Hakikat Puasa


Hakikat Puasa

Bagi umat muslim puasa telah menjadi sebuah tradisi tahunan yang selalu ditunggu – tunggu kedatangannya. Selalu ada rasa dan nuansa yang berbeda saat Ramadlan tiba. Umat Islam Indonesia menyambut kedatangan Ramadlan dengan mengadakan kegiatan “megengan” sebagai salah satu tanda akan dimulainya puasa Ramadlan. Entah apa yang ada di negara lain, saya kurang tau, tetapi Ramadlan di negeri ini sungguh hal yang istimewa, terlebih setelah memasuki malam pertama, kita akan mendengar suara ‘tadarus’ di mushala, masjid – masjid di sekitar kita tinggal.


Terlepas dari semua bentuk kemeriahan yang ada di bulan suci Ramadlan, selayaknya ada hal yang harus kita mengerti dan kita gali dari ibadah puasa yang telah di syariatkan Allah untuk umat muslim. Pertanyaan penting kiranya yang harus kita jawab adalah apa hakikat dari puasa itu?

Untuk sekedar menjalankan puasa, saya yakin semua orang muslim sudah tahu, bagaimana caranya juga sudah paham. Tetapi untuk menggali dan memahami secara benar hakikat puasa, saya tidak yakin semua umat Islam bisa melakukannya, bahkan mungkin termasuk di dalamnya, saya sendiri. Namun demikian, saya akan berusaha untuk menguraikannya, tentunya, ya sekemampuan dan sebatas apa yang saya pahami.

Puasa itu secara bahasa memiliki arti menahan. Adapun secara istilah puasa memiliki arti menahan diri dari segala sesuatu yang memabtalkannya semenjak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Demikian ini menurut pendapat para ulama syara’.

Hakikat puasa sesungguhnya tidak hanya menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan, minum dan sebagainya, yang merupakan bentuk menahan yang bersifat fisik belaka. Memang secara syar’I dalam pengertian fiqih puasa mengandung arti demikian, akan tetapi sesungguhnya makna puasa jauh lebih dalam dari itu.

Manusia diciptakan memiliki dua unsur yang membentuk dirinya. Ada unsur jasmani dan ada unsur ruhani. Saat berpuasa, sesungguhnya dua unsur ini harus sama – sama menjalankan. Jasmani berpuasa secara jasmani, demikian halnya ruhani berpuasa secara ruhani.

Puasa jasmani dilakukan dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa secara fisik, seperti makan, minum dan semisalnya. Saat puasa maka pada dasarnya mata,-sebagai salah satu organ fisik kita, juga turut serta berpuasa. Dengan cara apa? Dengan cara tidak melihat sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh syariat. Mata harus mampu menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam maksiat mata. Sulit memang, tetapi bukan berarti tidak bisa. Bisa, hanya saja prosesnya yang butuh perjuangan. Telinga, mulut, tangan dan semua anggota tubuh yang lain juga sama. Kesemuanya harus menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam hal – hal yang bisa menyebabkan mereka jatuh ke lubang kemaksiatan.

Ruhani kita sesungguhnya juga harus berpuasa. Bagaimana dengan puasanya ruhani? Ruhani dipahami sebagai unsur yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun keberadaannya tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Ruhani juga harus berpuasa dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang bisa menyebabkan nilai puasa kita hilang dihadapan Allah SWT.

Puasa adalah amal ibadah siri yang hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah SWT. Oleh sebab itulah ibdah ini, -menurut hadits qudsi adalah ibadah yang menjadi milik Allah. Dia lah yang berhak untuk memberi pahala sesuai dengan kadar keikhlasan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan puasa.

Banyak orang yang menjalankan puasa, tetapi mereka tidak mendapatkan apa – apa dari puasanya selain lapar dan dahaga. Rugi, sudah barang tentu. Mengapa bisa demikian? Karena secara jasmani mereka berpuasa tetapi secara ruhani mereka belumlah berpuasa. Akibatnya, mereka hanya mendapatkan kepayahan dalam ibadah, puasanya hanya mendapatkan lapar dan dahaga, tidak lebih.

Nah, bagaimana caranya agar puasa kita tidak hanya mendapatkan lapar dan dahaga? Agar puasa tidak hanya mendapatkan lapar dan dahaga, maka seorang muslim harus mampu berpuasa secara ruhani. Puasa ruhani dilakukan dnegan cara berusaha untuk menahan diri dari godaan – godaan nafsu yang bisa menyebabkan puasa itu hilang nilainya dihadapan Allah SWT.

Saat berpuasa hindarkan diri kita dari berprasangka buruk kepada orang lain. Berprasangka buruk termasuk di antara cara kita menahan diri dari nafsu. Nafsu yang memandang diri kita lebih daripada orang lain. Berprasangka buruk, meski hal itu tidak dilahirkan dalam bentuk ucapan bisa mengurangi nilai puasa kita dihadapan Allah SWT.

Selain itu hendaknya saat puasa kita juga berusaha untuk menghindarkan diri dari sifat ujub dan riya’. Ujub dan riya’ atau termasuk di antara hal yang bisa membuat pahal puasa kita hangus. Kedua sifat ini termasuk di antara penyakit hati yang harus dihindarkan. Ujub dan riya’ muncul karena adanya nafsu ananiyah yang ada dalam diri seseorang. Nafsu ke-aku – akuan, yang menginginkan eksistensi dirinya diakui oleh orang lain. Apabila sifat ini dibiarkan berkembang, lambat laun akan berubah menjadi riya’ yang akan menghapus semua nilai puasa yang kita jalankan.

Agar puasa memiliki nilai lebih dihadapan Allah, maka keikhlasan dalam menjalankan puasa harus tetap dipertahankan. Ikhlaslah yang sesungguhnya menjadikan amal kita menjadi bernilai di hadapan Allah. Tanpa keikhlasan, maka ibadah kita tidak ada artinya di hadapan Allah SWT. Memang ikhlas mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk diterapkan. Oleh karenanya latihan secara terus – menerus harus diupayakan dalam rangka untuk menumbuhkan sifat ikhlas dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Semoga Bermanfaat
Allahu A'lam

Komentar