Minggu, 14 Mei 2017

Kajian Tasawuf Jilid V



Kajian Tasawuf Jilid V          
(Ma’had al-Jamiah IAIN Tulungagung)



Alhamdulillah Ma’had al-Jami’ah kembali bisa mengadakan acara rutin kajian rutin tasawuf yang jum’at kemarin telah memasuki sesi kelima. Ternyata kajian ini semakin menarik minat para penggemar tasawuf bahkan banyak mahasiswa yang mulai tertarik untuk ikut serta dalam kajian ini. 

Awalnya memang kajian ini dimaksudkan untuk para murabbi sebagai tempat sharing pengalaman dan pengetahuan. Kemudian murabbi mengajak para musyrifah yang berasal dari unsur mahasiswa yang mengelola ma’had mukim, dan kabar terakhir kemarin ada mahasiswa luar yang juga ikut dalam kajian ini. Mudah – mudahan ini bisa semakin menambah semangat sahabat – sahabat murabbi dan mahasiswa untuk semakin menekuni dunia tasawuf dalam rangka menggapai iman musyahadah dan ma’rifat billah. 

Kajian tasawuf putaran kelima ini membahas tentang kalimah hikmah al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari dalam kitab hikamnya:

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح فى الدعاء موجبا ليأسك، فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختاره لنفسك، وفى الوقت الذى يريد لا فى الوقت الذى تريد

Artinya: Janganlah penundaan pemberian – pemberian (karunia – karunia) bersamaan dengan kesungguhan dalam berdo’a, menyebabkan engkau berputus asa. Maka Ia menjamin untukmu ijabah (terhadap do’a) dalam hal yang Dia pilihkan untukmu bukan hal yang engkau memilihnya untuk dirimu, dan pada waktu yang Dia inginkah bukan pada waktu yang engkau inginkan.

Kalimah hikmah ini sebelumnya sudah disinggung sedikit dalam kajian tasawuf jilid IV, namun di jilid lima ini kalimah hikmah inilah yang akan menjadi fokus topik kajiannya. Semoga bisa semakin menambah keimanan dan keyakinan kita akan kekuasaan Allah yang mutlak dan menjadikan kita sebagai ahlul muhibbin.

Allah memiliki rahasia – rahasia yang terkadang rahasia itu belum atau bahkan tidak dipahami oleh hamba-Nya. Bagi mereka yang keimanannya kuat mereka beriman dan meyakininya sembari meyakini bahwa rahasia Allah pada dirinya adalah yang terbaik. Sebaliknya bagi mereka yang tingkat keimananya lemah atau bahkan ingkar terhadap Allah, mereka cenderung mengalami gundah gulana saat memahami rahasia – rahasia ketuhanan itu.

Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam Surat al-Ghafir (40); 60:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (60)

Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang – orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Q.S. al-Ghafir (40); 60)

Ayat di atas seolah menjadi sebuah jaminan dari Allah bahwa setiap do’a yang dipanjatkan oleh hamba-Nya akan diijabahi. Ayat ini pulalah yang kemudian menjadi sebuah motivator bagi seseorang untuk berdo’a apalagi dikala menghadapi sebuah masalah dalam hidupnya.

Kaitannya dengan kalimah hikmah Ibnu Athaillah di atas, adakalanya disaat seorang hamba memohon kepada Allah SWT dengan kesungguhan hatinya, tetapi ternyata Allah belum juga memberikan ijabah yang dijanjikan-Nya. Terkadang keadaan semacam ini membuat seorang salik merasa berkecil hati bahkan putus asa sehingga ia berhenti dari do’a yang dipanjatkannya. 

Ibnu Athaillah mengingatkan kita agar jangan sampai ditundanya pemberian Allah kepada kita bersamaan dengan kesungguhan do’a menyebabkan kita berputus asa dari rahmat Allah. Justru ditundanya pemberian itu seharusnya membuat kita semakin giat dalam berdo’a kepada-Nya. 

