelola ma’had selam kurun waktu kurang lebih dua semester, utamanya dalam hal bahasa. Sebagaimana dimaklumi bahwa kemampuan bahasa tidak hanya dalam hal kita mampu memahami teks – teks secara pasif, namun, bahasa juga dimaksudkan sebagai alat komunikasi, sehingga selain mereka dituntut untuk menguasai bahasa secara pasif juga mampu menerapkan bahasa itu sebagai bahasa aktif, -tentunya dalam bentuk komunikasi.

Sementara itu dalam sambutannya, Mudir Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung memberikan apresiasi positif terhadap adanya acara ini. Beliau juga berharap agar para mahasantri benar – benar memanfaatkan acara ini sebagai sebuah ajang kompetisi positif. Beliau juga menegaskan bahwa sesungguhnya musabaqah/kompetisi itu juga merupakan perintah Allah SWT yang termaktub dalam al-Qur’an, tentunya yang dimaksudkan di sini adalah kompetisi yang sehat dan kompetisi yang positif sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Qur’an dengan bahasanya, “Fastabiqu al-Khairat”, berlomba – lombalah dalam kebaikan.

Beliau menjelaskan, bahwa bila ditinjau dari sisi bahasanya, maka perintah yang ada dalam al-Qur’an menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul yang menyatakan bahwa, “Al-Amru yadullu ‘ala al-Wujub”, Amar/kata perintah –dalam al-Qur’an, itu menunjukkan wajib. Artinya sesungguhnya perintah untuk berlomba – lomba dalam kebaikan sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an itu menunjukkan bahwa perlombaan itu adalah wajib.

Mengingat bahwa berlomba dalam kebaikan itu adalah wajib, maka sudah seharusnya bagi setiap umat Islam khususnya mahasantri yang ada di Ma’had mukim IAIN Tulungagung untuk selalu melakukan kompetisi. Kompetisi bukan untuk mencari siapa yang kalah dan menang, tetapi adalah untuk semakin menempa diri agar menjadi manusia yang berkualitas.

Dalam sambutannya juga menyampaikan apresiasinya sekaligus rasa bangga kepada seluruh mahasantri. Betapa tidak, waktu mahasantri tersita dengan berbagai kegiatan untuk menuntut ilmu. Dari pagi sampai malam hari mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk menempa diri mereka agar menjadi berkualitas.

Dengan menempa diri agar menjadi pribadi yang berkualitas tentunya diharapkan selepas tamatnya mereka dari kampus IAIN Tulungagung, mereka mampu mendarma baktikan diri mereka kepada umat dan masyarakat. Sebagaimana dimaklumi bahwa IAIN Tulungagung telah menahbiskan dirinya sebagai kampus dakwah dan peradaban. Oleh karenanya setiap alumni dari IAIN Tulungagung harus mampu menjadi seorang da’i/da’iyah  yang tentunya selain mereka bertugas sebagai mana konsentrasi yang diambilnya, mereka juga mampu mengajak umat untuk kembali mengabdikan diri kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Alhamdulillah acara ini berjalan dengan lancar. Para mahasantri antusias dalam mengikuti acara ini. Acara ini selesai pada sekitar pukul 13. 00 WIB. Semoga semua bermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasantri IAIN Tulungagung. Amin.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…


Jumat, 21 April 2017

Kajian Tasawuf Jilid II



Kajian Tasawuf Jilid II
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)

Sore ini tampak beberapa orang murabbi dan musyrifah Ma’had al-Jami’ah berkumpul di ruang kantor Ma’had al-Jami’ah. Sebelumnya pada pagi harinya dilaksanakan khatmil Qur’an Jum’at legi di kantor Ma’had. Tradisi ini diusahakan untuk istiqamah di jalankan agar barakahnya semakin banyak. Berkumpulnya para pengelola di sore ini adalah dalam rangka agenda rutin kajian tasawuf yang dilaksanakan tiap Jum’at sore.