Ijabahnya do’a sesungguhnya bukanlah tujuan dari do’a. Tujuan hakiki dari do’a itu adalah sebuah pengakuan akan kelemahan diri dan pengakuan akan keagungan dan kemaha kuasaan Allah SWT sebagai Tuhan yang patut disembah. Oleh karenanya ketika pemberian Allah tidak kunjung datang bersamaan dengan giatnya kita berdo’a kepada-Nya, bukanlah sebuah hal yang benar bila lantas kita berputus asa dan meninggalkan do’a kepada Allah.

Orang yang meninggalkan do’a sebenarnya adalah orang yang sombong. Meninggalkan do’a sama artinya dengan menganggap bahwa ia mampu melakukan segala sesuatu tanpa bantuan Allah. Sebaliknya do’a menunjukkan akan kelemahan diri kita sebagai seorang hamba yang senantiasa memerlukan bantuan dan rahmat Allah SWT.

Belum terijabahnya do’a boleh jadi juga karena Allah masih menginginkan kita agar kita senantiasa menyebut – nyebut dan mengagungkan-Nya. Allah merasa cinta kepada kita sehingga Allah ingin terus mendengarkan suara rintihan kita dalam setiap do’a yang kita panjatkan kepada-Nya. Boleh jadi juga do’a itu masih antri, seperti kita antri tiket di dunia ini. Bila karena tak kunjung sampai pemberian itu kemudian kita pergi, maka ijabah itu tidak jadi akan datang.

Ibnu Athaillah mengingatkan kita bahwa ijabah adalah sesuatu yang telah dijanjikan Allah, padahal Allah itu tidak akan mengingkari janji-Nya. Oleh karenanya janganlah tertundanya atau telatnya pemberian Allah menyebabkan kita menjadi putus asa dari rahmat-Nya Allah. Sebaliknya do’a itu harus terus kita panjatkan setiap waktu dan kesempatan untuk membuktikan penghambaan kita kepada-Nya.

Ijabahnya do’a itu tergantung pada iradah-Nya Allah, kapan waktunya dan dalam bentuk apa ijabah itu, semua adalah hak mutlak Allah. Hukum bagi seorang hamba adalah tidak boleh memilih sesuatu melebihi pilihan Tuhannya. Ia juga tidak patut untuk mengatakan patut pada dirinya suatu hal karena ia bodoh, tidak mengetahui apakah hal tersebut baik bagi dirinya atau tidak. Karenanya seorang hamba harus senantiasa menerima dengan ikhlas ketentuan yang diberikan Allah kepadanya. Ini bukan berarti ia lantas menjadi malas dan tidak mau melakukan ikthtiar. Ingat ini adalah urusan kesadaran hati.

Hati tetap sadar dan menerima ketentuan Allah. Adapun mengenai syariat tetap saja ia harus berusaha dengan sungguh – sungguh, tidak boleh malas. Ini namanya, yukti kulla dzi haqqin haqqahu, memberikan hak pada yang punya hak atau disebut dengan mengisi bidang. Bidang hati ya harus diisi, sebaliknya bidang jasmani juga harus dipenuhi.

Ijabahnya do’a oleh Allah adalah mutlak hak prerogatif-Nya yang tidak bisa diganggu gugat oleh yang lain. Oleh karenanya ketika Allah telah memilihkan waktu dan bentuk ijabah-Nya, maka seorang hamba tidak boleh memilih keinginannya sendiri. Artinya, ketika waktu dan bentuk ijabah itu tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapannya, ia harus tetap ridla dan ikhlas menerimanya. Abu Hasan al-Syadzili mengatakan:

لا تختر من أمرك شيئا واختر أن لا تختار وفر من ذلك المختار

Artinya: Janganlah engkau memilih sesuatu untuk urusanmu, pilihlah untuk tidak memilih, dan larilah dari pilihan (yang kamu pilih sendiri) itu.

Jadi janganlah memilih sesuatu untuk urusan dirimu. Serahkan semuanya pada Allah. Biarkan Allah memilihkannya untukmu. Pilihlah untuk tidak memilih sesuatu untuk dirimu. 

Kebanyakan orang yang mengalami stress karena mereka memilih urusannya sendiri. Mereka tidak menyandarkan hal itu kepada Allah sehingga begitu mengalami kegagalan dalam hidupnya, apa yang diinginkannya tidak kunjung sampai, ia mengalami stress bahkan tidak jarang yang lantas kemudian memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Na’udzu billah.

Ijabah do’a akan terwujud bila do’a itu sudah murni tulus kepada Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa:

لا يكون الفضل إلا للقلوب المنكسرة للنفحات الإلهية مع التبري عن الحول والقوة

Artinya: Fadlal Allah tidak akan diberikan melainkan kepada hati yang menghadang sangat membutuhkan pertolongan Ilahiyyah disertai dengan membebaskan diri dari (perasaan) berdaya dan mempunyai kekuatan (billah).

Do’a akan diijabahi oleh Allah ketika kita sudah tidak lagi bersandar kepada do’a itu sendiri. Sandaran kita hanya kepada Allah. Ketika kita sudah bisa melepaskan diri dari ego yang menguasai diri, itu adalah tanda bahwa do’a itu akan ijabah. Semua terjadi semata karena fadlal Allah (Billah). 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Sabtu, 13 Mei 2017

Workshop Penelitian Perspektif Gender Jilid II



Workshop Penelitian Perspektif Gender Jilid II
(LP2M IAIN Tulungagung)


 Bersama DR. K.H. Muntahibun Nafis, M.Pd.I

Hari kedua atau hari terakhir workshop penelitian perspektif gender yang diadakan oleh Pusat Studi Gender, LP2M IAIN Tulungagung berlangsung dengan lancar. Hadir sebagai narasumber dalam sesi kedua ini adalah Anis Masykur. Beliau menyampaikan materinya dengan mantab dan luar biasa.

Di awal paparan materinya beliau menyampaikan keresahan tentang berbagai penelitian yang selama ini ditemuinya saat menjadi seorang reviewer maupun sebagai pembaca hasil penelitian. Menurutnya, banyak sekali penelitian yang hanya berkutat pada penelitian itu sendiri. Artinya penelitian yang dilakukan hanya sebatas untuk memuaskan dirinya sendiri. Mereka meneliti, tetapi penelitian mereka hanya sebatas memaparkan data belaka sehingga efek dari penelitian itu hanya kembali pada dirinya sendiri, bukan pada masyarakat yang sedang ditelitinya. Penelitian cenderung berdampak pada kemasyhuran seseorang sebagai seorang peneliti, tetapi nihil dari manfaat untuk masyarakat yang menjadi objek penelitiannya. Secara kasar beliau menyebutnya dengan istilah “Penelitian Masturbasi”.

 Foto Bersama Narasumber I Prof. Iwan Abdullah, P.Hd.

Penelitian masturbasi beliau gunakan untuk menyebut penelitian yang hanya dilihat, dinikmati dan dirasakan oleh peneliti sendiri tanpa melibatkan objek yang ditelitinya sebagai penikmat hasil penelitiannya. Masuk dalam kategori penelitian semacam ini –menurut Anis, adalah penelitian yang hanya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan serdos, kenaikan jabatan dan seterusnya. Penelitian semisal yang manfaat dan dampaknya hanya bisa dirasakan oleh peneliti masuk dalam kategori penelitian masturbasi.

Dalam perspektif gender isu utama yang diangkat adalah upaya penyetaraan posisi dan peran perempuan dan laki – laki. Artinya perbedaan yang disebabkan oleh kodrat ilahi dalam penciptaan, tidak seharusnya dijadikan sebuah alasan untuk melakukan hal – hal yang dirasa tidak adil dan cenderung menjadikan posisi perempuan menjadi kelompok subordinat yang termarginalkan. Tradisi dan budaya yang selama ini telah mengakar kuat ditengah – tengah kehidupan masyarakat kita, baik sebagai imbas dari budaya kolonial, etnisitas, paradigm agama dan seterusnya tidak seharusnya menjadi alasan untuk memandang sebelah mata kaum hawa ini. Sebaliknya semua itu harus didobrak dan dilakukan dekonstruksi sehingga tercipta sebuah tatanan yang ideal dan sarat akan kesetaraan. Oleh karenya –Anis Masykur berpendapat, penelitian gender harus memiliki makna pembelaan terhadap perempuan dan menggunakan perspektif yang berbeda.