Tema yang diangkat pada kesempatan kali ini adalah hal yang berkaitan dengan lembutnya tipu daya nafsu yang ada dalam diri manusia. Kelembutan nafsu seringkali tidak diwaspadai oleh seorang salikin yang menempuh perjalanan menuju hadhrah qudsiyah-Nya, Allah SWT.

Al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari mendawuhkan dalam kitabnya al-hikam:

إرادتك التجريد مع إقامة الله  إياك فى الأسباب من الشهوة الخفية وإرادتك اللأسباب مع إقامة الله إياك فى التجريد انحطاط عن الهمة العلية

Artinya: Keinginanmu untuk melakukan tajrid (meninggalkan usaha – usaha mencari rizki) sedangkan Allah mendirikanmu pada asbab (sebab musabab, melakukan usaha – usaha untuk mendapatkan rizki) adalah termasuk ke dalam syahwat yang tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berkecimpung (di dalam asbab) sedangkan Allah mendirikanmu di maqam tajrid adalah satu penurunan dari himmah yang tinggi.

Dalam perjalanan menuju hadhrah qudsiyah-Nya, Allah adakalanya seseorang harus berusaha dengan usaha – usaha yang ditempuhnya baik dengan riyadlah, mujahadan dan serangkaian ibadah lain yang bisa menghantarkannya pada satu maqam tertentu. Tetapi adakalanya juga seseorang dikehendaki oleh Allah sehingga ia langsung diangkat pada maqam yang tinggi disisi Allah. Mereka yang harus menempuh perjalanan dengan usaha – usaha baik dhahir maupun bathin ini dinamakan salikin/muridin, sedangkan mereka yang dikehendaki oleh Allah dinamakan majdzubin/muradin.

Bagi seorang salikin yang menghendaki sampai pada hadhrah qudsiyah-Nya Allah, harus melakukan proses tazkiyat al-nafsi (penyucian hati) dari berbagai kotoran – kotoran hati. Hati sebagaimana sabda Rasulullah SAW adalah pusat gerak dari seluruh organ manusia. Jika hati baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik. Sebaliknya, jika hati jelek, maka seluruh tubuh juga akan menjadi jelek.

Karena itulah hati harus senantiasa dibersihkan agar darinya terpancar cahaya kebaikan yang akan terepresentasi dari perilaku dan perbuatannya. Untuk itu hati harus dibebaskan dari pengaruh – pengaruh nafsu dan syahwat yang bisa mengarahkannya pada hal – hal yang tidak diridlai Allah SWT.

Setelah proses penyucian hati it uterus menerus dilakukan maka setahap demi setahap seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah hingga mencapai maqam musyahadah kepada-Nya. Namun, tentunya hal ini memerlukan proses yang panjang dan keistiqamahan dari seorang murid.

Adakalanya seseorang masih ditempatkan oleh Allah dalam maqam asbab, adakalanya pula ia telah mencapai maqam tajrid. Maqam asbab adalah maqam di mana seseorang masih terikat dengan hukum sebab akibat. Artinya seseorang yang masih berada pada maqam yang apabila ingin memperoleh sesuatu maka ia harus berusaha meraihnya dengan usaha – usahanya.

Orang yang berada pada maqam asbab, bila ingin mendapatkan rizki, maka ia harus bekerja., bila ingin menjadi pandai, maka ia harus belajar, begitu seterusnya. Apabila masih berada dalam maqam ini, maka kehidupan seseorang masih terikat oleh hal – hal yang sifatnya duniawi. 

Bagi seseorang yang berada pada maqam ini, apabila di dalam hatinya terbesit keinginan untuk berada pada maqam tajrid, maka harus diwaspadai. Di sinilah sebenarnya pentingnya peran seorang guru mursyid yang kamil mukammil. Guru yang sempurna dan mampu menyempurnakan iman santrinya.

Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan bahwa keinginan seseorang yang masih berada pada maqam asbab untuk mencapai maqam tajrid termasuk bagian dari nafsu yang tersembunyi. Orang yang memiliki keinginan seperti ini tidak ikhlas amal ibadahnya. Ibadahnya bukan semata karena Allah melainkan ada maksut – maksut tertentu yakni bisa mencapai maqam tajrid. Padahal maqam tajrid pada hakikatnya adalah makhluk Allah. bila seseorang beribadah dengan tujuan maqam tajrid sama artinya menuhankan makhluk Allah, yakni maqam tajrid.

Lantas bagaimana seharusnya seorang beribadah? Seorang murid dalam beribadah seharusnya ikhlas murni karena Allah tidak mengharap apapun selain ridla-Nya.  Ia shalat semata menjalankan perintah Allah, begitu juga dengan puasanya, zakatnya, shadaqahnya dan sederetan ibadah lainnya semua dilakukan semata karena Allah bukan karena yang lainnya. Titik. Apabila masih ada keinginan yang lain maka perlu diwaspadai boleh jadi itu adalah bujukan nafsu syahwatnya.

Keinginan untuk keluar dari maqam asbab ini termasuk ke dalam syahwat yang tersembunyi. Mengapa? Karena ia tidak puas dengan apa yang dikehendaki Allah padanya. Hatinya masih merasa kurang dengan apa yang telah Allah takdirkan untuknya. Oleh karena itu hal ini harus diwaspadai oleh seorang murid karena kebanyakan di antara mereka tidak menyadari bahwa itu adalah syahwatnya belaka.

Demikian halnya bagi seorang yang telah diangkat derajatnya oleh Allah pada maqam tajrid. Maqam tajrid adalah maqam di mana seseorang yang menginginkan sesuatu, ia tidak lagi terikat oleh asbab/usaha – usaha untuk mencapainya. 

Orang yang berada pada mqam ini pada dasanya tugasnya hanya satu yakni selalu beribadah kepada Allah. Ia tidak perlu lagi bekerja dan berusaha karena dengan tanpa usaha, Allah telah memenuhi hajat dan kebutuhannya. Rizkinya telah dibuka oleh Allah dengan cara yang tidak disangka – sangka.

Terbukanya pintu rizki dengan tanpa disangka – sangka merupakan sebuah tanda bahwa orang tersebut di tempatkan oleh Allah pada maqam tajrid. Maqam ini adalah maqam yang tinggi di sisi Allah SWT. Apabila seseorang telah berada pada maqam ini, pada dasarnya tugasnya hanyalah satu yaitu beribadah kepada Allah bukan yang lainnya.

Namun, seringkali sifat manusiawi manusia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah kepadanya. Seorang pedagang akan beranggapan bahwa menjadi petani itu enak, petani beranggapan sebaliknya. Seorang buruh pabrik beranggapan bahwa menjadi pegawai pemerintah itu enak, begitu juga sebaliknya. Itulah sifat manusiawi yang sering menghinggapi seseorang.

Demikian halnya dengan seorang yang menempuh perjalanan menuju Allah. adakalanya ketika Allah telah menempatkan dirinya pada maqam tajrid, terbesit keinginan dalam dirinya untuk berkecimpung dalam maqam asbab.

Al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan kepada muridin agar senantiasa berhati – hati. Keinginan seseorang yang berada pada maqam tajrid untuk berkecimpung di maqam asbab adalah salah satu tanda akan turunnya ia dari himmah yang tinggi.

Maqam tajrid adalah maqam tinggi yang dikhususkan oleh Allah untuk orang – orang khusus dari hamba-Nya yang mengesakannya dan para ahli ma’rifat. Ketika seseorang berada pada maqam ini, tetapi terbesit dalam hatinya keinginan untuk menyibukkan diri pada maqam asbab, sesungguhnya hal itu merupakan tanda akan turunnya seseorang dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih rendah. Keinginan tersebut merupakan nafsu syahwat yang nyata,  bukan lagi samar, oleh karena maqam tajrid adalah maqam tinggi sementara asbab adalah maqam yang rendah.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...