Jika penelitian gender tidak memiliki  nilai pendobrakan terhadap system yang salah, namun diyakini kebenarannya mengakar kuat dalam tradisi masyarakat, maka sesungguhnya semua itu tidak ada artinya. Lebih baik peneliti diam dirumah, duduk sambil menikmati seduhan kopi torabika saja. Hmm… rasanya dahsyat. Artinya, penelitian gender mutlak harus mampu memberikan solusi atau setidaknya sebuah tawaran riil yang berbeda dan mampu membawa perubahan yang mengarah pada kesadaran akan adanya kesetaraan peran lelaki dan perempuan.



Foto Bersama Narasumber II Anis Masykur


Namun perlu diingat juga, melakukan hal ini bukanlah pekerjaan mudah semudah kita membalikkan telapak tangan. Perlu adanya kebulatan tekad dalam melakukan upaya ini. Saking beratnya, maka Anis Masykur, menyebutnya sebagai jihad. Artinya, dalam melakukan sebuah penelitian apapun itu, termasuk didalamnya gender, harus ada kesadaran bahwa peneliti tidak sekedar meneliti dan mengamati, namun sesungguhnya ia sedang melakukan jihad. Jihad dalam arti melakukan perlawanan pada kedzaliman dan ketidak adilan. Dengan kesadaran jihad ini, maka peneliti tidak akan melakukan penelitian yang hanya bersifat deskriptif, naratif dan argumentative, namun ia akan melakukan sebuah penelitian yang destruktif, konstruktif dan progressif.

Untuk sampai pada penelitian yang berujung pada perubahan memang bukan perkara mudah. Perlu upaya serius dan usaha yang berulang – ulang. Ketelatenan, keuletan dan kesabaran adalah kuncinya. Tanpa semua itu mustahil penelitian akan mampu memberikan dampak perubahan positif terhadap perilaku, sikap dan karakter masyarakat yang diteliti. Ini lah sesungguhnya arti penting dari sebuah pengembangan dan pembangunan riset yang bermutu dan berkualitas.

Dalam penelitian gender paradigma yang dipakai seharusnya adalah holistic dan inter-disipliner, begitu kata Anis Masykur. Artinya, harus secara utuh dan menyentuh berbagai tinjauan keilmuan. Bayangkan saja sejak dahulu perempuan selalu dalam ketertindasan. Peran perempuan dianggap sebagai sampingan yang hanya “melu – melu”. Pantas saja ada istilah Jawa yang bilang, “Suwargo nunut, neroko katut”, satu ungkapan yang sesungguhnya memandang perempuan sebelah mata, seolah hanya sebagai pelengkap belaka.

Banyak para peneliti yang menggunakan perspektif gender tidak sampai pada apa yang diinginkan dari penelitian perspektif ini oleh karena mereka hanya melihat dari satu disiplin keilmuan saja tanpa melibatkan keilmuan yang lain. Taruhlah misalkan hanya menggunakan perspektif agama. Akibatnya, karena penelitian tersebut diawali dengan ketertundukan pada hukum – hukum fiqih yang cenderung condong pada lelaki akibatnya sakralitas dari hukum fiqih tersebut membuat penelian perspektif gender itu menjadi konyol dan gagal menemukan hasilnya. Ini lah yang harus di antisipasi.

 Foto Bersama Ketua P2M dan Peserta Workshop

Beda halnya apabila kajian gender tersebut menggunakan berbagai perspektif, maka semua itu bisa diminimalisir bahkan mungkin akan diperoleh penelitian yang sesuai dengan apa yang sesungguhnya diinginkan. Taruhlah sebagai misal, mengapa dalam hukum akikah itu, bila bayi yang lahir laki – laki, maka kambing yang disembelih adalah dua, bila perempuan, maka satu. Tinjauan fiqih demikian, teks al-Qur’an, dalam hukum waris, menyatakan bagian laki – laki sepadan dengan bagian dua orang perempuan. Apakah hal ini bisa dibilang adil? Bolehkah kita mencoba mendobrak dan memberikan tawaran lain yang lebih mewakili? Ataukah kita hanya akan berhenti pada teks al-Qur’an tersebut? Atau yang sebenarnya diinginkan oleh ayat tersebut, dan bukan sekedar arti tekstualnya saja?

Nah, contoh di atas bisa dilakukan sebagai sebuah upaya untuk melakukan penalaran terhadap berbagai permasalahan yang selama ini muncul dalam bias gender. Anis Masykur memberikan contoh, bahwa dalam kasus sebagaimana di atas sesungguhnya kita juga bisa melibatkan perspektif sejarah, budaya maupun antropologi.

Perlu dicatat, bahwa tradisi Arab ketika mereka menyambut kelahiran seorang bayi, dahulu di masa jahiliyah, sangat berbeda dengan apa yang kita temukan saat ini. Dulu masyarakat Arab akan merasa sangat malu bila mereka memiliki bayi perempuan. Sebaliknya ketika mereka memiliki bayi laki – laki, luapan kegembiraan itu sangat luar biasa, bahkan untuk menyambut kelahirannya, mereka tidak segan – segan membuat pesta besar – besaran sebagai ungkapan kebahagiannya. Lain halnya bila bayi yang lahir perempuan. Jangankan mengadakan pesta, diketahui orang lain saja malu, bahkan tidak jarang mereka membunuh bayi perempuannya dengan menguburnya hidup – hidup. Setelah Rasul di utus maka semua itu dirubah oleh Nabi sehingga keberadaan perempuan semakin dihargai dan diangkat posisinya oleh Nabi beberapa tingkat bila dibandingkan masa jahiliyah. Mereka juga mendapatkan warisan setelah sebelumnya tidak mereka dapatkan di era jahiliyah. Nah, di sinilah nampak peran Nabi dalam membela kaum hawa ini.

Lantas bagaimana kemudian kita sebagai kalangan akademisi menyikapi akan hal ini. Apakah kita akan berhenti pada satu titik, bahwa penelitian itu yang penting bermanfaat bagi saya. Serdos saya dapatkan, urusan mereka berubah atau tidak tergantung hidayah Allah. Kiranya hal ini perlu untuk semakin diperhatikan sehingga diperoleh apa yang semestinya ada.

Isu gender tidak hanya berkutat pada persoalan peran perempuan pada ranah publik, ranah politik, keluarga, materi, kekerasan tetapi juga pada ranah keilmuan. Semua itu sesungguhnya perlu untuk digarap dan diperhatikan. Tidak hanya berhenti pada urusan kuantitatif tetapi juga kualitatif.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…


Jumat, 12 Mei 2017

Workshop Penelitian Perspektif Gender Jilid I



Workshop Penelitian Perspektif Gender Jilid I


Pagi ini LP2M IAIN Tulungagung punya gawe. Bertempat di Crown Victoria Hotel Tulungagung acara yang dipandegani oleh Pusat Studi Gender, yakni satu acara yang dikemas dalam bentuk workshop penelitian perspektif gender. Acara ini akan dijadwalkan berlangsung selama dua hari, yakni tanggal 12-13 Mei 2017.

Pada sesi pertama bertindak sebagai Narasumber adalah Prof.Dr. Irwan Abdullah, P.Hd. dari UGM Jogyakarta. Dalam paparannya beliau menyampaikan banyak hal kaitannya dengan penelitian gender di Indonesia.

Di awal pemaparannya beliau menyampaikan bahwa kebanyakan kesalahan seorang penulis yang melakukan penelitian adalah sering tidak memikirkan untuk apa hasil penelitian yang dilakukannya. Kesalahan ini seringkali berimbas pada ketidak layakan tulisan tersebut untuk dikonsumsi oleh public, terlebih untuk diterbitkan sebagai karya ilmiah.

Hal ini lah yang semestinya disadari oleh para peneliti sehingga mereka mencoba untuk melakukan perubahan arah dari penelitiannya. Langkah pertama yang mesti dilakukan adalah memikirkan tentang keresahan ilmiah tentang apa yang mengusik dirinya untuk meneliti seputar hal yang menjadi fokus kajiannya.

Berkaitan dengan gender beliau menyatakan bahwa sesungguhnya studi gender bertujuan agar terjadi kesetaraan antara lelaki dan perempuan baik dalam perannya sebagai bagian dari kelompok masyarakat, dan semua peran yang memungkinkan untuk mereka ambil bagian di dalamnya. Dengan demikian mereka tidak lagi menjadi kelompok yang termarginalkan karena kodrat mereka sebagai seorang wanita.

Pada dasarnya ranah dalam studi gender bisa mencakup banyak aspek. Persoalannya seringkali banyak peneliti yang membatasi aspek kajian dari studi gender tersebut sehingga cenderung studi gender berkutat pada aspek yang sempit terutama hanya kaitannya dengan posisi mereka yang termarginalkan akibat sering terbatasnya ruang gerak mereka dalam wilayah publik.

Dalam melakukan penelitian studi gender seharusnya seseorang tidak hanya memetakan peran wanita, akan tetapi harus ada nuansa melakukan pendobrakan terhadap tata nilai budaya dan tradisi yang cenderung menempatkan perempuan sebagai bagian yang termarginalkan. Harus ada jiwa pembelaan terhadap hak – hak perempuan.

Selain itu dalam melakukan penelitian studi gender kita harus memerankan diri untuk duduk bersama perempuan dan mendengarkan apa yang mereka katakana dan mereka rasakan. Sebagai catatan penempatan posisi perempuan sebagai kaum yang termarginalkan seringkali disebabkan oleh kasus kolonialisasi, etnisitas, system klas dan seterusnya. Nah, hal ini lah yang semestinya kita kritisi untuk kemudian memberikan warna yang berbeda dari warna sebelumnya.

Semoga kesetaraan yang diharapkan dari gerakan gender bisa terealisasi. Namun yang musti tetap harus dijaga adalah sesuai dengan porsinya, tanpa melewati batasan kepatutan yang diharapkan. 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Kamis, 11 Mei 2017

Silaturrahim Kebangsaan



Silaturrahim Kebangsaan 

Meneguhkan Pancasila sebagai Rumah Bersama Semua Agama
(Kunjungan Menteri Agama RI K.H. Lukman Hakim Syaifudin di IAIN Tulungagung)

Hari ini, Rabu 10 Mei 2017, IAIN Tulungagung mendapat kehormatan dengan datangnya pejabat tinggi negara dalam bidang agama, K.H. Lukman Hakim Syaifudin, menteri agama Republik Indonesia. Tentu moment ini menjadi moment istimewa yang mesti dimanfaatkan secara maksimal.

Rombongan menteri agama sampai di kampus IAIN Tulungagung pada sekitar pukul 14.00 WIB. Rombongan di sambut dengan meriah oleh mahasantri Ma’had IAIN Tulungagung yang melambaikan bendera sembari membuat pagar betis sepanjang jalan gerbang masuk hingga gedung baru yang digunakan sebagai tempat silaturrahim kebangsaan ini.

Acara ini juga dihadiri oleh para pejabat di lingkup kabupaten Tulungagung dan sekitar, para tokoh agama dan ormas Tulungagung, serta beberapa rektor dari beberapa perguruan tinggi dan sejumlah tokoh yang turut hadir menghormat kehadiran menteri agama ini.

Tema yang diangkat dalam silaturrahim kebangsaan ini adalah Meneguhkan Pancasila sebagai Rumah Bersama Semua Agama. Tema ini tepat sekali diangkat mengingat merebaknya kelompok – kelompok yang akhir – akhir ini seringkali berusaha untuk mengganti dasar negara yang selama bertahun – tahun telah menjadi panutan bangsa Indonesia. 

Dalam sambutannya Rektor IAIN Tulungagung menyampaikan akan pentingnya berpegang teguh pada Pancasila sebagai dasar negara. Munculnya gerakan – gerakan radikal pada dekade akhir ini sesungguhnya tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur dari bangsa ini. 

Menurut beliau, IAIN Tulungagung berkomitmen untuk membentengi penyebaran paham – paham radikal yang tidak sesuai dengan semangat kebhinekaan. Selain itu menurut beliau penelitian terbaru yang dilakukan oleh para peneliti di lingkup Tulungagung, terutama yang tergabung dalam Pusat Kajian Islam Jawa menunjukkan bahwa sesungguhnya kata Bhineka Tunggal Ika yang terdapat dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular itu merupakan kata – kata yang muncul pertama kali di Tulungagung dari Sri Rajapatmi Gayatri yang lama tinggal di Tulungagung dan pada akhirnya dimakamkan di Tulungagung.

Beliau juga mengatakan bahwa sesungguhnya kata Ika di situ juga menunjukkan akan kepercayaan kerajaan majapahit akan kekuasaan dari Sang Yang Widi Wasa yakni Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan beliau juga menyebutkan bahwa hancurnya kerajaan majapahit sesungguhnya juga merupakan buah dari ulah mereka yang meninggalkan nilai – nilai luhur yang diyakini oleh ajaran agama. Oleh karena itulah sesungguhnya semenjak dahulu Indonesia ini merupakan kerajaan religius yang selalu berpegang pada nilai – nilai luhur agama.

Di akhir sambutannya beliau juga menambahkan sekaligus memohon do’a agar IAIN Tulungagung secepatnya bisa beralih status menjadi Universitas. Beliau juga menambahkan bahwa pemerintah Tulungagung telah memberikan sinyal positif untuk melakukan kerjasama dengan IAIN Tulungagung terutama dalam penyediaan lahan untuk pengembangan kampus.

Sementara itu Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, M.M. dalam sambutannya menyampaikan pentingnya untuk bersikap toleran dalam beragama. Beliau juga menekankan pentingnya memahami Pancasila sebagai dasar negara yang harus tetap dijadikan ruh bagi setiap warga negara yang ada dan tinggal di Indonesia. 

Berkaitan dengan pernyataan Rektor IAIN Tulungagung, bupati Tulungagung mengatakan bahwa melihat perkembangan IAIN Tulungagung yang sangat cepat pada dekade terakhir ini, pemerintah kabupaten Tulungagung memandang bahwa tidak ada salahnya, bahkan perlu bagi pemerintah  kabupaten untuk turut serta andil dalam memperbesar kampus kebanggaan Tulungagung ini.

IAIN Tulungagung adalah satu – satunya kampus negeri di Tulungagung, oleh karenanya tidak ada salahnya bila lahan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten sebagian di antaranya diberikan untuk kepentingan IAIN yang juga sama – sama milik pemerintah.

Semakin pesatnya perkembangan IAIN pasca alih status dan semakin besarnya jumlah mahasiswa yang belajar di IAIN, tentu memberikan dampak positif bagi masyarakat Tulungagung. Tentu hal ini juga semakin membantu kinerja dari pemerintah.

Fakta membuktikan bahwa berdatangnya para mahasiswa untuk belajar di IAIN yang saat ini jumlahnya telah mencapai ribuan, telah mendorong pesatnya laju ekonomi masyarakat Tulungagung, khususnya mereka yang ada di lingkup IAIN. Para penjual jajanan, makanan semakin laris, demikian halnya para pemilik rumah kos. Ekonomi mereka mengalami peningkatan pesat.

Di sisi lain cepatnya laju ekonomi ini juga menyebabkan munculnya inflasi harga tanah di sekitar IAIN. Bila dahulu harga tanah per ru hanya berkisar antara dua jutaan, saat ini harga tanah per ru mencapai angka dua puluh juta, itu pun barangnya langka, atau bahkan tidak ada. Nah, mengingat hal ini ditambah lagi bahwa IAIN juga merupakan institusi yang berupaya menyiapkan generasi emas bangsa dikemudian hari, bupati Tulungagung mengatakan tidak ada salahnya atau bahkan perlunya pemerintah menjalin kerjasama dengan kampus IAIN Tulungagung. Terakhir dalam sambutannya beliau juga berharap bahwa IAIN secepatnya akan dapat meningkatkan statusnya menjadi Universitas.

Adapun menteri agama dalam paparannya memulai dengan sedikit memberikan klarifikasi akan tema yang diangkat karena khawatir akan terjadinya pemahaman yang salah dalam memaknai semua agama. Menurut beliau, beliau sudah melakukan klarifikasi dengan Rektor dan pemahamannya sama dengan apa yang ada dalam angan – angannya. Tema sesungguhnya yang dimaksud di sini adalah Meneguhkan Pancasila sebagai Rumah Bersama Semua Umat Beragama.

Dalam paparannya beliau menyampaikan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah tidak semestinya di permasalahkan lagi. Pancasila telah membuktikan dirinya sebagai dasar negara dengan berbagai proses yang dialaminya sepanjang sejarah bangsa ini mulai masa kemerdekaan hingga sekarang.

Menurut beliau Pancasila merupakan konsensus, hasil kesepakatan bersama para Foundhing Father, yang menjadi perumus dan pengesah Pancasila sebagai dasar negara. Di akui maupun tidak Indonesia adalah negara kepulauan dengan bentang wilayah terluas di dunia. Bahkan saking luasnya Indonesia di Indonesia terdapat tiga waktu yang berbeda yakni waktu Indonesia Barat, Tengah dan Timur. Satu hal yang tidak dimiliki bangsa lain selain bangsa Indonesia.

Karena bentang wilayahnya yang luas itu lah Indonesia memiliki tingkat kebhinekaan yang beraneka ragam, tidak hanya etnis sukunya bahkan flora dan faunanya.  Kebhinekaan itu perlu dirawat dan para foundhing father bangsa ini menganggap bahwa Pancasila adalah dasar negara yang mampu untuk menaungi semua kebhinekaan itu.

Memang secara ekspilisit tidak ada konstitusi atau pun undang – undang yang manyatakan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Akan tetapi sila – sila Pancasila sebagai dasar negara ini telah termaktub dalam pembukaan undang – undang dasar negara 1945.

Beliau menyampaikan bahwa dalam pembukaan undang – undang dasar terdapat kalimat yang menarik yang menegaskan bangsa Indonesia sebagai bangsa religius. Kalimat itu berbunyi, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini menunjukkan status bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan.

Yang lebih menarik lagi adalah meski bangsa Indonesia tidak menyatakan dirinya sebagai negara agama, tetapi keseluruhan sila yang ada dalam Pancasila merupakan inti dari nilai – nilai luhur agama. Oleh karena itu sesungguhnya tidak ada alasan yang dibenarkan bila ada kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan faham agama karena sesungguhnya Pancasila adalah pengejawantahan dari nilai – nilai agama yang telah dirumuskan oleh para pendahulu bangsa ini.

Lebih jauh lagi bila kita merujuk pada istilah – istilah yang seringkali dipakai pada undang – undang maupun konstitusi banyak yang menggunakan kata iman, taqwa, akhlak mulia dan sebagainya, yang sesungguhnya hal itu semakin memperkuat posisi dari bangsa Indonesai sebagai bangsa yang berketuhanan yang Maha Esa.

Kebebasan HAM di negeri ini sangat dilindungi oleh undang – undang. Undang – undang sebagai sebuah konstitusi berlaku sebagai kitab suci yang harus di taati oleh setiap warga negara. Oleh karenanya siapapun wajib untuk menaati semua aturanya bila masih ingin menetap di bumi pertiwi ini. 

Kemutlakan HAM sesungguhnya tetaplah dibatasi, karena tanpa adanya batasan tentu akan menimbulkan keresahan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya kemutlakan HAM itu dibatasi oleh empat hal, yaitu keamanan, ketertiban umum, pertimbangan moral dan pertimbangan agama.

Lagi – lagi agama menjadi hal yang bisa membatasi semua hal di negeri ini. Sungguh satu hal yang menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang memiliki tingkat religius tinggi.  Oleh karenanya sudah bukan waktunya lagi mempersoalkan persoalan Pancasila sebagai dasar NKRI, yang terpenting adalah bagaimana mengisi/mempraktikkan nilai – nilai Pancasila di tengah – tengah tantangan global. 

Merebaknya sikap radikal dan keinginan untuk mengganti dasar negara sesungguhnya bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Islam harus mampu menjadi agama yang toleran, moderat, bersikap tengah – tengah tanpa condong pada satu kelompok tertentu.

Munculnya gerakan transnasional seperti khilafah islamiyah sesungguhnya bukan berasal dari para pendahulu bangsa ini. Oleh karenanya sudah seharusnya kita merawat keutuhan bangsa ini dari kehancuran yang disebabkan oleh sikap intoleran terhadap kebhinekaan yang sesungguhnya adalah ciri khas yang melekat dan tidak bisa dilepaskan dari bangsa ini.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...